Connect with us

Pengembangan Diri

Apakah Saya Toxic?

Published

on

Beberapa waktu terakhir ini, Penulis sering melakukan kompletasi. Tujuannya, untuk melihat ke dalam diri sendiri apa yang perlu dibenahi demi menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Salah satu yang menjadi concern Penulis adalah mengenai toxic yang cukup populer di kalangan generasi muda. Penulis bertanya ke dirinya sendiri, apakah saya ini termasuk orang yang toxic?

Untuk membantu menjawab pertanyaan ini, Penulis pun menonton beberapa video di YouTube yang membahas mengenai sifat toxic.

Hasil perenungan dan pengamatan tersebut akan coba Penulis rangkum melalui tulisan ini sebagai bahan interopeksi bersama dengan bahasa yang sesederhana mungkin.

Apa Itu Sifat Toxic?

Racun (Photo by Davide Baraldi from Pexels)

Dari berbagai sumber, kata toxic yang kita kenal sekarang sesuai dengan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia: racun. Racun itu sifatnya berbahaya dan merugikan kita.

Jika konteksnya adalah karakter, toxic artinya kita memiliki sifat atau karakter yang berbahaya dan merugikan orang lain, baik disadari maupun tidak.

Sikap toxic bisa dilakukan oleh siapa saja, baik kita, keluarga, teman, pasangan, hingga netizen. Semua bisa menjadi sosok yang toxic bagi sekitarnya maupun diri sendiri.

Memiliki sikap toxic jelas hal yang buruk dan harus kita hilangkan jika memilikinya. Selain merugikan orang lain, sikap toxic juga akan memberikan banyak dampak negatif ke pelakunya.

Apa Ciri-Ciri Sifat Toxic?

Orang Toxic (Photo by engin akyurt on Unsplash)

Kalau berbicara ciri-ciri, jelas ada banyak sekali yang bisa disebutkan. Kalau bagi Penulis sendiri, sikap apapun yang menyusahkan orang lain secara berlebihan bisa dibilang toxic.

Biasanya, yang menonjol dari orang toxic adalah sifatnya yang lebih mementingkan diri sendiri alias egois. Persetan dengan orang lain, yang penting dirinya untung.

Karena tingginya ego yang dimiliki, mereka pun tak segan untuk menjatuhkan orang lain demi kepentingannya sendiri. Bagi mereka, tidak ada yang namanya simpati atau empati.

Selain itu, tingginya ego membuat mereka segan untuk meminta maaf dan tidak mau mengakui kesalahan yang diperbuat. Bagi mereka, kesalahan selalu berada di tangan orang lain.

Demi melancarkan kepentingannya tersebut, si toxic kerap melakukan manipulasi dan mengendalikan orang lain secara berlebihan. Sialnya, terkadang kita yang menjadi “korban” tidak sadar sedang dimanipulasi.

Terkadang orang toxic juga memiliki sifat narsis yang membuat mereka kerap merasa diri paling paling hebat/benar dan merendahkan orang lain. Hal tersebut juga dilakukan demi menjatuhkan orang-orang yang mengganggu kepentingannya.

Tentu masih banyak ciri-ciri orang toxic lain yang belum disebutkan. Hanya saja, bagi Penulis ciri-ciri di atas sudah cukup menggambarkan bagaimana orang toxic.

Seumur hidup Penulis, untungnya Penulis baru bertemu satu orang yang rasanya benar-benar toxic waktu di tempat kerja. Ia pun menjadi public enemy karenanya.

Apakah Saya Memiliki Sifat Toxic?

Tanya Kepada Diri Sendiri (Photo by Dollar Gill on Unsplash)

Melihat ciri-ciri yang sudah disebutkan di atas, apakah Penulis termasuk orang yang toxic? Tentu Penulis tidak bisa menilai dirinya sendiri, tapi Penulis akan coba mengurainya satu per satu.

Terkadang, Penulis merasa dirinya ini memiliki ego yang tinggi. Rasanya, semua keinginannya harus dituruti oleh orang lain. Mungkin, kesannya jadi seperti memaksakan kehendaknya.

Hanya saja, rasanya Penulis tidak pernah sampai menjatuhkan orang lain demi keinginannya. Penulis merasa dirinya masih punya simpati dan empati kepada orang lain, apalagi kepada orang-orang yang berharga di kehidupannya.

Penulis juga kadang merasa memiliki sifat gila kontrol ala Steve Jobs karena sifat perfeksionis yang dimiliki. Oleh karena itu, Penulis berusaha untuk mengurangi kekurangan ini secara perlahan.

Untuk urusan minta maaf dan mengakui kesalahan, mungkin Penulis justru terlalu sering melakukannya. Apalagi, Penulis ada tipe orang yang lebih suka self-blaming.

Merasa diri paling hebat? Justru Penulis adalah tipe orang yang suka minder dan kurang percaya diri. Rasanya, orang lain selalu terlihat lebih hebat dari diri sendiri. Ini salah, makanya Penulis berusaha untuk bisa lebih percaya diri lagi.

Mungkin sifat lain yang perlu Penulis benahi adalah overthinking-nya dan emosinya yang kadang mudah tersulut. Bisa saja kedua hal tersebut membuat orang lain menganggap Penulis toxic.

Penutup

Rasanya tidak ada orang yang ingin berurusan dengan orang toxic. Sebisa mungkin, kita ingin menjalin hubungan dengan orang-orang yang bisa saling mendukung satu sama lain.

Penulis akan terus berusaha agar tidak menjadi orang toxic. Kalaupun ada yang menganggap Penulis seperti itu, anggap saja sebagai peringatan agar kita kembali berbenah diri.

Untuk tulisan selanjutnya, Penulis akan mencoba membahas tentang hubungan yang toxic. Stay tuned!


Lawang, 25 Juli 2021, terinspirasi setelah seseorang menganggap saya toxic

Photo by Darklabs India on Unsplash

Sumber Artikel:

Pengembangan Diri

People “Come”, People “Go”

Published

on

By

Pembaca pasti merasa familiar dengan frase bahasa Inggris people come and go. Secara sederhana, frase ini bermakna kalau orang-orang dalam kehidupan kita akan datang dan pergi secara bergiliran. Tidak ada yang akan benar-benar stay.

Maka dari itu, menahan orang-orang yang ingin pergi dari kehidupan kita akan terasa percuma, karena pada dasarnya mereka berada di luar kendali kita. Yang bisa kita kendalikan adalah respons kita terhadap kepergian mereka.

Namun, pada suatu saat, Penulis menangkap ada makna lain dari frase people come and go. Untuk membedakan, Penulis akan menuliskannya dengan people come, people go. Datang ketika butuh kita, tetapi pergi ketika kita yang butuh.

Datang Ketika Butuh Kita

Di media sosial akhir-akhir ini sedang viral tentang “pinjam dulu seratus” yang biasanya dibalut dalam bentuk pantun. Ini adalah sebuah kalimat horor ketika ada orang datang ke kita untuk meminjam uang, yang biasanya sulit untuk kembali.

Seringkali, orang-orang yang seperti ini adalah orang yang hanya datang ke kita ketika mereka merasa butuh. Tidak melulu tentang pinjan uang, tapi bisa juga butuh bantuan untuk hal lain. Ketika sedang tidak butuh, mereka seolah-olah tidak kenal dengan kita.

Dalam hidup, rasanya hampir semua manusia pernah bertemu dengan tipe orang yang seperti ini. Lantas, bagaimana menghadapi mereka? Kembali lagi ke diri kita masing-masing, apakah mau dimanfaatkan orang lain begitu saja atau memberi batasan yang jelas.

Jika niat hati ingin menolong dan bermanfaat tanpa peduli pikiran orang lain, bagus. Tidak semua orang punya ketulusan hati seperti ini. Toh seperti kata Tanjiro Kamado dari anime Demon Slayer, kebaikan yang kita lakukan pada akhirnya akan kembali ke diri sendiri.

Namun, jika belum bisa mencapai level tersebut, menolak untuk dimanfaatkan juga tidak salah. Apalagi, jika tenaga, waktu, bahkan uang kita benar-benar terkuras untuk mereka. Mengetahui batasan diri juga dibutuhkan untuk kebaikan diri kita.

Pergi Ketika Kita yang Butuh

Datang ketika butuh saja sudah cukup problematik, apalagi jika mereka justru pergi ketika kita yang membutuhkan bantuan. Dengan beribu alasan, mereka akan menolak untuk mengulurkan tangan mereka.

Manusia sebagai makhluk sosial jelas harus saling membantu. Mau semandiri apapun, kita pasti tetap membutuhkan bantuan orang lain. Oleh karena itu, sejak kecil kita diajari untuk saling tolong-menolong karena memang seterikat itu kita dengan manusia lain.

Masalahnya, tidak semua orang memiliki kesadaran untuk membantu orang lain. Ada oknum-oknum yang berpikir kalau dirinya adalah pusat semesta, sehingga merasa acuh ketika melihat ada orang yang sedang membutuhkan bantuan dirinya.

Ketika menghadapi tipe orang yang seperti ini, rasanya lebih bijak jika kita menjaga jarak dengan mereka. Berbuat baik sih berbuat baik, tapi kalau hanya kita yang dimanfaatkan ya buat apa? Toh, masih banyak orang lain yang bisa kita tolong daripada parasit seperti mereka.

Datang ketika kita butuh, tetapi pergi ketika kita yang butuh. Semoga saja kita selalu dihindarkan untuk bertemu dengan orang-orang yang seperti ini. Semoga kita selalu dikelilingi oleh orang-orang baik yang mau saling tolong-menolong.


Lawang, 25 Oktober 2023, terinspirasi setelah menyadari kalau frase people come and go bisa dimaknai lain

Foto Featured Image: Mike Chai

Continue Reading

Pengembangan Diri

Belajar Melepas Perasaan Bersalah dari Kosan 95

Published

on

By

Hari ini (24/8), Penulis kembali membuka aplikasi Webtoon setelah sudah cukup lama tidak menggunakannya. Salah satu komik yang ingin Penulis baca adalah kelanjutan dari Kosan 95 yang sedang memasuki babak akhirnya.

Terakhir kali membaca, ceritanya sedang berfokus pada karakter Budi yang merupakan salah satu anggota kos. Waktu kecil, ia berteman baik dengan Faisal dan Fani (saudara kembar, anggota Kosan 95 juga), yang dijauhi teman-teman sebayanya karena dianggap anak haram.

Budi menjadi kawan pertama mereka yang benar-benar terlihat baik, peduli, dan tulus. Namun, tiba-tiba Budi menghilang begitu saja dari kehidupan Faisal dan Fani, yang pada akhirnya menimbulkan perasaan bersalah pada Budi untuk waktu yang sangat lama.

SPOILER AHEAD!!!

Ringkasan Cerita hingga Budi Merasa Bersalah

Dari Kiri: Faisal, Budi, Fani (Twitter)

Alasan awal Budi berteman dengan Faisal dan Fani adalah untuk membantu ayahnya, yang bekerja untuk keluarga Jaya. Ayahnya memiliki misi untuk memata-matai Faisal dan Fani, di mana mereka adalah bagian dari keluarga Sundari yang merupakan saingan keluarga Jaya.

Setelah misi tersebut selesai, Budi pun meninggalkan Faisal dan Fani, meskipun ia sebenarnya sangat menyayangi mereka. Nasib pun mempertemukan mereka kembali, di mana Budi langsung kabur karena ada perasaan bersalah setelah apa yang ia lakukan di masa lalu.

Budi berpikir kalau dirinya tidak bisa bertemu dan berhubungan lagi dengan Faisal dan Fani karena ia telah menyakiti mereka. Meskipun ia kerap sedih karena perasaan bersalah tersebut, ia merasa takut ketika akhirnya dipertemukan dengan mereka berdua.

Namun, akhirnya Budi memutuskan untuk menerima tawaran keluarga Jaya untuk bergabung dengan Kosan 95, agar ia memiliki kesempatan untuk menebus dosanya kepada Faisal dan Fani.

Sayangnya, yang ada perasaan bersalah tersebut justru terus tumbuh karena ia belum menemukan jawaban mengenai bagaimana cara menebus kesalahannya. Apalagi, ternyata hubungan Faisal dan Fani pun memburuk karena suatu hal.

Saat bertemu dengan Fani pertama kali di Kosan 95, Fani langsung meminta tolong untuk membantunya berbaikan dengan Faisal. Hubungan buruk mereka langsung terbukti ketika Faisal langsung mengusir Fani begitu melihatnya.

Hal tersebut membuat Budi semakin merasa bersalah. Masa-masa awal Budi di Kosan 95 pun penuh dengan konflik batin. Ia menyesal karena di masa lalu dirinya lebih banyak diam, ketika ada banyak hal yang sebenarnya bisa ia lakukan untuk Faisal dan Fani.

Bagaimana Budi (dan Fani) Berusaha Menghilangkan Perasaan Bersalahnya

Dua Karakter yang Sama-sama Terjebak Rasa Bersalah (Instagram)

Selama bertahun-tahun, perasaan bersalah itu terus menghinggapi Budi seolah tak bisa disingkirkan. Ia merasa tidak bisa menebus kesalahan tersebut dan layak untuk mendapatkan maaf.

Budi pun mendapatkan nasehat dari Pak Agus, penjaga Kosan 95, yang mengatakan kalau Budi harus bisa menjadi penengah antara Faisal dan Fani layaknya teman yang bersikap adil. Pak Agus juga mengatakan kalau konflik yang terjadi antara mereka bukan salah Budi.

Pak Agus juga mengingatkan kalau Budi harus merelakan apa yang telah terjadi di masa lalu dan jangan berlarut-larut di dalam penyesalan tanpa akhir. Daripada seperti itu, lebih baik fokus dengan melakukan apa yang bisa diperbaiki sekarang dan terus maju.

Akhirnya seiring berjalannya waktu, Budi merasa bahwa penebusan dosa yang mungkin bisa ia lakukan adalah membuat Faisal dan Fani berdamai seperti dulu lagi. Mereka bertiga pernah akrab dan saling berbagi tawa, dan ia ingin hal tersebut bisa terjadi lagi saat ini.

Sebenarnya bukan cuma Budi yang memiliki perasaan bersalah, karena Fani pun juga merasa bersalah ke Faisal. Alasan mereka menjadi renggang adalah karena Fani justru tidak percaya kepada Faisal di saat saudara kembarnya tersebut sedang membelanya.

Merasa dirinya begitu egois, Fani pun menyesal dan terus berusaha untuk memperbaiki hubungannya dengan Faisal. Berbagai hal ia berusaha lakukan dan berikan untuk menyenangkan Faisal, meskipun kerap mendapatkan respons yang kurang mengenakkan.

Belajar Melepas Perasaan Bersalah dari Kosan 95

Ini Budi (Instagram)

Dari kisah hubungan antara Budi, Faisal, dan Fani di atas, kita bisa belajar beberapa hal mengenai cara melepas perasaan bersalah yang membelenggu kita. Penulis yakin, kebanyakan dari kita pernah mengalami perasaan yang dialami oleh karakter-karakter Kosan 95.

Sebagai manusia, tentu kita pernah berbuat salah, baik ke diri sendiri maupun orang lain. Bagi sebagian orang, berbuat salah ke orang lain bisa menimbulkan perasaan bersalah yang begitu dalam, seolah tidak ada hal yang bisa dilakukan untuk menghilangkannya.

Penulis sendiri pernah merasa seperti itu dan mencoba berbagai cara, mulai dari minta maaf, berusaha memperbaiki keadaan, mengubah diri menjadi lebih baik, dan lain sebagainya. Kurang lebih sama seperti yang sedang dilakukan oleh Budi dan Fani.

Namun, sama seperti yang dirasakan Budi, perasaan bersalah itu masih saja hinggap. Pada akhirnya Penulis menyadari kalau pada akhirnya kitalah yang harus bisa memaafkan dan berdamai dengan diri sendiri atas kesalahan yang sudah diperbuat.

Seperti yang dikatakan oleh Pak Agus, pada akhirnya kita harus merelakan apa yang sudah terjadi dan fokus dengan hari ini. Terbelenggu dengan perasaan bersalah yang kita buat sendiri hanya akan menghambat kita untuk melangkah maju.

Jika kita sudah bisa melakukan hal tersebut, proses memaafkan dan berdamai dengan diri sendiri pun akan lebih mudah kita lakukan. Nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terlanjur. Mari kita sama-sama belajar untuk melepaskan perasaan bersalah yang ada di dalam diri kita.


Lawang, 24 Agustus 2023, terinspirasi setelah membaca Webtoon Kosan 95

Continue Reading

Pengembangan Diri

Hasil Itu Ada di Luar Kendali Kita

Published

on

By

Berapa kali dalam kehidupan kita mengalami kegagalan? Berapa kali apa yang kita harapkan tidak menjadi kenyataan? Tak peduli sekeras apapun berusaha, tak peduli selantang apapun berdoa, ternyata hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan yang diinginkan.

Penulis juga termasuk orang yang pernah mengalami kegagalan. Gagal diterima bekerja di NET TV, gagal mendapatkan beasiswa hingga empat kali, hingga gagal dalam menjaga hubungan baik dengan orang lain.

Ujung-ujungnya, Penulis jadi menyalahkan diri sendiri karena merasa usahanya masih kurang maksimal. Seolah selalu ada kekurangan di dalam diri Penulis yang membuatnya gagal. Perasaan menyesal dan bersalah pun muncul, yang memicu negative self-talk.

Namun, seiring dengan bertambahnya usia, Penulis semakin memahami bahwa sebenarnya ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa kita kendalikan. Hasil dari sesuatu yang kita kejar adalah salah satunya.

Usaha (dan Doa) Bisa Kita Kendalikan

Dalam beberapa tahun terakhir, Penulis berusaha mendalami sebuah filsafat bernama stoisme atau stoik. Alasannya sederhana, karena Penulis merasa kalau penerapan dari filsafat ini sangat cocok untuk orang yang mudah overthinking seperti Penulis.

Diawali dari membaca buku Filsafat Teras, Penulis pun berusaha mencari referensi lain baik dari buku, posting di media sosial, maupun video. Salah satu hal yang benar-benar Penulis pelajari adalah mengenai dikotomi kendali.

Penulis baru menyelesaikan membaca novel grafis Dunia Sophie, di mana Penulis menemukan satu kutipan yang dapat menggambarkan tentang apa itu dikotomi kendali. Berikut adalah kutipan tersebut:

“Berilah aku keberanian untuk mengubah apa yang bisa kuubah, ketenangan untuk menerima yang tak bisa diubah, dan kebijaksanaan untuk membedakan keduanya.”

Secara sederhana, stoisme mengajak kita untuk membedakan mana yang bisa kita kendalikan (yang sejatinya hanya diri kita sendiri) dan mana yang tidak bisa kita kendalikan (apapun yang ada di luar kita).

Nah, dalam menyikapi sebuah kegagalan dalam hidup, kita harus memahami yang bisa kita kendalikan adalah usaha dan doa yang kita lakukan. Kita bisa mengendalikan diri mau berusaha dan berdoa sekeras apa. Apapun hasilnya nanti, itu sudah di luar kendali kita.

Hasil Tidak Bisa Kita Kendalikan

Kadang kita merasa, padahal sudah berusaha keras, padahal sudah berdoa hingga bangun di tengah malam, tapi kok masih gagal. Terkadang kita lupa, kalau hasil itu tidak bergantung pada apa yang telah kita lakukan. Banyak faktor lain yang memengaruhi sebuah hasil.

Katakanlah sebagai contoh upaya untuk mendapatkan beasiswa. Ketika mendapatkan pengumuman kalau kita gagal, muncul perasaan tidak percaya karena kita merasa sudah berusaha semaksimal mungkin.

Namun, kita lupa bahwa hasil ujian itu jauh di luar kendali kita. Bisa jadi ada peserta beasiswa lain yang berusaha lebih keras dari kita, lebih punya persiapan yang lebih panjang, punya privilege yang tidak kita miliki, atau bahkan murni karena keberuntungan.

Hasil yang tidak seusai dengan harapan, tidak sepenuhnya gara-gara kita. Sekali lagi, ada banyak faktor eksternal yang mungkin tidak akan pernah kita tahu. Itu yang membuat hasil tidak akan pernah bisa kita kendalikan.

Selain itu, terkadang ketika akan mencoba sesuatu, kita sudah khawatir duluan dengan bagaimana hasilnya nanti. Sudah, yang penting usaha dulu, gimana hasilnya urusan nanti. Mong itu enggak bisa kita kendalikan, buat apa terlalu dipusingkan.

Oleh karena itu, ada baiknya kita memfokuskan perhatian kita terhadap apa yang bisa kita kendalikan. Cukup fokus berusaha dan berdoa sebaik mungkin. Setelah itu, kita hanya bisa mempasrahkan diri kepada Tuhan tentang hasilnya.

Penutup

Salah satu alasan mengapa Penulis begitu tertarik dengan stoisme adalah karena Penulis merasa penerapannya sesuai dengan agama Penulis. Di dalam agama, kita diminta untuk berusaha dan berdoa, lantas berpasrah diri kepada Tuhan.

Hidup yang tidak sesuai dengan ekspektasi memang menyebalkan. Seperti kata orang, mau sebagus apapun manusia merencanakan, tetap Tuhan yang menentukan. Maka, buat apa kita terlalu memusingkan jika hasil yang kita terima tidak sesuai dengan keinginan?

Tentu manusiawi jika ada perasaan kecewa dan sedih jika hal tersebut terjadi. Namun, jangan terlalu berlarut-larut. Lebih baik kita mempersiapkan diri, sesuatu yang bisa kita kendalikan, untuk melanjutkan hidup. Usaha itu bisa kita kendalikan, hasil tidak.


Lawang, 4 Juli 2023, terinspirasi setelah menyadari kalau hasil, dalam apa pun, berada di luar kendali kita

Foto Featured Image: Andrew Neel

Continue Reading

Facebook

Tag

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan