Semenjak ada TikTok, banyak platform yang berlomba-lomba membuat konsep layanan yang serupa, di mana muncul video dengan durasi yang relatif singkat dan memiliki algoritma candu agar user terus melakukan scrolling.
Contoh mudahnya adalah Instagram dengan Reels-nya dan YouTube dengan Shorts-nya. Bahkan, terkadang konten yang berada di dua layanan tersebut adalah konten yang telah di-publish di TikTok.
Karena konsepnya yang unlimited scroll, kita pun kerap tak sadar hingga lupa waktu kalau sudah melakukan scrolling dan kerap dijadikan pelarian ketika kita sedang ada masalah atau sedang stres. Hanya saja, aktivitas ini bisa dibilang sebagai pelarian yang buruk.
Data Pribadi Kita “Dijual”
Seperti yang sudah pernah Penulis bahas di tulisan Dilema (Media) Sosial Kita, kita sudah dijadikan komoditas oleh para perusahaan media sosial tersebut. Data pribadi kita digunakan untuk “dijual” kepada pengiklan yang ingin mendapatkan target pasar terbaik.
Dari mana media sosial bisa mendapatkan data tersebut? Dari aktivitas kita sehari-hari ketika menggunakan media sosial. Media sosial dapat mengetahui postingan apa yang kita beri like ataupun postingan yang membuat kita betah untuk melihatnya dalam waktu yang lama.
Artinya, semakin lama kita menggunakan media sosial, semakin banyak pula data yang bisa mereka kumpulkan untuk menyimpulkan apa behaviour kita. Ketika behaviour kita sudah diketahui, mereka bisa memutuskan konten iklan apa yang cocok untuk kita.
Fitur-fitur short video yang bisa di-scroll tanpa batas tersebut, besar kemungkinan digunakan untuk mengumpulkan data behaviour tersebut dengan lebih masif lagi. Algoritma candu yang dimiliki pun akan terus menyesuaikan diri untuk menampilkan video-video yang kita sukai agar kita semakin lama menggunakannya.
Apalagi, kegiatan scrolling tersebut dapat menghabiskan waktu tanpa kita sadari karena seolah tidak ada habisnya (dan memang tidak ada habisnya). Sebagai aktivitas yang mudah dilakukan, kita akan begitu terbuai dan terlena dengan fitur ini.
Permasalahannya, kita (termasuk Penulis) kerap menjadikan aktivitas ini sebagai “pelarian” ketika sedang lelah, ada masalah, stress, dan lain sebagainya. Menurut Penulis, berdasarkan pengalamannya sendiri, ini adalah pelarian yang sangat buruk jika tidak dibatasi.
Pikiran yang Entah Lari ke Mana
Penulis menemukan istilah mindless scrolling yang menggambarkan aktivitas kita yang memang melakukan scrolling di layar smartphone, tetapi pikiran kita kerap “kosong” dan tidak mindfulness.
Berdasarkan video yang diunggah oleh GCFLearnFree.org di YouTube, aktivitas ini dianggap sama dengan sebuah percobaan pada seekor tikus. Di dalam kandang, si tikus diberi sebuah tombol yang sesekali mengeluarkan makanan.
Karena mengetahui bahwa jika tombol yang ia tekan akan menghasilkan makanan, walaupun tidak tentu berapa kali harus ditekan, si tikus pun akan terus menekan tombol terus hingga perutnya merasa kenyang.
Kita pun seperti itu. Ketika sedang melakukan scrolling di media sosial, kita akan terus melakukan scrolling sampai merasa menemukan apa yang kita inginkan. Terkadang kita menemukan konten yang kita sukai, baik konten lucu, menghibur, edukatif, dan lain sebagainya.
Setelah menemukannya, kita akan kembali melanjutkan aktivitas tersebut sampai menemukannya lagi. Begitu seterusnya. Karena berharap menemukan sesuatu yang kita sukai lagi, di sanalah mindless scrolling dimulai.
Bedanya dengan ketika kita nonton video biasa seperti di YouTube, kita tahu apa yang kita tonton. Fitur short video ini menghadirkan elemen “kejutan” karena kita tidak tahu video apalagi yang akan kita tonton selanjutnya.
Ini yang menjadi alasan lainnya mengapa fitur ini membuat kita betah menggunakannya. Kita dibuat penasaran dan bertanya-tanya, video apa yang akan muncul selanjutnya?
Alasan Mengapa Mindless Scrolling Jadi Pelarian yang Buruk
Media sosial yang menyediakan fitur infinity short video bisa dianggap berbahaya jika penggunanya tidak tahu kapan harus berhenti melakukan scrolling. Mungkin kita akan berhenti ketika merasa bosan, tapi ketika merasa bosan kita akan mulai melakukan scrolling lagi. Lingkaran setan.
Akibatnya, kita pun menghabiskan waktu begitu banyak di depan layar tanpa disadari. Yang awalnya cuma niat cek setengah jam, membengkak menjadi tiga jam. Sifat adiktif yang dimiliki fitur ini memang benar-benar mengerikan.
Karena kecanduan yang diakibatkan oleh scrolling media sosial ini, kita pun akan merasa bingung jika kita tidak memegang smartphone. Rasanya seolah kita takut ketinggalan suatu informasi walaupun seringnya kita melupakan apa yang sudah kita lihat ketika scrolling.
Nah, tidak bisa mengingat apa yang kita lihat ketika scrolling adalah salah satu ciri mindless scrolling. Ketika ditanya apa video pendek yang paling berkesan atau bermanfaat satu minggu yang lalu, kita pasti akan kesulitan untuk mengingatnya.
Mindless scrolling bisa membuat hidup jadi berantakan. Bayangkan ketika bangun pagi kita langsung scrolling. Kalau kelamaan, kita bisa telat pergi ke kantor atau sekolah. Ketika mau tidur, scrolling lagi sampai dini hari dan akibatnya telat bangun pagi.
Karena sudah membuang waktu, banyak pekerjaan yang seharusnya diselesaikan jadi tertunda. Ketika menunda pekerjaan, kita merasa tidak produktif dan merasa bersalah. Karena merasa bersalah, mood jadi memburuk dan memutuskan kabur dengan cek media sosial lagi.
Inilah alasan mengapa mindless scrolling menjadi pelarian yang sangat buruk. Aktivitas ini membuang waktu kita yang berharga dan bisa menimbulkan perasaan bersalah yang menyiksa mental, tanpa benar-benar merasa terhibur atau mendapatkan manfaat.
Penutup
Penulis benar-benar merasa kalau mindless scrolling adalah aktivitas yang berbahaya jika tidak dibatasi. Oleh karena itu, Penulis memasang timer dalam satu hari berapa lama boleh menggunakan media sosial.
Penulis sudah menghapus aplikasi TikTok karena merasa lebih banyak buruknya daripada positifnya bagi diri Penulis. Namun, masih ada Instagram Reels dan YouTube Shorts. Oleh karena itu, Penulis beri batasan masing-masing aplikasi sebanyak 15 menit per hari.
Kadang, Penulis memberikan tambahan waktu sebanyak 10 menit. Tak jarang juga Penulis “nakal” dan memutuskan untuk tidak memberi batasan waktu untuk hari ini. Akan tetapi, Penulis benar-benar berusaha untuk membatasi penggunaannya dalam keseharian.
Bagaimana dengan mindless scrolling sebagai bentuk pelarian? Penulis sangat menyarankan untuk mencari pelarian lain yang lebih baik. Olahraga, meditasi, menulis jurnal, mendekatkan diri ke Tuhan, bersosialisasi, ada banyak cara pelarian yang sebenarnya jauh lebih baik dan bermanfaat.
Kalau Penulis, biasanya Penulis akan beralih ke menulis blog, membaca, mendesain board game, membersihkan kamar, main game (jangan berlebihan juga!), dan lain sebagainya. Penulis bahkan memilih untuk diam dan sibuk dengan pikirannya sendiri ketika merasa bosan karena tidak bisa mengecek smartphone-nya.
Penulis merasa sangat yakin, pelarian dengan mindless scrolling lebih banyak negatifnya. Lebih baik, alokasi waktunya kita alihkan ke sesuatu yang lebih bermanfaat, yang bisa membuat diri ini menjadi lebih baik lagi.
Lawang, 21 Oktober 2021, terinspirasi setelah menyadari kalau mindless scrolling adalah pelarian yang sangat buruk
Foto: Solen Feyissa on Unsplash
Sumber Artikel:
You must be logged in to post a comment Login