Renungan
Sungguh, Berharap ke Manusia Itu Benar-Benar Mengecewakan

“Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia.”
-Ali bin Abi Thalib-
Sebagai makhluk yang lemah dan penuh kekurangan, berharap kepada sesama manusia menjadi sesuatu yang sangat lumrah. Dalam keseharian kita, tak pernah luput dari aktivitas tersebut.
Hanya saja, terkadang kita tidak sadar ketika sedang menaruh harapan kita kepada orang lain. Setidaknya, Penulis merasa seperti itu hingga pada akhirnya tersadar dalam satu titik dan membuat dirinya melakukan refleksi diri tentang apa itu berharap kepada manusia.
Mari kita renungkan. Ketika kita menolong seseorang, apakah kita berharap ia membalas kebaikan kita atau apa yang kita lakukan tanpa pamrih? Apakah kita sebenarnya berharap setidaknya yang ditolong memberikan respons yang baik?
Ketika kita berhasil mengerjakan pekerjaan di tempat kerja dengan baik, apakah kita berharap mendapatkan pujian dan bonus dari atasan? Apakah kita sebenarnya berharap kalau derajat kita di mata kolega kantor menjadi lebih tinggi?
Ketika kita merasa membutuhkan pertolongan dari orang lain, apakah kita benar-benar menggantungkan diri kepada orang tersebut? Apakah kita sebenarnya lupa kalau yang bisa menolong kita hanyalah Tuhan, yang bisa menolong lewat perantara apapun?
Ketika kita berbuat baik di lingkungan, apakah kita berharap akan disanjung oleh para warga yang melihatnya? Apakah kita sebenarnya melakukannya hanya demi terlihat baik di mata orang lain dan melupakan esensi dari perbuatan baik yang dilakukan.
Ketika kita menyayangi seseorang, apakah kita berharap ia akan menyayangi kita juga? Apakah kita ingin diperlakukan oleh dia sebagaimana kita memperlakukan mereka? Apakah kita sebenarnya hanya menuruti hawa nafsu semata yang berkedok cinta?
***
Itu adalah beberapa contoh bentuk “berharap kepada manusia” yang setidaknya Penulis sadari pernah (dan mungkin masih) dilakukan. Memang kesannya semua hal tersebut manusiawi dan wajar saja jika terjadi. Namanya juga manusia.
Namun, Penulis menyadari bahwa berharap kepada manusia dalam bentuk apapun kerap kali menimbulkan perasaan kecewa, jika harapan tersebut tidak terwujud. Bahkan, tak jarang jika hal tersebut justru berbalik menjadi hal yang buruk ke kita.
Contohnya, kita berharap kepada kawan kita untuk menolong kita. Ternyata, kita justru dimanfaatkan demi kepentingannya sendiri. Orang yang kita percayai sebegitu tingginya, ternyata menusuk kita dari belakang. Ia menghancurkan harapan kita begitu saja.
Kita berharap ke sesama manusia begitu tinggi, sehingga seolah melupakan adanya peran Tuhan dalam kehidupan kita. Memang, pada prakteknya rasanya hampir mustahil kita tidak berharap kepada manusia.
Rasanya sulit untuk tidak berharap mendapatkan bonus jika target di tempat kerja berhasil dicapai sebelum tenggat dan kita selalu bekerja melebihi workload yang diberikan. Rasanya sulit untuk berbuat baik tanpa mendapatkan apresiasi yang cukup.
Hampir mustahil rasanya kita tidak berharap dicintai oleh orang yang kita cintai. Perasaan kompleks yang dimiliki oleh manusia ini sangat “haus” akan balasan, sehingga rasanya sulit untuk bisa mencapai level “menyayangi dengan ikhlas” dan tidak mengharapkan balasan.
Yang ingin Penulis ingatkan untuk dirinya sendiri di tulisan ini adalah, setidaknya, mampu mengurangi kadar berharap ke manusia. Penulis ingat kalau sebagai sesama manusia, kita ini sama-sama makhluk yang lemah dan penuh dengan kekurangan.
Mengapa tidak berharap ke entitas yang Maha Kuat dan Maha Kuasa, yakni Tuhan? Secara logika, tentu kita seharusnya berharap kepada sesuatu yang lebih kuat dari kita, bukan kepada yang satu level atau bahkan lebih rendah levelnya dari kita.
Ketika kita menolong orang atau berbuat baik, lebih baik kita niatkan untuk mendapatkan rida dari Tuhan. Ketika kita melakukan pekerjaan dengan baik, niatkan untuk mendapatkan rida dari Tuhan. Ketika mencintai seseorang, niatkan untuk mendapatkan rida Tuhan.
Penulis bukan tipe orang yang super religius yang keimanan dan ketakwaannya sudah selangit sehingga sudah tidak pernah berharap ke manusia. Justru, Penulis menulis artikel ini karena merasa dirinya masih sangat sering berharap kepada sesama manusia.
Semoga saja setelah menulis artikel ini, Penulis (dan Pembaca sekalian) bisa mulai mengurangi harapannya kepada sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, tentu kita tetap saling membutuhkan dan melakukan interaksi seperti pada umumnya.
Namun, sebisa mungkin kita tidak menggantungkan harapan apapun kepada sesama manusia. Selain karena lebih banyak membuat kecewanya, ada Tuhan yang lebih layak kita gantungkan harapan kepada-Nya.
Lawang, 11 April 2023, terinspirasi setelah menyadari (lagi) kalau berharap ke sesama manusia itu mengecewakan
Foto: cottonbro studio
Renungan
Jika Kita Ada di Kursi Mereka, Apakah Kita akan Tetap Berisik?

Ini adalah tulisan keempat secara beruntun yang membahas tentang isu masyarakat vs pemerintah yang memanas dalam beberapa minggu terakhir. Mungkin ini akan jadi penutup, sehingga akan Penulis gunakan sebagai bahan renungan bersama.
Meskipun masih terpolarisasi karena hal yang remeh, Penulis melihat kita sebagai rakyat cukup bersatu dalam aksi sepanjang akhir Agustus hingga awal September kemarin. Pasti ada yang masih pro pemerintah, tapi rasanya kali ini mereka minoritas, atau memang enggak kelihatan aja.
Kita bisa bersatu seperti itu karena kita merasa punya “musuh” yang sama, di mana di sini adalah pemerintah terutama DPR yang jadi sasaran utama, maupun pihak pengamanan yang dinilai terlalu brutal hingga ada yang tewas.

Bisa dibilang, saat ini kita sama-sama sedang “menggonggong” untuk menuntut keadilan, apalagi setelah melihat angka fantastis yang diterima oleh para pejabat di saat kehidupan masyarakat sedang sulit, di saat PHK di mana-mana dan ekonomi terasa berat.
Namun, di satu sisi, Penulis jadi merenungkan satu pertanyaan: jika kita berada di dalam menjadi bagian dari pemerintah, apakah kita akan tetap berisik seperti sekarang atau justru diam-diam saja sembari menikmati segala fasilitas dan tunjangan yang diberikan?
Katanya, Pemerintah Itu Cerminan Rakyatnya

Ada yang bilang, pemerintah itu cerminan rakyatnya. Pemerintah itu rata-rata masyarakatnya. Jadi, jangan-jangan alasan kita mendapatkan kualitas pemerintah yang seperti itu, ya karena kita seperti itu, hanya saja belum mendapatkan kesempatan seperti mereka saja.
Hal ini langsung dicontohkan dari kasus penjarahan yang terjadi pada rumah beberapa anggota DPR, yang dijadikan sebagai sasaran karena pernyataan kontroversial yang keluar dari mulut mereka.
Di satu sisi, Penulis menganggap kejadian tersebut adalah konsekuensi dari apa yang sudah dikatakan atau dilakukan. Namun, di sisi lain, aktivitas penjarahan juga tidak bisa dibenarkan karena mengambil apa yang bukan hak kita.
Ada yang membalas bahwa pemerintah selama ini juga menjarah rakyat, bahkan alam Indonesia pun ikut dijarah. Namun, membandingkan dua hal yang buruk tidak membuat salah satunya menjadi baik. Membandingkan dua hal haram, tidak membuat salah satunya menjadi halal.
Banyak orang di pemerintahan yang korupsi, mungkin di keseharian kita pun masih melakukan korupsi kecil-kecilan, baik disadari maupun tidak. Anggota dewan tidur ketika kerja, mungkin kita di kantor pun terkadang curi-curi waktu untuk tidur siang.
Intinya, kita boleh dan bahkan harus bersuara apabila melihat ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak pemerintah. Kita harus tetap “menggonggong” dan mengawasi kerja pemerintah, yang gaji dan tunjangannya berasal dari pajak yang kita bayarkan.
Kalau kita diam saja dan memilih apatis, maka pemerintah bisa makin “sesuka hati” dalam membuat kebijakan. Tentu kita tidak lupa, bagaimana ada beberapa kebijakan yang dibuat dalam waktu kilat jika itu menguntungkan pihak tertentu.
Namun, jangan lupa untuk menengok ke dalam juga, tanyakan kepada diri sendiri apakah kita sudah benar-benar “bersih” dan tidak melakukan hal buruk yang dilakukan oleh pemerintah. Tanyakan kepada diri sendiri, jika kita di dalam, apakah kita akan tetap berisik seperti ketika di luar?
Meskipun kita memiliki banyak kekecewaan atau kekesalan terhadap pemerintah, jangan sampai membuat diri kita merasa paling suci atau lebih baik dari mereka. Daripada seperti itu, alangkah lebih baik kalau kita melihat ke dalam diri sendiri.
Memosisikan Diri Sebagai Kontrol Pemerintah

Ketika membaca kolom komentar untuk konten yang bermuatan politik, Penulis sering menemukan komentar senada yang berbunyi, “jangan ngomong doang, coba buktiin kalau lu lebih bagus dari yang lu kritik!”
Menurut Penulis, komentar seperti ini cukup sesat. Kita mengkritik sebagai rakyat, mengkritik pemerintah (entah eksekutif maupun legislatif) yang memang pekerjaannya adalah menyelesaikan berbagai masalah yang ada di negara ini.
Nah, mereka kan udah dibayar nih buat jadi pejabat, masa iya kita juga yang menyediakan solusinya? Kita ini memang berfungsi sebagai pengawas agar pemerintah bisa terkontrol dan tidak seenaknya sendiri, lha kok malah ditambahi kerjaan sebagai penyedia solusi.
Mungkin akan ada komentar juga yang intinya menyuruh kita masuk ke dalam pemerintahan dan ubah dari dalam. Ini ada benarnya, tapi kalau sistemnya sudah rusak, bisa-bisa kita yang akhirnya malah terbawa arus. Mau seidealis seperti apa pun, pasti sulit.
Bahkan, komika Pandji Pragiwaksono dalam sebuah acara di Metro TV sempat berujar yang intinya “kalau semua yang berisik masuk, ntar nggak ada yang mengonggong dari luar, dong?” Buktinya banyak aktivis ’98 yang sekarang di kursi pemerintahan, eh ya udah berubah tuh.
Jadi, mungkin bukan pilihan yang salah jika kita memilih untuk tetap di luar tanpa berniat masuk ke dalam. Jika di luar, kita akan lebih bebas bersuara untuk diri sendiri dan masyarakat, bukan bersuara untuk partai yang telah mengusung kita.
Lawang, 11 September 2025, terinspirasi setelah Penulis merasa selama ini lebih banyak melihat sisi buruk pemerintahan Prabowo Subiyanto dan jarang mengulik “prestasinya”
Foto Featured Image: Detik
Renungan
Merenungi Manusia Primitif yang Masih Hidup di Era Modern

Dalam tulisan “Manusia adalah Makhluk Paling Berbahaya di Dunia Ini”, Penulis sudah menjabarkan tentang bagaimana kita ini adalah ancaman paling nyata, baik bagi makhluk hidup lain maupun sesama manusia.
Pada salah satu poin, Penulis juga menjelaskan bagaimana manusia tanpa segan menghabisi manusia lain dengan berbagai alasan, walau ketamakan jelas jadi salah satu faktor utamanya. Alhasil, bangsa-bangsa yang kalah harus menepi demi keselamatannya.
Menariknya, mereka ini terus bisa mempertahankan peradabannya walau terisolasi dari dunia lain. Melalui kacamata kita, mereka terlihat sebagai bangsa primitif yang hidup di era modern yang serba canggih. Keberadaan mereka ini membuat Penulis jadi merenung.

Bagaimana Kehidupan “Manusia Primitif” Terputus dari Kehidupan Modern

Melalui video dokumenter yang sama dari artikel “Manusia adalah Makhluk Paling Berbahaya di Dunia Ini”, Penulis jadi menyadari bahwa di dalam hutan Amazon, masih ada banyak native tribe yang seolah mencerminkan kehidupan beribu-ribu tahun yang lalu.
Penulis juga menemukan fakta tentang Man in Hole. Singkat cerita, ia adalah orang terakhir dari salah satu suku yang menghuni hutan Amazon, setelah anggota sukunya yang lain telah tewas terbunuh akibat konflik agraria yang terjadi di Brazil.
Hidupnya yang nomaden seumur hidupnya terpaksa ia lakukan demi bertahan hidup. Ketika mengetahui fakta ini, Penulis jadi berempati dengannya dan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi “orang terakhir” dari sukunya sebelum akhirnya ia juga meninggal.
Keberadaan mereka, yang pernah (dan mungkin masih) terancam karena peradaban manusia yang lebih modern, terlihat seolah timeline mereka tidak pernah maju dan memutus kehidupan mereka dengan dunia luar. Teknologi yang mengubah peradaban manusia tak pernah menyentuh mereka.
Sebenarnya tak perlu jauh-jauh ke Brazil yang berada di belahan bumi lain. Di Indonesia pun, yang terdiri dari banyak sekali suku, masih banyak yang menjalani kehidupan primitif dan tinggal di dalam hutan, jauh dari peradaban modern.
Secara manusiawi, kita pasti merasa “kasihan” dengan kehidupan yang seperti itu. Namun, pantaskan mereka dikasihani? Atau justru sebenarnya kita yang patut dikasihani?
Apakah Kita Lebih Bahagia dari Manusia Primitif?

Mungkin Mereka Lebih Bahagia dari Kita (Scientific American)
Belum lama ini, Penulis juga membuat artikel berjudul “Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri”. Teknologi dan berbagai ciptaan kita memang sangat membantu memajukan peradaban, tapi di sisi lain memiliki efek negatif karena mengakibatkan ketergantungan.
Kita akan kesulitan hidup tanpa smartphone, internet, listrik, dan lain sebagainya. Mati listrik beberapa jam saja sudah menderita setengah mati, seolah tidak ada aktivitas offline yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu sembari menunggu listrik kembali nyala.
Nah, tentu “penderitaan” seperti ini tidak pernah dialami oleh manusia primitif. Mereka telah terbiasa hidup berpijak tanah dan beratapkan langit. Mereka tak pernah berjumpa dengan listrik, apalagi internet, dan hidup mereka bisa baik-baik saja dari generasi ke generasi.
Kita dalam peradaban modern kerap dibuat stres dengan berbagai tekanan, yang bisa berupa tuntutan pekerjaan, kewajiban mencari uang untuk melanjutkan hidup, tarikan pajak yang tak masuk akal dari pemerintah, dan lain sebagainya.
Sekali lagi, tekanan seperti ini rasanya tidak dialami oleh manusia primitif. Mereka tidak mengenal adanya KPI, kalau lapar ya langsung berburu atau berkebun. Mereka tidak dibingungkan dengan tatanan dunia yang makin ke sini makin uangsentris.
Para manusia primitif tampaknya juga tak pernah memikirkan gengsi seperti manusia modern, yang kerap ditampilkan melalui gaya hidup mereka. Tanpa pakai baju pun, mereka tetap sehat-sehat saja, walau manusia terutama di barat juga semakin jarang menggunakan baju.
Dengan beberapa contoh tersebut, apakah kita masih bisa berpikir kalau kehidupan kita lebih baik dari kehidupan mereka?
Penutup
Lantas, apakah renungan di atas membuat Penulis ingin hidup seperti manusia primitif? Tentu tidak. Penulis besar dengan kehidupan modern, sehingga penyesuaian untuk hidup seperti mereka akan menjadi penderitaan yang luar biasa.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan insight bahwa di kehidupan modern yang serba digital ini, masih ada kehidupan terbelakang di sudut-sudut dunia ini. Walaupun begitu, belum tentu kita lebih bahagia dibandingkan mereka. Bisa jadi, mereka jauh lebih bahagia dengan kehidupannya.
Penulis merasa bersyukur dengan kehidupan yang telah diberikan Tuhan kepada dirinya, walau terkadang masih ada perasaan iri kepada manusia primitif yang tampaknya bisa hidup lebih tenang dibandingkan kebanyakan manusia modern.
Lawang, 1 Desember 2024, terinspirasi setelah menonton video dokumenter tentang hutan Amazon yang menjadi rumah bagi penduduk asli Amerika
Foto Featured Image: AP News
Sumber Artikel:
Renungan
Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri

Saat ini, Penulis sedang membaca buku Filsafat Moral karya Fahruddin Faiz, setelah sebelumnya menyelesaikan buku Filsafat Kebahagiaan (ulasan menyusul). Nah, ketika membaca bagian Hans Jonas, Penulis menemukan sesuatu yang menarik.
Dalam salah satu subbabnya, Faiz menjabarkan “Situasi Apokaliptik Teknologi” yang pernah disinggung oleh Jonas. Intinya, teknologi-teknologi yang diciptakan oleh manusia berpotensi mengakibatkan kiamat bagi peradaban manusia.
Menurut Jonas, semakin manusia mengembangkan teknologi, mereka semakin tidak mampu menguasai teknologi yang mereka ciptakan (hal. 79). Tanda-tandanya makin ke sini makin terlihat, di mana manusia semakin diperbudak oleh teknologi buatannya sendiri.

Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri

Diperbudak oleh Ciptaan Sendiri (cottonbro studio)
Ketika menuliskan opening di atas, teknologi apa yang pertama kali terlintas di pikiran? Mungkin mayoritas jawabannya adalah smartphone, internet, hingga media sosial. Jawaban itu benar, tapi yang memperbudak kita jauh lebih banyak dari itu.
Ketiga hal yang Penulis sebut di atas jelas telah menjadi keseharian kita. Pernah terbayang satu hari tanpa ketiganya? Rasanya kita sudah begitu tergantung kepadanya sehingga rasanya tak mungkin hidup tanpa ketiganya.
Sekarang bayangkan seandainya dunia tiba-tiba mengalami Internet Apocalypse, di mana tiba-tiba tidak ada lagi internet di dunia. Selain smarpthone kita menjadi nottoosmartphone, media sosial pun tak bakal bisa akses.
Lebih gawatnya lagi, kalau yang bekerja remote seperti Penulis, jelas kehilangan pekerjaan akan terjadi. Semua harus kembali manual seperti puluhan tahun yang lalu, dunia di mana belum ada internet.
Namun, sebenarnya ciptaan kita yang memperbudak tak hanya sebatas itu. Internet hanyalah sebagian kecil saja. Contoh lain yang tak kalah menyusahkan seandainya tiba-tiba lenyap adalah listrik. Seandainya internet tak hilang pun, akan percuma jika tidak ada listrik.
Bayangkan, tak ada tempat untuk menyimpan makan seperti kulkas, tak ada lampu untuk penerangan di malam hari, tak ada mesin cuci untuk membersihkan pakaian, tak ada komputer untuk bekerja, dan masih banyak lagi hal yang tak akan bisa kita lakukan.
Contoh lain, bayangkan dunia tanpa bensin. Kendaraan semewah Ferrari atau Lamborghini pun akan menjadi mesin yang tidak bisa melakukan apa-apa. Manusia diberi pilihan mau mengendarai kuda atau sepeda untuk bisa mencapai tujuan dengan cepat.
Jangan lupa, uang yang merupakan alat ciptaan manusia untuk mempermudah transaksi pun juga telah memperbudak kita sejak lama. Tentu Pembaca sudah bosan mendengar berita tentang bagaimana serakahnya manusia demi mendapatkan uang.
Manusia rela melakukan banyak hal tercela untuk bisa mendapatkan uang, yang ia gunakan untuk memenuhi hawa nafsunya yang tak berbatas. Kalau perlu menyengsarakan manusia satu negara, mereka akan melakukannya tanpa peduli sama sekali.
Contoh-contoh di atas rasanya sudah cukup memberikan gambaran bagaimana kita manusia sudah diperbudak dan dibuat ketergantungan dengan ciptaan kita sendiri. Apalagi, kita baru akan memasuki era AI yang tampaknya akan dengan mudah membuat kita ketergantungan.
Lantas, Apa yang Harus Kita Lakukan?

Apa Kita Siap Hidup Tanpa Internet? (YouTube)
Kita sekarang mengetahui bahwa manusia diperbudak oleh ciptaannya sendiri? Lantas, apa yang harus kita lakukan sebagai manusia agar tidak diperbudak oleh ciptaannya sendiri? Apakah kita harus kembali hidup ala zaman batu ketika kita belum menemukan apa-apa?
Kalau Penulis, rasanya sekarang kita berada di situasi yang hampir tidak memungkinkan untuk lepas seutuhnya segala hal yang telah kita ciptakan. Tak mungkin juga kita mengambil langkah ekstrem dan meninggalkan semua teknologi yang ada.
Menurut Penulis, apa yang dimaksud dari peringatan Hans adalah bagaimana kita sebagai manusia harus selalu ingat kalau teknologi yang kita buat adalah alat yang harus kita kendalikan, bukan kita yang justru oleh dikendalikan.
Sesederhana contoh media sosial, jangan mau kita terus diperbudak dengan terus melakukan scrolling tanpa batas dan membuat diri kita menjadi komoditas platform untuk dijual ke pengiklan. Kita harus bisa mengontrol durasi penggunaan media sosial kita.
Penggunaan listrik pun ada baiknya kita kontrol dengan bijaksana. Jangan di siang hari kita menyalakan semua lampu padahal ruangan cukup terang. Jangan mentang-mentang kita bisa bayar, lantas membuang-buang energi seperti itu.
Para ilmuwan atau siapapun itu yang telah menciptakan berbagai hal memang membuatnya untuk mempermudah kehidupan kita sebagai manusia. Kita harus berterima kasih kepada mereka karena hidup kita menjadi lebih mudah karena ciptaan-ciptaan mereka.
Selain itu, jangan sampai kita sebagai manusia justru akan dimusnahkan oleh ciptaan kita sendiri. Kepandaian manusia justru digunakan untuk membuat senjata pemusnah massal. Namun, itulah realita yang sedang terjadi saat ini.
Kutipan yang diucapkan oleh Jonas juga bisa diartikan bahwa ada masanya manusia akan membuat senjata yang ternyata tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Contoh mudahnya, lihat saja Ultron yang dihadapi oleh para Avengers.
Semoga saja hal tersebut tidak pernah terjadi, baik di masa kini maupun di masa depan. Semoga manusia cukup bijak untuk memanfaatkan ciptaan-ciptaannya. Jangan sampai kehidupan di bumi ini rusak hanya karena kita tidak mampu mengendalikan apa yang kita ciptakan.
***
Lawang, 29 November 2024, terinspirasi ketika membaca buku Filsafat Moral karya Fahruddin Faiz
-
Fiksi12 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Anak-Anak Semar
-
Anime & Komik11 bulan ago
Ai Haibara adalah Karakter Favorit Saya di Detective Conan
-
Non-Fiksi11 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan
-
Renungan11 bulan ago
Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri
-
Non-Fiksi11 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca The Book of Everyday Things
-
Musik11 bulan ago
Tier List Lagu-Lagu di Album “From Zero” Versi Saya
-
Permainan11 bulan ago
Koleksi Board Game #27: Here to Slay
-
Olahraga11 bulan ago
Kok Bisa, ya, Ada Klub Enggak Pernah Menang Sampai 7 Kali
You must be logged in to post a comment Login