Connect with us

Leon dan Kenji (Buku 1)

Chapter 1 Panggung Komedi

Published

on

Aku menatap diriku sendiri melalui cermin di kamarku. Lihatlah, betapa konyolnya penampilanku. Betapa aku harus menjatuhkan harga diriku hanya demi menjadi anak SMA, di mana kata orang-orang adalah masa yang paling menyenangkan. Aku tak terlalu peduli dengan hal itu, yang kupedulikan hanyalah bagaimana aku bisa lulus dari sana secepat mungkin dengan menjadi lulusan terbaik. Dengan kemampuan otakku, hal tersebut bukanlah hal yang susah bagiku.

Kepandaian ditambah ketekunanku dalam belajarlah yang membuatku berhasil memasuki kelas akselerasi di sekolah idamanku, SMA Negeri 1 Lawang. Mengapa aku tidak sekolah di kota saja? Tidak, aku memilih di sini dan mengalahkan anak-anak kota. Lagipula sekolah ini dekat dengan rumahku, faktor kedua aku memilih sekolah ini. Dan faktor yang ketiga, sebagai orang yang hidup tanpa orang tua, murahnya biaya bersekolah menjadi alasan yang penting.

Sejak kemarin malam aku sudah sibuk ini itu hanya untuk mempersiapkan MOS, Masa Orientasi Siswa. Baru kali ini aku diperintah untuk membawa begitu banyak barang-barang aneh, ditambah dengan penampilan dari atas hingga bawah yang seolah mencerminkan anak teladan. Dengan berat hati aku menuruti perintah tersebut, toh hanya beberapa hari aku harus menuruti perintah sekolah. Setelah menatap cermin sekali lagi, aku melangkah keluar rumah tanpa senyum, karena memang aku tak pernah tersenyum.

Sengaja aku berangkat lebih pagi karena aku ingin menjadi yang pertama masuk kelas. Alasannya sederhana, aku tidak pernah mau kalah dari siapapun, bahkan untuk hal sepele seperti ini. Sikap yang membuatku memiliki sifat yang keras dan membuatku dijauhi oleh orang lain. Tidak masalah, aku telah bertahan hidup sejauh ini tanpa bantuan orang tua, aku tak butuh bantuan orang asing. Aku yakin bisa melakukan semuanya sendirian, toh aku tak percaya pada siapapun. Siapapun.

Aku merasa tidak sabar ingin mengetahui bagaimana pelajaran anak SMA karena aku selalu menjadi juara di waktu SMP. Rasanya ingin aku menjadi ilmuwan seperti Isaac Newton atau Albert Einstein. Namun karena senang dengan pelajaran Biologi, mungkin aku akan menjadi Louis Pasteur baru. Intinya, aku akan menjadi seperti mereka untuk membuktikan bahwa aku sama hebatnya dengan mereka.

Sekitar 10 menit kemudian aku sudah sampai di gerbang selatan sekolah ini. Ada dua anggota OSIS yang bersiaga di depan gerbang, laki-laki dan perempuan. Mereka memasang wajah garang, wajah yang dipasang untuk mengintimidasi murid-murid baru. Maaf saja, hal seperti itu tidak akan berhasil menakutiku.

“Cepat masuk dek!” sentak salah satu dari mereka. Tanpa kuhiraukan aku terus masuk ke dalam sekolah tanpa memberi salam

“Kamu enggak beri salam!” sentak yang satu lagi

“Ya, pagi.” kujawab mereka dengan ogah-ogahan. Kulihat mereka kebingungan karena aku sama sekali tidak takut pada mereka.

“Kamu anak baru disini, jadi jangan sok!” ujar perempuan dengan kacamata tebal dan rambut sebahu.

“Saya tidak sok.” jawabku dengan entengnya

“Kamu merasa menjadi jagoan disini?” sekarang laki-laki jangkung itu yang mengajakku bicara.

“Buat apa jadi jagoan di tempat seperti ini?” jawabku sekali lagi dengan entengnya.

Tampaknya laki-laki ini hendak menyerangku lagi dengan kata-katanya, namun dihentikan oleh si peremuan dengan menarik tangannya.

“Sekarang ukur kaus kakinya.” ujar si perempuan.

Dengan sedikit kasar laki-laki itu membuang tangan si perempuan. Lalu diambilnya penggaris yang ada di dekatnya.

“Kurang satu centimeter.” ujarnya dengan nada penuh dengan dendam.

“Tidak mungkin.” jawabku dingin sembari berjalan meninggalkan mereka. Tampaknya mereka memilih untuk diam untuk menahan emosi mereka.

Aku tidak heran pada diriku, bagaimana aku bisa seberani kepada kakak-kakak senior di hari pertamaku ini. Aku memang tidak pernah takut pada siapapun. Aku terlahir sebagai orang yang pemberani, orang yang tidak gentar pada apapun. Gertakan mereka bagiku seperti tangisan bayi yang baru saja lahir. Mungkin di kelas nanti mereka akan balas dendam, tapi aku tidak takut.

Kelasku tidak begitu jauh dari gerbang sekolah, hanya sekitar lima puluh meter. Setelah melewati gerbang, belok kanan melewati tangga -atau lebih tepatnya bekas tangga karena bentuknya sudah tidak karuan- lalu belok kiri. Tertulis di atas pintu kelas “X Akselerasi”. Inilah kelasku, inilah tempatku dimana aku akan memulai kehidupan di sekolah ini.

Sebelum memasuki kelas, aku melihat sekelilingku dulu. Ada aula yang bentuknya sangat jelek, karena masih belum jadi, dua lapangan voli di bawah sana , ada masjid di sebelah aula, taman yang tak terawat, sebelah kelasku ada ruang MPK. Jelas, fasilitas sekolah ini masih sangat kurang dari cukup. Apakah aku menyesal masuk sekolah ini? Tidak, aku bukan tipe orang yang akan menarik kata-katanya sendiri. Seorang lelaki harus berpegang teguh pada pendiriannya.

Lamunanku terpecah oleh suara tawa yang begitu menggelegar dari dalam kelas. Rupanya sudah banyak anak lain yang sudah datang. Aku dikalahkan mereka, kalah datang duluan dibandingkan mereka. Calon teman-teman kelasku, apakah mereka semua bodoh? Mereka anak-anak yang ber-IQ tinggi, namun melakukan hal yang tidak penting seperti tertawa? Penasaran, aku memutuskan untuk masuk ke dalam, bagaimanapun kondisinya aku sudah siap.

Baru sampai di ambang pintu, seorang laki-laki bertampang bodoh sudah menyambutku dengan senyum bodohnya. Memuakkan.

Muhammad Kenji Yasuda, begitu yang kubaca di tanda peserta mosnya, adalah seorang laki-laki yang berpawakan tidak begitu tinggi, dan gemuk. Matanya menyipit karena mungkin dia adalah keturunan Cina, atau Jepang, aku tidak peduli. Gigi yang terlihat mengkilap dan rapi teratur, rambutnya sangat klimis. Pakaiannya sangat rapi, dan sepertinya melaksanakan semua perintah yang dilaksanakan kakak-kakak panitia MOS. Dan yang pasti dia selalu tertawa lebar, hal yang paling kubenci dalam hidup.

Itulah deskripsi awal dari seorang Kenji, jika itu memang panggilannya, begitu aku memasuki kelas ini. Perasaan benci langsung menyelimuti diriku begitu melihat semua anak di kelas tertawa bersamanya. Bukan karena apa-apa, tapi karena perasaan iri. Cemburu akan kebahagiaan yang dirasakannya.

“Hei, ada teman baru lagi.” Kenji menunjukku, dan secara spontan teman-teman lain yang tadi tertawa bersamanya menoleh padaku. Kenji menghampiriku dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

“Perkenalkan, namaku Kenji dan kamu adalah murid ke 13 yang masuk kelas. Jangan menyalahkan dirimu sendiri kenapa kamu datang pada urutan nomor 13 karena memang kami saja yang kepagian datangnya, haha.” Kenji tertawa diikuti tawa teman-teman yang lain.

“Jadi siapa namamu?” Kenji menambahkan.

Kupandang dia dengan sorot mata dingin penuh dengan kebencian.

“Bukan urusanmu.” aku berkata demikian lalu meninggalkannya dan menuju bangku kosong di pojok belakang.

“Oh, ya baiklah, haha, maaf.” terdengar olehku suara yang bergetar karena ketakutan.

“Hei kamu, kenapa kamu begitu kasar? Dia kan hanya ingin berkenalan denganmu.” seorang perempuan berkulit putih dan berambut lurus panjang memandang diriku dengan kemarahan yang dalam.

`           “Diamlah perempuan. Aku tidak butuh omelan darimu.” jawabku dengan nada dingin

“Sudah Sica, jangan dihiraukan.” kata temannya yang memakai kerudung berusaha menenangkannya.

“Kamu punya masalah dengan kami?” seorang bertubuh atletis dan tinggi juga ikut berdiri

“Masalah? Huh, masalah adalah teman setiaku yang selalu mengikuti ke mana pun langkahku pergi.” jawabku enteng

“Hei cowok enggak punya aturan, kita ini sama-sama murid baru. Jangan sok gitu napa?” teriak perempuan berkulit putih itu lagi.

“Kalau kau sudah selesai bicara silahkan berbalik badan karena nampaknya kau cerewet sekali.”

“Saudaraku, siap berkelahi?” kata seorang perempuan tomboy berambut pendek kepada laki-laki yang duduk di depannya. Tampaknya mereka saudara kembar.

“Kapanpun kamu mau, Dea saudariku.” jawabnya sambil mengepalkan tangan

“Sudah-sudah.” Kenji berusaha mendamaikan kami semua. ”Mungkin teman baru kita ini sedang ada masalah, jadi mohon dimaklumi. Hehe.” kata Kenji diiringi tawa, namun wajahnya masih tampak terguncang atas insiden yang kubuat pagi hari ini.

Suasana menjadi lebih tenang, dan itulah yang aku inginkan. Kedatanganku  seolah-olah membuyarkan kesenangan yang dirasakan semua anak di kelas ini. Suasananya menjadi begitu hening, sepi, dan tidak ada tawa-tawa yang sangat menyebalkan. Semua menjadi sangat murung, atau lebih tepatnya menahan emosi. Kuambil kesempatan ini untuk melihat-lihat kelas dari mejaku. Kulihat semua satu per satu sampai aku terlamun tak karuan.

“Pasti bisa, jangan pesimis. Kalau kita yakin, kita pasti bisa.” kata-kata entah dari siapa memecah lamunanku.

“Bagaimana mungkin bisa jika kondisi kelas ini seperti ini…” aku terdiam sebentar, mencari sumber suara yang ternyata berasal dari si dungu itu, lalu berkata ”…bagaimana kau bisa tahu apa yang kupikirkan?” tanyaku dengan herannya sampai-sampai aku lupa bahwa aku kesal dengan dirinya.

“Aku pernah membaca buku, aku lupa siapa pengarangnya. Dia mengatakan bahwa kita bisa melihat apa yang dipikirkan oleh orang lain dengan melihat tingkah laku dan pandangan matanya.” jawabnya kalem sehingga yang lain hanya terdiam, terpesona mendengar penuturannya. Aku sendiri sempat takjub sesaat, namun segera kuhilangkan perasaan itu.

“Kau hanya mengada-ada.” jawabku dengan cueknya.

“Tidak kawanku, aku tidak mengada-ada. Bahkan mungkin kamu lupa bagaimana kamu memulai lamunanmu.” jawabnya dengan tenang.

“Itu bu . .” kata-kataku berusaha menyanggahnya, namun terpotong dengan penuturannya.

“Pertama kamu melihat lurus ke depan, mungkin kamu memperhatikan papan tulis itu, layar proyektornya dan meja guru. Kamu sedikit lama memperhatikan vas bunga itu karena tampak sudah lama. Lalu matamu keliling melihati kelas ini, memperhatikan tembok-tembok yang baru di cat, lalu kepalamu menengadah ke atas melihat langit-langit. Selanjutnya kamu melihat ke bawah, memperhatikan keramik-keramik yang sama sekali tidak menarik. Setelah puas melihat-lihat kelas, kamu memperhatikan semua teman-teman yang ada di kelas ini. Satu-persatu kamu perhatikan, lalu kamu menunduk ke bawah sambil mengepalkan tangan dan kedua alismu mengerut yang menandakan bahwa dirimu tidak puas dengan apa yang ada di dalam kelas ini. Apakah ada kesalahan?” tanyanya menutup pembicaraannya yang panjang.

Aku hanya terdiam mendengarkan hipotesisnya. Benar-benar tepat, tidak ada yang salah sedikitpun. Yang lainnya begitu terkesima mendengar penuturannya yang mendeskripsikan apa yang kupikirkan. Sepertinya mereka menantikan aku mengatakan ‘ya, semua perkataamu benar’, namun aku memilih diam dan berpura mengecek perlengkapan-perlengkapan yang kubawa di dalam tasku.

“Alismu tadi mengisyaratkan iya kawanku.” katanya, dan aku semakin terdiam dan berusaha menyembunyikan wajahku di balik tas sarungku. Yang lain segera berhamburan menghampiri Kenji untuk menanyai ini itu, bagaimana dia bisa mengetahui pemikiran orang lain hanya dengan melihatnya. Aku berusaha untuk tidak mendengarnya, karena pasti memuakkan. Suasana hening kelas telah berganti dengan suasana yang sama ketika aku belum datang. Kelas ini benar-benar seperti panggung komedi.

Leon dan Kenji (Buku 1)

Tentang Para Karakter Lain (Terakhir)

Published

on

By

Tulisan ini adalah bagian terakhir dari episode ektra novel Leon dan Keji. Di sini, penulis akan bercerita tentang karakter lain yang belum dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya.

Malik

Namanya penulis ambil dari musuh Yugi dari komik Yugioh (Marik jika dilihat dari animenya). Ia adalah kakak kelas Leon sekaligus mantan tetangganya. Ia juga bersekolah yang sama dengan Leon sejak SMP.

Malik adalah murid kesayangan guru dan idola banyak murid. Kemampuan otaknya yang cerdas, perilakunya yang santun, ditopang dengan paras yang rupawan membuatnya sering menjadi pusat perhatian.

Akan tetapi, Leon (dan Kenji) beranggapan bahwa semua itu hanyanya kamuflase semata. Di balik topeng ramahnya, Leon berasumsi bahwa Malik adalah orang yang licik dan egosentris. Mungkin Leon menganggap Malik seperti karakter Joker pada serial Batman.

Apakah dugaan Leon benar? Ataukah ternyata Malik memang benar-benar lain? Temukan jawabannya pada buku kedua Leon dan Kenji!

Para Kakak Pembimbing OSIS

Semua anggota OSIS yang penulis munculkan di novel ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Bahkan hingga namanya, walaupun tidak semua penulis ingat.

Dari semua anggota, yang paling menonjol adalah Aan yang pernah mengirim anggota gengnya untuk menghajar Leon karena sikapnya yang ngelamak. Ia juga tipikal orang pendendam dan suka tertawa di atas penderitaan orang-orang yang dibencinya.

Rudi dan Sinta

Keduanya adalah teman masa kecil Leon, yang satu teman SD dan yang satu lagi adalah teman bermain di masa kecilnya. Pertemuan tanpa sengaja mereka terjadi ketika Leon mengikuti kelas ektrakulikuler, di mana ia bertemu dengan Rudi, lantas bertemu dengan Sinta di kantin.

Keduanya memiliki peran besar bagi Leon untuk mengetahui bahwa dirinya secara perlahan bisa berdamai dengan masa lalu dan mencoba memperbaiki hubungan dengan teman-temannya di masa lalu, sesuatu yang dulu terhalang karena kekangan ayahnya.

Paman Anton

Dia adalah adik dari ayah Leon yang sukses bekerja sebagai pengusaha. Meskipun bersaudara, ia memiliki kepribadian yang berbeda 180 derajat. Paman Anton merupakan pribadi yang begitu hangat dan sangat menyayangi keluarga.

Istrinya telah meninggal karena kecelakaan, membuatnya menjadi single parent. Berstatus duda kaya tidak lantas membuatnya menikah lagi. Ia begitu mencintai istrinya sehingga mengurungkan niat untuk menikah lagi.

Sisi buruknya, ia jadi begitu memanjakan anaknya, Bondan, yang belum pernah penulis tampilkan di buku pertama. Pada akhirnya, Bondan menjadi begitu sombong dan gemar memandang rendah orang lain, termasuk kedua sepupunya, Leon dan Gisel.

Namanya sendiri dapat begitu saja, mungkin terinspirasi dari nama tetangga penulis.

Penutup

Bagaimakah kelanjutan kehidupan sekolah Leon? Apakah semuanya berjalan lancar tanpa masalah? Apakah Leon berhasil memecahkan surat misterius yang ia temukan beserta sebuah kotak yang terkunci dengan kombinasi lima angka?

Semua akan terjawab pada novel Leon dan Kenji Buku 2 yang akan rilis pada tanggal 3 Desember 2018. Stay tuned!

 

 

Kebayoran Lama, 19 November 2018

Continue Reading

Leon dan Kenji (Buku 1)

Tentang Para Perempuan Kelas Akselerasi

Published

on

By

Setelah para laki-laki, kini tiba saatnya bagi penulis untuk mendeskripsikan para perempuan lain penghuni kelas akselerasi selain Sica, Sarah, dan Rika. Seperti biasa, penulis akan menjelaskan darimana inspirasi nama mereka beserta karakteristik yang melekat pada mereka.

Andrea Putri Sudarwono

Sama seperti Rika, Andrea atau Dea merupakan karakter baru yang tidak ada di konsep awalnya. Dulu, penulis membuat seorang karakter wanita tomboy yang sama sekali tidak betah berada di kelas akselerasi karena paksaan orangtuanya.

Setelah menghilangkan David, pada akhirnya penulis memutuskan untuk mengubahnya menjadi saudara kembar Andra yang bernama Andrea (dulu bernama Arin). Sifat-sifat pada penokohan yang dulu penulis hilangkan, kecuali sifat tomboynya yang dipertahankan.

Karakternya kurang lebih sama seperti saudaranya. Ia lebih sering bermain bersama teman laki-laki berkat pengaruh Andra, sehingga tidak memiliki teman wanita yang dekat. Dea jago bermain basket dan memainkan drum.

Aqilla Sagita Danastri

Selanjutnya adalah Gita, yang namanya penulis ambil dari penyanyi favorit penulis ketika masa sekolah, Gita Gutawa. Akan tetapi, Gita yang satu ini tidak pandai menyanyi. Ia memiliki bakat menggambar yang luar biasa, mulai sketsa bangunan hingga sketsa wajah.

Tanpa disengaja, karakter ini mirip dengan karakter Gita yang bermain pada serial Cinta dan Rahasia yang diperankan oleh Taskya Namya, Kurang lebih, penulis membayangkan fisik Gita seperti dirinya.

Taskya Namya (media.iyaa.com)

Padahal, penulis menciptakan karakter Gita jauh sebelum serial tersebut tayang. Sungguh sebuah kebetulan yang menakjubkan sekaligus mengerikan.

Gita adalah seorang perempuan hitam manis yang memiliki alis tebal dan cenderung mudah emosi, seperti yang ditunjukkan di awal cerita ketika ia melempar air ke wajah Leon. Akan tetapi, Gita adalah seseorang yang begitu peka terhadap sekitarnya.

Kepekaannya terbukti dengan beberapa kali bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Leon. Contohnya, ia tahu bahwa Leon menyukai Sica atau tahu kapan dirinya lebih baik diam ketika melihat suasana hati Leon sedang buruk.

Elvina Yurina Zefina

Yuri, mungkin dari namanya bisa ditebak, terinspirasi dari salah satu karakter Girls’ Generation yang bernama sama. Penulis ambil nama tersebut karena masih terdengar Indonesia.

Kwon Yuri (kpop.asiachan.com)

Ia adalah seorang perempuan yang memiliki masalah krisis kepercayaan diri. Ekonominya pas-pasan karena ibunya adalah seorang single parent yang memiliki usaha katering. Yuri kewalahan menghadapi ritme pelajaran di kelas akselerasi.

Untungnya, Kenji berinisiatif untuk mengadakan kelas tambahan sepulang sekolah, sehingga Yuri mampu mengejar ketertinggalannya. Terlebih lagi, semenjak itu ia menjadi lebih percaya diri, setidaknya di hadapan teman-teman kelas akselerasi.

Maroon Malvinanita

Karakter ini penulis bentuk sebagai wadah akan kesukaan penulis terhadap bahasa. Nita, yang namanya muncul begitu saja, adalah perempuan yang memiliki kelebihan dalam dunia bahasa.

Bahasa yang disukai oleh Nita bukanlah bahasa sastra seperti yang disukai oleh Rika, melainkan bahasa yang digunakan sehari-hari. Ketika masuk kelas akselerasi, ia sudah menguasai bahasa Inggris, Jepang, dan Prancis. Ia mulai mempelajari bahasa lainnya seperti Mandarin dan Belanda.

Pada buku pertama, belum terlalu terlihat bagaimana karakter seorang Nita, selain keingintahuannya yang besar akan bahasa.

Verena Nur Izora

Nama Verena penulis dapatkan sewaktu pesiapan ujian nasional SMA, ketika seorang gadis menjadi sampul buku latihan menghadapi Unas. Karena suka namanya, penulis memutuskan untuk menggunakan namanya untuk novel penulis.

Verena, atau Rena, adalah satu-satunya wanita yang berkerudung di kelas akselerasi. Ia adalah satu-satunya teman yang satu SMP dengan Leon di kelas.

Ia adalah seorang perempuan yang baik, hanya saja terkadang tidak pandai membaca situasi. Rena juga bisa berubah menjadi galak apabila melihat sesuatu yang salah, seperti yang digambarkan pada chapter 40.

Virginia Vanya Valora

Namanya yang berinisial VVV bukan terinspirasi dari klub bola asal Belanda, VVV Venlo, melainkan dari teman kuliah penulis yang memiliki inisial yang sama.

VVV Venlo (youtube.com)

Vanya atau kerap dipanggil Ve (penulis juga punya teman SMA yang panggilannya Ve) adalah seorang wanita yang paling gemuk di antara wanita-wanita lain yang cenderung bertubuh mungil.

Meskipun begitu, Ve merupakan anak yang berhati emas. Ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain dan tidak pernah menyimpan dendam. Baginya, berbuat baik adalah fokus hidupnya, sehingga cita-citanya adalah menjadi seorang guru di daerah terpencil.

 

 

Kebayoran Lama, 10 November 2018

Continue Reading

Leon dan Kenji (Buku 1)

Tentang Para Laki-Laki Kelas Akselerasi

Published

on

By

Selain Leon dan Kenji, terdapat empat laki-laki yang menghuni kelas akselerasi: Andra, Bejo, Juna, dan Pierre. Mereka berempat lebih sering berperan sebagai figuran, namun di beberapa bagian penulis tunjukkan karakteristik mereka.

Andra Putra Sudarwono

Dulu, pada konsep awalnya, si kembar Sudarwono bersaudara sama-sama laki-laki, Andra dan David. Tapi, sewaktu penulis meninjau ulang, ternyata komposisi laki-laki di kelas akselerasi ini terlalu banyak, sehingga penulis memutuskan untuk mengganti salah satunya dengan perempuan.

Inspirasi karakter ini datang dari Fred dan George Weasley dari novel Harry Potter. Penulis menyukai karakter mereka yang ceria, jahil, sering berbicara secara bergantian dengan saudaranya, dan selalu berpikiran positif.

via bookstr.com

Kurang lebih seperti itulah Andra (dan kini bersama Dea). Andra adalah laki-laki yang selalu nampak bersemangat. Ia selalu berusaha memberikan energi positifnya kepada semua orang.

Nama Andra sendiri (mungkin) penulis dapatkan dari band Andra and the Backbone. Penulis tidak terlalu ingat, namun untuk nama keluarganya, penulis pelesetkan dari nama stiker timnas Indonesia, Budi Sudarsono.

via indosport.com

Andra juga tidak segan berkonfrontasi dengan orang-orang yang ia anggap merusak suasana kelas. Hal ini ia tunjukkan pada bagian-bagian awal, ketika ia menantang Leon untuk berkelahi karena dianggap mengacau.

Ia juga tipe orang yang supel. Bahkan hanya dalam hitungan hari, ia sudah bisa menjalin hubungan dengan kakak kelasnya. Tidak muncul rasa canggung ketika ia berbicara dengan orang lain karena kepercayaan dirinya yang tinggi.

Akan tetapi, ia juga seorang pendendam. Pengeroyokan yang terjadi pada Leon ketika MOS adalah rencananya. Untungnya, sifat pendendamnya diimbangi dengan sifat pemaafnya. Memang kontradiktif, namun begitulah Andra.

Andra memiliki kecerdasan yang lumayan. Sayang, kecerdasan yang dimilikinya tidak ia gunakan di kelas. Hal ini menyebabkan ia harus turun ke kelas reguler bersama saudarinya.

Achmad Khrisna Subejo

Kalau yang satu ini, penulis lupa darimana inspirasinya. Mungkin, karena nama Bejo bernuansa pedesaan. Untuk nama tengahnya, terinspirasi dari salah satu tokoh pewayangan.

Sang ketua kelas akselerasi yang sangat bertanggungjawab dan melaksanakan tugasnya dengan agak terlalu berlebihan. Mungkin mirip dengan karakter Tenya Iida pada anime Boku No Hero Academia, meskipun penulis membuat karakter ini sebelum menonton anime tersebut.

via http://bokunoheroacademia.wikia.com

Bejo adalah tipikal anak yang ingin membuktikan bahwa dirinya, meskipun anak desa, bisa sama dengan anak-anak yang tinggal di kota (meskipun tempat ia sekolah tidak termasuk kota).

Ia memiliki harga diri yang tinggi, Pembangkangan Leon di awal masa sekolah merupakan buktinya. Bejo merasa harga dirinya terluka karena tidak dihargai oleh teman satu kelasnya. Hal ini membuat ia menyimpan dendam, dan Bejo bukan tipe pemaaf seperti Andra.

Meskipun begitu, Bejo adalah laki-laki yang gentle dan pemberani. Ia tak segan mengakui kesalahannya ketika ia telah sadar, seperti ketika ia bertengkar dengan Leon sewaktu lomba futsal antar kelas.

Arjuna Wahyunara

Namanya terinspirasi dari chef Juna. Akan tetapi, karakternya yang lambat merespon penulis dapatkan dari Goo Ji-soo, salah satu peserta acara reality show Girls’ Generation and the Dangerous Boys.

via snsdkorean.com

Juna adalah anak yang cerdas, namun susah berkomunikasi karena otaknya butuh waktu sekitar 5 detik untuk menangkap informasi yang disampaikan secara lisan. Akan tetapi, ia memiliki daya ingat yang kuat ketika berhadapan dengan hal visual.

Apalagi, Juna adalah tipe orang yang pemalu dan minder, sehingga ia sangat jarang memulai percakapan dengan orang lain. Ia merasa dirinya akan membebani orang lain ketika ia berkomunikasi dengan mereka.

Untunglah Leon secara tidak sengaja berhasil menemukan metode untuk berinteraksi dengan Juna, sehingga mulai saat itu ia mulai bisa dekat dengan teman-teman yang lain, terutama Pierre.

Jean Xavier Pierre

Namanya memang norak, karena penulis masih duduk di bangku SMA ketika membuat nama ini. Namun penulis memutuskan untuk tidak mengubah namanya karena nama tersebut memiliki maknanya sendiri.

Pierre penulis dapatkan dari nama vokalis Simple Plan, Pierre Bouvier, yang penulis ketahui dari video klip When I’m Gone. Ternyata, setelah penulis tonton ulang video tersebut, terdapat nama Sarah. Mungkin justru dari inilah penulis mendapatkan ide nama Sarah.

Pierre merupakan tipe anak yang lebih senang berkutat dengan gawainya daripada dengan manusia. Dengan kacamatanya yang tebal, ia tak akan pernah merasa jemu mengutak-atik komputer maupun handphonenya.

Interaksinya dengan karakter utama hanya terjadi sekali ketika Leon membutuhkan saran untuk membeli handphone, sehingga karakteristik lainnya belum terlihat.

 

 

 

Kebayoran Lama, 5 November 2018

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan