Sosial Budaya
Azab Apa yang Cocok untuk Tukang Spoiler?
Biasanya, menjelang sebuah film box office populer akan rilis, ada semacam ketakutan bagi para penontonnya: Spoiler. Apalagi di era media sosial seperti sekarang, spoiler sangat mudah tersebar dari satu perangkat ke perangkat lain.
Orang yang merespons spoiler pun bisa dibagi menjadi dua, antara yang bodo amat dengan spoiler dan ada yang benar-benar menghindari spoiler. Sebenarnya ada juga yang tengah-tengah atau bahkan malah mencari spoiler.
Kalau yang bodo amat, ya udah, mereka tetap bisa menikmati filmnya. Nah, untuk yang menghindari spoiler, mood nonton mereka bisa langsung buyar, merasa kecewa dan marah, bahkan menyumpahi si pemberi spoiler agar terkena azab yang mengenaskan.
Penulis bisa dibilang termasuk yang menghindari spoiler, terutama untuk film yang disukainya. Bahkan, Penulis rela pergi ke bioskop jam 4 pagi demi bisa menonton Avengers: Endgame di hari penayangan perdananya. Padahal, itu ditayangkan di hari kerja.
Berhubung ada satu peristiwa lucu yang baru saja terjadi, Penulis jadi tergelitik untuk menulis artikel tentang masalah tukang spoiler alias ini. Salah satunya adalah, apakah ada azab yang cocok untuk diterima para tukang spoiler?
Apa Motivasi Tukang Spoiler?
Mengapa orang menyebarkan spoiler film? Penulis memiliki beberapa asumsi. Salah satunya adalah karena iseng saja. Mereka ingin menggoda orang lain, biasanya orang dekat, agar merasa kesal.
Selain itu, bisa juga digunakan sebagai “panjat sosial” alias pansos. Kok bisa? Karena dengan menyebarkan spoiler, terutama di media sosial, posting mereka tentang spoiler tersebut akan jadi ramai, termasuk ramai akan hujatan dan makian.
Tukang spoiler bisa jadi merasa hebat dengan memberikan spoiler tersebut. Alasannya, mereka telah menonton film tersebut duluan dibandingkan orang lain. Aneh memang, kok butuh bikin orang lain kesal hanya demi merasa hebat.
Mungkin masih ada faktor-faktor lain yang membuat orang memutuskan untuk menjadi tukang spoiler. Hanya saja, menurut Penulis tiga alasan di atas lah yang menjadi alasan utama mereka.
Di Mana Tukang Spoiler Beraksi?
Seperti yang sudah Penulis singgung di atas, media sosial menjadi “lahan basah” untuk para tukang spoiler menjalankan aksinya. Apalagi, media sosial dengan format infinity scroll tengah digandrungi oleh masyarakat ini.
Media sosial dengan format tersebut akan selalu memberikan “kejutan” kepada penggunanya, sehingga pengguna tidak akan tahu kalau video berikutnya adalah sebuah spoiler. Salah satu kawan Penulis sering bercerita betapa seringnya ia mendapatkan spoiler anime dari TikTok.
Kadang, ada juga yang langsung memberikan spoiler melalui aplikasi pesan seperti WhatsApp. Biasanya, disebarkan ke grup, lalu akan ada “korban-korban” yang tanpa sengaja melihat spoiler tersebut.
Kalau sedang apes, tukang spoiler bahkan dengan berani melancarkan aksinya secara langsung ketika bertemu dengan “korban”. Bukan tidak mungkin kalau berawal dari hal ini akan terjadi baku hantam.
Bagaimana Cara Menghindari Tukang Spoiler?
Kita tidak bisa mengendalikan orang lain untuk tidak melakukan spoiler. Semakin kita berusaha untuk mengingatkan, yang ada mereka malah makin semangat untuk memberi spoiler. Untuk itu, lebih baik kita yang mengalah dan berusaha untuk menghindari mereka.
Cara paling mudah sebenarnya adalah berusaha untuk menontonnya secepat mungkin, kalau bisa di hari perdana penayangannya. Seperti yang sudah Penulis sebutkan di atas, Penulis rela berangkat jam 4 pagi demi menghindari spoiler film Avengers: Endgame.
Kalau tidak memungkinkan bagaimana? Setidaknya jangan gunakan media sosial sampai menonton filmnya juga menjadi cara yang ampuh. Apalagi, spoiler bisa dengan mudah berseliweran lewat Reels, Shorts, atau TikTok yang seringnya muncul begitu saja tanpa ada peringatan.
Bagaimana dengan kawan “jahil” yang tiba-tiba mengirim sesuatu ke kita atau grup? Kalau Penulis, jangan buka apapun yang ia kirimkan. Kalau perlu, untuk sementara blokir saja nomornya. Kalau sudah nonton filmnya, barulah kita buka kembali blokiran tersebut.
Untuk orang yang suka memberikan spoiler secara langsung, apakah ada cara untuk menghindarinya? Ya, jangan dekat-dekat dengan mereka terlebih dahulu. Kalau perlu, ikat dan lakban saja mulutnya.
Apa Azab yang Cocok untuk Tukang Spoiler?
Sejujurnya pertanyaan ini Penulis gunakan sebagai click bait saja agar judul artikel ini lebih menarik. Tentu kata “azab” terdengar berlebihan untuk sebuah perbuatan yang bisa dianggap remeh seperti memberikan spoiler, walau memberi spoiler memang merugikan orang lain.
Setahu Penulis (silakan koreksi jika salah) membuat orang lain merasa kecewa atau marah termasuk dosa, walau Penulis tidak tahu dosanya seberat apa. Mungkin yang memberi spoiler akan memiliki kepuasan diri, tapi yang terkena spoiler akan merasa sebaliknya.
Mungkin para tukang spoiler ini perlu belajar berempati untuk mengetahui perasaan orang-orang yang tidak ingin terkena spoiler. Coba posisikan diri sebagai mereka, bagaimana kecewa, marah, dan menurunnya antusiame dalam menonton film tersebut ketika mereka diberi spoiler.
Lagipula, memberikan spoiler kepada orang lain sama sekali tidak ada manfaatnya, kecuali memang orang tersebut sedang mencari spoiler. Bukankah kita dituntut oleh agama agar bisa bermanfaat untuk orang lain, dan bukan justru merugikannya?
Penutup
Karena kerja di bidang media yang sering membahas pop culture, bisa dibilang Penulis sering sudah tahu sebuah spoiler bahkan sebelum filmnya rilis. Ada banyak leaker yang memberikan informasi ini dan banyak orang yang ingin mengetahuinya.
Penulis bukan mau sok suci, karena kadang pun masih memberikan spoiler dengan maksud jahil atau bercanda. Tentu saja, “korban yang menjadi target” pun sudah Penulis pilih yang sekiranya tidak akan marah jika kena spoiler (kalau kesal masih mungkin).
Namun, Penulis menyadari ada orang-orang yang sangat tidak menolerir spoiler karena tidak ingin kehilangan momen. Perasaan terkejut, senang, sedih, dan lainnya ketika menonton film untuk pertama kalinya akan pudar begitu saja jika kita sudah diberi spoiler.
Untuk itu, ada baiknya jika kita bisa menahan diri untuk tidak memberikan spoiler ke orang lain karena, menurut Penulis, banyak mudaratnya daripada positifnya (atau malah tidak ada?). Biarkan orang-orang bisa merasakan sensasi menonton film seperti seharusnya.
Lawang, 21 Oktober 2022, terinspirasi setelah ada seorang kawan yang dengan jahilnya memberikan spoiler film Black Adam
Foto: The Boston Globe
Sosial Budaya
Mengapa Tidak Pernah Ada Istilah “Laki-Laki Independen”?
Belakangan ini, Prilly Latuconsina sering menjadi bahan pembicaraan. Bukan karena judul film baru yang ia bintangi, melainkan karena pernyataannya yang dianggap sedikit kontroversial: wanita independen makin banyak, tapi laki-laki mapan makin sedikit.
Tentu pernyataan tersebut berhasil menimbulkan pro dan kontra di antara netizen, bahkan sampai dianggap “memecah belah” antara laki-laki dan perempuan. Diskusi panas di mana masing-masing pihak merasa paling benar sering Penulis temukan.
Lantas, Penulis masuk ke kubu yang mana? Penulis berusaha untuk berada di posisi netral, walau mungkin Penulis tidak akan bisa benar-benar netral untuk topik yang berhubungan dengan gender. Namun, itu tak menghalangi Penulis untuk memberikan opininya.
“Independen” dan “Mapan”
Gambaran Wanita Independen (Andrea Piacquadio)
Ada dua kata kunci dari pernyataan Prilly, yakni “Wanita Independen” dan “Laki-Laki Mapan”. Coba mari kita tengok terlebih dahulu apa arti kata independen dan mapan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):
- Independen: 1) yang berdiri sendiri; yang berjiwa bebas 2) tidak terikat; merdeka; bebas
- Mapan: mantap (baik, tidak goyah, stabil) kedudukannya (kehidupannya)
Jika diterjemahkan secara bebas, manusia independen itu berarti mereka yang sudah bisa hidup mandiri untuk menghidupi kebutuhan hidupnya tanpa bergantung kepada orang lain. Caranya bagaimana? Ya, memiliki sumber penghasilan.
Di sisi lain, mapan kerap dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang intinya tidak akan membuat kita pusing memikirkan uang. Mau belanja? Ada. Mau sekolahin anak? Ada. Bahasa kerennya, orang bisa disebut mapan kalau sudah mencapai finansial freedom.
Mengukur tingkat independen seseorang mungkin lebih gampang dibandingkan dengan mengukur tingkat kemapanan seseorang. Alasannya, persepsi tentang seberapa jauh orang dianggap mapan bisa berbeda-beda.
Mungkin bagi A, punya penghasilan tetap tiap bulan sudah dianggap mapan. Bagi B, mapan minimal punya rumah dan mobil. Bagi C, mapan berarti bisa berlibur ke luar negeri setidaknya sekali satu tahun. Standarnya masing-masing bisa berbeda.
Antara Realistis dan Matrealistis
Prilly Latuconsina (WowKeren)
Kalau yang bicara Prilly, bisa jadi standar mapan yang ia miliki ya setidaknya laki-laki memiliki kekayaan di atasnya. Tentu hal tersebut sangat masuk akal karena Prilly memiliki karier yang sangat baik sebagai aktris dan public figure.
Justru aneh bukan, kalau ia menikahi orang dari kaum ekonomi lemah yang tidak memiliki value apa-apa? Mungkin alasan pernyataan Prillly tersebut adalah ungkapan kekesalannya di mana ia kesulitan mencari pasangan yang se-value dengan dirinya.
Bagi Penulis, Prilly hanya bersikap realistis. Sebagai orang yang sukses, tentu ia ingin memiliki pasangan yang setara dengan dirinya dan itu sangat wajar. Itu tidak membuatnya terlihat sebagai sosok yang matrealistis alias matre.
Orang baru bisa dianggap matre, menurut Penulis, jika dirinya berusaha mendapatkan pasangan dengan value tinggi, tapi dirinya sendiri memiliki value yang rendah. Ingin punya istri kaya, tapi dirinya sendiri masih pengangguran.
Dengan kata lain, orang matre itu adalah ketika dirinya berusaha mencari pasangan kaya demi meningkatkan taraf hidupnya sendiri. Ia ingin mengangkat derajat dirinya (dan mungkin juga keluarganya) dengan “memanfaatkan” orang lain.
Teman Penulis yang sering membahas seputar feminisme memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya, matre itu tidak melulu soal value, tapi ke jenis relantionship-nya. Kalau secara kasat mata beda value tapi saling mencintai, ya tidak bisa dianggap salah satunya matre.
Ia juga memberikan contoh lain. Anggap ada seorang perempuan pintar yang sedang meneruskan pendidikan S2-nya. Sebenarnya ia mampu bayar biayanya sendiri, tapi ia memanfaatkan pasangannya yang gaji masih UMR untuk membiayainya. Itu matre.
Mungkin yang bisa dikritisi dari pernyataan Prilly adalah bagaimana gaya bicaranya yang seolah merendahkan laki-laki. Tentu ini penilaian subjektif, karena kita tidak akan pernah benar-benar tahu apa intensi Prilly mengeluarkan pernyataan tersebut.
Mengapa Tidak Ada Istilah Laki-Laki Independen?
Independen Secara Default (Yuri Kim)
Sekarang mari kita kembali lagi ke kata independen. Dalam beberapa dekade terakhir, istilah “wanita independen” atau “wanita karier” memang sering mencuat seiring berubahnya budaya peradaban manusia, yang dulu kerap mengerdilkan peran perempuan.
Wanita independen dikaitkan dengan wanita yang mampu membiayai dirinya sendiri tanpa perlu bergantung kepada suaminya atau orang lain. Tentu ini hal yang bagus. Namun, ini jadi menimbulkan satu pertanyaan: mengapa tidak pernah ada istilah laki-laki independen?
Awalnya, Penulis berpikir kalau alasannya adalah karena bagi laki-laki, independen bukan pilihan, melainkan kewajiban. Sudah tugas bagi seorang laki-laki untuk bisa bekerja dan mencari nafkah untuk keluarganya. Ini doktrin yang sudah diajarkan sejak kecil.
Tanpa diberi label “independen”, laki-laki sudah sewajarnya untuk bisa mandiri. Dari sisi agama pun, kewajiban memberi nafkah jatuh kepada suami. Gimana bisa memberi nafkah, kalau seorang laki-laki tidak bisa independen? Jadi, laki-laki itu sudah otomatis harus bisa independen.
Namun, menurut teman yang sama yang memberikan pendapat di atas, istilah wanita independen atau wanita karier justru muncul sebagai anomali atas dunia yang begitu patriarki selama berabad-abad.
Seperti yang kita tahu, perempuan memang sering dipinggirkan sejak lama. Lihat saja di berbagai sejarah, di mana para ilmuwan dan pemikir mayoritas dari laki-laki, seolah perempuan dianggap tak cukup cakap untuk berpikir.
Tak hanya itu, coba cek sejarah baru kapan perempuan mendapatkan hak untuk melakukan voting. Bayangkan, Selandia Baru adalah negara pertama yang memberikan hak suara untuk perempuan, itu pun baru terjadi di tahun 1893!
Baru di era modern inilah perempuan akhirnya mendapatkan kesempatan yang lebih besar di berbagai bidang. Makin banyak pilihan karier yang bisa dipilih oleh perempuan. Alhasil, makin banyak wanita independen di dunia ini.
Lantas, apakah itu menjadi masalah? Menurut Penulis tidak. Perempuan punya hak untuk menjadi independen dan menetapkan standar kemapanan pasangan bagi diri mereka sendiri. Kalau mereka memaksakan keyakinan mereka untuk orang lain, baru itu menjadi salah.
Contoh, ada perempuan yang memutuskan untuk full menjadi ibu rumah tangga. Eh, ternyata perempuan-perempuan yang merasa “independen” justru julid kepadanya dan menganggapnya kuno. Ini kan pemaksaan standar ke orang lain.
Sekarang ini kan permasalahannya banyak yang tergiring oleh standar TikTok, sehingga banyak penggunanya menetapkan standar-standar yang tidak masuk akal. Yang repot kan kalau enggan menjadi independen, tapi berharap punya pasangan mapan biar bisa bermalas-malasan sepanjang hari.
Lawang, 3 Desember 2024, terinspirasi setelah ramai di media sosial membahas pernyataan Prilly Latuconsina
Foto Featured Image: Wikipedia
Sosial Budaya
Apakah Mesin Pencari akan Tergantikan oleh Media Sosial?
Ada hal menarik ketika Penulis berinteraksi dengan para Gen Z di sekitar Penulis. Kebetulan, sewaktu mengisi webinar yang diadakan minggu kemarin, pertanyaan yang menjadi judul artikel ini juga sempat ditanyakan ke Penulis.
Penulis sebagai generasi Milenial terbiasa menggunakan Google dalam mencari informasi apapun, bahkan hingga muncul istilah Mbah Google dan term googling. Alasannya jelas, Google menyediakan hampir semua informasi yang kita butuhkan.
Namun, bagi Gen Z, ternyata pamor Google sebagai mesin pencari mulai pudar dan dikalahkan oleh media sosial seperti TikTok. Fenomena ini pun menimbulkan satu pertanyaan: apakah mesin pencari akan tergantikan oleh media sosial?
Beda Mencari di Mesin Pencari dan Media Sosial
Disrupsi adalah hal yang biasa di dunia ini. Hampir tidak ada benda yang benar-bentar tak tergantikan. Selalu ada terobosan dan inovasi baru yang lebih efektif dan efisien, sehingga orang pun jadi beralih dan meninggalkan yang lama dan kuno.
Jauh sebelum Google muncul, mungkin orang mengandalkan buku, toko buku, atau perpustakaan untuk mencari informasi. Nah, kini Google (dan mesin pencari lainnya seperti Bing) pun menghadapi ancaman yang sama.
Misal Penulis dan circle-nya ingin mencari rekomendasi kafe di Malang. Kalau Penulis akan mencari artikelnya di Google. Namun, teman Penulis yang Gen Z lebih memilih TikTok karena ditampilkan dalam bentuk audiovisual yang lebih menarik.
Tentu artikel dan konten video memiliki plus minusnya masing-masing. Google misalnya, bisa menjelaskan secara detail rekomendasi kafe yang diberikan lengkap beserta map-nya. Apalagi, ada banyak artikel yang akan disajikan oleh Google, sehingga kita akan mendapat banyak variasi.
Media sosial pun bisa memberikan informasi secara langsung yang dilengkapi dengan ulasan dari kreator kontennya. Dalam waktu sekian detik, kita sudah mendapatkan gambaran seperti apa rekomendasi tempat yang diberikan kepada kita.
Penulis sendiri sejujurnya tidak nyaman menggunakan media sosial sebagai pengganti Google, terutama TikTok. Alasannya, kadang informasi yang diberikan ngaco sehingga menimbulkan trust issue.
Contoh, Penulis pernah dikirimi sebuah video TikTok yang memberi info kalau di Surabaya sedang ada pameran buku. Di video tersebut, promo dan buku yang ada terlihat banyak dan menarik. Namun, setelah ke sana, ternyata zonk dan mengecewakan.
Lantas, Apakah Mesin Pencari Memang akan Tergantikan oleh Media Sosial?
Tren memang bergeser di mana media sosial pun kerap digunakan sebagai sumber informasi. Namun, selama mesin pencari dan media sosial menyediakan hasil dengan format dan akurasi yang berbeda, rasanya media sosial terutama Google tidak akan tergeser semudah itu.
Sebagai orang yang bekerja di bidang Search Engine Optimization (SEO), Penulis melihat masih ada banyak hal yang hanya bisa dilakukan di mesin pencari (atau lebih tepatnya artikel website) yang belum bisa dilakukan oleh media sosial.
Contohnya, artikel bisa memberikan info yang lebih lengkap dan detail. Artikel juga memberikan kendali kepada pembacanya untuk memilih poin-poin mana saja yang ingin dibaca, berbeda dengan konten video yang kendalinya ada di konten kreatornya.
Lalu, sumber di artikel lebih bisa dipercaya dibandingkan media sosial. Seperti yang kita tahu, di media sosial kerap menjadi ladang hoaks yang tak terkontrol. Memang artikel tak sepenuhnya bebas dari hoaks, tapi jelas kredibilitasnya lebih terjamin dari media sosial.
Selain itu, jumlah pencarian (atau search volume) di Google juga masih cukup tinggi. Hal ini bisa dilihat dari Google Trends. Contoh ketika Genshin Impact merilis update terbaru, maka banyak hal-hal seputar update tersebut akan muncul di Trending.
Hal tersebut membuktikan kalau masih banyak orang yang mengandalkan mesin pencari untuk mendapatkan informasi. Memang di media sosial banyak guide atau build karakter tertentu, tapi rasanya artikel yang mampu memberikan panduan paling detail.
Keberadaan AI juga menjadi penting karena mampu merangkumkan informasi yang dibutuhkan dalam waktu cepat. Misal kita ingin tahu berapa tinggi Erling Haaland, maka Google akan langsung memberi jawabannya sehingga kita tak perlu membuka artikel tertentu.
Selain itu, AI Google akan tetap menyarankan artikel-artikel tertentu jika pengguna membutuhkan info yang lebih lengkap. Jadi, meskipun ada AI yang telah merangkumkan jawaban, artikel di website tetap akan diberdayakan oleh Google.
***
Karena beberapa poin tersebut, Penulis menyimpulkan kalau media sosial belum akan menggantikan peran mesin pencari, setidaknya dalam waktu dekat. Sebagai alternatif mungkin iya, karena media sosial pun memiliki kelebihannya sendiri, tapi bukan sebagai pengganti.
Tentu opini di atas murni pendapat Penulis pribadi, yang artinya bisa benar, bisa salah, bisa juga di tengah-tengahnya. Mari kita lihat saja bagaimana perkembangan mesin pencari di media sosial.
Lawang, 11 September 2024, terinspirasi setelah menyadari kalau media sosial mulai menggantikan peran mesin pencari
Sumber Featured Image: Sanket Mishra
Sosial Budaya
Hati-Hati Jejak Digitalmu, Siapa Tahu Nanti Jadi Pejabat Publik
Dalam beberapa minggu terakhir, “jejak digital” menjadi isu yang hangat untuk dibahas, terutama di ranah politik. Pasalnya, ada banyak pejabat publik yang “kebakaran jenggot” karena jejak digitalnya di masa lalu dibongkar oleh netizen.
Contoh pihak yang jejak digitalnya terbongkar adalah Ridwan Kamil dan Pramono Anung, dua calon gubernur Jakarta. Singkat cerita, banyak twit candaan bernada seksis. Ridwan Kamil bahkan pernah mengolok-olok orang Jakarta.
Yang paling parah tentu saja kasus yang menimpa wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming. Akun Kaskus bernama @fufufafa diduga menjadi miliknya dengan sederet bukti yang berhasil dikumpulkan oleh netizen. Parahnya, akun tersebut kerap menghina presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Apa Itu Jejak Digital?
Jejak digital adalah apapun yang kita “tinggalkan” di media sosial dan bisa diakses oleh banyak orang, baik pos, twit, foto, video, dan lain sebagainya. Ini adalah definisi menurut Penulis, silakan koreksi apabila definisi tersebut kurang tepat.
Di zaman dulu, kasus skandal di masa lalu atau aib yang telah lama berusaha untuk ditutupi menjadi momok yang mengerikan. Namun, itu pun yang membongkar orang lain berdasarkan hasil investigasi, pengakuan orang, atau bahkan sekadar fitnah.
Nah, kalau di era media sosial seperti sekarang, kita sebagai manusia justru terobsesi untuk membagikan banyak hal kepada publik, bahkan secara berlebihan. Entah itu opini, foto liburan, ungkapan kekesalan, umpatan, pamer kekayaan, dan masih banyak lagi lainnya.
Kalau kita bukan siapa-siapa, mungkin unggahan-unggahan tersebut tidak akan berarti banyak. Namun, beda cerita kalau ternyata kita ditakdirkan untuk menjadi public figure yang gerak-geriknya sering disorot oleh masyarakat umum.
Hal ini sudah terlihat pada kasus yang menimpa pada pejabat-pejabat publik yang telah disebutkan di atas. Entah siapa yang mem-blow up pertama, tapi yang jelas hal tersebut bisa dimanfaatkan oleh lawan politiknya dengan tujuan menjatuhkan.
Di sisi lain, jejak digital juga bisa digunakan untuk menaikkan citra diri. Contohnya adalah Anies Baswedan, di mana pada periode yang sama dengan Ridwan Kamil ketika ia bercanda dengan nada seksis, ia justru sibuk dengan gerakan Indonesia Mengajar.
Jika dulu ada istilah “Mulutmu, Harimaumu,” maka sekarang ada “Jempolmu, Harimaumu.” Zaman memang selalu memiliki caranya sendiri untuk berevolusi.
Berhati-hati Dalam Meninggalkan Jejak Digital
Kasus-kasus membongkar jejak digital para public figure di atas seharusnya bisa menjadi pelajaran untuk kita agar lebih bijaksana dalam meninggalkan jejak digital di media sosial. Jangan sampai hal tersebut justru menjadi bumerang yang merugikan kita.
Kita semua pernah mengalami berbagai fase pendewasaan diri. Ada masa di mana kita menjadi alay dan haus perhatian, sehingga merasa perlu membagikan berbagai macam hal kepada publik, yang sebenarnya juga tidak peduli-peduli amat dengan kehidupan kita.
Penulis pun yakin kalau jejak digitalnya di media sosial banyak yang memalukan. Mungkin tidak sampai membuat Penulis gagal maju sebagai caleg (seandainya menyalonkan diri), tapi cukup untuk membuat Penulis merasa malu.
Ada satu peristiwa kecil yang teringat ketika membahas hal ini. Ada teman Penulis yang hobi screenshot Story, terutama kalau dianggap Story tersebut bisa menjadi bahan ledekan. Beberapa minggu yang lalu, Story-Story lama tersebut dibongkar di depan yang bersangkutan dan kami semua tertawa terbahak-bahak.
Tujuan membongkar jejak digital di atas dilakukan sebagai bahan-bahan ceng-cengan saja di kalangan circle. Nah, kalau yang membongkar publik yang tidak suka dengan sosok tertentu, jadinya berbahaya, bukan? Elektabilitas orang yang dibongkar bisa langsung terjun bebas.
Oleh karena itu, kalau Pembaca sekalian ada yang berniat untuk menjadi pejabat publik, coba dicek akun media sosialnya apakah ada jejak digital yang berbahaya. Jangan sampai ada jejak digital berbahaya yang tertinggal.
Lawang, 9 September 2024, terinspirasi setelah dalam beberapa waktu terakhir banyak pejabat publik yang terungkap jejak digital di masa lalunya
Sumber Featured Image: LinkedIn
-
Film & Serial4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Menonton Deadpool & Wolverine
-
Film & Serial3 bulan ago
Gara-Gara Black Myth: Wukong, Saya Jadi Rewatch Kera Sakti
-
Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Teruslah Bodoh Jangan Pintar
-
Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #22: Chinatown
-
Politik & Negara4 bulan ago
Peringatan Darurat: Apa Memang Sedarurat Itu Situasi Politik Saat Ini?
-
Olahraga5 bulan ago
Kemenangan Perdana yang Awkward Bagi Oscar Piastri di Formula 1
-
Non-Fiksi2 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Ngomongin Uang
-
Musik3 bulan ago
Menatap Era Baru Linkin Park Bersama Emily Armstrong
You must be logged in to post a comment Login