Connect with us

Buku

Setelah Membaca Stop Membaca Berita

Published

on

Ketika sedang berjalan-jalan di Gramedia, Penulis menemukan sebuah buku yang judulnya membuat penasaran: Stop Membaca Berita. Alasannya, apakah mungkin di era keterbukaan informasi seperti sekarang bisa dilalui tanpa membaca berita?

Ditulis oleh Rolf Dobelli yang merupakan praktisi media, buku ini mengatakan kalau berhenti membaca berita adalah, “Manifesto untuk hidup yang lebih bahagia, tenang dan bijaksana”. Di belakang, buku ini tertulis sebagai genre Pengembangan Diri.

Lantas, apakah buku ini mampu meyakinkan kita untuk berhenti membaca berita? Simak dulu ulasan Penulis berikut ini!

Apa Isi Buku Ini?

Buku ini berisikan 35 alasan mengapa kita harus berhenti membaca berita yang ditulis dalam bentuk esai singkat. Setiap babnya hanya terdiri dari sekitar tiga sampai halaman saja sehingga tidak ada yang terasa terlalu bertele-tele.

Rolf kerap menggunakan metafora untuk memudahkan kita membayangkan betapa berbahayanya berita. Contohnya, ia menyamakan berita sebagai gula untuk tubuh, di mana konsumsi gula yang berlebihan dapat menyebabkan berbagai macam penyakit.

Ia juga menekankan kalau berita-berita yang kita baca sebenarnya kerap tidak relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Ada peristiwa penembakan di sekolah di Amerika Serikat atau bencana alam di suatu daerah yang jauh sama sekali tidak memengaruhi kehidupan kita.

Rolf juga membeberkan secara panjang lebar apa saja dampak negatif yang diakibatkan oleh berita, hingga seolah-olah berita sama sekali tidak memiliki dampak positif bagi pembacanya.

Beberapa hal negatif yang menurut Rolf diakibatkan oleh berita adalah:

  • Berita menghambat pemikiran
  • Berita merombak otak kita
  • Berita menghasilkan ketenaran palsu
  • Berita membuat kita pasif
  • Berita bersifat manipulatif
  • Berita mematikan kretivitas
  • Berita mendukung terorisme
  • Dan masih banyak lagi lainnya

Berita yang dimaksudkan Rolf di buku ini adalah berita secara fisik maupun daring. Berita daring lebih bahaya, karena akan menampilkan rekomendasi berita yang sesuai dengan kesukaan kita secara terus-menerus.

Sebagai ganti berita, Rolf mengajak pembaca bukunya untuk lebih memilih media buku saja. Rolf adalah mantan pecandu berita, sehingga mungkin ia ingin orang lain tidak sampai mengalami apa yang pernah ia alami.

Setelah Membaca Stop Membaca Berita

Buku Stop Membaca Berita termasuk tipis, tidak sampai 150 halaman. Selain itu, isi tiap babnya juga relatif pendek sehingga cocok untuk dibaca di saat ketika kita sedang menunggu sesuatu ataupun bacaan singkat sebelum tidur.

Bisa dibilang, buku ini terasa ekstrem seolah-olah kita bisa hidup tanpa membaca berita sama sekali. Argumen-argumen yang tergantung di dalamnya terasa subyektit, walau hal tersebut dapat dimaklumi mengingat penulis buku ini memang praktisi di bidang media.

Entah mengapa Penulis merasa buku ini sedikit sulit untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Susah untuk membayangkan kita hidup di era keterbukaan tanpa mengetahui apa yang tengah terjadi.

Walaupun begitu, Penulis sependapat dengan beberapa pendapat yang diutarakan di buku ini. Contohnya adalah banyak kejadian yang kita lihat sama sekali tidak berpengaruh terhadap kehidupan kita.

Selain itu, kita juga kerap berdebat kusir tentang isu-isu yang ada tanpa pernah menemukan solusi sesungguhnya. Entah berapa lama waktu yang terbuang untuk menyikapi sebuah permasalahan yang tak ada hubungannya dengan kita.

Sayangnya, buku ini seolah mengajak kita untuk hidup apatis tanpa memedulikan apa yang tengah terjadi di sekitar kita. Meskipun Penulis berusaha menerapkan hidup minimalis, rasanya metode berhenti membaca berita secara total tidak sesuai dengan Penulis.

Mungkin ini hanya perasaan Penulis saja, tapi rasanya tulisan Rolf di buku ini kerap terasa berapi-api dengan nada marah. Hal tersebut, sayangnya, membuat Penulis merasa sedikit terintimidasi ketika membaca dan membuat tidak nyaman.

Sebagai orang yang bekerja di bidang media, Penulis menganggap berita memiliki berbagai manfaat. Selain sebagai penyampai informasi kepada orang yang membutuhkan, berita juga menjadi sarana hiburan yang cukup efektif.

Berita memang memiliki sisi negatif. Membacanya secara berlebihan akan memberikan dampak buruk kepada kita. Hanya saja, mengesampingkan sisi positifnya juga rasanya kurang bijaksana.


Lawang, 16 Oktober 2021, terinspirasi setelah membaca buku Stop Membaca Berita

Foto: Gramedia Digital

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan

Published

on

By

Filsafat selalu menjadi topik yang menarik bagi Penulis, meskipun harus diakui kalau dirinya tidak selalu paham. Walau begitu, hal tersebut tak menghalangi Penulis untuk membaca buku-buku filsafat, apalagi jika disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami.

Oleh karena itu, tentu buku karangan Fahruddin Faiz menjadi sesuatu yang menarik, karena beliau dalam video-videonya mampunya menjabarkan filsafat secara sederhana. Penulis sudah pernah membaca satu bukunya, sehingga ketika tahu ada buku baru, Penulis membelinya.

Berjudul Filsafat Kebahagiaan, buku ini langsung mencuri perhatian Penulis karena konsepnya yang terfokus pada satu topik: kebahagiaan. Ini adalah topik menarik untuk didalami, karena kita sebagai manusia kerap bingung mendefinisikan apa itu kebahagiaan.

Detail Buku Filsafat Kebahagiaan

  • Judul: Filsafat Kebahagiaan
  • Penulis: Fahruddin Faiz
  • Penerbit: Mizan Pustaka
  • Cetakan: Ketiga
  • Tanggal Terbit: Maret 2024
  • Tebal: 288 halaman
  • ISBN: 9786024413323
  • Harga: Rp89.000

Sinopsis Buku Filsafat Kebahagiaan

Orang boleh berbeda dalam banyak hal, tapi bakal bersepakat dalam satu hal: ingin bahagia. Sayangnya, makna bahagia itu tidak tunggal dan sama bagi semua orang. Bahagia bagi yang satu, boleh jadi bukan bahagia bagi yang lain. Bahagia itu ternyata macam-macam dan bisa saling bertentangan. Maka, layak sekali kalau orang bertanya: apa, sih, bahagia itu sebenarnya?

Empat orang bijak—Plato, al-Farabi, al-Ghazali, dan Ki Ageng Suryomentaram—menawarkan konsep kebahagiaan, berikut cara-cara mencapainya. Meski masing-masing mengambil pendekatan berbeda, ada beberapa kesamaan yang mencolok: bahwa orang mesti mengenal diri sendiri sebagai titik berangkat, dan orang menemukan diri sendiri sebagai titik tujuan. Mustahil orang mencapai kebahagiaan kalau tidak tahu siapa dirinya dan apa makna bahagia bagi dirinya.

Buku ini bakal memberi pencerahan bagi Anda yang mencari kebahagiaan sejati.

Isi Buku Filsafat Kebahagiaan

Sesuai dengan judulnya, buku ini akan mengulas filsafat kebahagiaan dari sudut pandang empat tokoh: Plato, al-Farabi, al-Ghazali, dan Ki Ageng Suryomentaram. Masing-masing memiliki pendekatan yang berbeda untuk mendefiniskan kebahagiaan.

Plato sebagai salah satu filsuf dari Yunani kuno tentu meletakkan fondasi untuk memahami kebahagiaan. Lalu, pemikiran tersebut dijabarkan lagi melalui pendekatan Islam melalui al-Farabi dan al-Ghazali yang lebih sufi.

Penulis secara pribadi tertarik dengan keputusan Faiz untuk memasukkan Ki Ageng Suryomentaram, yang tentu saja menyelipkan filsafat-filsafat Jawa. Dengan demikian, buku ini berisi filsafat Barat, Islam, dan Jawa.

Filsafat Kebahagiaan Versi Plato

Kalau menurut Plato, hakikat manusia adalah jiwanya, badan hanya manifestasi dari jiwa. Secara singkat, menurut Plato jiwa itu mengandung tiga unsur (di mana ketiga unsur ini dipengaruhi ole Eros atau cinta), yaitu:

  • Epithumia: Lambang nafsu manusia yang rendah, seperti makan, minum, seks
  • Thumos: Lambang hasrat, ambisi, atau harga diri, seperti afektivitas, rasa semangat, agresivitas
  • Logistikon: Lambang akal, rasio,

Ketiga unsur inilah yang akan memengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang menurut Plato. Apabila kita bisa mengendalikan ketiganya dan mampu menetapkan batasan, maka kita akan bisa menemukan kebahagiaan.

Filsafat Kebahagiaan Versi al-Farabi

Nah, konsep kebahagiaan yang diungkap oleh Plato bersifat indidualis. Menurut al-Farabi, kebahagiaan itu juga butuh hubungan sosial. Selain itu, kenikmatan yang punya nilai ibadah akan punya kualitas kebahagiaan yang lebih awet.

Ada satu quote yang cukup menohok di bagian al-Farabi,”Tuhan menciptakan kita untuk bahagia. Kalau mudah galau, Anda melecehkan Tuhan.” Tentu ini akan membuat kita jadi termenung dan berusaha bersyukur atas apapun yang sudah kita dapatkan hingga saat ini.

Bahagia menurut al-Farabi akan tercapai ketika jiwa terimplementasikan secara optimal. Caranya adalah dengan mengoptimalkan daya gerak, daya mengetahi, dan daya berpikir yang sudah menjadi fitrah manusia.

Jangan lupa, kebahagiaan juga harus didapatkan dari kebahagiaan sosial. Bukan hanya dari lingkup keluarga atau pertemanan, tapi juga dari negara. Bayangkan saja jika kita memiliki kehidupan yang baik, tiba-tiba negara merusaknya, maka kebahagiaan itu bisa hilang.

Oleh karena itu, menurut al-Farabi kunci kebahagiaan itu dipegang oleh filsuf, ulama, dan pemimpin negara. Kalau dari sendiri, kita harus bisa menakhlukkan jiwa untuk tercapai jiwa yang tenang dan terus melakukan perilaku utama atau kebajikan.

Filsafat Kebahagiaan Versi al-Ghazali

Kalau menurut al-Ghazali, kunci kebahagiaan itu adalah dengan mengenali diri sendiri. Dengan mengenal diri sendiri, kita juga akan bisa menemukan citra Tuhan dan mengenal Tuhan lebih dekat lagi.

Mirip dengan Plato, al-Ghazali menyebut manusia memiliki tiga unsur, yakni unsur hewan, setan, dan malaikat. Untuk bisa bahagia, manusia harus bisa mewaspadai syahwat dan amarah, serta terus mencari ilmu.

Filsafat Kebahagiaan Versi Ki Ageng Suryomentaram

Beda lagi dengan pendapatnya Ki Ageng Suryomentaram. Menurut beliau, rumus kebahagiaan itu bisa disingkat sebagai 6S yang intinya mengajak kita untuk hidup sederhana, yakni:

  1. Sakbutuhe (sekadar kebutuhan)
  2. Sakperlune (sekadar keperluan)
  3. Sakcukupe (sekadar kecukupan)
  4. Sakbenere (sekadar kebenaran)
  5. Sakmesthine (sekadar kepantasan/keharusan)
  6. Sakpenake (sekadar kenyamanan/kenikmatan)

Mirip dengan al-Ghazali, syarat bahagia versi Ki Ageng adalah mengerti diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar. Untuk bisa melakukannya, kita harus bisa hidup saat ini (saiki), di sini (ing kene), dan seperti ini (ngene).

Ki Ageng juga menekankan kalau kebahagiaan itu harus tergantung oleh kondisi internal tanpa tergantung dengan kondisi eksternal. Kita juga harus bisa mengendalikan keinginan diri, entah kesenangan fisik, reputasi, maupun status sosial.

Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan

Selama hampir tujuh tahun menulis artikel ulasan buku di blog ini, rasanya baru kali ini bagian “Isi Buku” sepanjang sekarang. Salah satu alasannya adalah agar Penulis bisa mengingat apa saja isi dari buku ini, yang menurut Penulis sangat penting untuk kehidupannya.

Walau sudah menulis sepanjang itu, percayalah bahwa masih ada banyak bagian yang tidak Penulis banyak. Buku ini memang tergolong tipis, tapi isinya sangat padat dan daging semua. Karena begitu menarik, Penulis bisa menyelesaikan buku ini dengan cukup cepat.

Seperti yang sudah Penulis singgung di awal, buku ini benar-benar menggambarkan ciri khas Fahruddin Faiz yang bisa menyampaikan hal berat menjadi ringan sehingga bisa dipahami oleh semua orang, bahkan yang asing dengan dunia filsafat sekalipun.

Kata filsafat yang selama ini terkesan mengerikan berhasil diubah menjadi menyenangkan dan terkesan santai untuk dipelajari. Sama sekali tidak ada penjelasan yang njelimet yang membuat kita harus membaca ulang lagi.

Lantas, apakah buku ini akan membuat kita langsung paham apa itu kebahagiaan? Tentu tidak semudah itu. Pada akhirnya, kebahagiaan itu tanggung jawab kita sendiri. Buku ini hanya hadir untuk membantu kita menemukan kebahagiaan itu.

Bahagia adalah bagian dari diri manusia, dan sudah sewajarnya manusia mengejar kebahagiaan dengan cara-cara yang benar. Manusia sudah sewajarnya merasa bahagia, karena itu adalah fitrah kita sebagai manusia.

Semoga saja makin banyak topik-topik filsafat lain yang akan diulas oleh Fahruddin Faiz, dengan mempertahankan gaya bahasanya yang mudah dicerna. Saat ini Penulis sedang membaca buku Filsafat Moral, yang juga akan tandas dalam waktu dekat.

Skor: 9/10


Lawang, 4 Desember 2024, terinspirasi setelah membaca Filosofi Kebahagiaan karya Fahruddin Faiz

Continue Reading

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca The Book of Everyday Things

Published

on

By

Penulis sudah memiliki tiga buku tulisan Desi Anwar, yakni Hidup Sederhana, Going Offline, dan Apa yang Kita Pikirkan Ketika Kita Sendirian. Penulis merasa cocok dengan gaya penulisannya, sederhana tapi bermakna.

Oleh karena itu, tak heran jika Penulis sampai menambah satu buku lagi tulisan Desi Anwar. Kali ini, sudut pandang yang diambil cukup menarik, dengan judul The Book of Everyday Things.

Saat membaca sekilas isinya, Penulis merasa sedikit terkejut karena buku ini membahas literally hal-hal remeh yang sering kita abaikan begitu saja karena telah menjadi bagian dari hidup kita sejak lama. Ternyata, ada banyak sudut menarik dari benda-benda tersebut.

Detail Buku The Book of Everyday Things

  • Judul: The Book of Everyday Things
  • Penulis: Desi Anwar
  • Penerbit: Penerbit Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan: Pertama
  • Tanggal Terbit: Februari 2024
  • Tebal: 300 halaman
  • ISBN: 9786020675923
  • Harga: Rp149.000

Sinopsis Buku The Book of Everyday Things

Buku, bantal, sepatu, bolpoin, jam tangan, mainan, uang, dan sikat gigi… Ini adalah berbagai benda yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya begitu biasa sehingga kita menerimanya begitu saja, seolah-olah semua benda itu sudah menjadi bagian hidup kita. Pada kenyataannya, kemampuan untuk membuat benda mungkin adalah cara kita mendefinisikan spesies kita dan membuat kita berbeda dari makhluk hidup lainnya.

Coba tengok keadaan di sekitar kita perhatikan jumlah benda yang ada di sekeliling yang terus bertimbun sepanjang hidup kita. Seorang manusia mungkin mengawali hidupnya hanya dengan tarikan napas pertama, kemudian tidak membawa apa-apa ke dalam kuburnya selain yang dihiaskan orang lain pada jasadnya yang sudah tak bernyawa. Padahal, selama hidupnya, dia bergantung pada berbagai benda, bukan hanya untuk memungkinkannya berfungsi, melainkan juga agar memiliki identitas dan tujuan: Berbagai benda dan barang yang diciptakan dan diproduksi oleh sesama manusia yang dapat digunakan untuk mengendalikan serta memanipulasi lingkungannya dan menentukan takdirnya. Berbagai barang yang mengisi tidak hanya ruang yang ditempatinya, tetapi juga yang pada akhirnya mengacaukan dan menyesakkan seluruh Bumi, yang sekaligus menyisakan semakin sedikit ruang bagi makhluk hidup lainnya untuk berkembang.

The Book of Everyday Things adalah pengingat bahwa terlepas dari kemampuan spesies kita untuk menaklukkan alam dan menciptakan aneka benda menakjubkan untuk membuat hidup kita lebih nyaman, obsesi kita untuk memproduksi dan mengonsumsi beragam benda mungkin justru membuat kita makin tidak memahami tujuan sebenarnya keberadaan kita. Bahwa mungkin kebahagiaan sejati tidak hanya terletak pada berbagai benda buatan manusia, tetapi juga menghargai apa yang diberikan alam kepada kita.

Isi Buku The Book of Everyday Things

Sesuai dengan judulnya, buku ini dibagi menjadi beberapa bab dengan judul benda atau sesuatu yang menemani keseharian kita. Total, ada 30 bab yang awalnya bagi Penulis tak akan menarik untuk dibahas, yakni:

  1. Buku
  2. Bantal
  3. Roti
  4. Surat
  5. Pernak-pernik
  6. Teh
  7. Uang
  8. Kucing
  9. Keluarga
  10. Sepatu
  11. Jam Tangan
  12. Foto
  13. Televisi
  14. Sabun
  15. Mainan
  16. Alat Tulis
  17. Mimpi
  18. Sekolah
  19. Ingatan
  20. Seni
  21. Bendera
  22. Kematian
  23. Topeng
  24. Sikat Gigi
  25. Rumah
  26. Kekuatan Adikodrati
  27. Gula
  28. Cahaya
  29. Informasi
  30. Limbah

Setiap babnya memiliki ketebalan yang bervariasi, tapi tidak ada yang terlalu memonopoli karena cukup seimbang. Dengan ketebalan hingga 300 halaman, setiap bab kurang lebih memiliki 10 halaman.

Mungkin banyak yang kebingungan, apa menariknya membahas bantal? Penulis juga sempat berpikir seperti itu. Namun, setelah membaca, ternyata ada banyak sekali hal menarik yang bisa dibahas dari sebuah bantal.

Di setiap babnya, Desi Anwar menggunakan dua pendekatan, yakni bagaimana pengalaman pribadinya terhadap benda tersebut dan menyisipkan sejarah penggunaan benda tersebut dalam peradaban manusia.

Mengingat Penulis merupakan penggemar sejarah, tentu mengetahui bagaimana sebuah benda yang kerap diabaikan begitu saja memiliki sejarah yang panjang menjadi hal yang sangat menarik.

Kita kadang meremehkan benda-benda ini karena sudah terlalu biasa dengan keberadaannya tanpa pernah bertanya bagaimana benda ini bisa hadir di dunia dan memudahkan kehidupan kita. Ujungnya, hal ini akan membantu kita merasa bersyukur dengan keberadaannya.

Tiga puluh benda (atau hal) yang ada di dalam buku ini tidak terkait satu sama lain, sehingga Pembaca bisa membacanya lompat-lompat tergantung benda mana yang paling membuat penasaran.

Setelah Membaca The Book of Everyday Things

The Book of Everyday Things menjadi bukti bahwa ide itu bisa datang dari mana saja. Siapa yang bisa menyangka kalau bantal bisa menjadi sepuluh halaman tulisan? Jelas buku ini menjadi inspirasi Penulis dalam mengisi blognya, terutama ketika sedang buntu ide.

Untuk gaya kepenulisan, rasanya tak perlu meragukan kemampuan Desi Anwar. Dijamin, walau benda yang dibahas terkesan remeh, pembahasan yang disajikan tetap menarik dan tidak membuat bosan. Buktinya, Penulis bisa menyelesaikan buku ini dengan cepat.

Selain itu, buku ini juga dipenuhi dengan berbagai ilustrasi yang menarik dengan nuansa oranye. Hal ini memang menambah daya tarik buku ini, tapi sekaligus membuat harganya menjadi lebih mahal, yakni Rp149.000.

Ada satu hal yang kurang sreg buat Penulis. Buku ini berjudul The Book of Everyday Things, di mana things diterjemahkan sebagai “benda.” Namun, beberapa bab di buku ini justru membahas hal yang tidak bisa dianggap sebagai benda.

Kucing dan keluarga jelas kurang cocok untuk dianggap sebagai benda, karena mereka makhluk hidup. Mimpi dan kematian lebih cocok dianggap sebagai peristiwa. Bahkan cahaya dan informasi pun bukan sesuatu yang tangible.

Mungkin Desi Anwar memiliki alasan dan penerjemahan sendiri mengapa memasukkan hal-hal tersebut ke dalam buku ini, sehingga Penulis juga tidak terlalu mempermasalahkannya. Hanya saja, Penulis merasa masih ada benda-benda lain yang layak untuk dibahas olehnya.

Secara keseluruhan, Penulis merasa buku ini adalah bacaan santai yang membuat kita mendapatkan banyak insight menarik sekaligus mengajak kita merenungi keberadaan benda-benda yang ada di keseharian kita.

Penulis merekomendasikan buku ini untuk siapa saja yang mudah merasa penasaran dengan hal-hal yang mungkin tidak terpikirkan orang lain. Buku ini akan sangat cocok untuk menjadi teman perjalanan yang menyenangkan.

Skor: 8/10


Lawang, 27 November 2024, terinspirasi setelah membaca The Book of Everyday Things karya Desi Anwar

Continue Reading

Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Anak-Anak Semar

Published

on

By

Cerita pewayangan selalu menarik bagi Penulis. Walau bukan tipe orang yang hafal semua lore dalam pewayangan, setidaknya kalau diajak ngobrol tentang topik ini bisa nyambung. Oleh karena itu, Penulis punya beberapa judul novel yang bertemakan pewayangan.

Beberapa contoh novel pewayangan yang pernah Penulis ulas di blog ini adalah Kitab Omong Kosong dari Seno Gumira Ajidarma dan Anak Bajang Menggiring Angin dari Sindhunata. Dua-duanya menarik, sehingga jika salah satu merilis novel wayang baru, Penulis akan membelinya.

Nah, oleh karena itu, Penulis memutuskan untuk membeli novel berjudul Anak-Anak Semar yang ditulis oleh Sindhunata. Apalagi, mayoritas cerita wayang yang Penulis baca selama ini jarang mengulas tentang salah satu anggota Punakawan tersebut.

Detail Buku Ngomongin Uang

  • Judul: Anak-Anak Semar
  • Penulis: Sindhunata
  • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan: Pertama
  • Tanggal Terbit: Juni 2022
  • Tebal: 204 halaman
  • ISBN: 9786020662084
  • Harga: Rp128.000

Sinopsis Buku Ngomongin Uang

Maka kau adalah samar, ya, Semar. Janganlah kau samar terhadap kegelapan, jangan pula kau samar terhadap terang. Hanya dengan hatimu yang samar, kau dapat melihat terang dalam kegelapan, kebaikan dalam kejahatan. Hanya dengan hatimu yang samar pula, kau dapat melihat kegelapan dan terang, kejahatan dalam kebaikan.


Anak-anak Semar karya Sindhunata berkisah tentang Semar sebagai pembawa harapan dan pengingat akan nilai-nilai serta akar budaya di tengah zaman yang bergerak begitu cepat. Dalam buku dengan ilustrasi lukisan karya Nasirun ini, wajah Semar kerap berubah-ubah. Kadang ia disebut Sang Pamomong, sosok yang selalu melindungi rakyat kecil dan tertindas. Lain waktu, ia juga seperti pohon rindang yang dengan samar bayangannya bisa memberikan keteduhan bagi siapa pun yang ada di dekatnya.

Isi Buku Anak-Anak Semar

Tidak seperti judulnya, Anak-Anak Semar tidak bercerita tentang Bagong, Petruk, dan Gareng. Jujur, Penulis tidak benar-benar paham apa maksud dari judul tersebut karena novel ini justru bercerita tentang perjalanan dan perenungan Semar.

Yang Penulis tangkap, “anak-anak” di sini sebenarnya ditujukan kepada masyarakat yang ada di dalam novel ini sekaligus kita sebagai pembaca novel ini. Kita ini anak-anak yang masih membutuhkan keberadaan Semar, yang diceritakan sempat menghilang tanpa sebab.

Novel ini terdiri dari enam bab utama, yakni:

  1. Semar Mencari Raga
  2. Semar Hilang
  3. Semar Mati
  4. Semar Mbangun Khayangan
  5. Semar Boyong
  6. Semar Minggat

Dari keenam judul tersebut, kita sudah mendapatkan gambaran kasar mengenai perjalanan yang akan dihadapi oleh Semar di novel ini: bagaimana ia “melepaskan” rohnya dari jasadnya, lalu bagaimana hilangnya Semar menimbulkan kegemparan, hingga anggapan bahwa Semar telah mati.

Setelah itu, setelah melalui perenungan dalam di alam khayangan (karena sejatinya Semar adalah dewa), ia berkeinginan untuk membuat “khayangannya” sendiri di dunia, lalu kembali ke bumi. Lantas, mengapa di akhir justru ia “minggat”? Temukan jawabannya di novel ini.

Setelah Membaca Anak-Anak Semar

Sejujurnya, jika dibandingkan dengan novel Anak Bajang Menggiring Angin, Anak-Anak Semar lebih berat untuk dicerna. Alasannya, novel ini lebih banyak berisikan kalimat-kalimat monolog untuk menggambarkan situasi yang terjadi, baik ketika ada Semar maupun tidak.

Dialog yang ada lebih sering digunakan untuk mendukung situasi yang sedang terjadi. Misal, kegemparan ketika Semar menghilang, banyak dialog dari masyarakat yang menunjukkan keresahan. Selain itu, dialog juga terjadi ketika dalang sedang menceritakan kisah wayang.

Oleh karena itu, meskipun novelnya tipis, Penulis cukup lama menamatkannya. Ada banyak sekali bagian yang membuat Penulis harus berpikir keras untuk bisa memahaminya. Terkadang, sudah pelan-pelan membacanya pun Penulis masih kesulitan.

Tipisnya novel ini (hanya sekitar 200 halaman) juga menjadi kekurangan buku ini, karena harganya cukup mahal! Penulis tidak memahami apa alasan novel ini dilabeli harga Rp128 ribu, ketika buku lain yang memiliki ketebalan mirip biasanya dilabeli sekitar 70-80 ribu.

Namun, masih banyak hal positif dari novel ini. Keindahan pemilihan kata oleh Sindhunata jelas tak perlu diragukan lagi. Meskipun memang tak mudah dipahami, setidaknya kita akan dibuai dengan keindahan bahasa yang beliau tuliskan.

Sama seperti novel Anak Bajang Menggiring Angin, ada banyak filsafat jawa yang disisipkan dalam novel setipis ini. Salah satu yang paling sering dibahas adalah bagaimana pentingnya untuk merenungi diri sendiri, seperti yang sering Semar lakukan pada novel ini.

Selain itu, ada banyak ilustrasi menarik yang dibuat oleh Nasirun. Ilustrasi tersebut menggambarkan Semar dalam berbagai wujud. Cukup banyak ilustrasi yang terdapat di novel ini, setidaknya satu di setiap babnya.

Dengan berbagai penilaian tersebut, Penulis kurang merekomendasikan novel ini untuk orang yang masih awam dengan dunia perwayangan karena pasti akan terasa berat. Namun, jika memang sudah mengetahui banyak tentang dunia wayang, buku ini akan menjadi bacaan yang menarik.

Skor: 6/10


Lawang, 19 Juli 2024, terinspirasi setelah membaca buku Anak-Anak Semar karya Sindhunata

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan