Musik
Vokal Chester Bennington Ternyata Memang Seistimewa Itu

Telah satu minggu berlalu sejak Linkin Park mengumumkan vokalis baru yang menjadi penerus dari Chester Bennington. Sejak itu, penggemar terbagi menjadi dua kubu, antara yang menerima dan yang menolak.
Pihak yang menerima menganggap kalau Chester memang tak akan pernah tak tergantikan. Emily Armstrong adalah penerusnya dengan kekuatan dan ciri khas vokalnya sendiri untuk era baru Linkin Park. Penulis secara pribadi masuk ke dalam kubu ini.
Pihak yang menolak menganggap kalau Emily tidak layak untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Chester. Kalau mau menggandeng vokalis baru, mending ganti nama jangan pakai nama Linkin Park. Apalagi, Rob Bourdon juga telah keluar.
Belum lagi banyaknya skandal yang membayangi Emily di masa lalu, terutama terkait dengan Scientology dan dukungannya terhadap pemerkosa bernama Danny Masterson. Masalah ini terus-menerus dibahas oleh mereka yang kontra dengan keberadaan Emily di Linkin Park.
Bagaimana Kualitas Vokal Emily Armstrong di Linkin Park?

Dalam tulisan sebelumnya, Penulis telah mengeluarkan pendapatnya tentang kualitas vokal yang dimiliki oleh Emily. Untuk lagu baru, “The Emptiness Machine,” suaranya masuk banget dan Penulis benar-benar menikmatinya.
Suara Emily adalah suara rocker yang serak-serak basah. Ia juga memiliki kemampuan untuk screaming yang lumayan. Namun, memang ketika menyanyikan lagu-lagu Linkin Park yang lama, suaranya tampak kurang dan nadanya tak bisa sampai.
Penulis menemukan sebuah twit yang menjelaskan hal ini. Lagu “Numb” yang dibawakan bersama Emily dinaikkan tiga nada, dan itu pun Emily masih kewalahan. Tahu naik berapa nada ketika Chester yang nyanyi? Enam.
Menurut Penulis, yang paling parah adalah waktu ia menyanyikan lagu “The Catalyst.” Bukan hanya nadanya tidak sampai, ia sampai harus kehilangan suaranya berkali-kali dan melemparkan mic-nya ke penonton untuk menutupi hal tersebut.
Ini bukan berarti Emily penyanyi yang jelek, tapi memang standarnya Chester saja yang ketinggian. Vokal Chester memang diakui secara luas istimewa, dan tak banyak yang mampu bernyanyi lagu-lagu Linkin Park seperti dirinya.
Penyanyi Lain pun Kewalahan Menyanyikan Lagu Linkin Park

Sulitnya meniru kemampuan vokal Chester juga terlihat dari konser Linkin Park & Friends Celebrate Life in Honor of Chester Bennington yang tayang sekitar tujuh tahun lalu. Konser tersebut merupakan peringatan akan kematian Chester, dan banyak penyanyi yang menyumbangkan suaranya.
Lantas, adakah yang bisa bernyanyi sebaik Chester? Menurut Penulis, tidak. Meskipun ada banyak nama-nama besar pada konser tersebut, benar-benar tidak ada yang bisa mengisi peran Chester sesempurna itu.
Taka dari One Ok Rock menyumbang suara untuk lagu “Somewhere I Belong,” di mana ia sempat lupa lirik di bagian bridging. Tak hanya itu, di beberapa lirik juga terlihat suaranya yang terkenal tinggi pun tak mampu menjangkaunya.
Vokalis Bring Me the Horizon, Oliver Sykes, kebagian lagu Crawling yang dikenal sebagai salah satu lagu tersulit Linkin Park yang bahkan Chester mengatakan kalau lagu tersebut termasuk sulit. Hasilnya? Vokal Oliver sering tak kuat ketika menyanyikan bagian reff-nya.
Selanjutnya, ada Deryck Whibley yang merupakan vokalis dari Sum 41. Ia kebagian lagu “The Catalyst” yang di mana Emily kesulitan untuk menyanyikannya. Namun, Deryck cukup mampu membawakannya, meskipun di beberapa kesempatannya terdengarnya napasnya habis.
M. Shadow sebagai vokalis Avenged Sevenfold juga menyumbang suaranya untuk dua lagu, “Burn It Down” dan “Faint.” Bisa dibilang di antara semua, ia masih yang termasuk lumayan walau style-nya jadi berubah Avenged banget.
Masih ada banyak penyanyi dan vokalis lain yang berkontribusi pada konser tersebut. Namun, rasanya empat contoh di atas sudah cukup untuk membuktikan bahwa vokal yang dimiliki oleh Chester memang benar-benar istimewa.
Mengapa Vokal Chester Bennington Seistimewa Itu?

Penulis tidak bermaksud menganggap bahwa Chester adalah vokalis terbaik sepanjang masa. Namun, pada lagu-lagu Linkin Park, memang terbukti beberapa kali lagunya cukup sulit untuk dinyanyikan. Sulit untuk meniru kemampuan vokal Chester.
Tadi sudah disinggung tentang lagu “Crawling” yang menjadi salah satu lagu tersulit. Ada juga lagu “The Catalyst” yang membuat siapa pun yang mencoba menyanyikannya kehabisan napas. Menariknya, masih ada banyak lagu Linkin Park yang juga cukup sulit untuk dinyanyikan.
Contohnya adalah “Given Up” karena ada bagian screaming sepanjang 17 detik non-stop. Lalu, ada lagu “Breaking the Habit” yang walaupun terkesan ngepop, ternyata susah sekali untuk menggapai nada setinggi yang dikeluarkan oleh Chester. Masih banyak lagi, tapi contoh-contoh tersebut sudah cukup.
Apa yang membuat vokal Chester menjadi istimewa adalah kemampuannya bernyanyi baik pada nada rendah maupun nada tinggi. Dari yang Penulis baca di Twitter, Chester memiliki range vokal Alto-Soprano, sehingga wajar nadanya kerap tinggi.
Dalam salah satu video footage di belakang panggung, ada sebuah rekaman di mana Chester sedang melakukan pemanasan suara. Pada satu titik, ia bisa melengkingkan suaranya tinggi sekali seperti Freddy Mercury dari Queen.
Tidak hanya dari sisi nada, dari sisi lembut-kerasnya pun Chester cukup fleksibel. Ia bisa bernyanyi selembut “One More Light,” tapi bisa teriak-teriak seperti di lagu “Lying From You.” Suaranya juga selalu stabil di atas panggung, bahkan setelah melakukan screaming sekali pun.
Satu hal lagi yang membuat vokal Chester istimewa adalah bagaimana ia terlihat effortless dalam membawakan lagu-lagu Linkin Park, sehingga kita sebagai penggemar percaya bahwa kita bisa menyanyikannya juga. Saat mencobanya di karaoke, baru kita sadar betapa mustahilnya hal tersebut.
Setelah kehilangan Chester dan melihat banyaknya penyanyi dan vokalis yang mencoba menyanyikan bagiannya, Penulis baru sadar betapa istimewa vokal yang dimilikinya. Memang, terkadang kita baru menyadari sesuatu setelah kehilangannya.
Lawang, 13 September 2024, teinspirasi setelah menyadari banyak lagu Linkin Park yang terlalu sulit untuk dinyanyikan
Sumber Featured Image: NBC News
Musik
Mari Kita Bicarakan Carmen dan Hearts2Hearts

Penulis mengenal K-Pop sejak Gen 2 ketika SMA. Waktu itu, rata-rata member dari sebuah girlband atau boyband lebih tua dari Penulis. Sebagai contoh, Girls’ Generation atau SNSD memiliki member yang lahir antara tahun 1989 hingga 1991.
Penulis hiatus cukup lama dari dunia K-Pop, kalau tidak salah mulai tahun 2013-2014. Penulis baru menyentuhnya lagi ketika kerja karena teman sekantor Penulis merupakan penggemar berat Blackpink, yang termasuk ke Gen 3. Namun, baru di tahun 2022-2023 Penulis baru kembali intens mendengarkan K-Pop melalui Twice.
Nah, Gen 3 ini bisa dibilang seumuran dengan Penulis atau setidaknya usianya tidak beda jauh dari Penulis. Contoh idol yang seumuran dengan Penulis adalah Wendy dan Seulgi dari Red Velvet. Kami sama-sama kelahiran 1994.

Penulis bisa dibilang “telat” mengikuti Gen 3 ini, karena mereka sudah mulai mendekati penghujung karier ketika mendengarkan mereka. Bahkan, bisa dibilang sudah mulai peralihan ke Gen 4 seperti aespa dan IVE, yang kira-kira seumuran dengan adik bungsu Penulis.
Penulis menyadari bahwa ada kesan cringe jika Penulis melihat sosok “adik-adik” yang bernyanyi dan nge-dance. Oleh karena itu, Penulis cenderung menghindari menonton video performance mereka. Penulis hanya menikmati musik mereka, sambil sesekali menonton variety show mereka.
Nah, kalau Gen 4 saja sudah ada perasaan takut dianggap cringe, lantas bagaimana dengan Gen 5 yang usianya lebih mudah lagi? Beda umur mereka dengan Penulis bisa mencapai belasan tahun!
Oleh karena itu, ketika Babymonster dari YG Entertainment debut dan langsung hype, Penulis berusaha untuk tidak terlalu mendengarkan lagu mereka (walau belakangan sedang sering mendengar lagu “Drip”).
Namun, hal tersebut runtuh begitu saja ketika Penulis mengetahui ada orang Indonesia yang berhasil tembus SM Entertainment, salah satu dari Big 3 agensi di Korea Selatan. Orang tersebut adalah Nyoman Ayu Carmenita atau Carmen, yang bergabung dengan Hearts2Hearts.
Bagaimana Carmen Bisa Debut di SM Entertainment

Carmen memang bukan orang Indonesia pertama yang berhasil menembus industri K-Pop. Sebelumnya, pernah ada nama seperti Dita Karang yang debut bersama Secret Number, walau kini grupnya tersebut sudah resmi bubar.
Namun, Carmen adalah orang Indonesia pertama yang berhasil debut di Big 3 agensi di Korea Selatan, yang terdiri dari SM Entertainment, JYP Entertainment, dan YG Entertainment. Carmen berada di agensi yang sama dengan SNSD, Red Velvet, dan aespa.
Mungkin sudah banyak yang tahu bagaimana Carmen bisa lolos SM. Awalnya ia mengikuti SM Global Audition melalui Zoom pada tahun 2020, saat zaman Covid. Waktu itu, berarti ia berumur sekitar 13-14 tahun.
Dari pendaftaran tersebut, ternyata ia lolos ke tahap selanjutnya dan berangkat ke Jakarta untuk mengikuti proses seleksi lebih lanjut. Ia diantar oleh kakaknya, karena ia masih merahasiakan hal ini ke orang tuanya.
Siapa sangka ternyata ia berhasil lolos dan resmi menjadi trainee SM Entertainment. Awalnya ia dilarang oleh kedua orang tuanya (bayangkan saja melepas anak gadisnya sendirian ke negara orang yang terkenal rasis), tapi kakaknya berhasil membantu meyakinkan orang tuanya.
Carmen pun resmi menjadi trainee di tahun 2022, ketika ia berumur 15-16 tahun. Setelah dua tahun, ia akhirnya resmi debut bersama Hearts2Hearts pada tanggal 24 Februari 2025. Ia, yang lahir pada tanggal 28 Maret 2006, menjadi anggota tertua di grup tersebut.
Coba Kita Bayangkan Menjadi Seorang Carmen

Bayangkan ketika kita berumur 15-16 tahun. Mungkin kita baru lulus SMP dan baru akan merasakan masa-masa indah SMA. Namun, kita mendapatkan sebuah surat yang menyatakan kita diterima sebagai trainee di salah satu agensi terbesar di Korea Selatan.
Ketika berangkat, kita memang punya modal menyanyi dan menari yang cukup oke, karena kebetulan kita punya privilege di keluarga yang cukup nyeni. Akan tetapi, kita dalam posisi tidak bisa sama sekali berbahasa Korea. Apalagi, banyak orang Korea yang tidak bisa berbahas Inggris.
Sebelum berangkat, muncul kekhawatiran di kepala kita. Korea Selatan terkenal sebagai negara yang cukup rasis dan ultranasionalis. Bisakah kita bertahan di sana sendirian? Apakah kita bisa berteman dengan orang asli sana? Apakah kita bisa menyelesaikan masa trainee dan debut sebagai idol?
Terlepas dari semua kekhawatiran itu, kita berusaha menepis semua pikiran negatif tersebut dan yakin dengan diri sendiri. Kita menyemangati diri kita sendiri dan yakin kalau kita bisa melewati semua tantangan yang ada.
Kita pun menjalani masa trainee sembari mengambil kelas bahasa Korea. Masa trainee adalah masa yang terkenal berat, di mana kita menjalani pelatihan yang insentif dari berbagai bidang. Semua harus kita jalani demi bisa debut.
Di awal-awal masa trainee, kita pasti merasa tertekan dan mengalami culture shock. Tidak ada teman untuk bercerita karena ada languange barrier yang cukup lebar. Mungkin kita bisa menelepon orang tua kita, tapi kehadiran fisik seseorang yang bisa menjadi tempat mengeluh masih dibutuhkan.
Beberapa bulan kemudian, kita sudah mulai bisa berbicara dalam bahasa Korea dasar. Kita mulai mencoba mengobrol dengan sesama trainee. Mungkin ada yang rasis, tapi yang baik ke kita juga tidak sedikit. Kita pun mulai menemukan teman yang bisa diandalkan.
Setelah dua tahun, setelah semua jerih payah, rasa sepi, dan tangis, kita akhirnya mendapatkan pemberitahuan akan segera debut bersama teman-teman trainee lainnya. Kita akan menjadi orang pertama dari Indonesia yang debut di bawah bendera SM Entertainment.
***
Kurang lebih seperti itulah yang ada di benak Penulis ketika membayangkan berada di posisi Carmen. Sebagai seorang INFJ yang terkenal punya empati tinggi, entah mengapa Penulis bisa merasakan perjuangan yang telah ia lewati sejauh ini.
Meskipun ia terkenal selalu ceria dan memiliki positive vibes, Penulis yakin ia telah melewati banyak masa-masa berat selama ini, bahkan mungkin hingga sekarang. Itulah yang membuat Penulis mengagumi sosok Carmen, terlepas dirinya 12 tahun lebih muda dari Penulis.
Sekarang, Mari Kita Bicarakan Hearts2Hearts

Carmen menjalani debut di Hearts2Hearts (H2H) bersama “adik-adiknya”, mulai dari Jiwoo (leader), Yuha, Stella, Juun, A-na, Ian, hingga Ye-On. Mereka debut dengan lagu berjudul “The Chase”, yang sejujurnya kurang cocok dengan selera musik Penulis.
Namun, lagu mereka yang berjudul “Butterflies” benar-benar Penulis nikmati. Lagu ini bernuansa ballad yang heartwarming, bukan tipe ballad yang cocok jadi teman galau. Bersama “Drip” dari Babymonster yang Penulis sebut di awal tulisan, dua lagu ini belakangan sering Penulis dengarkan (walau terkesan bertolak belakang).
Ada beberapa pihak yang nyinyir dan menganggap kalau Carmen hanya dimanfaatkan SM sebagai alat marketing untuk meraup pasar Indonesia, yang terkenal suka overproud. Apapun itu, bagi Penulis Carmen sudah berhasil membawa nama Indonesia ke kancah internasional.
Seperti yang sudah disinggung di atas, Penulis suka menonton variety show para idol Korea ini ketika sedang bersantai. H2H ini belakangan sering Penulis tonton. Ternyata, walau mereka cantik-cantik, kelakukan mereka juga lumayan random, terutama Carmen, A-na, dan Ian.
Nah, dalam beberapa kesempatan, Carmen terlihat mengajari beberapa kata dalam bahasa Indonesia kepada member-nya. Sejauh ini, ada dua member yang cukup hafal dan fasih dalam berbahasa Indonesia: Ian dan Ye-on.
Mungkin Penulis termasuk ke dalam masyarakat Indonesia yang overproud dengan debutnya Carmen bersama H2H. Biarlah, Penulis benar-benar merasa bangga ke Carmen, apalagi setelah membayangkan betapa keras perjuangannya untuk bisa berada di titik sekarang.
H2H memang baru berusia 3 bulan dan memiliki dua lagu. Mereka baru akan comeback pada 18 Juni mendatang dengan lagu (yang katanya) berjudul “Style”. Penulis pribadi ingin melihat sejauh apa Carmen akan mengharumkan nama Indonesia melalui H2H.
Lawang, 10 Juni 2025, terinspirasi setelah melihat banyak video seputar Carmen dan Hearts2Hearts
Foto Featured Image: Suara
Musik
Tier List Lagu-Lagu di Album “From Zero” Versi Saya

Awalnya, Penulis ingin menggabungkan tier list lagu-lagu di album From Zero di artikel “Mari Kita Bicarakan Album Baru Linkin Park, From Zero”. Akan tetapi, ternyata banyak yang ingin Penulis dari album tersebut, sehingga rasanya akan menjadi terlalu panjang jika disatukan.
Dalam tulisan ini, Penulis akan mengulas setiap lagu yang ada di From Zero yang total memiliki 11 lagu. Karena sempat mengatakan bahwa lagu-lagu di album ini bisa masuk ke album lama Linkin Park, Penulis juga akan memberi opininya lagu ini layak masuk ke album mana.
Setelah mengulas semua lagunya, Penulis akan membuat tier list dari album ini lalu membandingkannya dengan album lain yang pernah Penulis bahas di artikel “Tier List Lagu Linkin Park Versi Saya”.

Mari Kita Bahas Setiap Lagu di Album From Zero
1. From Zero (Intro) – Ini menjadi pembuka album yang berdurasi singkat, seperti lagu “Foreword” di album Meteora dan “Wake” di album Minutes to Midnight. Detail kecil ini sangat menarik bagi Penulis karena mengembalikan lagi “tradisi”lama yang hilang.
Ada semacam choir yang disambung dialog yang sepertinya terjadi antara Mike dan Emily. Inti dari percakapan tersebut adalah Emily yang menanyakan makna dari judul album ini, yang diakhiri dengan “oh, wait, your fir—”
Pemotongan ini menjadi semacam easter egg yang menarik, karena dipotong begitu saja dan langsung berlanjut ke lagu selanjutnya. Jika bisa menebak, kemungkinan Emily akan berkata”oh, wait, your first band name is Xero, right?“
Oleh karena itu, menurut Penulis intro ini sangat cocok untuk masuk ke album Meteora.
2. The Emptiness Machine – Ini adalah single pertama yang dirilis Linkin Park untuk memperkenalkan Emily. Ketika pertama kali mendengarkan, Penulis langsung merasa kalau lagu ini “Linkin Park banget” sebelum era album One More Light.
Penulis sudah pernah membahas lagu ini cukup panjang pada artikel “Menatap Era Baru Linkin Park Bersama Emily Armstrong”, sehingga Penulis tidak akan banyak membahas lagu ini di sini.
Sebelumnya, Penulis pernah mengatakan kalau lagu ini cocok untuk masuk ke album The Hunting Party. Namun, setelah didengarkan berkali-kali, rasanya “The Emptiness Machine” lebih cocok untuk masuk ke album Living Things.
3. Cut the Bridge – Begitu mendengar lagu ini, entah mengapa bagian intronya membuat Penulis teringat akan lagu “Arjuna” dari Dewa 19. Namun, sebenarnya ada beberapa beat di bagian intro yang membuat lagu ini terdengar seperti “Bleed It Out”.
Walaupun begitu, lagu ini bisa dibilang menjadi salah satu yang kurang cocok dengan selera Penulis dan gagal masuk ke dalam “Liked Music” di YouTube Music. Jika disuruh memilih, lagu “Cut the Bridge” sangat cocok untuk dimasukkan ke dalam album Minutes to Midnight.
4. Heavy is the Crown – Setelah mendengarkan keseluruhan album, Penulis tetap menganggap kalau lagu “Heavy is the Crown” adalah lagu terbaik dari album From Zero. Apalagi setelah menonton penampilan lagu ini di pembukaan Worlds 2024, beuh, mantap betul.
Lagu ini punya paket komplit dan memiliki nuansa seperti lagu “Faint”, mulai dari rap Mike seperti era awal-awal Linkin Park, bagian reff yang catchy, musik rock yang kental, scream belasan detik dari Emily yang membuat Penulis teringat lagu Given Up dari Minutes to Midnight.
Penulis merasa kalau lagu ini agak sulit untuk dimasukkan ke dalam album Linkin Park mana pun karena walaupun memiliki formula klasik Linkin Park, lagu ini punya warnanya sendiri. Jika harus memilih, Meteora adalah album yang paling cocok untuk album ini.
5. Over Each Other – Ini adalah lagu pertama dan satu-satunya yang hanya menampilkan vokal Emily. Selain itu, lagu ini juga terasa paling pop dibandingkan dengan lagu lainnya yang ada di album ini.
Awal mendengarkan, Penulis merasa agak aneh dengan lagu ini. Mungkin karena memang belum terbiasa saja dengan vokal Emily. Namun, lama kelamaan Penulis bisa menikmati lagu ini walaupun tak sampai memasukkannya ke dalam “Liked Music” untuk saat ini.
Oleh karena itu, Penulis merasa kalau lagu ini sangat cocok dengan tema dari album One More Light yang menjadi album paling pop dari Linkin Park.
6. Casualty – Begitu mendengarkan lagu ini, Penulis langsung merasa kalau album ini harus masuk ke dalam album The Hunting Party karena terdengar sangat rusuh. Penulis langsung teringat lagu “Keys to the Kingdom” ditambah “QWERTY”.
Satu hal yang menarik dari lagu ini adalah vokal Mike, yang biasanya terdengar kalem dan menenangkan, berubah menjadi garang dan keras seolah Mike sedang marah-marah. Namun, hal itu cocok dengan lagunya yang terdengar seperti lagu punk rock old school.
“Casualty” menjadi satu lagu yang nempel di telinga Penulis karena “rusuhnya” dan membuat ingin Penulis terus melakukan headbang. Lagu-lagu rusuh seperti inilah yang sering Penulis rindukan dari Linkin Park, dan hal tersebut akhirnya bisa Penulis dapatkan sekarang.
7. Overflow – Selain “Cut the Bridge”, lagu “Overflow” adalah salah satu lagu lainnya yang kurang nyantol di telinga Penulis. Dibandingkan lagu-lagu lain, lagu ini terasa paling eksperimental dan punya kesan hip-hop yang cukup kental.
Di bagian awal lagu, ada bagian yang membuat Penulis teringat lagu “PPR:KUT” alias “Papercut” versi album Reanimation. Dengan berbagai ulasan tersebut, Penulis menganggap kalau lagu ini cocok untuk dimasukkan ke dalam album A Thousand Suns.
8. Two Faced – Lagu ini merupakan single keempat yang dirilis Linkin Park jelang rilis album penuhnya. Saat mendengarkan pertama kali, lagu ini terdengar seperti lagu-lagu pre-demo Linkin Park sebelum debut.
Selain itu, scream yang dilakukan oleh Emily juga terkesan ngawur dan agak urak-urakan. Namun, setelah didengarkan berkali-kali, Penulis akhirnya bisa menikmati lagu ini. Apalagi, banyak yang berpendapat kalau lagu ini merupakan “One Step Closer 2.0”.
Apa yang Penulis suka dari lagu ini adalah adanya guitar riff yang berat, seperti yang bisa kita dengarkan dari lagu-lagu seperti “QWERTY” dan “Don’t Stay”. Elemen ini adalah salah satu hal yang Penulis sukai dari Linkin Park, dan rasanya sudah lama absen.
Tak hanya itu, salah satu elemen lain yang membuat Penulis menyukai lagu ini adalah kembalinya teknis scratch alias ceket-ceket solo dari Mr. Hahn. Terakhir kali Penulis mendengarkan ini adalah di album A Thousand Suns melalui lagu “Wretches and Kings”.
Oleh karena itu, lagu ini bisa disebut terdengar seperti lagu-lagu klasik Linkin Park, genre yang membuat Linkin Park menjadi begitu populer. Lagu “Two Faced” sangat cocok untuk masuk ke dalam album Hybrid Theory.
9. Stained – Biasanya, Penulis kurang menyukai lagu Linkin Park yang terlalu slow. Namun, “Stained” bisa menjadi pengecualian karena Penulis menyukainya. Penulis merasa kalau lagu ini cocok untuk masuk ke dalam album Living Things atau One More Light.
Selain itu, Penulis entah mengapa merasa kalau lagu ini terasa seperti lagu-lagu dari Avril Lavigne, terutama dari album Avril Lavigne yang rilis tahun 2013 silam. Karena itu juga lagu ini terdengar seperti lagu lama, bukan lagu yang dirilis di tahun 2024.
10. IGYEIH – Sejak daftar lagu From Zero muncul di internet, Penulis sudah penasaran dengan lagu IGYEIH. Penulis sampai harus mencari apa arti dari judul tersebut di Reddit. Ternyata, setelah rilis, judul tersebut merupakan akronim dari I Give You Everything I Have.
Lagu ini juga langsung terdengar asyik ketika pertama kali mendengarkannya. Terkesan rusuh seperti “Casualty” dengan lirik yang related dengan Penulis. Ini juga menjadi lagu keras terakhir di album ini setelah “Heavy is the Crown”, “Casualty”, dan “Two Faced”.
Karena kerusuhannya tersebut, Penulis merasa kalau album ini cocok untuk menemani lagu “Casualty” di album The Hunting Party.
11. Good Things Go – Sebagai lagu penutup album, “Good Things Go” terasa pas sebagai penutup. Apalagi, lagu ini juga nyambung dengan lagu pertama di album ini, sehingga efek looping-nya terasa.
Banyak yang menanggap kalau lagu ini menjadi lagu “terindah” dari album ini, baik dari komposisi musiknya maupun liriknya. Penulis merasa kalau lagu ini akan sangat cocok untuk masuk ke album One More Light.
Tier List Album From Zero

Berdasarkan ulasan di atas dan pengalaman mendengar Penulis selama ini, inilah tier list kesebelas lagu yang ada di album From Zero versi Penulis:
- S: –
- A: The Emptiness Machine, Heavy is the Crown
- B: Casualty, Two-Faced, Stained, IGYHEIH, Good Things Go
- C: Cut the Bridge, Over Each Other, Overflow
- D: From Zero (Intro)
- E: –
Dari tier list tersebut, mari kita hitung berapa skor dari album From Zero dengan hitungan yang sama dengan sebelumnya (Tier S = 5, Tier A = 4, …, Tier E=0). Dengan susunan di atas, maka kita akan mendapatkan skor 30 dengan rata-rata 2,73.
Inilah posisi From Zero jika dibandingkan dengan album Linkin Park lainnya:
- Meteora – Bobot Akhir: 42 (Rata-Rata: 3,23)
- From Zero – Bobot Akhir: 30 (Rata-Rata: 2,73)
- Hybrid Theory – Bobot Akhir: 30 (Rata-Rata: 2,5)
- Living Things – Bobot Akhir: 29 (Rata-Rata:2,42)
- One More Light – Bobot Akhir: 22 (Rata-Rata: 2,2)
- Minutes to Midnight – Bobot Akhir: 26 (Rata-Rata: 2,17)
- The Hunting Party – Bobot Akhir: 23 (Rata-Rata: 1,92)
- A Thousand Suns – Bobot Akhir: 27 (Rata-Rata: 1,8)
Ya, Penulis sendiri terkejut album ini bisa berada di ata Hybrid Theory dan hanya kalah dari Meteora yang memang menjadi album favorit Penulis sepanjang masa. Namun, memang Penulis bisa menikmati semua lagu yang ada di album ini, sehingga rasanya wajar bisa mendapatkan skor setinggi itu.
Untuk beberapa waktu ke depan, Penulis akan terus mengulang album From Zero, terutama ketika sedang lari pagi dan bekerja. K-Pop, untuk sementara waktu rasanya harus minggir dulu meskipun IVE baru merilis single baru yang sangat catchy hasil kolaborasi dengan David Guetta.
Lawang, 16 November 2024, terinspirasi setelah mendengarkan semua lagu di album From Zero berkali-kali
Foto Featured Image: Apple Music
Musik
Mari Kita Bicarakan Album Baru Linkin Park, From Zero

Hari ini adalah hari paling membahagiakan bagi fans Linkin Park. Bagaimana tidak, setelah tujuh tahun, akhirnya Linkin Park merilis album baru berjudul From Zero. Ini adalah album perdana bersama anggota baru, yakni Emily Armstrong dan Colin Brittain.
Sebelum merilis album ini, Linkin Park sudah merilis empat single dalam waktu yang cukup berdekatan, yakni “The Emptiness Machine”, “Heavy is the Crown”, “Over Each Other”, dan “Two Faced”.
Secara keseluruhan, Penulis bisa menikmati keempat single tersebut, terutama dua judul pertama. Oleh karena itu, Penulis tak sabar untuk mendengarkan tujuh lagu lainnya yang ada di dalam lagu From Zero.

First Impression Saya Mendengarkan From Zero

Sejak pagi, Penulis sudah dihubungi oleh temannya yang sesama penggemar Linkin Park untuk mendiskusikan album ini. Namun, Penulis baru mulai mendengarkannya siang setelah Sholat Jumat dan terus mengulangnya hingga menulis artikel ini. Berikut adalah daftar lagu di album From Zero:
- From Zero (Intro)
- The Emptiness Machine
- Cut the Bridge
- Heavy is the Crown
- Over Each Other
- Casualty
- Overflow
- Two Faced
- Stained
- IGYEIH
- Good Things Go
Saat mendengarkannya pertama kali, Penulis merasa kalau album ini terasa “kompilasi” dari ketujuh album Linkin Park sebelumnya bersama Chester. Jika disebar, semua lagu yang ada di album ini bisa dengan mudah masuk ke dalam album-album lama Linkin Park.
Menurut Penulis, album ini merupakan kombinasi antara “The Old LP” dan “The New LP”. Mereka berusaha mempertahankan identitas mereka, tapi tetap menyesuaikan diri dengan zaman. Apalagi, mereka hadir dengan vokalis baru dengan jenis vokal yang berbeda.
Hal kecil lain yang menarik dari album ini adalah kembalinya efek “bersambung” dari tiap lagunya. Efek ini sempat hilang di album One More Light, sehingga Penulis merasa senang ketika mendengar ada beberapa lagu yang saling bersambung, apalagi tiga lagu terakhirnya.
Sebagai tambahan, menurut teman Penulis album ini terasa “not depressing“, berbeda dengan beberapa tema lagu lama Linkin Park. Album ini seolah menjadi katarsis Mike setelah merilis album Post Traumatic beberapa tahun lalu.
Pamer Kemampuan Vokal Emily

Sejak rilisnya lagu “The Emptiness Machine”, kita secara bertahap diperkenalkan dengan vokal Emily. Jika lagu tersebut adalah perkenalan, maka “Heavy is the Crown” adalah pertunjukkan kalau Emily adalah seorang rockstar yang mampu melakukan scream panjang.
Selanjutnya di “Over Each Other”, kita diperdengarkan vokal Emily menyanyi lagu pop-rock yang lebih slow . Di “Two Faced”, kita kembali mendengar bagaimana Emily bengak-bengok dengan keras dan aur-auran.
Nah, berbagai perbedaan itu semakin terasa di album From Zero. Linkin Park seolah ingin pamer kemampuan vokal Emily yang bisa bernyanyi di berbagai genre. Mau nyanyi slow, gas. Mau nyanyi agak pop, boleh. Mau teriak-teriak, hajar.
Kalau mau di-oversimplified, lagu-lagu di album ini bisa dibagi tiga kategori: Soft (S), Neutral (N), dan Hard (H). Seperti inilah pembagiannya versi Penulis (dengan mengecualikan track pertama), yang menariknya ternyata cukup seimbang:
S: Over Each Other, Stained, Good Things Go
N: The Emptiness Machine, Cut the Bridge, Overflow
H: Heavy is the Crown, Casualty, Two Faced, IGYEIH
Penulis sejujurnya sudah semakin terbiasa dengan vokal Emily dan menyukainya. Keputusan Mike dan Linkin Park untuk menunjukkan terbukti merupakan keputusan yang benar sekaligus membuktikan para hater Emily salah.
Apalagi setelah melihat penampilan Emily di pembukaan turnamen Worlds 2024, rasanya ia terus berusaha untuk improve dan membuktikan bahwa ia penerus yang layak dari mendiang Chester.
Versi Baru dari Lagu-Lagu Lama Linkin Park
Ketika membaca kolom komentar di kanal YouTube Linkin Park, banyak penggemar yang mengaku menangis ketika mendengarkan album ini. Perasaan sentimental tersebut juga hinggap di diri Penulis, karena bagaimanapun ini adalah penantian yang cukup panjang.
Selain itu, ada banyak penggemar yang merasa kalau lagu-lagu di album ini menjadi versi 2.0 dari lagu lama Linkin Park. Yang paling sering disebut adalah lagu “Two Faced” yang dianggap versi baru dari “One Step Closer” dari album Hybrid Theory.
Ada banyak hal yang mengejutkan dari album ini bagi Penulis. Contohnya, di lagu Casualty, kita bisa mendengarkan rap dari Mike dengan cara yang berbeda. Selain itu, di beberapa lagu ia juga bisa melakukan rap yang lebih cepat dari biasanya, padahal ia sudah berusia 47 tahun.
Menurut teman Penulis, album ini membuktikan bahwa Mike adalah seorang rapper yang decent, apalagi jika dibandingkan rapper-rapper baru yang menurutnya “alay” dengan hit-hit baru yang mungkin tidak cocok untuk telinga milenial.
Contoh lainnya, siapa yang menyangka bisa mendengar scratch alias ceket-ceket ala Mr. Hahn di tahun 2024? Padahal, teknik tersebut sudah dianggap jadul sejak bertahun-tahun lalu. Namun, bagi Penulis yang selalu menyukai permainan Mr. Hahn, hal ini menjadi semacam nostalgia sekaligus obat kangen.
Terakhir, Penulis terkejut karena ternyata hanya “Over Each Other” yang menjadi lagu full Emily di album ini. Selain itu, selalu ada vokal dari Mike, baik nge-rap maupun tidak. Mungkin Linkin Park belum terlalu percaya diri mengeluarkan single full Emily lebih banyak?
Penutup
Secara keseluruhan, Penulis menganggap kalau From Zero merupakan album comeback yang memuaskan. Bisa tetap merasakan Linkin Park yang Penulis kenal sembari mendapatkan sesuatu yang fresh merupakan ha menyenangkan.
Namun, album ini seolah membantah pernyataan Mike dalam satu wawancara kalau mereka start from scratch. Tidak, mereka tidak benar-benar memulai dari nol. Mereka memasukkan apa yang mereka kerjakan selama ini dan memberikan sentuhan baru.
Setelah membahas album ini secara keseluruhan, selanjutnya Penulis akan membahas tiap lagu di dalam album ini satu per satu, lalu membuat tier list-nya. Setelah itu, kira-kira akan ada di posisi mana album From Zero jika dibandingkan album Linkin Park yang lain?
Lawang, 15 November 2024, terinspirasi setelah mendengarkan album From Zero yang baru rilis hari ini
Foto Featured Image: Apple Music
-
Olahraga4 bulan ago
Saya Memutuskan Puasa Nonton MU di Bulan Puasa
-
Fiksi3 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Sang Alkemis
-
Olahraga4 bulan ago
Tergelincirnya Para Rookie F1 di Balapan Debut Mereka
-
Politik & Negara4 bulan ago
Mau Sampai Kapan Kita Dibuat Pusing oleh Negara?
-
Permainan3 bulan ago
Koleksi Board Game #29: Blokus Shuffle: UNO Edition
-
Pengalaman3 bulan ago
Pada Akhirnya Hidup Kita Harus Tetap Berjalan
-
Pengalaman2 bulan ago
Ketika Hobi Menulis Blog Justru Terasa Menjadi Beban
-
Sosial Budaya2 bulan ago
Belajar Sejarah, kok (Cuma) dari TikTok?
You must be logged in to post a comment Login