Connect with us

Musik

Linkin Park dan A Thousand Suns

Published

on

Ketika SMA, Penulis sudah menjadi fans berat Linkin Park dan hafal semua lagunya. Penulis pun menantikan kapan band ini akan merilis album terbarunya.

Harapan Penulis terwujud ketika mereka merilis album A Thousand Suns pada tahun 2010. Di hari perilisan album ini, Penulis langsung mendownload albumnya.

Sebelum albumnya rilis, Penulis sudah melihat single pertamanya yang berjudul The Catalyst yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta.

Secara konsep, Penulis sangat menyukai album ini!

Mengambil Pidato Tokoh Terkenal

Apa yang membuat unik dari album ini adalah banyaknya pidato tokoh terkenal yang dikombinasikan dengan berbagai instrumen modern.

Ada tiga tokoh yang pidatonya digunakan, yakni Robert Oppenheimer (The Radiance), Mario Savio (Wretches and Kings), dan Martin Luther King Jr. (Wisdom, Justice, and Love).

Dari Kiri: Oppenheimer, Savio, King

Judul albumnya diambil dari kutipan Oppenheimer yang bersumber dari sastra HinduIa mengatakan bahwa bom atom terlihat sangat terang seperti seribu matahari.

Oppenheimer sendiri merupakan tokoh proyek Manhattan selama Perang Dunia 2 yang bertanggung jawab dalam produksi bom atom pertama. Ketakutan manusia terhadap perang nuklir menjadi konsep album ini.

Tidak hanya itu, album ini juga memiliki beberapa lagu yang berfungsi sebagai bridging atau transisi dari satu lagu ke lagu lainnya. Jika dihitung, hanya ada sembilan lagu utuh (dari 15 lagu) di dalam album ini.

Selain itu, untuk pertama kalinya mereka tidak mencantumkan nama band ataupun judul album pada covernya. Hal ini dipertahankan pada album The Hunting Party dan One More Light.

Lagu-Lagu A Thousand Suns

Lagu ini dibuka dengan intro yang berjudul The Requiem. Liriknya sendiri diambil dari lirik lagu The Catalyst dengan suara vokal Mike yang diubah menggunakan vocoder.

Ketika membaca sumber lain, ternyata lagu ini juga menggabungkan beberapa komponen dari lagu lain. Untuk pertama kali, Penulis menyukai intro album Linkin Park.

Lagu ini terdengar menyatu dengan lagu The Radiance yang berisikan pidato dari Robert Oppenheimer diriingi dengan electronic beat sederhana.

Ketika iTunes Festival di London pada tahun 2011, Mr. Han memainkan pidato ini dengan epic, walaupun bagi kebanyakan fans mungkin akan terdengar aneh.

Baru di lagu ketiga lah, Burning in the Skieskita bisa mendengarkan sebuah lagu utuh. Di sini, Chester hanya bernyanyi di bagian reff di mana Mike menyanyikan sisanya.

Di dalam video klipnya, kita bisa melihat beberapa aktivitas random yang sedang dalam kondisi slow motion sebelum terkena efek ledakan bom nuklir. Genrenya sendiri menurut Penulis masuk ke dalam pop-rock.

Selanjutnya ada lagu Empty Space di mana kita bisa mendengarkan suara jangkrik dan semacam suara pertempuran. Lagu ini berfungsi sebagai interlude untuk lagu selanjutnya, When They Come for Me.

Lagu tersebut diawali dengan distorted synth stabs yang unik. Mike mendominasi lagu ini dengan rap-nya sehingga lagu ini terkesan bergenre hip-hop.

Semua personel menjadi backing vocal, sementara Chester hanya memiliki sedikit bagian di bagian akhir lagu. Ada juga suara yang dihasilkan toa, yang kalau di dalam konser berasal dari suara Brad.

Beat drum juga terdengar sepanjang lagu. Ketika konser, Chester dan Brad menjadi penabuhnya. Yang jelas, lagu ini benar-benar terdengar seperti hasil eksperimen yang ekstrem.

Track nomor enam adalah Robot Boy yang kurang Penulis sukai. Lagu ini diawali dengan dentingan piano dan vokal Chester yang lembut. Ketika lagu berakhir, terdengar sedikit intro dari lagu selanjutnya, Jornada Del Muerto.

Lagu ini menggunakan Bahasa Spanyol sebagai judul, namun liriknya menggunakan Bahasa Jepang. Hal tersebut membuat lagu ini menjadi satu-satunya lagu Linkin Park yang menggunakan judul dan lirik bahasa asing selain Bahasa Inggris.

Jornada Del Muerto merupakan lagu transisi untuk lagu selanjutnya, Waiting for the Endyang menjadi lagu favorit Penulis dari album ini.

Apa yang membuat Penulis suka dari lagu ini adalah banyaknya permainan synth, rap dari Mike, serta vokal tinggi Chester di bagian akhir lagu. Klimaksnya sangat terasa.

Bagi Penulis, lagu ini terdengar seperti versi modern lagu Papercut. Selain itu, Penulis juga sangat menyukai konsep video klipnya yang sangat keren.

Lagu Blackout menjadi satu-satunya lagu di dalam album ini di mana Chester melakukan screaming. Bisa dibilang, ini merupakan salah satu lagu terunik selain lagu When They Come for Me.

Selanjutnya ada lagu Wretches and Kings yang diawali dengan pidato dari Mario Savio mengenai betapa menjijikkannya perkembangan teknologi.

Lagu ini juga memiliki banyak efek yang unik. Mike juga melakukan rap di lagu ini. Yang menyenangkan dari lagu ini, Penulis bisa mendengar gesekan turntables Mr. Han sekali lagi.

Kita juga akan mendengarkan pidato dari Martin Luther King Jr. pada lagu Wisdom, Justice, and Love, di mana suara Martin makin lama makin terdengar seperti suara robot menjelang akhir lagu.

Pesan tersirat dari efek tersebut masyarakat kita yang semakin lama semakin kehilangan empatinya seperti robot. Lagu ini merupakan transisi untuk lagu selanjutnya, Iridescent.

Lagu ini merupakan soundtrack dari film Transformers: Dark of the Moon. Lagu ini terdengar sangat ballad jika dibandingkan dengan lagu Linkin Park yang lain. Selain itu, liriknya juga masih terkait dengan ancaman bom nuklir.

Kemudian ada lagu The Fallout yang liriknya diambil dari lirik lagu Burning in the Skies. Sekali lagi, Mike menyanyikannya dengan menggunakan vocoder sehingga suaranya berubah.

Lagu tersebut merupakan transisi untuk lagu selanjutnya, The Catalyst. Lagu ini diawali dengan gesekan turntable yang sangat asyik untuk didengarkan, lantas disambung dengan suara vokal Mike dan Chester.

Sebagai single pertama dari album, lagu ini dianggap sebagai representasi sempurna untuk menggambarkan perubahan band. Durasinya cukup panjang, lima setengah menit.

Album ditutup dengan album The Messenger yang menjadi satu-satunya lagu akustik di semua album Linkin Park. Penulis kurang menyukai lagu ini.

Penutup

Jika didengarkan, mungkin album ini terasa aneh karena banyaknya perbedaan yang dimiliki dengan album-album sebelumnya. Sekali lagi Linkin Park memutuskan untuk keluar dari zona nyaman.

Lebih banyak eksperimen musik yang dilakukan para personelnya di dalam album ini. Banyak instrumental yang terdengar, membuat album ini tidak bisa disamakan dengan album lain.

Selain itu, album ini memiliki transisi terbanyak dari lagu ke lagu, membuat album ini seolah-olah tersambung dari lagu pertama hingga lagu terakhir. Itu menjadi poin plus lainnya untuk album ini.

Setelah album ini, Penulis mulai mendengarkan musik-musik Korea hingga tak sadar kalau Linkin mengeluarkan album baru lagi dua tahun kemudian.

Album selanjutnya, Living Things. Stay tuned!

Kebayoran Lama, 22 Maret 2020, terinspirasi karena ingin menulis serial artikel tentang Linkin Park

Foto: Amazon

Musik

Maskulinitas pada Musik Dewa

Published

on

Sejak muda, Penulis cenderung menyukai musik dari band-band luar seperti Linkin Park, My Chemical Romance, Dragonforce, Good Charlotte, Simple Plan, dan lain-lain. Pada dasarnya, Penulis menyukai band yang bergenre rock.

Untuk band Indonesia sendiri, tidak banyak yang Penulis sukai karena merasa tidak cocok dengan selera Penulis. Jika ada, mungkin hanya Peterpan atau yang sekarang telah berubah menjadi Noah.

Nah, ketika berusaha mengingat-ingat apakah ada band Indonesia lain yang disukai, Penulis pun teringat akan salah satu band legendaris: Dewa 19 atau Dewa. Bahkan, bersama Noah, musik-musik Dewa masih ada di playlist Penulis hingga sekarang.

Siapa yang Tidak Mendengarkan Lagu-Lagu Dewa?

Harus diakui kalau Dewa memiliki banyak sekali lagu-lagu ikonik yang masih terdengar enak hingga sekarang. Meskipun sempat berganti vokalis dari Ari Lasso ke Once Mekel, band ini tetap bisa mempertahankan eksistensi mereka, bahkan setelah 30 tahun.

Kalau Penulis sendiri, dirinya lebih menyukai Dewa era Once karena nuansa rock-nya lebih terasa. Lagu-lagu Dewa favorit Penulis pun semuanya dari era Once, mulai dari “Pupus”, “Roman Picisan”, “Risalah Hati”, “Satu”, hingga “Pangeran Cinta”.

Tentu masih banyak lagu-lagu Dewa yang tidak kalah terkenal, seperti “Arjuna”, “Separuh Nafas”, “Kangen”, “Mistikus Cinta”, “Dewi”, “Aku Milikmu”, “Kirana”, “Kamulah Satu-satunya”, dan masih banyak lagi. Tak akan habis rasanya jika harus menyebutkan semua lagu top Dewa.

Tidak hanya karena musiknya saja yang membuat Dewa menjadi legenda, karena lirik yang dimiliki oleh Dewa pun terdengar mewah. Pemilihan kata-katanya sederhana, tapi kerap memiliki makna tersirat yang cukup dalam.

Dalam acara Mata Najwa, Najwa Shihab berkata ke Ahmad Dhani bahwa lirik-lirik yang dimiliki oleh Dewa sangat terasa maskulin. Contohnya adalah lirik “Mistikus Cinta”, yakni “Aku bisa membuatmu, jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta, kepadaku”.

Maskulinitas Lirik ala Dewa

Setelah mendengar perkataan tersebut, Penulis jadi lebih mengamati lagu-lagu Dewa. Setelah diperhatikan secara saksama, ternyata memang benar kalau lirik-lirik Dewa terasa maskulin, bahkan untuk lagu-lagu yang bertemakan tentang patah hati.

Ketika ada lirik-lirik seperti “kau hancurkan hatiku, bila kau tinggalkan aku” pada “Separuh Nafas” dan “kau buat remuk, seluruh hatiku” pada “Pupus”, sama sekali tidak terkesan lemah. Justru, lirik-lirik ini seolah menggambarkan amarah dan perenungan.

Ada juga lagu-lagu dengan lirik berupa yang terkesan begitu percaya diri. Selain “Mistikus Cinta” di atas, ada juga lirik “Semua ini, pasti akan musnah, tetapi tidak cintaku padamu” pada “Pangeran Cinta” atau “Akulah Arjuna, yang mencari cinta” pada “Arjuna”.

Selain itu, ada juga lagu yang memiliki lirik dengan kesan demanding bahkan “mengancam”, seperti lagu “Cinta Gila” dengan lirik “Aku kan berbuat apa saja, untuk mendapatkan kamu lagi“.

Penulis pun membandingkan lirik-lirik Dewa dengan Noah, yang bagi Penulis lebih terasa melankolis. Noah memiliki banyak lagu-lagu bertema patah hati, tapi dibalut dengan lirik-lirik puitis yang membuatnya terasa lebih “tenang”.

Selain itu, lirik dari lagu-lagu Dewa juga terdengar lebih lugas dan jelas, dibandingkan dengan Noah yang penuh metafora. Ini juga menjadi salah satu alasan mengapa lagu-lagu Dewa lebih maskulin dan tidak terkesan cengeng.

Penutup

Jika melihat sosok Ahmad Dhani yang menjadi motor dari band Dewa, rasanya wajar saja Dewa terasa maskulin. Sosoknya yang begitu percaya diri sekaligus jenius membuatnya bisa menciptakan lirik-lirik yang terasa gagah dan megah.

Bisa jadi, justru maskulinitas yang dimiliki oleh Dewa menjadi salah satu alasan mengapa Dewa bisa bertahan setelah 30 tahun. Tidak banyak band Indonesia yang mampu meraih milestone tersebut, apalagi setelah mengganti vokalis utamanya beberapa kali.


Lawang, 20 Mei 2023, terinspirasi setelah menyetujui pendapat Najwa Shihab tentang lirik-lirik lagu Dewa yang terdengar Maskulin

Foto Featured Image: Wallpaper Access

Continue Reading

Musik

9 Personel Twice dan Impresi Saya ke Mereka

Published

on

Seperti yang sudah Penulis bahas pada tulisan sebelumnya, Jihyo merupakan alasan utama mengapa Penulis jadi mendengakan lagu-lagu Twice. Bisa dibilang, Penulis langsung “jatuh cinta” pada pandangan pertama.

Namun, setelah menonton video-video Twice terutama seri Time to Twice, Penulis pun jadi menyukai kesembilan personel lainnya yang menurut Penulis memiliki keunikan masing-masing.

Pada tulisan kali ini, Penulis akan sedikit mengulas kesembilan personel Twice beserta impresi Penulis kepada mereka.

Naeyeon

Im Nayeon (UHD Wallpaper)

Selain Tzuyu yang sudah Penulis ketahui sebelum mengenal Twice, Nayeon adalah anggota lainnya yang Penulis telah ketahui lebih dulu. Alasannya, ia terlihat cukup menonjol ketika Twice menjadi bintang tamu acara Running Man.

Meskipun ia merupakan anggota tertua di Twice (kelahiran 1995), bisa dibilang ia adalah false maknae karena kerap memperlihatkan aegyo-nya. Ini bisa terlihat dalam salah satu episode Running Man, di mana ia berhasil membuat puisi akronim dengan menggemaskan.

Setelah melihat beberapa episode Time to Twice, Penulis menyadari kalau Naeyeon yang merupakan main vocal dan center dari Twice ini memiliki jiwa kompetitif yang mirip dengan Jihyo.

Nayeon juga dikenal karena memiliki gigi kelinci yang sebenarnya sangat cocok dengan dirinya. Sayangnya, ia memutuskan untuk menghilangkan ciri khas tersebut akhir-akhir ini, sehingga kita kini akan melihat deretan giginya yang rata.

Jeongyeon

Yoo Jeongyeon (UHD Wallpaper)

Bagi Penulis, Jeongyeon adalah salah satu member Twice yang paling mudah diingat karena (maaf) letak kedua matanya yang agak jauh. Selain itu ketika baru debut, ia dipersonakan sebagai girl crush dengan potongan rambut pendeknya.

Jeongyeon kerap dianggap sebagai “mommy” karena sifat keibuan yang dimiliki. Bagi Penulis, ia memiliki sifat tsundere di mana ia kerap terlihat sebagai sosok yang cuek dan pemarah, padahal di balik sifat tersebut terdapat perhatian dan kepedulian.

Penulis juga bersimpati atas masalah mental health issue yang sempat menimpanya. Hal tersebut membuatnya sempat vakum untuk waktu yang lama dari segala aktivitas yang dijalani Twice, termasuk konser dan acara Time to Twice.

Setelah comeback, berat badannya terlihat naik cukup signifikan. Hal tersebut membuatnya “diserang” oleh para haters yang menilai para idola harus terlihat langsing sempurna. Untunglah, banyak Once yang memasang badang untuk Jeongyeon.

Momo

Hirai Momo (Wallpaper Access)

Setelah lebih mendalami Twice, personel Twice yang mencuri perhatian Penulis adalah Momo. Setelah membaca di internet, Penulis baru mengetahui kalau Momo berasal dari Jepang, bersama dua member lainnya.

Sebagai main dancer, cerita Momo bisa bergabung dengan Twice cukup dramatis, di mana ia yang sebenarnya sudah tereliminasi dari acara Sixteen tiba-tiba dipilih langsung oleh JYP. Meskipun sempat menjadi kontroversi, ia berhasil membuktikan kapasitasnya.

Secara personality, Momo memberikan kesan sebagai cewek cantik yang agak oon. Video di mana ia kesulitan membaca tulisan berbahasa Jepang menjadi buktinya. Namun, begitu beraksi di atas panggung, tak ada yang meragukan kemampuannya.

Salah satu momen yang paling berkesan dari wanita yang hampir selalu menggunakan poni ini adalah video comedy sketch-nya di mana ia diceritakan menjadi robot dan sempat berdialog “Made from Japan”. Jujur saja, mantan dari Heechul ini terlihat cantik di video tersebut.

Sana

Minatozaki Sana (UHD Pixel)

Sana adalah anggota Twice lainnya yang berasal dari Jepang. Ia terkenal berkat kerap membawakan iconic line dari lagu-lagu Twice, terutama “shy shy shy” dari lagu Cheer Up yang sempat viral beberapa tahun lalu karena Sana mengucapkannya seperti “sha sha sha

Tidak hanya itu, ada beberapa ucapan lainnya yang juga sempat viral. Salah satu yang paling terkenal tentu saja “Cheese Kimbap” ketika ia menjadi salah satu bintang tamu di sebuah acara reality show. Frasenya memang biasa, tapi cara ia mengucapkannya-lah yang menggemaskan.

Melalui salah satu video di YouTube, Penulis mengetahui kalau Sana adalah satu-satunya anggota Twice yang extrovert-nya lebih dominan dibandingkan introvert-nya. Dalam beberapa klip, memang terlihat kalau ia terkadang bisa menjadi sosok yang hyper.

Nah, bisa jadi karena sifatnya yang agak hyper tersebut, ia terkesan sebagai sosok yang clumsy dan beberapa kali terlihat ceroboh. Bagi penggemarnya, hal tersebut hanya menambah daya tarik untuk mengidolakan Sana.

Jihyo

Park Jihyo (Wallpaper Access)

Penulis sudah beberapa kali menyinggung bahwa meskipun sudah mengenal Tzuyu dan Nayeon, justru Jihyo-lah yang membuat Penulis tertarik untuk masuk ke dunia per-K-Pop-an lagi melalui Twice.

Ketika pertama kali diperlihatkan fotonya oleh teman, Penulis langsung tertarik kepadanya. Kecantikan dan “aura” yang dimilikinya benar-benar mempesona. Apalagi, ia berstatus sebagai leader dari Twice.

Ketertarikan kepada Jihyo bertambah setelah menonton video-video Time to Twice. Meskipun cantik, ternyata ia juga merupakan sosok yang kocak. Entah bagaimana di belakang layar, tapi setidaknya di depan layar ia sering terlihat sebagai sosok yang selalu ceria.

Walaupun bisa dikatakan mengidolakan Jihyo, Penulis rasanya tidak akan sampai rela mengeluarkan uang untuk membeli photobook seharga 700 ribuan seperti teman Penulis. Bahkan, ia sampai membeli dua versi dari photobook tersebut.

Mina

Mina Myoi (Wallpaper Cave)

Jika Pembaca mencari idol yang pendiam dan terkesan cool, maka Mina jelas akan menjadi bias yang sesuai. Bahkan hampir di semua acara wawancara bersama Twice, Mina lebih sering dia dan membiarkan rekan-rekannya yang berbicara.

Dalam beberapa episode Time to Twice yang sifatnya kompetisi, Mina bisa dibilang cukup pasif dan terlihat sama sekali tidak kompetitif. Rasanya sangat jarang untuk sekadar mendengarkan suaranya.

Selain itu, Mina juga menjadi salah satu anggota Twice yang berasal dari Jepang bersama Momo dan Mina. Jujur, waktu pertama kali melihatnya, Penulis merasa wajahnya cocok untuk menjadi orang Indonesia dan kurang Jepang.

Sama seperti Jeongyeon, Mina pun sempat terkena masalah mental health hingga membuatnya vakum dari Twice. Pembaca bisa menyaksikan cerita lengkapnya di YouTube Twice dengan tajuk Seize the Light.

Dahyun

Kim Dahyun (Wallpaper Access)

Nah, kalau yang satu ini bisa dibilang salah satu anggota yang paling kocak,random, dan kadang absurd. Dahyun, sang master pencari kamera, adalah anggota Twice yang kerap mampu menghidupkan suasana dengan baik.

Sejak awal, rapper dari Twice ini memang sudah terlihat berbakat. Hal ini terlihat dari bagaimana ia lolos audisi dari tiga agensi top Korea Selatan, yakni JYP, SM, dan, YG. Namun, pada akhirnya Dahyun memilih JYP hingga akhirnya bergabung dengan Twice.

Dahyun merupakan anggota Twice dengan kulit terputih hingga mendapat julukan sebagai tofu. Menurut Penulis, wajahnya membuatnya terlihat pantas untuk menjadi salah satu dari cece-cece Surabaya.

Sebagai anggota yang unik, ada beberapa hal yang menarik dari Dahyun. Salah satunya adalah bagaimana ia dengan santainya mampu menangkap serangga, di saat yang lain teriak ketakutan. Jangan lupakan juga tarian elangnya yang legendaris.

Chaeyoung

Son Chaeyoung (Rare Gallery)

Chaeyoung merupakan member favorit dari teman yang menyarankan Penulis untuk menonton Time to Twice. Awalnya, Penulis mengira tidak ada yang spesial dari rapper Twice selain Dahyun ini. Ternyata, Penulis salah.

Pertama, jelas ia adalah member yang paling nyeni di antara member lainnya. Tidak hanya karena tato-tato yang ada di sekujur tubuhnya, ia juga memiliki bakat dalam bidang menggambar. Bahkan, ia pernah berkolaborasi dengan Google.

Chaeyoung mendapatkan julukan sebagai Baby Beast karena, meskipun menjadi karakter paling mungil di Twice, ia memiliki kesan tough yang keren. Selain itu, menurut Penulis ia juga menjadi salah satu member Twice yang terasa misterius.

Salah satu yang Penulis kagumi dari Chaeyoung adalah dia hampir cocok dengan segala macam model rambut. Dibandingkan anggota lainnya, ia menjadi yang paling sering bergonta-ganti model rambut.

Tzuyu

Choi Tzuyu (Wallpaper Foru)

Tzuyu, seperti yang sudah Penulis tuliskan sebelumnya, adalah member Twice pertama yang Penulis ketahui jauh sebelum Penulis mendengarkan lagu-lagu Twice. Hal tersebut karena memang harus diakui kalau ia memiliki kecantikan di atas rata-rata.

Sebagai maknae asli Taiwan, ternyata Tzuyu memiliki kepribadian yang pemalu, introvert, dan kerap mengundang tawa personel lainnya berkat kepolosannya. Ketika ada kompetisi di Time to Twice, ia terlihat tidak terlalu kompetitif dibandingkan lainnya.

Walaupun begitu, member tertinggi dari Twice ini sebenarnya cukup atletis untuk ukuran wanita. Hal ini terbukti dari kehandalannya dalam memanah dalah salah satu event olahraga bersama idol Korea lainnya. Tak heran jika ia dijuluki sebagai Goddess of Archery.

Pada masa-masa awal debut bersama Twice, Tzuyu sempat terkena “skandal” gara-gara mengibarkan bendera Taiwan. Hal tersebut tentu saja memicu amarah China, sehingga Tzuyu yang ketika itu baru berusia 16 tahun harus mengeluarkan statement permintaan maaf.

Penutup

Dimulai dari Tzuyu, Nayeon, Jihyo, hingga akhirnya Penulis “mengenal” masing-masing personel Twice yang berjumlah 9 orang, walaupun memang hanya sebatas apa yang terlihat di depan layar. Lima berasal dari Korea Selatan, tiga berasal dari Jepang, dan satu dari Taiwat

Tulisan ini adalah penutup dari “trilogi” artikel tentang Twice. Penulis sendiri sebenarnya tidak merasa yakin akan mendengarkan lagu-lagu Twice dalam rentang waktu yang lama, mengingat pada dasarnya Penulis adalah penggemar musik rock.

Namun, setidaknya saat ini Penulis akan menikmati Twice sampai merasa bosan, walaupun rasanya Penulis akan lebih lama mendengarkan Twice daripada Blackpink. Apalagi, Penulis juga merasa tertarik kepada para personelnya yang masing-masing terasa unik.


Lawang, 7 Mei 2023, terinspirasi dari keinginannya menulis impresi dari masing-masing personel

Foto: allkpop

Continue Reading

Musik

Feel Special: Twice

Published

on

Ketika makin sering bersentuhan dengan Twice, Penulis masih berusaha keras untuk tidak terlalu mendengarkan lagu-lagu mereka. Apalagi alasannya cukup kuat, karena lagu-lagu Twice cukup terasa girly dan ceria, sehingga tidak masuk ke dalam selera Penulis.

Namun, Penulis lupa jika Twice telah debut sejak tahun 2015. Artinya, mereka memiliki jumlah lagu yang cukup banyak. Berawal dari satu lagu, Penulis pun makin banyak mendengarkan lagu-lagu mereka.

Padahal, awalnya Penulis merasa cukup untuk mengenal Twice lewat acara reality show mereka saja, Time to Twice. Personalitas masing-masing personil cukup menyenangkan untuk ditonton. Ternyata, itu saja tidak cukup, apalagi Time to Twice kerap memutar lagu Twice.

Berawal dari Empat Lagu

Ketika mulai mendengarkan lagu-lagu Twice, ada beberapa yang sudah terngiang-ngiang di kepala karena sudah sering mendengarkannya, baik di Reels maupun Time to Twice. Keempat lagu tersebut adalah Talk That Talk, The Feels, What Is Love?, dan Alcohol Free.

Bagi Penulis, keempat lagu tersebut terasa benar-benar Twice. Ceria, energik, fun untuk didengarkan, diselingi rap yang catchy. Dua lagu yang disebut pertama juga Penulis sukai karena vokal Jihyo yang kuat benar-benar menonjol.

Di antara empat lagu tersebut, jika disuruh memilih satu, maka Penulis akan memilih Alcohol Free yang terasa ringan, tapi memberikan “candu” tertentu. Apalagi, video klipnya juga berhasil memberikan sensasi musim panas yang menyegarkan.

Dari keempat lagu ini, Penulis juga jadi belajar bagaimana pembagian vokal dari masing-masing member. Awalnya Penulis cukup merasa kesulitan membedakan suara mereka, walaupun sekarang sudah lumayan bisa.

Nayeon dan Jihyo jelas menjadi main vocal, sedangkan Chaeyoung dan Dahyun menjadi rapper. Mina dan Tzuyu kerap mengisi bridging, sedangkan Sana sering menyanyikan bagian-bagian yang ikonik seperti Shy Shy Shy di lagu Cheer Up.

Personel lainnya, Jeongyeon dan Momo, biasanya mendapatkan porsi yang cukup kecil di dalam lagu. Jeongyeon terkadang juga memegang peran sebagai main vocal ketiga, sedangkan Momo akan menjadi rapper ketiga.

Setelah berkali-kali mendengarkan keempat lagu tersebut, Penulis pun akhirnya memutuskan untuk mencoba mendengarkan lagu-lagu Twice lainnya. Akhirnya, Penulis pun menemukan banyak sekali lagu Twice yang ternyata enak untuk didengarkan.

Evolusi Twice ke Arah yang Lebih Dewasa

I Can’t Stop Me, Cheer Up, More & More, Yes or Yes, Likey, Dance the Night Away, Signal, hingga Knock Knock adalah lagu-lagu selanjutnya yang Penulis sukai. Lagu yang disebut pertama bahkan menjadi favorit, walau kesan lagu ini berbeda dari lagu lainnya.

I Can’t Stop Me bisa dibilang menjadi penanda bahwa Twice mulai meninggalkan kesan unyu-unyu dan memasuki periode mature di mana lagunya lebih terdengar serius dan menghilangkan keceriaan pada lagunya.

Meskipun baru mendengarkan Twice, Penulis bisa menyimpulkan bahwa Twice memang sedang menuju ke arah sana. Dua lagu terakhirnya, Moonlight Sunrise dan Set Me Free juga terkesan serius, bahkan cenderung gelap.

Jihyo sendiri dalam salah satu interview mengatakan bahwa dirinya dan personel lain merasa sudah cukup berumur, dan akan malu jika harus membawakan lagu-lagu lama mereka yang terasa imut seperti TT dan Cheer Up.

Entah apakah di masa depan Twice akan benar-benar berhenti membawakan lagu-lagu lama mereka dan berfokus membawakan lagu yang terkesan dewasa. Penulis jarang menonton video konser mereka, sehingga rasanya keputusan tersebut tidak terlalu berpengaruh bagi dirinya.

Sebagai tambahan, Penulis justru tidak terlalu menyukai lagu-lagu populer Twice seperti Fancy dan Feel Special. Penulis mendengarkan lagu-lagu tersebut, hanya saja tidak pernah menjadi favoritnya.

Selain itu, Penulis juga mendengarkan lagu Twice lainnya seperti Like Ooh-Ahh, TT, Cry for Me, Touchdown, Celebrate, Heart Shaker, Scientist, Lalala, Queen of Heart, hingga Depends on You. Namun, tidak ada yang benar-benar jadi favorit.

Penutup

Ketika mulai mendengarkan lagu Blackpink, hanya ada beberapa lagu mereka yang berhasil masuk ke dalam daftar favorit. Bahkan, rasa bosannya pun sangat cepat datang hingga akhirnya Penulis berhenti mendengarkan lagu-lagu mereka.

Beda cerita dengan Twice. Berawal dari empat lagu, Penulis mendengarkan puluhan lagu mereka. Bahkan, ada belasan yang Penulis masukkan ke dalam daftar favoritnya karena memang menyukai lagu-lagunya.

Mungkin ada unsur bias karena Penulis telah menonton Time to Twice terlebih dahulu sebelum mendengarkan lagunya, sehingga ada perasaan “dekat” karena mengetahui sifat-sifat mereka. Namun, menurut Penulis lagu-lagunya memang easy listening dan catchy.

Penulis benar-benar tidak menyangka akan terjun sedalam ini lagi ke dunia K-Pop hanya dalam waktu beberapa bulan. Twice memang benar-benar feel special.


Lawang, 7 April 2023, terinspirasi setelah merasa dirinya semakin mendalami Twice

Foto: KEPOPER

Continue Reading

Fanandi's Choice