Musik
Linkin Park dan A Thousand Suns
Published
5 tahun agoon
By
FanandiKetika SMA, Penulis sudah menjadi fans berat Linkin Park dan hafal semua lagunya. Penulis pun menantikan kapan band ini akan merilis album terbarunya.
Harapan Penulis terwujud ketika mereka merilis album A Thousand Suns pada tahun 2010. Di hari perilisan album ini, Penulis langsung mendownload albumnya.
Sebelum albumnya rilis, Penulis sudah melihat single pertamanya yang berjudul The Catalyst yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta.
Secara konsep, Penulis sangat menyukai album ini!
Mengambil Pidato Tokoh Terkenal
Apa yang membuat unik dari album ini adalah banyaknya pidato tokoh terkenal yang dikombinasikan dengan berbagai instrumen modern.
Ada tiga tokoh yang pidatonya digunakan, yakni Robert Oppenheimer (The Radiance), Mario Savio (Wretches and Kings), dan Martin Luther King Jr. (Wisdom, Justice, and Love).
Judul albumnya diambil dari kutipan Oppenheimer yang bersumber dari sastra Hindu. Ia mengatakan bahwa bom atom terlihat sangat terang seperti seribu matahari.
Oppenheimer sendiri merupakan tokoh proyek Manhattan selama Perang Dunia 2 yang bertanggung jawab dalam produksi bom atom pertama. Ketakutan manusia terhadap perang nuklir menjadi konsep album ini.
Tidak hanya itu, album ini juga memiliki beberapa lagu yang berfungsi sebagai bridging atau transisi dari satu lagu ke lagu lainnya. Jika dihitung, hanya ada sembilan lagu utuh (dari 15 lagu) di dalam album ini.
Selain itu, untuk pertama kalinya mereka tidak mencantumkan nama band ataupun judul album pada covernya. Hal ini dipertahankan pada album The Hunting Party dan One More Light.
Lagu-Lagu A Thousand Suns
Lagu ini dibuka dengan intro yang berjudul The Requiem. Liriknya sendiri diambil dari lirik lagu The Catalyst dengan suara vokal Mike yang diubah menggunakan vocoder.
Ketika membaca sumber lain, ternyata lagu ini juga menggabungkan beberapa komponen dari lagu lain. Untuk pertama kali, Penulis menyukai intro album Linkin Park.
Lagu ini terdengar menyatu dengan lagu The Radiance yang berisikan pidato dari Robert Oppenheimer diriingi dengan electronic beat sederhana.
Ketika iTunes Festival di London pada tahun 2011, Mr. Han memainkan pidato ini dengan epic, walaupun bagi kebanyakan fans mungkin akan terdengar aneh.
Baru di lagu ketiga lah, Burning in the Skies, kita bisa mendengarkan sebuah lagu utuh. Di sini, Chester hanya bernyanyi di bagian reff di mana Mike menyanyikan sisanya.
Di dalam video klipnya, kita bisa melihat beberapa aktivitas random yang sedang dalam kondisi slow motion sebelum terkena efek ledakan bom nuklir. Genrenya sendiri menurut Penulis masuk ke dalam pop-rock.
Selanjutnya ada lagu Empty Space di mana kita bisa mendengarkan suara jangkrik dan semacam suara pertempuran. Lagu ini berfungsi sebagai interlude untuk lagu selanjutnya, When They Come for Me.
Lagu tersebut diawali dengan distorted synth stabs yang unik. Mike mendominasi lagu ini dengan rap-nya sehingga lagu ini terkesan bergenre hip-hop.
Semua personel menjadi backing vocal, sementara Chester hanya memiliki sedikit bagian di bagian akhir lagu. Ada juga suara yang dihasilkan toa, yang kalau di dalam konser berasal dari suara Brad.
Beat drum juga terdengar sepanjang lagu. Ketika konser, Chester dan Brad menjadi penabuhnya. Yang jelas, lagu ini benar-benar terdengar seperti hasil eksperimen yang ekstrem.
Track nomor enam adalah Robot Boy yang kurang Penulis sukai. Lagu ini diawali dengan dentingan piano dan vokal Chester yang lembut. Ketika lagu berakhir, terdengar sedikit intro dari lagu selanjutnya, Jornada Del Muerto.
Lagu ini menggunakan Bahasa Spanyol sebagai judul, namun liriknya menggunakan Bahasa Jepang. Hal tersebut membuat lagu ini menjadi satu-satunya lagu Linkin Park yang menggunakan judul dan lirik bahasa asing selain Bahasa Inggris.
Jornada Del Muerto merupakan lagu transisi untuk lagu selanjutnya, Waiting for the End, yang menjadi lagu favorit Penulis dari album ini.
Apa yang membuat Penulis suka dari lagu ini adalah banyaknya permainan synth, rap dari Mike, serta vokal tinggi Chester di bagian akhir lagu. Klimaksnya sangat terasa.
Bagi Penulis, lagu ini terdengar seperti versi modern lagu Papercut. Selain itu, Penulis juga sangat menyukai konsep video klipnya yang sangat keren.
Lagu Blackout menjadi satu-satunya lagu di dalam album ini di mana Chester melakukan screaming. Bisa dibilang, ini merupakan salah satu lagu terunik selain lagu When They Come for Me.
Selanjutnya ada lagu Wretches and Kings yang diawali dengan pidato dari Mario Savio mengenai betapa menjijikkannya perkembangan teknologi.
Lagu ini juga memiliki banyak efek yang unik. Mike juga melakukan rap di lagu ini. Yang menyenangkan dari lagu ini, Penulis bisa mendengar gesekan turntables Mr. Han sekali lagi.
Kita juga akan mendengarkan pidato dari Martin Luther King Jr. pada lagu Wisdom, Justice, and Love, di mana suara Martin makin lama makin terdengar seperti suara robot menjelang akhir lagu.
Pesan tersirat dari efek tersebut masyarakat kita yang semakin lama semakin kehilangan empatinya seperti robot. Lagu ini merupakan transisi untuk lagu selanjutnya, Iridescent.
Lagu ini merupakan soundtrack dari film Transformers: Dark of the Moon. Lagu ini terdengar sangat ballad jika dibandingkan dengan lagu Linkin Park yang lain. Selain itu, liriknya juga masih terkait dengan ancaman bom nuklir.
Kemudian ada lagu The Fallout yang liriknya diambil dari lirik lagu Burning in the Skies. Sekali lagi, Mike menyanyikannya dengan menggunakan vocoder sehingga suaranya berubah.
Lagu tersebut merupakan transisi untuk lagu selanjutnya, The Catalyst. Lagu ini diawali dengan gesekan turntable yang sangat asyik untuk didengarkan, lantas disambung dengan suara vokal Mike dan Chester.
Sebagai single pertama dari album, lagu ini dianggap sebagai representasi sempurna untuk menggambarkan perubahan band. Durasinya cukup panjang, lima setengah menit.
Album ditutup dengan album The Messenger yang menjadi satu-satunya lagu akustik di semua album Linkin Park. Penulis kurang menyukai lagu ini.
Penutup
Jika didengarkan, mungkin album ini terasa aneh karena banyaknya perbedaan yang dimiliki dengan album-album sebelumnya. Sekali lagi Linkin Park memutuskan untuk keluar dari zona nyaman.
Lebih banyak eksperimen musik yang dilakukan para personelnya di dalam album ini. Banyak instrumental yang terdengar, membuat album ini tidak bisa disamakan dengan album lain.
Selain itu, album ini memiliki transisi terbanyak dari lagu ke lagu, membuat album ini seolah-olah tersambung dari lagu pertama hingga lagu terakhir. Itu menjadi poin plus lainnya untuk album ini.
Setelah album ini, Penulis mulai mendengarkan musik-musik Korea hingga tak sadar kalau Linkin mengeluarkan album baru lagi dua tahun kemudian.
Album selanjutnya, Living Things. Stay tuned!
Kebayoran Lama, 22 Maret 2020, terinspirasi karena ingin menulis serial artikel tentang Linkin Park
Foto: Amazon
Musik
Cara Linkin Park Membiasakan Vokal Emily kepada Penggemarnya
Published
1 minggu agoon
27 September 2024By
FanandiLinkin Park baru saja merilis single terbaru mereka yang berjudul “Heavy is the Crown.” Lagu ini akan menjadi anthem untuk ajang League of Legends World Championship 2024, salah satu turnamen esports terbesar di dunia.
Ini adalah lagu kedua yang dirilis oleh Linkin Park setelah mengumumkan comeback dengan personel baru, Sebelumnya, mereka telah merilis lagu “The Emptiness Machine.” Sejujurnya, Penulis sama sekali tidak berekspetasi kalau mereka akan merilis lagu secepat ini.
Ketika mendengarkan kedua lagu ini secara berulang-ulang, Penulis jadi menyadari satu hal. Ini bisa jadi merupakan cara Linkin Park untuk membiasakan vokal Emily Armstorng kepada para pendengar setianya,
Memulai Semua dari Nol
Ketika menjadi bintang tamu di acara The Tonight Show Starring Jimmy Fallon, Mike Shinoda bercerita mengenai alasan penamaan album From Zero, yang akan menjadi album pertama Linkin Park dengan personel baru.
Menurutnya, ada dua alasan dari penamaan tersebut. Pertama, karena nama band-nya sebelum menjadi Linkin Park adalah Xero, yang jika diucapkan akan terdengar seperti kata zero dengan huruf x di depannya.
Alasan kedua, adalah karena nama tersebut menggambarkan posisi Linkin Park saat ini yang ingin memulai semuanya dari nol, memulai semunya dari kanvas kosong. Ucapannya ini mungkin bisa tidak diterima, mengingat sejatinya Linkin Park tidak benar-benar memulai lagi dari nol karena telah memiliki nama besar di industri musik.
Namun, di sisi lain, melakukan comeback dengan vokalis baru jelas bukan hal yang mudah untuk sebuah band, apalagi jika vokalis lamanya sudah terlalu melekat. Seperti yang kita tahu, masih banyak penggemar yang belum terima posisi Chester digantikan oleh Emily.
Oleh karena itu, bisa dipahami juga kalau Mike mengatakan hal tersebut dan sah-sah saja. Apalagi, seperti yang sudah pernah Penulis bahas sebelumnya, Chester dan Emily memiliki tipe vokal yang berbeda, sehingga musik-musik Linkin Park ke depannya pun rasanya akan menyesuaikan dengan tipe vokal Emily.
Bagaimana Suara Emily Mulai Terbiasa di Telinga
Sejak debut, Linkin Park dikenal dengan konsep uniknya yang menggabungkan unsur hip-hop, rock, dan elektronik. Mike kerap ikut bernyanyi untuk mengisi lirik rap dan Chester akan bernyanyi di bagian reff. Namun, tak jarang lagu-lagu Linkin Park hanya memperdengarkan suara Chester.
Pada dua single pertama mereka dari album Hybrid Theory, “One Step Closer” dan “Crawling,” part Mike sangat sedikit sekali dan sangat menonjolkan vokal Chester. Baru di lagu “Papercut” dan “In the End” kita bisa mendengar Mike nge-rap dengan cukup panjang.
Nah, cara tersebut dibalik ketika Linkin Park merilis dua single terbaru mereka dari album From Zero, “The Emptiness Machine” dan “Heavy is the Crown.” Alih-alih langsung merilis lagu yang dominan suara Emily, mereka memutuskan untuk merilis lagu yang dominan suara Mike.
Hal ini, menurut Penulis, merupakan langkah cerdik mereka untuk membiasakan pendengarnya dengan suara Emily secara setahap demi setahap. Jika langsung merilis lagu yang menonjolkan suara Emily, bisa-bisa pendengar ogah mendengarkannya.
Di lagu “The Emptiness Machine,” Mike bahkan bernyanyi hampir 3/4 lagu, di mana reff pertama ia nyanyikan sendiri. Di konser perdana setelah mereka comeback kemarin, kita bisa melihat kalau Emily baru muncul di atas panggung ketika lagu telah berjalan setengah.
Nah, di lagu terbaru mereka, “Heavy is the Crown,” mereka menggunakan “formula klasik” yang mirip dengan awal-awal Linkin Park di awal tahun 2000-an. Mike nge-rap, lalu Emily mengisi bagian reff dan bridging menuju reff terakhir.
Selain itu, lagu tersebut juga menarik karena Emily melakukan screaming cukup panjang, yang tentu saja akan mengingatkan screaming yang dilakukan oleh Chester pada lagu “Given Up” dari album Minutes to Midnight.
Dari sisi musikalitas, Linkin Park tidak melakukan eksperimen yang aneh-aneh seperti yang mereka lakukan pada album One More Light. Seandainya mereka mengeluarkan lagu pop seperti album tersebut, bisa-bisa penggemar tak akan tertarik untuk mendengarkan mereka lagi.
Oleh karena itu, Penulis merasa senang ketika Linkin Park kembali ke jati diri mereka sebagai rock band. Walau di atas mengatakan kalau mereka menggunakan formula klasik, menurut Penulis lagu-lagu baru mereka setipe dengan lagu-lagu di album The Hunting Party.
Mungkin, keputusan ini juga diambil agar sejalan dengan tema From Zero, yang juga bisa dimaknai kembali ke akar. Linkin Park bersama Emily ingin kembali ke akar mereka sebagai salah satu rock band terbesar di dunia.
Sebagai penutup, Penulis mendapatkan bocoran daftar lagu yang akan ada di album From Zero dari platform Apple Music. Penulis yakin, akan ada lagu yang hanya memperdengarkan vokal Emily saja tanpa ada suara Mike. Berikut daftar lagunya:
- From Zero (Intro)
- The Emptiness Machine
- Cut the Bridge
- Over Each Other
- Casualty
- Overflow
- Two Faced
- Stained
- IGYEIH
- Good Things Go
Lawang, 26 September 2024, terinspirasi setelah mendengarkan single terbaru dari Linkin Park, “Heavy is the Crown”
Foto Featured Image: Loudwire
Musik
Vokal Chester Bennington Ternyata Memang Seistimewa Itu
Published
3 minggu agoon
13 September 2024By
FanandiTelah satu minggu berlalu sejak Linkin Park mengumumkan vokalis baru yang menjadi penerus dari Chester Bennington. Sejak itu, penggemar terbagi menjadi dua kubu, antara yang menerima dan yang menolak.
Pihak yang menerima menganggap kalau Chester memang tak akan pernah tak tergantikan. Emily Armstrong adalah penerusnya dengan kekuatan dan ciri khas vokalnya sendiri untuk era baru Linkin Park. Penulis secara pribadi masuk ke dalam kubu ini.
Pihak yang menolak menganggap kalau Emily tidak layak untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Chester. Kalau mau menggandeng vokalis baru, mending ganti nama jangan pakai nama Linkin Park. Apalagi, Rob Bourdon juga telah keluar.
Belum lagi banyaknya skandal yang membayangi Emily di masa lalu, terutama terkait dengan Scientology dan dukungannya terhadap pemerkosa bernama Danny Masterson. Masalah ini terus-menerus dibahas oleh mereka yang kontra dengan keberadaan Emily di Linkin Park.
Bagaimana Kualitas Vokal Emily Armstrong di Linkin Park?
Dalam tulisan sebelumnya, Penulis telah mengeluarkan pendapatnya tentang kualitas vokal yang dimiliki oleh Emily. Untuk lagu baru, “The Emptiness Machine,” suaranya masuk banget dan Penulis benar-benar menikmatinya.
Suara Emily adalah suara rocker yang serak-serak basah. Ia juga memiliki kemampuan untuk screaming yang lumayan. Namun, memang ketika menyanyikan lagu-lagu Linkin Park yang lama, suaranya tampak kurang dan nadanya tak bisa sampai.
Penulis menemukan sebuah twit yang menjelaskan hal ini. Lagu “Numb” yang dibawakan bersama Emily dinaikkan tiga nada, dan itu pun Emily masih kewalahan. Tahu naik berapa nada ketika Chester yang nyanyi? Enam.
Menurut Penulis, yang paling parah adalah waktu ia menyanyikan lagu “The Catalyst.” Bukan hanya nadanya tidak sampai, ia sampai harus kehilangan suaranya berkali-kali dan melemparkan mic-nya ke penonton untuk menutupi hal tersebut.
Ini bukan berarti Emily penyanyi yang jelek, tapi memang standarnya Chester saja yang ketinggian. Vokal Chester memang diakui secara luas istimewa, dan tak banyak yang mampu bernyanyi lagu-lagu Linkin Park seperti dirinya.
Penyanyi Lain pun Kewalahan Menyanyikan Lagu Linkin Park
Sulitnya meniru kemampuan vokal Chester juga terlihat dari konser Linkin Park & Friends Celebrate Life in Honor of Chester Bennington yang tayang sekitar tujuh tahun lalu. Konser tersebut merupakan peringatan akan kematian Chester, dan banyak penyanyi yang menyumbangkan suaranya.
Lantas, adakah yang bisa bernyanyi sebaik Chester? Menurut Penulis, tidak. Meskipun ada banyak nama-nama besar pada konser tersebut, benar-benar tidak ada yang bisa mengisi peran Chester sesempurna itu.
Taka dari One Ok Rock menyumbang suara untuk lagu “Somewhere I Belong,” di mana ia sempat lupa lirik di bagian bridging. Tak hanya itu, di beberapa lirik juga terlihat suaranya yang terkenal tinggi pun tak mampu menjangkaunya.
Vokalis Bring Me the Horizon, Oliver Sykes, kebagian lagu Crawling yang dikenal sebagai salah satu lagu tersulit Linkin Park yang bahkan Chester mengatakan kalau lagu tersebut termasuk sulit. Hasilnya? Vokal Oliver sering tak kuat ketika menyanyikan bagian reff-nya.
Selanjutnya, ada Deryck Whibley yang merupakan vokalis dari Sum 41. Ia kebagian lagu “The Catalyst” yang di mana Emily kesulitan untuk menyanyikannya. Namun, Deryck cukup mampu membawakannya, meskipun di beberapa kesempatannya terdengarnya napasnya habis.
M. Shadow sebagai vokalis Avenged Sevenfold juga menyumbang suaranya untuk dua lagu, “Burn It Down” dan “Faint.” Bisa dibilang di antara semua, ia masih yang termasuk lumayan walau style-nya jadi berubah Avenged banget.
Masih ada banyak penyanyi dan vokalis lain yang berkontribusi pada konser tersebut. Namun, rasanya empat contoh di atas sudah cukup untuk membuktikan bahwa vokal yang dimiliki oleh Chester memang benar-benar istimewa.
Mengapa Vokal Chester Bennington Seistimewa Itu?
Penulis tidak bermaksud menganggap bahwa Chester adalah vokalis terbaik sepanjang masa. Namun, pada lagu-lagu Linkin Park, memang terbukti beberapa kali lagunya cukup sulit untuk dinyanyikan. Sulit untuk meniru kemampuan vokal Chester.
Tadi sudah disinggung tentang lagu “Crawling” yang menjadi salah satu lagu tersulit. Ada juga lagu “The Catalyst” yang membuat siapa pun yang mencoba menyanyikannya kehabisan napas. Menariknya, masih ada banyak lagu Linkin Park yang juga cukup sulit untuk dinyanyikan.
Contohnya adalah “Given Up” karena ada bagian screaming sepanjang 17 detik non-stop. Lalu, ada lagu “Breaking the Habit” yang walaupun terkesan ngepop, ternyata susah sekali untuk menggapai nada setinggi yang dikeluarkan oleh Chester. Masih banyak lagi, tapi contoh-contoh tersebut sudah cukup.
Apa yang membuat vokal Chester menjadi istimewa adalah kemampuannya bernyanyi baik pada nada rendah maupun nada tinggi. Dari yang Penulis baca di Twitter, Chester memiliki range vokal Alto-Soprano, sehingga wajar nadanya kerap tinggi.
Dalam salah satu video footage di belakang panggung, ada sebuah rekaman di mana Chester sedang melakukan pemanasan suara. Pada satu titik, ia bisa melengkingkan suaranya tinggi sekali seperti Freddy Mercury dari Queen.
Tidak hanya dari sisi nada, dari sisi lembut-kerasnya pun Chester cukup fleksibel. Ia bisa bernyanyi selembut “One More Light,” tapi bisa teriak-teriak seperti di lagu “Lying From You.” Suaranya juga selalu stabil di atas panggung, bahkan setelah melakukan screaming sekali pun.
Satu hal lagi yang membuat vokal Chester istimewa adalah bagaimana ia terlihat effortless dalam membawakan lagu-lagu Linkin Park, sehingga kita sebagai penggemar percaya bahwa kita bisa menyanyikannya juga. Saat mencobanya di karaoke, baru kita sadar betapa mustahilnya hal tersebut.
Setelah kehilangan Chester dan melihat banyaknya penyanyi dan vokalis yang mencoba menyanyikan bagiannya, Penulis baru sadar betapa istimewa vokal yang dimilikinya. Memang, terkadang kita baru menyadari sesuatu setelah kehilangannya.
Lawang, 13 September 2024, teinspirasi setelah menyadari banyak lagu Linkin Park yang terlalu sulit untuk dinyanyikan
Sumber Featured Image: NBC News
Musik
Menatap Era Baru Linkin Park Bersama Emily Armstrong
Published
4 minggu agoon
6 September 2024By
FanandiBeberapa waktu lalu, Linkin Park dan beberapa anggota band mengunggah sebuah pos misterius. Penggemar, termasuk Penulis, tentu bertanya-tanya proyek apa yang akan diumumkan kali ini.
Penulis sendiri berusaha untuk tidak berharap apa-apa, takutnya kecewa kalau ternyata pengumumannya nggeletek. Oleh karena itu, Penulis benar-benar terkejut ketika mengetahui kalau ternyata pengumumannya adalah Linkin Park akan segera comeback!
Linkin Park juga akan memiliki vokalis baru Emily Armstrong dan drummer baru Colin Brittain. Mereka juga merilis single baru berjudul “The Emptiness Machine” dan akan merilis album baru berjudul From Zero pada tanggal 15 November 2024. BOOM!!!
Linkin Park’s Surprising Comeback
Sudah lebih dari tujuh tahun sejak kepergian Chester Bennington. Penulis sejatinya sudah berusaha berhenti berharap kalau Linkin Park akan kembali dengan personel baru. Apalagi, Mike Shinoda juga sibuk dengan proyek solonya.
Oleh karena itu, kembalinya Linkin Park dengan personel baru merupakan hal yang benar-benar mengejutkan bagi Penulis. Tentu ini menjadi kejutan yang menyenangkan sekaligus menyentuh, karena mau tidak mau Penulis jadi teringat akan sosok Chester.
Dalam livestreaming yang dilakukan tadi pagi, Linkin Park langsung membawakan lagu barunya yang berjudul “The Emptiness Machine.” Lagu ini rupanya menjadi lagu pertama Linkin Park dengan vokalis baru, Emily Armstrong.
Penulis sendiri baru mendengar namanya kali ini. Namun, berdasarkan berbagai sumber, ia adalah vokalis dari sebuah band bernama Dead Sara. Suaranya memang nge-rock, mungkin analoginya sedikit mirip dengan tipe vokal Tantri dari Kotak.
Di lagu baru Linkin Park, bisa dibilang kualitas suara Emily cukup gokil dengan scream-scream yang ia lakukan. Sayangnya, ketika menyanyikan lagu-lagu lama Linkin Park, ia tampak kewalahan dan beberapa kali kehilangan suara. Vokal Chester memang seistimewa itu.
Selain Emily, ada produser One Ok Rock, Colin Brittain, yang akan menggantikan Rob Bourdon sebagai drummer. Penulis benar-benar terkejut ketika mengetahui Rob memutuskan untuk keluar dari band.
“Rob pernah berkata kepada kami pada suatu saat, saya kira beberapa tahun yang lalu, bahwa dia ingin memberi jarak antara dirinya dan band. Dan kami memahami hal itu – hal itu sudah terlihat jelas. Dia mulai jarang muncul, jarang berhubungan, dan saya tahu para penggemar juga menyadarinya,” ungkap Mike dalam satu wawancara.
Banyak spekulasi yang beredar di antara penggemar mengenai alasan sebenarnya mengapa Rob memutuskan untuk meninggalkan band sebesar Linkin Park. Alasan paling populer adalah ia tak ingin bermain sebagai Linkin Park tanpa sosok Chester.
Terlepas dari bergabungnya dua anggota baru, anggota lama lainnya tetap sama. Mike Shinoda sebagai gitaris/vokalis/pianis, Brad Delson sebagai gitaris, Dave “Phoenix” Farrel sebagai bassist, dan Joe Hahn sebagai turntablist.
Menatap Era Baru Linkin Park Bersama Emily Armstrong
Mungkin ini bias karena Penulis merupakan penggemar berat Linkin Park. Namun, bagi Penulis Linkin Park adalah salah satu band rock terbesar di dunia. Kembali mengorbitnya band ini di dunia musik tentu menjadi hal yang telah lama diidam-idamkan oleh penggemarnya.
Namun, Penulis dan para penggemar tentu harus menyadari bahwa kehadiran Emily bukan sebagai pengganti Chester, melainkan sebagai penerusnya. Posisi Chester jelas tak tergantikan, sehingga yang bisa Linkin Park lakukan adalah meneruskan legasinya.
Kalau mau dianalogikan, mungkin mirip dengan kasus Dewa yang sempat berganti vokalis dari Ari Lasso ke Once. Secara vokal, keduanya memiliki nuansa yang berbeda, di mana suara Once lebih nge-rock dibandingkan Ari Lasso. Namun, Dewa tetap bisa sukses siapapun vokalisnya, dan rasanya Linkin Park juga bisa seperti itu.
Jujur, Penulis tidak terlalu terkejut apabila Emily tak mampu bernyanyi seperti Chester. Akan tetapi, Penulis tak mengira kalau ia sampai kehilangan suaranya di beberapa lagu karena suaranya tidak sampai. Entah berapa kali ia arahkan mic-nya ke penonton karena hal ini.
Sebenarnya ini sudah sempat terlihat di konser peringatan kematian Chester beberapa tahun lalu. Konser tersebut mengundang banyak vokalis band rock untuk mengisi posisi Chester, mulai dari M. Shadow (Avenged Sevenfold), Taka (One Ok Rock), hingga Deryck Whibley (Sum 41).
Namun, mau sehebat apa pun kualitas orang lain, benar-benar tidak ada yang bisa bernyanyi untuk Linkin Park sehebat Chester. Bisa jadi, keputusan Linkin Park menggandeng vokalis perempuan adalah karena ingin menghindari perbandingan-perbandingan seperti ini.
Dengan menggandeng vokalis perempuan, yang sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh Penulis, Linkin Park seolah ingin menegaskan kalau mereka akan memasuki era baru. Sekali lagi, Emily bukanlah pengganti Chester, melainkan penerusnya.
Mau Dibawa ke Mana Linkin Park?
Mendengarkan lagu “The Emptiness Machine,” tampaknya Linkin Park akan mengambil jalur rock seperti di album-album sebelum One More Light. Bagi Penulis, lagu tersebut akan cocok jika dimasukan ke dalam album The Hunting Party.
Ini tentu kabar gembira untuk Penulis, yang memang menyukai Linkin Park karena lagu-lagu rock yang dipenuhi dengan scream. Emily rasanya mampu menghadirkan hal tersebut dengan kemampuan scream-nya yang cukup oke.
Penulis tidak akan protes apabila musikalitas Linkin Park sedikit bergeser untuk menyesuaikan vokal Emily. Seperti kata Mike pada acara React di YouTube, musik Linkin Park selalu berevolusi dan mereka tak takut untuk melakukan eksperimen.
Meskipun “The Emptiness Machine” tak terdengar sebagai sebuah eksperimen baru, bagi Penulis hal itu wajar mengingat mereka sudah lama vakum. Sebagai langkah pertama, mungkin mereka ingin mencoba formula-formula lama, tapi dengan vokal yang benar-benar baru.
Selain itu, dari single tersebut, Penulis bisa sedikit merasa tenang karena Linkin Park masih berada di “jalurnya” sebagai band rock. Penulis sempat khawatir mereka akan beralih genre seperti yang terjadi pada 30 Seconds to Mars atau bahkan berubah menjadi seperti Fort Minor.
Tentu kita tidak bisa menilai arah era baru Linkin Park hanya dari satu lagu yang baru dirilis. Oleh karena itu, Penulis tak sabar untuk mendengarkan album From Zero yang akan rilis pada tanggal 15 November 2024 mendatang, yang menjadi penanda bahwa era baru Linkin Park telah dimulai.
Lawang, 6 September 2024, teinspirasi setelah mengetahui Linkin Park telah memilih penerus Chester Bennington
Foto Featured Image: Los Angeles Times
Sumber Artikel:
Saya Memutuskan untuk Mengoleksi Komik Naruto Bind Up Edition
Selama Bangun, Mata Kita Terus Terpapar Layar
Sepertinya Erik Ten Hag Memang Perlu Keluar dari Manchester United
Koleksi Board Game #25: Happy Little Dinosaur
[REVIEW] Setelah Membaca Ngomongin Uang
Tag
Fanandi's Choice
-
Tentang Rasa4 bulan ago
Ketika Mencari Pasangan Menggunakan Standar TikTok
-
Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Twenty-Four Eyes: Dua Belas Pasang Mata
-
Buku4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca A Happy Life: Sebuah Perenungan
-
Politik & Negara4 bulan ago
Menyorot Kebijakan Pemerintah yang Makin ke Sini Makin ke Sana
-
Olahraga4 bulan ago
Kado Manis untuk Kroos, Kado Pahit untuk Reus
-
Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #17: Unstable Unicorns
-
Buku4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca The Devotion of Suspect X
-
Anime & Komik4 bulan ago
Karakter Paling Sial di Dragon Ball adalah Future Trunks