Connect with us

Musik

Feel My Rhythm: Red Velvet

Published

on

Blackpink (YG Entertainment) sudah, Twice (JYP Entertainemnt) sudah. Artinya, tinggal satu lagi girlband yang dianggap sebagai Big 3 dari gen 3 yang belum Penulis eksplorasi musiknya, yaitu Red Velvet dari SM Entertainment.

Penulis sendiri sebenarnya tidak asing dengan Red Velvet, mengingat dulu ada salah satu teman kantornya yang merupakan penggemar dari girlband beranggotakan Irene, Wendy, Seulgi, Joy, dan Yeri ini.

Salah satu komentar dari teman kantor Penulis yang paling nempel adalah video-video klip Red Velvet kerap identik dengan nuansa creepy, berbeda dengan Blackpink yang berkonsep girl crush atau Twice yang terkesan imut. Ternyata, hal tersebut (separuh) benar.

Lagu-Lagu Red Velvet yang Penulis Dengarkan

Dulu sekali, satu-satunya lagu Red Velvet yang Penulis ketahui adalah “Psycho.” Itu pun hanya mendengarkannya sambil lewat, tidak pernah mendengarkannya secara utuh. Baru setelah berkenalan dengan Twice-lah Penulis jadi mencoba untuk mendengarkannya.

Namun, justru karena lagu “Feel My Rhythm“-lah yang membuat Penulis memutuskan untuk mendalami Red Velvet. Penulis akan membahas lagu ini secara khusus di bawah karena menurut Penulis ini adalah lagu K-Pop terindah yang pernah didengarkan.

Lagu-lagu Red Velvet selanjutnya yang berhasil menarik perhatian Penulis adalah “Bad Boy” dan “Peek-a-Boo” karena memiliki keunikannya sendiri. Keduanya langsung masuk ke dalam daftar Liked Music Penulis di YouTube Music.

Setelah empat lagu tersebut, makin banyak lagu Red Velvet yang masuk ke dalam playlist Penulis, seperti “Queendom,” “Red Flavor,” “Ice Cream Cake,” “Happiness,” “Really Bad Boy,” hingga yang terbaru “Chill Kill.”

Salah satu alasan mengapa Penulis bisa masuk dengan musik Red Velvet adalah kualitas vokal member-nya yang menurut Penulis di atas Blackpink dan Twice, bahkan cukup jauh. Maklum, mereka anak SM yang terkenal dengan kualitas vokalnya.

Penulis pribadi sangat mengagumi kualitas vokal Wendy, terutama setelah melihat proses perekaman lagu “Feel My Rhythm” di mana ia banyak memberikan input. Selain itu, Seulgi dan Joy juga memiliki kualitas suara yang tak banyak dimiliki oleh girlband dari gen 4.

Bahkan, Irene dan Yeri yang lebih sering mengisi part rap secara kualitas vokal juga cukup oke, walau tentu tak sebagus tiga nama sebelumnya. Kualitas vokal anak SM memang tak kaleng-kaleng

Feel My Rhythm

Dari pertama kali muncul dari algoritma YouTube Music, Penulis langsung jatuh hati kepada lagu “Feel My Rhythm” dari detik pertama. Bagaimana tidak, dari intro saja mereka langsung menggunakan sample dari lagu klasik “Air on the G String” gubahan Johann Sebastian Bach.

Walaupun bukan pendengar intens, Penulis cukup menikmati musik-musik klasik terutama karya Wolfgang Amadeus Mozart dan Ludwig van Beethoven. Penulis memiliki beberapa CD orisinal mereka dan kerap mendengarkannya saat sedang belajar.

Penulis juga pernah mendengarkan Bach mengingat waktu kecil pernah membaca komik biografinya. Apalagi, “Air on the G String” merupakan salah satu lagu klasik yang paling mainstream, sehingga Penulis cukup familiar dengan nadanya.

Oleh karena itu, begitu mendengar ada alunan lagu ini di lagu K-Pop, Penulis cukup tercengang karena itu adalah kali pertama Penulis mengetahui kalau lagu klasik bisa dimasukkan ke lagu K-Pop yang lebih modern.

Tidak hanya digunakan di intro, sample “Air on the G String” juga kembali terdengar di bagian reff. Meskipun ada yang berpendapat kalau hal tersebut membuat reff terdengar terlalu ramai, menurut Penulis sang produser mampu menempatkannya dengan harmoni yang pas.

Mungkin lagu ini tidak terlalu memamerkan nada tinggi dari Wendy maupun Seulgi seperti di lagu Happiness atau Red Flavor, tapi tetap terasa mewah dan elegan. Suara mereka terdengar selaras dengan konsep lagunya. Vokal Joy yang kerap menjadi bridging pun juga sangat pas.

Dalam sebuah video reaction yang dilakukan musisi klasik dan jazz, mayoritas dari mereka menganggap kalau lagu ini memang sebuah karya yang luar biasa. Lagu ini seolah berhasil menggabungkan dua musik dari dua era yang jauh berbeda (“Air on the G String rilis tahun 1871, satu setengah abad sebelum “Feel My Rhythm” rilis).

Penempatan “Air on the G String” dalam lagu dilakukan dengan cerdik, dengan beberapa perubahan untuk menyesuaikan dengan lagu “Feel My Rhythm” itu sendiri. Sample dari lagu tersebut bisa dibilang tersebar dari awal hingga akhir lagu.

Seni dalam lagu “Feel My Rhythm” tidak hanya berhenti di “Air on the G String” saja. Di video klipnya, ada banyak referensi ke lukisan-lukisan klasik, tapi yang paling menonjol adalah karya-karya Hieronymus Bosch yang terkenal karena lukisan-lukisannya yang “unik.”

Karena beberapa alasan tersebutlah Penulis menganggap kalau lagu “Feel My Rhythm” adalah lagu K-Pop terindah yang pernah Penulis dengarkan. Satu-satunya bagian yang kurang Penulis sukai hanyalah bagian akhirnya yang seolah “langsung berhenti.”

Dua Kepribadian Red Velvet

Dari video-video klip yang pernah Penulis tonton, Red Velvet memang seolah digambarkan memiliki dua kepribadian atau bisa disebut juga sebagai mood, yakni Halloween (creepy) dan Summer. Padahal, dua hal tersebut saling bertolak belakang.

Video klip yang termasuk ke kategori Halloween adalah “Psycho,” “Bad Boy,” “Peek-A-Boo,” “Really Bad Boy,” hingga “Chill Kill” memiliki kesan yang suram dan gelap. Mau tidak mau, kesan tersebut terbawa ketika mendengarkan lagunya saja.

Sedangkan lagu “Russian Roulette,” “Queendom,” “Red Flavor,” “Ice Cream Cake,” “Rookie,” “Dumb Dumb,” hingga “Happiness” memiliki kesan Summer yang lebih ceria dan bersemangat. Kesan creepy, kecuali di “Russian Roulette,” hampir tidak terasa sama sekali.

Lantas, bagaimana dengan lagu “Feel My Rhythm” yang Penulis sukai? Rasanya lagu tersebut bisa dimasukkan ke kedua kepribadian. Meskipun kesan Summer-nya cukup kuat, ada beberapa bagian yang lebih cocok untuk dimasukkan ke dalam kategori Halloween.

Saat artikel ini ditulis, Red Velvet telah mengumumkan akan merilis album terbarunya berjudul Love is COSMIC yang akan rilis pada tanggal 24 Juni 2024. Dilihat dari video trailernya, tampaknya konsep creepy masih dipertahankan oleh mereka di usia yang ke-10.


Lawang, 20 Juni 2024, terinspirasi setelah menyadari vokal Red Velvet yang luar biasa

Foto Featured Image: Sportskeeda

Sumber Artikel:

Musik

Live My Life: aespa

Published

on

By

Setelah sering sekali membahas Linkin Park yang baru saja comeback, kali ini Penulis ingin menulis tentang K-Pop lagi. Kebetulan, girlband yang akan Penulis bahas kali ini akan merilis mini album ke-5 berjudul Whiplash pada tanggal 21 Oktober 2024 mendatang.

Girlband tersebut adalah aespa, yang berada di bawah naungan SM Entertainment dan beranggotakan Karina, Winter, Giselle, dan Ningning. Mereka telah debut sejak 17 November 2020, yang artinya masuk ke dalam Gen 4 seperti IVE.

Menariknya, awalnya Penulis merasa tidak terlalu cocok dengan lagu-lagu aespa, sama seperti Itzy. Namun, makin ke sini, musik mereka semakin masuk ke dalam selera Penulis, terutama lagu-lagu baru mereka.

Momen Pertama Kali Mengenal aespa

Seperti biasa, momen “pertemuan” Penulis dengan aespa justru terjadi ketika menonton sebuah reality show. Dari algoritma YouTube, Penulis menemukan video aespa yang mengikuti semacam kuis bahasa Indonesia. Waktu itu, Penulis belum tahu siapa itu aespa.

Video tersebut cukup menghibur dan berhasil mengundang tawa. Apalagi, para anggota aespa jadi sangat sering berbicara dengan bahasa Indonesia dengan nada yang cukup cempreng. Entah mengapa para idol K-Pop selalu terdengar seperti itu ketika berbahasa Indonesia.

Di antara keempat anggota aespa, bisa dibilang Ningning yang paling menonjol karena beberapa kali berhasil menjawab pertanyaan dengan benar, walau terkadang jawabannya dicuri oleh anggota lain karena ia lupa untuk menyebutkan namanya terlebih dahulu.

Jika dibandingkan dengan girlband lain, entah mengapa para anggota aespa terlihat sangat akrab satu sama lain seolah tidak ada jarak. Penulis menilai ini melalui interaksi-interaksi mereka di berbagai acara reality show yang Penulis tonton.

Namun, di sisi lain, ada beberapa momen di mana terlihat SM Entertainment agak menganakemaskan anggotanya yang berasal dari Korea Selatan, yakni Karina dan Winter. Giselle yang dari Jepang dan Ningning yang dari China kadang terasa dianaktirikan.

Setelah itu, kali ini gara-gara algoritma YouTube Music, lagu-lagu aespa mulai sering direkomendasikan. Beberapa judul yang pernah Penulis dengarkan adalah “Black Mamba“, “Savage“, “Next Level“, “Girls“, “Illussion”, hingga “Spicy“.

Namun, dari semua lagu-lagu aespa yang Penulis dengarkan tersebut, tidak ada yang benar-benar masuk ke seleranya. Masih bisa dinikmati, tapi tidak sampai “layak” untuk masuk ke dalam daftar favorit.

Makin ke Sini Makin Cocok

Lagu aespa pertama yang bisa Penulis nikmati adalah “Better Things“, yang sebenarnya merupakan single berbahasa Inggris. Lagu ini dirilis pada Agustus 2023 dan Penulis langsung cocok karena musiknya yang easy listening walau liriknya terkesan agak songong.

Tak lama setelah itu di tahun yang sama, aespa merilis single Drama” yang anehnya juga langsung cocok di telinga Penulis. Reff-nya catchy karena pengulangan “ma ma ma ma” yang terus-menerus, mirip lagu “Antifragile” dari LE SSERAFIM.

Pada bulan Mei 2024 kemarin, aespa juga merilis full album pertamanya dengan judul Armageddon. Ada dua lagu utama dari album ini, yakni “Supernova” dan “Armageddon“. Walau awalnya merasa kedua lagu tersebut aneh, lama-lama Penulis jadi menyukainya.

Namun, justru lagu lain di album ini yang langsung menjadi lagu paling favoritnya di aespa, yakni “Live My Life“. Penulis pun tak sengaja menemukannya, di mana awalnya Penulis familiar dengan bagian reff-nya karena menonton reality show aesparty di YouTube.

Tak seperti lagu K-Pop pada umumnya, “Live My Life” bergenre pop-rock ringan dan hampir tidak memiliki unsur elektronik sama sekali. Apalagi jika dibandingkan dengan genre dua lagu utama album Armageddon yang “rusuh,” lagu ini terkesan out of nowhere.

Konsep yang dibawa oleh aespa adalah futuristik, cyberpunk, dan metaverse. Ketika dirilis, para anggota aespa memiliki semacam avatar yang, menurut teman Penulis, bisa dianggap kurang berhasil. Namun, konsep futuristik itu berhasil dituangkan dalam lagu-lagu mereka.

Walau terkadang mencoba genre lain yang lebih mainstream seperti yang terjadi pada lagu “Better Things” dan “Live My Life” (yang justru Penulis sukai), aespa berusaha untuk terus mempertahankan konsep awal mereka secara konsisten.

Hanya lima bulan dari rilisnya album Armageddon, aespa akan segera comeback dengan merilis mini album kelima berjudul Whiplash. Penulis cukup mengantisipasi konsep lagu seperti apa yang akan dibawakan oleh aespa kali ini.


Lawang, 8 Oktober 2024, terinspirasi setelah ingin menulis sesuatu tentang aespa

Foto Featured Image: Asian Junky

Continue Reading

Musik

Cara Linkin Park Membiasakan Vokal Emily kepada Penggemarnya

Published

on

By

Linkin Park baru saja merilis single terbaru mereka yang berjudul “Heavy is the Crown.” Lagu ini akan menjadi anthem untuk ajang League of Legends World Championship 2024, salah satu turnamen esports terbesar di dunia.

Ini adalah lagu kedua yang dirilis oleh Linkin Park setelah mengumumkan comeback dengan personel baru, Sebelumnya, mereka telah merilis lagu “The Emptiness Machine.” Sejujurnya, Penulis sama sekali tidak berekspetasi kalau mereka akan merilis lagu secepat ini.

Ketika mendengarkan kedua lagu ini secara berulang-ulang, Penulis jadi menyadari satu hal. Ini bisa jadi merupakan cara Linkin Park untuk membiasakan vokal Emily Armstorng kepada para pendengar setianya,

Memulai Semua dari Nol

Ketika menjadi bintang tamu di acara The Tonight Show Starring Jimmy Fallon, Mike Shinoda bercerita mengenai alasan penamaan album From Zero, yang akan menjadi album pertama Linkin Park dengan personel baru.

Menurutnya, ada dua alasan dari penamaan tersebut. Pertama, karena nama band-nya sebelum menjadi Linkin Park adalah Xero, yang jika diucapkan akan terdengar seperti kata zero dengan huruf x di depannya.

Alasan kedua, adalah karena nama tersebut menggambarkan posisi Linkin Park saat ini yang ingin memulai semuanya dari nol, memulai semunya dari kanvas kosong. Ucapannya ini mungkin bisa tidak diterima, mengingat sejatinya Linkin Park tidak benar-benar memulai lagi dari nol karena telah memiliki nama besar di industri musik.

Namun, di sisi lain, melakukan comeback dengan vokalis baru jelas bukan hal yang mudah untuk sebuah band, apalagi jika vokalis lamanya sudah terlalu melekat. Seperti yang kita tahu, masih banyak penggemar yang belum terima posisi Chester digantikan oleh Emily.

Oleh karena itu, bisa dipahami juga kalau Mike mengatakan hal tersebut dan sah-sah saja. Apalagi, seperti yang sudah pernah Penulis bahas sebelumnya, Chester dan Emily memiliki tipe vokal yang berbeda, sehingga musik-musik Linkin Park ke depannya pun rasanya akan menyesuaikan dengan tipe vokal Emily.

Bagaimana Suara Emily Mulai Terbiasa di Telinga

Sejak debut, Linkin Park dikenal dengan konsep uniknya yang menggabungkan unsur hip-hop, rock, dan elektronik. Mike kerap ikut bernyanyi untuk mengisi lirik rap dan Chester akan bernyanyi di bagian reff. Namun, tak jarang lagu-lagu Linkin Park hanya memperdengarkan suara Chester.

Pada dua single pertama mereka dari album Hybrid Theory, “One Step Closer” dan “Crawling,” part Mike sangat sedikit sekali dan sangat menonjolkan vokal Chester. Baru di lagu “Papercut” dan “In the End” kita bisa mendengar Mike nge-rap dengan cukup panjang.

Nah, cara tersebut dibalik ketika Linkin Park merilis dua single terbaru mereka dari album From Zero, “The Emptiness Machine” dan “Heavy is the Crown.” Alih-alih langsung merilis lagu yang dominan suara Emily, mereka memutuskan untuk merilis lagu yang dominan suara Mike.

Hal ini, menurut Penulis, merupakan langkah cerdik mereka untuk membiasakan pendengarnya dengan suara Emily secara setahap demi setahap. Jika langsung merilis lagu yang menonjolkan suara Emily, bisa-bisa pendengar ogah mendengarkannya.

Di lagu “The Emptiness Machine,” Mike bahkan bernyanyi hampir 3/4 lagu, di mana reff pertama ia nyanyikan sendiri. Di konser perdana setelah mereka comeback kemarin, kita bisa melihat kalau Emily baru muncul di atas panggung ketika lagu telah berjalan setengah.

Nah, di lagu terbaru mereka, “Heavy is the Crown,” mereka menggunakan “formula klasik” yang mirip dengan awal-awal Linkin Park di awal tahun 2000-an. Mike nge-rap, lalu Emily mengisi bagian reff dan bridging menuju reff terakhir.

Selain itu, lagu tersebut juga menarik karena Emily melakukan screaming cukup panjang, yang tentu saja akan mengingatkan screaming yang dilakukan oleh Chester pada lagu “Given Up” dari album Minutes to Midnight.

Dari sisi musikalitas, Linkin Park tidak melakukan eksperimen yang aneh-aneh seperti yang mereka lakukan pada album One More Light. Seandainya mereka mengeluarkan lagu pop seperti album tersebut, bisa-bisa penggemar tak akan tertarik untuk mendengarkan mereka lagi.

Oleh karena itu, Penulis merasa senang ketika Linkin Park kembali ke jati diri mereka sebagai rock band. Walau di atas mengatakan kalau mereka menggunakan formula klasik, menurut Penulis lagu-lagu baru mereka setipe dengan lagu-lagu di album The Hunting Party.

Mungkin, keputusan ini juga diambil agar sejalan dengan tema From Zero, yang juga bisa dimaknai kembali ke akar. Linkin Park bersama Emily ingin kembali ke akar mereka sebagai salah satu rock band terbesar di dunia.

Sebagai penutup, Penulis mendapatkan bocoran daftar lagu yang akan ada di album From Zero dari platform Apple Music. Penulis yakin, akan ada lagu yang hanya memperdengarkan vokal Emily saja tanpa ada suara Mike. Berikut daftar lagunya:

  1. From Zero (Intro)
  2. The Emptiness Machine
  3. Cut the Bridge
  4. Over Each Other
  5. Casualty
  6. Overflow
  7. Two Faced
  8. Stained
  9. IGYEIH
  10. Good Things Go

Lawang, 26 September 2024, terinspirasi setelah mendengarkan single terbaru dari Linkin Park, “Heavy is the Crown”

Foto Featured Image: Loudwire

Continue Reading

Musik

Vokal Chester Bennington Ternyata Memang Seistimewa Itu

Published

on

By

Telah satu minggu berlalu sejak Linkin Park mengumumkan vokalis baru yang menjadi penerus dari Chester Bennington. Sejak itu, penggemar terbagi menjadi dua kubu, antara yang menerima dan yang menolak.

Pihak yang menerima menganggap kalau Chester memang tak akan pernah tak tergantikan. Emily Armstrong adalah penerusnya dengan kekuatan dan ciri khas vokalnya sendiri untuk era baru Linkin Park. Penulis secara pribadi masuk ke dalam kubu ini.

Pihak yang menolak menganggap kalau Emily tidak layak untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Chester. Kalau mau menggandeng vokalis baru, mending ganti nama jangan pakai nama Linkin Park. Apalagi, Rob Bourdon juga telah keluar.

Belum lagi banyaknya skandal yang membayangi Emily di masa lalu, terutama terkait dengan Scientology dan dukungannya terhadap pemerkosa bernama Danny Masterson. Masalah ini terus-menerus dibahas oleh mereka yang kontra dengan keberadaan Emily di Linkin Park.

Bagaimana Kualitas Vokal Emily Armstrong di Linkin Park?

Emily Armstrong (DB Klik)

Dalam tulisan sebelumnya, Penulis telah mengeluarkan pendapatnya tentang kualitas vokal yang dimiliki oleh Emily. Untuk lagu baru, “The Emptiness Machine,” suaranya masuk banget dan Penulis benar-benar menikmatinya.

Suara Emily adalah suara rocker yang serak-serak basah. Ia juga memiliki kemampuan untuk screaming yang lumayan. Namun, memang ketika menyanyikan lagu-lagu Linkin Park yang lama, suaranya tampak kurang dan nadanya tak bisa sampai.

Penulis menemukan sebuah twit yang menjelaskan hal ini. Lagu “Numb” yang dibawakan bersama Emily dinaikkan tiga nada, dan itu pun Emily masih kewalahan. Tahu naik berapa nada ketika Chester yang nyanyi? Enam.

Menurut Penulis, yang paling parah adalah waktu ia menyanyikan lagu “The Catalyst.” Bukan hanya nadanya tidak sampai, ia sampai harus kehilangan suaranya berkali-kali dan melemparkan mic-nya ke penonton untuk menutupi hal tersebut.

Ini bukan berarti Emily penyanyi yang jelek, tapi memang standarnya Chester saja yang ketinggian. Vokal Chester memang diakui secara luas istimewa, dan tak banyak yang mampu bernyanyi lagu-lagu Linkin Park seperti dirinya.

Penyanyi Lain pun Kewalahan Menyanyikan Lagu Linkin Park

Taka dari One Ok Rock (X)

Sulitnya meniru kemampuan vokal Chester juga terlihat dari konser Linkin Park & Friends Celebrate Life in Honor of Chester Bennington yang tayang sekitar tujuh tahun lalu. Konser tersebut merupakan peringatan akan kematian Chester, dan banyak penyanyi yang menyumbangkan suaranya.

Lantas, adakah yang bisa bernyanyi sebaik Chester? Menurut Penulis, tidak. Meskipun ada banyak nama-nama besar pada konser tersebut, benar-benar tidak ada yang bisa mengisi peran Chester sesempurna itu.

Taka dari One Ok Rock menyumbang suara untuk lagu “Somewhere I Belong,” di mana ia sempat lupa lirik di bagian bridging. Tak hanya itu, di beberapa lirik juga terlihat suaranya yang terkenal tinggi pun tak mampu menjangkaunya.

Vokalis Bring Me the Horizon, Oliver Sykes, kebagian lagu Crawling yang dikenal sebagai salah satu lagu tersulit Linkin Park yang bahkan Chester mengatakan kalau lagu tersebut termasuk sulit. Hasilnya? Vokal Oliver sering tak kuat ketika menyanyikan bagian reff-nya.

Selanjutnya, ada Deryck Whibley yang merupakan vokalis dari Sum 41. Ia kebagian lagu “The Catalyst” yang di mana Emily kesulitan untuk menyanyikannya. Namun, Deryck cukup mampu membawakannya, meskipun di beberapa kesempatannya terdengarnya napasnya habis.

M. Shadow sebagai vokalis Avenged Sevenfold juga menyumbang suaranya untuk dua lagu, “Burn It Down” dan “Faint.” Bisa dibilang di antara semua, ia masih yang termasuk lumayan walau style-nya jadi berubah Avenged banget.

Masih ada banyak penyanyi dan vokalis lain yang berkontribusi pada konser tersebut. Namun, rasanya empat contoh di atas sudah cukup untuk membuktikan bahwa vokal yang dimiliki oleh Chester memang benar-benar istimewa.

Mengapa Vokal Chester Bennington Seistimewa Itu?

Chester Bennington (NBC News)

Penulis tidak bermaksud menganggap bahwa Chester adalah vokalis terbaik sepanjang masa. Namun, pada lagu-lagu Linkin Park, memang terbukti beberapa kali lagunya cukup sulit untuk dinyanyikan. Sulit untuk meniru kemampuan vokal Chester.

Tadi sudah disinggung tentang lagu “Crawling” yang menjadi salah satu lagu tersulit. Ada juga lagu “The Catalyst” yang membuat siapa pun yang mencoba menyanyikannya kehabisan napas. Menariknya, masih ada banyak lagu Linkin Park yang juga cukup sulit untuk dinyanyikan.

Contohnya adalah “Given Up” karena ada bagian screaming sepanjang 17 detik non-stop. Lalu, ada lagu “Breaking the Habit” yang walaupun terkesan ngepop, ternyata susah sekali untuk menggapai nada setinggi yang dikeluarkan oleh Chester. Masih banyak lagi, tapi contoh-contoh tersebut sudah cukup.

Apa yang membuat vokal Chester menjadi istimewa adalah kemampuannya bernyanyi baik pada nada rendah maupun nada tinggi. Dari yang Penulis baca di Twitter, Chester memiliki range vokal Alto-Soprano, sehingga wajar nadanya kerap tinggi.

Dalam salah satu video footage di belakang panggung, ada sebuah rekaman di mana Chester sedang melakukan pemanasan suara. Pada satu titik, ia bisa melengkingkan suaranya tinggi sekali seperti Freddy Mercury dari Queen.

Tidak hanya dari sisi nada, dari sisi lembut-kerasnya pun Chester cukup fleksibel. Ia bisa bernyanyi selembut “One More Light,” tapi bisa teriak-teriak seperti di lagu “Lying From You.” Suaranya juga selalu stabil di atas panggung, bahkan setelah melakukan screaming sekali pun.

Satu hal lagi yang membuat vokal Chester istimewa adalah bagaimana ia terlihat effortless dalam membawakan lagu-lagu Linkin Park, sehingga kita sebagai penggemar percaya bahwa kita bisa menyanyikannya juga. Saat mencobanya di karaoke, baru kita sadar betapa mustahilnya hal tersebut.

Setelah kehilangan Chester dan melihat banyaknya penyanyi dan vokalis yang mencoba menyanyikan bagiannya, Penulis baru sadar betapa istimewa vokal yang dimilikinya. Memang, terkadang kita baru menyadari sesuatu setelah kehilangannya.


Lawang, 13 September 2024, teinspirasi setelah menyadari banyak lagu Linkin Park yang terlalu sulit untuk dinyanyikan

Sumber Featured Image: NBC News

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan