Blackpink (YG Entertainment) sudah, Twice (JYP Entertainemnt) sudah. Artinya, tinggal satu lagi girlband yang dianggap sebagai Big 3 dari gen 3 yang belum Penulis eksplorasi musiknya, yaitu Red Velvet dari SM Entertainment.
Penulis sendiri sebenarnya tidak asing dengan Red Velvet, mengingat dulu ada salah satu teman kantornya yang merupakan penggemar dari girlband beranggotakan Irene, Wendy, Seulgi, Joy, dan Yeri ini.
Salah satu komentar dari teman kantor Penulis yang paling nempel adalah video-video klip Red Velvet kerap identik dengan nuansa creepy, berbeda dengan Blackpink yang berkonsep girl crush atau Twice yang terkesan imut. Ternyata, hal tersebut (separuh) benar.
Dulu sekali, satu-satunya lagu Red Velvet yang Penulis ketahui adalah “Psycho.” Itu pun hanya mendengarkannya sambil lewat, tidak pernah mendengarkannya secara utuh. Baru setelah berkenalan dengan Twice-lah Penulis jadi mencoba untuk mendengarkannya.
Namun, justru karena lagu “Feel My Rhythm“-lah yang membuat Penulis memutuskan untuk mendalami Red Velvet. Penulis akan membahas lagu ini secara khusus di bawah karena menurut Penulis ini adalah lagu K-Pop terindah yang pernah didengarkan.
Lagu-lagu Red Velvet selanjutnya yang berhasil menarik perhatian Penulis adalah “Bad Boy” dan “Peek-a-Boo” karena memiliki keunikannya sendiri. Keduanya langsung masuk ke dalam daftar Liked Music Penulis di YouTube Music.
Setelah empat lagu tersebut, makin banyak lagu Red Velvet yang masuk ke dalam playlist Penulis, seperti “Queendom,” “Red Flavor,” “Ice Cream Cake,” “Happiness,” “Really Bad Boy,” hingga yang terbaru “Chill Kill.”
Salah satu alasan mengapa Penulis bisa masuk dengan musik Red Velvet adalah kualitas vokal member-nya yang menurut Penulis di atas Blackpink dan Twice, bahkan cukup jauh. Maklum, mereka anak SM yang terkenal dengan kualitas vokalnya.
Penulis pribadi sangat mengagumi kualitas vokal Wendy, terutama setelah melihatproses perekaman lagu “Feel My Rhythm” di mana ia banyak memberikan input. Selain itu, Seulgi dan Joy juga memiliki kualitas suara yang tak banyak dimiliki oleh girlband dari gen 4.
Bahkan, Irene dan Yeri yang lebih sering mengisi part rap secara kualitas vokal juga cukup oke, walau tentu tak sebagus tiga nama sebelumnya. Kualitas vokal anak SM memang tak kaleng-kaleng
Feel My Rhythm
Dari pertama kali muncul dari algoritma YouTube Music, Penulis langsung jatuh hati kepada lagu “Feel My Rhythm” dari detik pertama. Bagaimana tidak, dari intro saja mereka langsung menggunakan sample dari lagu klasik “Air on the G String” gubahan Johann Sebastian Bach.
Walaupun bukan pendengar intens, Penulis cukup menikmati musik-musik klasik terutama karya Wolfgang Amadeus Mozart dan Ludwig van Beethoven. Penulis memiliki beberapa CD orisinal mereka dan kerap mendengarkannya saat sedang belajar.
Penulis juga pernah mendengarkan Bach mengingat waktu kecil pernah membaca komik biografinya. Apalagi, “Air on the G String” merupakan salah satu lagu klasik yang paling mainstream, sehingga Penulis cukup familiar dengan nadanya.
Oleh karena itu, begitu mendengar ada alunan lagu ini di lagu K-Pop, Penulis cukup tercengang karena itu adalah kali pertama Penulis mengetahui kalau lagu klasik bisa dimasukkan ke lagu K-Pop yang lebih modern.
Tidak hanya digunakan di intro, sample “Air on the G String” juga kembali terdengar di bagian reff. Meskipun ada yang berpendapat kalau hal tersebut membuat reff terdengar terlalu ramai, menurut Penulis sang produser mampu menempatkannya dengan harmoni yang pas.
Mungkin lagu ini tidak terlalu memamerkan nada tinggi dari Wendy maupun Seulgi seperti di lagu Happiness atau Red Flavor, tapi tetap terasa mewah dan elegan. Suara mereka terdengar selaras dengan konsep lagunya. Vokal Joy yang kerap menjadi bridging pun juga sangat pas.
Dalam sebuah video reaction yang dilakukan musisi klasik dan jazz, mayoritas dari mereka menganggap kalau lagu ini memang sebuah karya yang luar biasa. Lagu ini seolah berhasil menggabungkan dua musik dari dua era yang jauh berbeda (“Air on the G String rilis tahun 1871, satu setengah abad sebelum “Feel My Rhythm” rilis).
Penempatan “Air on the G String” dalam lagu dilakukan dengan cerdik, dengan beberapa perubahan untuk menyesuaikan dengan lagu “Feel My Rhythm” itu sendiri. Sample dari lagu tersebut bisa dibilang tersebar dari awal hingga akhir lagu.
Seni dalam lagu “Feel My Rhythm” tidak hanya berhenti di “Air on the G String” saja. Di video klipnya, ada banyak referensi ke lukisan-lukisan klasik, tapi yang paling menonjol adalah karya-karya Hieronymus Bosch yang terkenal karena lukisan-lukisannya yang “unik.”
Karena beberapa alasan tersebutlah Penulis menganggap kalau lagu “Feel My Rhythm” adalah lagu K-Pop terindah yang pernah Penulis dengarkan. Satu-satunya bagian yang kurang Penulis sukai hanyalah bagian akhirnya yang seolah “langsung berhenti.”
Dua Kepribadian Red Velvet
Dari video-video klip yang pernah Penulis tonton, Red Velvet memang seolah digambarkan memiliki dua kepribadian atau bisa disebut juga sebagai mood, yakni Halloween (creepy) dan Summer. Padahal, dua hal tersebut saling bertolak belakang.
Video klip yang termasuk ke kategori Halloween adalah “Psycho,” “Bad Boy,” “Peek-A-Boo,” “Really Bad Boy,” hingga “Chill Kill” memiliki kesan yang suram dan gelap. Mau tidak mau, kesan tersebut terbawa ketika mendengarkan lagunya saja.
Sedangkan lagu “Russian Roulette,” “Queendom,” “Red Flavor,” “Ice Cream Cake,” “Rookie,” “Dumb Dumb,” hingga “Happiness” memiliki kesan Summer yang lebih ceria dan bersemangat. Kesan creepy, kecuali di “Russian Roulette,” hampir tidak terasa sama sekali.
Lantas, bagaimana dengan lagu “Feel My Rhythm” yang Penulis sukai? Rasanya lagu tersebut bisa dimasukkan ke kedua kepribadian. Meskipun kesan Summer-nya cukup kuat, ada beberapa bagian yang lebih cocok untuk dimasukkan ke dalam kategori Halloween.
Saat artikel ini ditulis, Red Velvet telah mengumumkan akan merilis album terbarunya berjudul Love is COSMIC yang akan rilis pada tanggal 24 Juni 2024. Dilihat dari video trailernya, tampaknya konsep creepy masih dipertahankan oleh mereka di usia yang ke-10.
Lawang, 20 Juni 2024, terinspirasi setelah menyadari vokal Red Velvet yang luar biasa
Linkin Park baru saja merilis single terbaru mereka yang berjudul “Heavy is the Crown.” Lagu ini akan menjadi anthem untuk ajang League of Legends World Championship 2024, salah satu turnamen esports terbesar di dunia.
Ini adalah lagu kedua yang dirilis oleh Linkin Park setelah mengumumkan comeback dengan personel baru, Sebelumnya, mereka telah merilis lagu “The Emptiness Machine.” Sejujurnya, Penulis sama sekali tidak berekspetasi kalau mereka akan merilis lagu secepat ini.
Ketika mendengarkan kedua lagu ini secara berulang-ulang, Penulis jadi menyadari satu hal. Ini bisa jadi merupakan cara Linkin Park untuk membiasakan vokal Emily Armstorng kepada para pendengar setianya,
Ketika menjadi bintang tamu di acara The Tonight ShowStarring Jimmy Fallon, Mike Shinoda bercerita mengenai alasan penamaan album From Zero, yang akan menjadi album pertama Linkin Park dengan personel baru.
Menurutnya, ada dua alasan dari penamaan tersebut. Pertama, karena nama band-nya sebelum menjadi Linkin Park adalah Xero, yang jika diucapkan akan terdengar seperti kata zero dengan huruf x di depannya.
Alasan kedua, adalah karena nama tersebut menggambarkan posisi Linkin Park saat ini yang ingin memulai semuanya dari nol, memulai semunya dari kanvas kosong. Ucapannya ini mungkin bisa tidak diterima, mengingat sejatinya Linkin Park tidak benar-benar memulai lagi dari nol karena telah memiliki nama besar di industri musik.
Oleh karena itu, bisa dipahami juga kalau Mike mengatakan hal tersebut dan sah-sah saja. Apalagi, seperti yang sudah pernah Penulis bahas sebelumnya, Chester dan Emily memiliki tipe vokal yang berbeda, sehingga musik-musik Linkin Park ke depannya pun rasanya akan menyesuaikan dengan tipe vokal Emily.
Bagaimana Suara Emily Mulai Terbiasa di Telinga
Sejak debut, Linkin Park dikenal dengan konsep uniknya yang menggabungkan unsur hip-hop, rock, dan elektronik. Mike kerap ikut bernyanyi untuk mengisi lirik rap dan Chester akan bernyanyi di bagian reff. Namun, tak jarang lagu-lagu Linkin Park hanya memperdengarkan suara Chester.
Pada dua single pertama mereka dari album Hybrid Theory, “One Step Closer” dan “Crawling,” part Mike sangat sedikit sekali dan sangat menonjolkan vokal Chester. Baru di lagu “Papercut” dan “In the End” kita bisa mendengar Mike nge-rap dengan cukup panjang.
Nah, cara tersebut dibalik ketika Linkin Park merilis dua single terbaru mereka dari album From Zero, “The Emptiness Machine” dan “Heavy is the Crown.” Alih-alih langsung merilis lagu yang dominan suara Emily, mereka memutuskan untuk merilis lagu yang dominan suara Mike.
Hal ini, menurut Penulis, merupakan langkah cerdik mereka untuk membiasakan pendengarnya dengan suara Emily secara setahap demi setahap. Jika langsung merilis lagu yang menonjolkan suara Emily, bisa-bisa pendengar ogah mendengarkannya.
Di lagu “The Emptiness Machine,” Mike bahkan bernyanyi hampir 3/4 lagu, di mana reff pertama ia nyanyikan sendiri. Di konser perdana setelah mereka comeback kemarin, kita bisa melihat kalau Emily baru muncul di atas panggung ketika lagu telah berjalan setengah.
Nah, di lagu terbaru mereka, “Heavy is the Crown,” mereka menggunakan “formula klasik” yang mirip dengan awal-awal Linkin Park di awal tahun 2000-an. Mike nge-rap, lalu Emily mengisi bagian reff dan bridging menuju reff terakhir.
Selain itu, lagu tersebut juga menarik karena Emily melakukan screaming cukup panjang, yang tentu saja akan mengingatkan screaming yang dilakukan oleh Chester pada lagu “Given Up” dari album Minutes to Midnight.
Dari sisi musikalitas, Linkin Park tidak melakukan eksperimen yang aneh-aneh seperti yang mereka lakukan pada album One More Light. Seandainya mereka mengeluarkan lagu pop seperti album tersebut, bisa-bisa penggemar tak akan tertarik untuk mendengarkan mereka lagi.
Oleh karena itu, Penulis merasa senang ketika Linkin Park kembali ke jati diri mereka sebagai rock band. Walau di atas mengatakan kalau mereka menggunakan formula klasik, menurut Penulis lagu-lagu baru mereka setipe dengan lagu-lagu di album The Hunting Party.
Mungkin, keputusan ini juga diambil agar sejalan dengan tema From Zero, yang juga bisa dimaknai kembali ke akar. Linkin Park bersama Emily ingin kembali ke akar mereka sebagai salah satu rock band terbesar di dunia.
Sebagai penutup, Penulis mendapatkan bocoran daftar lagu yang akan ada di album From Zero dari platform Apple Music. Penulis yakin, akan ada lagu yang hanya memperdengarkan vokal Emily saja tanpa ada suara Mike. Berikut daftar lagunya:
From Zero (Intro)
The Emptiness Machine
Cut the Bridge
Over Each Other
Casualty
Overflow
Two Faced
Stained
IGYEIH
Good Things Go
Lawang, 26 September 2024, terinspirasi setelah mendengarkan single terbaru dari Linkin Park, “Heavy is the Crown”
Telah satu minggu berlalu sejak Linkin Park mengumumkan vokalis baru yang menjadi penerus dari Chester Bennington. Sejak itu, penggemar terbagi menjadi dua kubu, antara yang menerima dan yang menolak.
Pihak yang menerima menganggap kalau Chester memang tak akan pernah tak tergantikan. Emily Armstrong adalah penerusnya dengan kekuatan dan ciri khas vokalnya sendiri untuk era baru Linkin Park. Penulis secara pribadi masuk ke dalam kubu ini.
Pihak yang menolak menganggap kalau Emily tidak layak untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Chester. Kalau mau menggandeng vokalis baru, mending ganti nama jangan pakai nama Linkin Park. Apalagi, Rob Bourdon juga telah keluar.
Belum lagi banyaknya skandal yang membayangi Emily di masa lalu, terutama terkait dengan Scientology dan dukungannya terhadap pemerkosa bernama Danny Masterson. Masalah ini terus-menerus dibahas oleh mereka yang kontra dengan keberadaan Emily di Linkin Park.
Bagaimana Kualitas Vokal Emily Armstrong di Linkin Park?
Dalam tulisan sebelumnya, Penulis telah mengeluarkan pendapatnya tentang kualitas vokal yang dimiliki oleh Emily. Untuk lagu baru, “The Emptiness Machine,” suaranya masuk banget dan Penulis benar-benar menikmatinya.
Suara Emily adalah suara rocker yang serak-serak basah. Ia juga memiliki kemampuan untuk screaming yang lumayan. Namun, memang ketika menyanyikan lagu-lagu Linkin Park yang lama, suaranya tampak kurang dan nadanya tak bisa sampai.
Penulis menemukan sebuah twit yang menjelaskan hal ini. Lagu “Numb” yang dibawakan bersama Emily dinaikkan tiga nada, dan itu pun Emily masih kewalahan. Tahu naik berapa nada ketika Chester yang nyanyi? Enam.
Menurut Penulis, yang paling parah adalah waktu ia menyanyikan lagu “The Catalyst.” Bukan hanya nadanya tidak sampai, ia sampai harus kehilangan suaranya berkali-kali dan melemparkan mic-nya ke penonton untuk menutupi hal tersebut.
Ini bukan berarti Emily penyanyi yang jelek, tapi memang standarnya Chester saja yang ketinggian. Vokal Chester memang diakui secara luas istimewa, dan tak banyak yang mampu bernyanyi lagu-lagu Linkin Park seperti dirinya.
Penyanyi Lain pun Kewalahan Menyanyikan Lagu Linkin Park
Sulitnya meniru kemampuan vokal Chester juga terlihat dari konser Linkin Park & Friends Celebrate Life in Honor of Chester Bennington yang tayang sekitar tujuh tahun lalu. Konser tersebut merupakan peringatan akan kematian Chester, dan banyak penyanyi yang menyumbangkan suaranya.
Lantas, adakah yang bisa bernyanyi sebaik Chester? Menurut Penulis, tidak. Meskipun ada banyak nama-nama besar pada konser tersebut, benar-benar tidak ada yang bisa mengisi peran Chester sesempurna itu.
Taka dari One Ok Rock menyumbang suara untuk lagu “Somewhere I Belong,” di mana ia sempat lupa lirik di bagian bridging. Tak hanya itu, di beberapa lirik juga terlihat suaranya yang terkenal tinggi pun tak mampu menjangkaunya.
Vokalis Bring Me the Horizon, Oliver Sykes, kebagian lagu Crawling yang dikenal sebagai salah satu lagu tersulit Linkin Park yang bahkan Chester mengatakan kalau lagu tersebut termasuk sulit. Hasilnya? Vokal Oliver sering tak kuat ketika menyanyikan bagian reff-nya.
Selanjutnya, ada Deryck Whibley yang merupakan vokalis dari Sum 41. Ia kebagian lagu “The Catalyst” yang di mana Emily kesulitan untuk menyanyikannya. Namun, Deryck cukup mampu membawakannya, meskipun di beberapa kesempatannya terdengarnya napasnya habis.
M. Shadow sebagai vokalis Avenged Sevenfold juga menyumbang suaranya untuk dua lagu, “Burn It Down” dan “Faint.” Bisa dibilang di antara semua, ia masih yang termasuk lumayan walau style-nya jadi berubah Avenged banget.
Masih ada banyak penyanyi dan vokalis lain yang berkontribusi pada konser tersebut. Namun, rasanya empat contoh di atas sudah cukup untuk membuktikan bahwa vokal yang dimiliki oleh Chester memang benar-benar istimewa.
Mengapa Vokal Chester Bennington Seistimewa Itu?
Penulis tidak bermaksud menganggap bahwa Chester adalah vokalis terbaik sepanjang masa. Namun, pada lagu-lagu Linkin Park, memang terbukti beberapa kali lagunya cukup sulit untuk dinyanyikan. Sulit untuk meniru kemampuan vokal Chester.
Tadi sudah disinggung tentang lagu “Crawling” yang menjadi salah satu lagu tersulit. Ada juga lagu “The Catalyst” yang membuat siapa pun yang mencoba menyanyikannya kehabisan napas. Menariknya, masih ada banyak lagu Linkin Park yang juga cukup sulit untuk dinyanyikan.
Contohnya adalah “Given Up” karena ada bagian screaming sepanjang 17 detik non-stop. Lalu, ada lagu “Breaking the Habit” yang walaupun terkesan ngepop, ternyata susah sekali untuk menggapai nada setinggi yang dikeluarkan oleh Chester. Masih banyak lagi, tapi contoh-contoh tersebut sudah cukup.
Apa yang membuat vokal Chester menjadi istimewa adalah kemampuannya bernyanyi baik pada nada rendah maupun nada tinggi. Dari yang Penulis baca di Twitter, Chester memiliki range vokal Alto-Soprano, sehingga wajar nadanya kerap tinggi.
Dalam salah satu video footage di belakang panggung, ada sebuah rekaman di mana Chester sedang melakukan pemanasan suara. Pada satu titik, ia bisa melengkingkan suaranya tinggi sekali seperti Freddy Mercury dari Queen.
Tidak hanya dari sisi nada, dari sisi lembut-kerasnya pun Chester cukup fleksibel. Ia bisa bernyanyi selembut “One More Light,” tapi bisa teriak-teriak seperti di lagu “Lying From You.” Suaranya juga selalu stabil di atas panggung, bahkan setelah melakukan screaming sekali pun.
Satu hal lagi yang membuat vokal Chester istimewa adalah bagaimana ia terlihat effortless dalam membawakan lagu-lagu Linkin Park, sehingga kita sebagai penggemar percaya bahwa kita bisa menyanyikannya juga. Saat mencobanya di karaoke, baru kita sadar betapa mustahilnya hal tersebut.
Setelah kehilangan Chester dan melihat banyaknya penyanyi dan vokalis yang mencoba menyanyikan bagiannya, Penulis baru sadar betapa istimewa vokal yang dimilikinya. Memang, terkadang kita baru menyadari sesuatu setelah kehilangannya.
Lawang, 13 September 2024, teinspirasi setelah menyadari banyak lagu Linkin Park yang terlalu sulit untuk dinyanyikan
Beberapa waktu lalu, Linkin Park dan beberapa anggota band mengunggah sebuah pos misterius. Penggemar, termasuk Penulis, tentu bertanya-tanya proyek apa yang akan diumumkan kali ini.
Penulis sendiri berusaha untuk tidak berharap apa-apa, takutnya kecewa kalau ternyata pengumumannya nggeletek. Oleh karena itu, Penulis benar-benar terkejut ketika mengetahui kalau ternyata pengumumannya adalah Linkin Park akan segera comeback!
Linkin Park juga akan memiliki vokalis baru Emily Armstrong dan drummer baru Colin Brittain. Mereka juga merilis single baru berjudul “The Emptiness Machine” dan akan merilis album baru berjudul From Zeropada tanggal 15 November 2024. BOOM!!!
Oleh karena itu, kembalinya Linkin Park dengan personel baru merupakan hal yang benar-benar mengejutkan bagi Penulis. Tentu ini menjadi kejutan yang menyenangkan sekaligus menyentuh, karena mau tidak mau Penulis jadi teringat akan sosok Chester.
Dalam livestreaming yang dilakukan tadi pagi, Linkin Park langsung membawakan lagu barunya yang berjudul “The Emptiness Machine.” Lagu ini rupanya menjadi lagu pertama Linkin Park dengan vokalis baru, Emily Armstrong.
Penulis sendiri baru mendengar namanya kali ini. Namun, berdasarkan berbagai sumber, ia adalah vokalis dari sebuah band bernama Dead Sara. Suaranya memang nge-rock, mungkin analoginya sedikit mirip dengan tipe vokal Tantri dari Kotak.
Di lagu baru Linkin Park, bisa dibilang kualitas suara Emily cukup gokil dengan scream-scream yang ia lakukan. Sayangnya, ketika menyanyikan lagu-lagu lama Linkin Park, ia tampak kewalahan dan beberapa kali kehilangan suara. Vokal Chester memang seistimewa itu.
Selain Emily, ada produser One Ok Rock, Colin Brittain, yang akan menggantikan Rob Bourdon sebagai drummer. Penulis benar-benar terkejut ketika mengetahui Rob memutuskan untuk keluar dari band.
“Rob pernah berkata kepada kami pada suatu saat, saya kira beberapa tahun yang lalu, bahwa dia ingin memberi jarak antara dirinya dan band. Dan kami memahami hal itu – hal itu sudah terlihat jelas. Dia mulai jarang muncul, jarang berhubungan, dan saya tahu para penggemar juga menyadarinya,” ungkap Mike dalam satu wawancara.
Banyak spekulasi yang beredar di antara penggemar mengenai alasan sebenarnya mengapa Rob memutuskan untuk meninggalkan band sebesar Linkin Park. Alasan paling populer adalah ia tak ingin bermain sebagai Linkin Park tanpa sosok Chester.
Terlepas dari bergabungnya dua anggota baru, anggota lama lainnya tetap sama. Mike Shinoda sebagai gitaris/vokalis/pianis, Brad Delson sebagai gitaris, Dave “Phoenix” Farrel sebagai bassist, dan Joe Hahn sebagai turntablist.
Menatap Era Baru Linkin Park Bersama Emily Armstrong
Mungkin ini bias karena Penulis merupakan penggemar berat Linkin Park. Namun, bagi Penulis Linkin Park adalah salah satu band rock terbesar di dunia. Kembali mengorbitnya band ini di dunia musik tentu menjadi hal yang telah lama diidam-idamkan oleh penggemarnya.
Namun, Penulis dan para penggemar tentu harus menyadari bahwa kehadiran Emily bukan sebagai pengganti Chester, melainkan sebagai penerusnya. Posisi Chester jelas tak tergantikan, sehingga yang bisa Linkin Park lakukan adalah meneruskan legasinya.
Kalau mau dianalogikan, mungkin mirip dengan kasus Dewa yang sempat berganti vokalis dari Ari Lasso ke Once. Secara vokal, keduanya memiliki nuansa yang berbeda, di mana suara Once lebih nge-rock dibandingkan Ari Lasso. Namun, Dewa tetap bisa sukses siapapun vokalisnya, dan rasanya Linkin Park juga bisa seperti itu.
Jujur, Penulis tidak terlalu terkejut apabila Emily tak mampu bernyanyi seperti Chester. Akan tetapi, Penulis tak mengira kalau ia sampai kehilangan suaranya di beberapa lagu karena suaranya tidak sampai. Entah berapa kali ia arahkan mic-nya ke penonton karena hal ini.
Sebenarnya ini sudah sempat terlihat di konser peringatan kematian Chester beberapa tahun lalu. Konser tersebut mengundang banyak vokalis band rock untuk mengisi posisi Chester, mulai dari M. Shadow (Avenged Sevenfold), Taka (One Ok Rock), hingga Deryck Whibley (Sum 41).
Namun, mau sehebat apa pun kualitas orang lain, benar-benar tidak ada yang bisa bernyanyi untuk Linkin Park sehebat Chester. Bisa jadi, keputusan Linkin Park menggandeng vokalis perempuan adalah karena ingin menghindari perbandingan-perbandingan seperti ini.
Dengan menggandeng vokalis perempuan, yang sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh Penulis, Linkin Park seolah ingin menegaskan kalau mereka akan memasuki era baru. Sekali lagi, Emily bukanlah pengganti Chester, melainkan penerusnya.
Mau Dibawa ke Mana Linkin Park?
Mendengarkan lagu “The Emptiness Machine,” tampaknya Linkin Park akan mengambil jalur rock seperti di album-album sebelum One More Light. Bagi Penulis, lagu tersebut akan cocok jika dimasukan ke dalam album The Hunting Party.
Ini tentu kabar gembira untuk Penulis, yang memang menyukai Linkin Park karena lagu-lagu rock yang dipenuhi dengan scream. Emily rasanya mampu menghadirkan hal tersebut dengan kemampuan scream-nya yang cukup oke.
Penulis tidak akan protes apabila musikalitas Linkin Park sedikit bergeser untuk menyesuaikan vokal Emily. Seperti kata Mike pada acara React di YouTube, musik Linkin Park selalu berevolusi dan mereka tak takut untuk melakukan eksperimen.
Meskipun “The Emptiness Machine” tak terdengar sebagai sebuah eksperimen baru, bagi Penulis hal itu wajar mengingat mereka sudah lama vakum. Sebagai langkah pertama, mungkin mereka ingin mencoba formula-formula lama, tapi dengan vokal yang benar-benar baru.
Selain itu, dari single tersebut, Penulis bisa sedikit merasa tenang karena Linkin Park masih berada di “jalurnya” sebagai band rock. Penulis sempat khawatir mereka akan beralih genre seperti yang terjadi pada 30 Seconds to Mars atau bahkan berubah menjadi seperti Fort Minor.
Tentu kita tidak bisa menilai arah era baru Linkin Park hanya dari satu lagu yang baru dirilis. Oleh karena itu, Penulis tak sabar untuk mendengarkan album From Zero yang akan rilis pada tanggal 15 November 2024 mendatang, yang menjadi penanda bahwa era baru Linkin Park telah dimulai.
Lawang, 6 September 2024, teinspirasi setelah mengetahui Linkin Park telah memilih penerus Chester Bennington
You must be logged in to post a comment Login