Pagi tadi, Penulis dikejutkan dengan sebuah berita yang menyebutkan kalau bos Red Bull, Dietrich Mateschitz, meninggal dunia dalam usia 78 tahun karena sakit. Buat yang belum tahu, ia adalah salah satu orang paling kaya di dunia dengan kekayaan bersih mencapai 25,4 miliar dolar Amerika.
Dietrich (selanjutnya akan Penulis sebut Om Didi) mendirikan Red Bull GmbH pada tahun 1984 dengan menjalin kerja sama dengan pengusaha Thailand, Chaleo Yoovidhya, yang pemilik minuman energi Kratingdaeng. Berawal dari inilah ia mulai membangun kerajaan bisnisnya, termasuk di bidang olahraga.
Untuk menenangnya, Penulis memutuskan untuk membuat sebuah tulisan singkat mengenai kontribusi Om Didi di F1 dan bagaimana ia bisa meninggalkan legasi di F1 dengan luar biasa.
Awal Mula Red Bull di F1
Semenjak mengenal F1 di awal tahun 2000-an, Penulis tidak asing dengan Red Bull. Pasalnya, mereka merupakan sponsor utama di tim Sauber yang waktu itu masih menggunakan Kimi Raikkonen sebagai pembalapnya. Red Bull memang punya saham di sana sekitar 60%, tapi tetap saja Om Didi tidak bisa bergerak bebas.
Untuk itu, Om Didi memutuskan untuk membeli tim Jaguar Racing (dulunya bernama Stewart Grand Prix) pada tahun 2004 dan mengubahnya menjadi Red Bull Racing. Tidak cukup satu, Om Didi juga memutuskan untuk membeli klub legendaris asal Italia, Minardi, pada tahun 2005 dan mengubahnya menjadi Toro Rosso (banteng merah dalam bahasa Italia).
Uniknya, Toro Rosso yang dimaksudkan sebagai tim untuk membina pembalap muda justru meraih podium terlebih dahulu dibandingkan seniornya. Yang berhasil meraih podium tersebut, siapa lagi kalau bukan Sebastian Vettel ketika sedang berlaga di GP Italia pada tahun 2008.
Tidak hanya itu, Om Didi juga membeli sirkuit A-1 Ring di Austria dan mengubah namanya menjadi Red Bull Ring. Sirkuit ini pada akhirnya menjadi salah satu tuan rumah Grand Prix F1. Selain untuk balapan, sirkuit ini juga digunakan untuk membina pembalap-pembalap muda yang akan diproyeksikan untuk masuk ke tim utama.
Dalam periode tersebut, Penulis melihat tim Red Bull sebagai tim papan bawah, mong tim Jaguar memang bukan tim yang konsisten menembus papan atas. Namun, ternyata Penulis salah dan Red Bull bertransformasi menjadi tim yang sangat menjanjikan.
Dominasi Red Bull Lewat Vettel dan Verstappen
Pada tahun 2009, ketika Brawn GP merajut kisah Cinderella-nya, tanpa diduga tim Red Bull yang dinahkodai Sebastian Vettel dan Mark Webber berhasil memberikan persaingan yang kuat terutama di paruh kedua musim.
Meskipun tidak menjadi juara, Red Bull berhasil mengunci beberapa kemenangan yang seolah menandakan kalau mereka siap menjadi tim papan atas. Mereka setidaknya mampu unggul di atas tim-tim yang selama ini menguasai F1.
Dominasi mereka dimulai pada musim 2010 hingga 2013, di mana Sebastian Vettel yang merupakan pembalap akademi mereka berhasil menjadi juara dunia empat kali berturut-turut, baik sebagai tim konstruktor maupun pembalap.
Sayangnya, dominasi mereka berhasil dipatahkan oleh Mercedes dan Lewis Hamilton, tim yang bermula dari Brawn GP. Untungnya, dominasi Mercedes berhasil dipatahkan secara dramatis oleh Red Bull melalui Max Verstappen yang berhasil menjadi juara dunia pada musim 2021.
Bahkan, ia berhasil mempertahankan gelarnya di musim 2022 ini di saat balapan masih menyisakan 4 race lagi. Mungkin, ini adalah pertanda bahwa Red Bull akan kembali mendominasi F1 (terlepas dari masalah budget cap yang sedang dihadapi sekarang).
Verstappen sendiri bergabung dengan Red Bull di tahun 2014 dan melakukan debut bersama Toro Rosso (sekarang Alpha Tauri) pada tahun berikutnya. Tak perlu lama, ia langsung promosi ke tim utama pada tahun 2016 karena talenta yang dimilikinya.
Tak heran jika Verstappen sampai mengatakan kalau tanpa Om Didi dirinya “tidak akan berada di sini hari ini“, menunjukkan betapa besarnya peran Om Didi dalam karirnya di F1.
Penutup
“Dengan sangat sedih kami mengetahui kematian Dietrich. Dia adalah pria yang luar biasa dan dia mencintai Formula Satu. Kami berutang banyak padanya sebagai sebuah tim, dan apa yang dia inginkan lebih dari segalanya adalah melihat kedua mobilnya keluar di kualifikasi hari ini. Pikiran saya bersama keluarganya,” kata kepala tim Red Bull, Christian Horner.
Kiprah Om Didi di F1 tidak perlu dipertanyakan lagi, dengan berbagai prestasi yang berhasil diraih oleh Red Bull semenjak terbentuk. Tidak hanya di F1, Om Didi juga memiliki beberapa tim olahraga lain seperti tim Nascar dan banyak olahraga ekstrem.
Red Bull juga diketahui memiliki beberapa tim sepak bola, seperti Red Bull Salzburg, New York Red Bulls, Re Bull Brasil, Red Bull Ghana, hingga yang paling terkenal RB Leipzig yang beberapa tahun terakhir mampu bersaing di papan atas Bundesliga.
Banyaknya klub olahraga yang dimiliki oleh Om Didi seolah membuktikan kalau ia melakukannya bukan hanya demi uang dan bisnis semata, tetapi karena ia memang benar-benar memiliki passion dalam bidang olahraga.
Kesabarannya dalam membangun tim Red Bull Racing di F1 menjadi bukti nyata lainnya. Kemunculan Red Bull di F1 yang notabene dikuasai oleh tim-tim dengan sejarah panjang seperti Ferrari, McLaren, dan Renault, sampai hari ini masih terkesan luar biasa.
Bayangkan saja, merek minuman energi (meskipun mereka memang bekerja sama dengan konstruktor lain dalam membuat mesin) bisa berkompetisi dengan merek-merek yang memang terjun di bidang otomotif.
Meninggalnya Om Didi tentu menyedihkan, terutama bagi keluarga besar Red Bull. Namun, legasi yang ia tinggalkan akan masih terus berjalan hingga bertahun-tahun yang akan datang. Apalagi, Red Bull dan Verstappen tampaknya akan mendominasi F1 untuk musim-musim berikutnya.
Lawang, 23 Oktober 2022, terinpsirasi setelah mendengar berita kematian Dietrich Mateschitsz
Ketika Formula 1 memasuki awal musim 2024, banyak penggemar yang menginginkan musim ini di-skip saja dan langsung masuk ke musim 2025. Alasannya jelas, karena Max Verstappen dan Red Bull begitu mendominasi.
Bayangkan, dalam 10 balapan pertama, Verstappen berhasil memenangkan tujuh di antaranya. Kemenangan Verstappen hanya berhasil direbut oleh Carlos Sainz (GP Australia), Lando Norris (GP Miami), dan Charles Leclerc (GP Monaco).
Namun, dalam enam balapan terakhir, Verstappen dan Red Bull terlihat mengalami penurunan yang cukup signifikan. Bahkan, pesaing terdekat mereka, Lando Norris dan Mclaren, terlihat mulai mendekat dengan sangat cepat.
Selain Mercedes, Mclaren juga sering berhasil merebut kemenangan di GP Belanda melalui Norris dan kemenangan awkward Oscar Piastri di GP Hungaria. Terbaru, Leclerc berhasil mendapatkan kemenangan keduanya musim ini di GP Italia dengan gemilang.
Puasa kemenangan hingga enam balapan membuat posisi Verstappen di puncak klasemen mulai goyang. Meskipun dalam enam balapan tersebut ia konsisten masuk setidaknya enam besar, selisih poinnya dengan Norris menipis hingga tinggal 62 poin saja.
Norris sendiri cukup kompetitif dan mobil Mclaren memang sedang kencang-kencangnya. Setelah insiden di GP Austria yang membuatnya DNF, ia berhasil naik podium empat kali dari lima kesempatan. Tiga di antaranya berhasil di atas Verstappen.
Klasemen konstraktor malah lebih tipis lagi. Saat ini, selisih antara Red Bull dan Mclaren hanya tersisa 8 poin! Salah satu faktor pendukungnya adalah performa Sergio Perez yang benar-benar anjlok, di saat duo Mclaren sama-sama konsisten di papan atas.
Yups, Piastri sendiri cukup mampu mengimbangi performa Norris. Dalam enam balapan terakhir, ia selalu konsisten masuk ke empat besar. Di klasemen, ia sekarang berada di posisi empat, selisih 44 poin dengan Norris di peringkat dua.
Nah, normalnya dalam Formula 1, tim akan memiliki pembalap prioritas yang (biasanya) dipilih berdasarkan siapa yang di klasemen lebih berpeluang untuk juara. Kita sudah sering melihat hal ini, seperti Ferrari di era Michael Schumacher atau Red Bull di era Sebastian Vettel.
Masalahnya, tampaknya Mclaren tidak menyukai team order seperti itu dan memutuskan untuk menerapkan Papaya Rules, yang intinya mempersilakan kedua pembalapnya untuk bersaing secara sehat selama tidak merugikan tim.
Mclaren yang Ogah Terapkan Team Order
Lho, bukannya bagus karena menjunjung tinggi sportivitas? Jawabannya bisa benar, bisa salah. Bagi Mclaren yang terakhir kali juara pembalap pada tahun 2008 melalui Lewis Hamilton, bisa jadi itu keputusan yang salah.
Mclaren seolah sudah terlalu lama menjadi tim papan tengah, sehingga terkesan tidak siap ketika mereka memiliki kesempatan untuk menjadi juara baik dari segi pembalap maupun konstraktor. Padahal, saat ini mereka telah memiliki mobil yang sangat mumpuni.
Norris sendiri telah lama “mengabdi” untuk Mclaren sejak musim 2016, sehingga sangat masuk akal jika ia menjadi pembalap prioritas. Piastri yang baru bergabung musim lalu pun pasti bisa menerima keputusan tim, apalagi statusnya sebagai rookie.
Jika Mclaren tidak bisa memberi ketegasan kepada kedua pembalapnya, bisa-bisa justru akan merusak keharmonisan tim yang bisa berakibat lepasnya gelar juara. Norris bisa saja merasa kesal karena tidak diprioritaskan dan tidak mendapatkan bantuan dari Piastri.
Di sisi lain, Norris pun harus bisa meningkatkan performanya. Musim ini ia berhasil mendapatkan empat Pole Position, tapi tiga kali ia gagal mengonversinya menjadi kemenangan akibat buruknya start yang ia lakukan.
Idealisme yang dimiliki oleh Mclaren memang bagus, tapi rasanya kurang cocok diterapkan jika risikonya adalah membuat Norris harus mengubur mimpinya untuk menjadi juara dunia. Selisih poinnya dengan Verstappen benar-benar tipis, dengan delapan sirkuit tersisa.
Untuk gelar juara konstruktor mungkin relatif bisa direbut, mengingat bagaimana anjloknya Perez dan penurunan performa yang dialami oleh Red Bull. Sungguh, tak salah apabila Mclaren melakukan Asa Mclaren Rebut Gelar Juara dari Red Bull Terhadang Papaya Rules
untuk memastikan gelar juara dunia pembalap diraih oleh Norris.
Setiap awal musim, para penggemar Manchester United (MU) di seluruh dunia menaruh harapan yang besar untuk klubnya. Tak sedikit yang menyebutkan kalau musim ini akan terjadi tsunami trofi, yang sayangnya hingga saat ini belum pernah terjadi.
Musim ini pun begitu, dan tampaknya hasilnya juga akan sama saja seperti musim-musim sebelumnya. Bagaimana tidak, liga baru berjalan tiga pertandingan, MU sudah menelan dua kali kekalahan.
Kekalahan yang terbaru terasa lebih menyakitkan karena didapatkan dari rival abadinya, Liverpool, dengan skor telak 0-3. Padahal di awal musim, MU tampak meyakinkan setelah Sir Jim Ratcliffe dan INEOS melakukan banyak perubahan, termasuk membeli pemain yang tepat.
Beberapa tahun terakhir, MU kerap ditertawakan karena sering membeli pemain overpriced. Padahal, pemain yang dimiliki memiliki kualitas yang biasa-biasa saja. Contoh mudahnya adalah Jadon Sancho dan Antony.
Di musim ini, MU tampak telah belajar dari kesalahan tersebut dengan melakukan pembelian pemain yang masuk akal. Tidak hanya itu, pembelian yang dilakukan juga melihat kebutuhan tim, posisi mana yang membutuhkan pemain baru.
Berikut adalah daftar pemain baru MU, tidak termasuk pembelian pemain muda yang tidak masuk ke dalam tim ini:
Leny Yoro (LOSC Lille | €62.00m)
Manuel Ugarte (Paris Saint-Germain | €50.00m)
Matthijs de Ligt (Bayern Munich | €45.00m)
Joshua Zirkzee (Bologna FC | €42.50m)
Noussair Mazraoui (Bayern Munich | €15.00m)
MU punya permasalahan besar di lini belakang, yang bisa dilihat dari defisitnya selisih gol mereka di musim kemarin. Oleh karena itu, Penulis mengapresiasi langkah manajemen MU yang baru di bawah Sir Ratcliffe yang mendatangkan dua bek, satu bek kanan, dan satu gelandang bertahan.
Dari sisi kepelatihan, ada beberapa perombakan. Yang paling fenomenal tentu saja mendatangkan mantan striker legendaris MU, Ruud van Nisterlooy, untuk menjadi asisten Erik Ten Hag.
Sir Ratcliffe juga menyebutkan akan memperbaiki fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh MU, termasuk stadion dan markas latihan. Dengan langkah-langkah tersebut, wajar jika penggemar MU menjadi banyak berekspetasi ke klub yang belakangan sering menyakiti mereka ini.
Ternyata MU Tetap Melawak
Penulis menonton ketiga pertandingan MU di awal musim ini, bahkan rela tetap berlangganan Vidio meskipun biayanya bertambah cukup banyak. Penulis secara pribadi penasaran dengan perubahan seperti apa yang akan terjadi di musim ini.
Ternyata, memang perubahan itu tidak bisa terjadi secara instan. MU bisa dibilang tampil cukup buruk dalam tiga pertandingan pertamanya. Kemenangan pertamanya melawan Fulham tidak terlalu impresif, bahkan gol yang dicetak Zirkzee terjadi menjelang pertandingan berakhir.
Saat melawan Brighton, Penulis sudah feeling hasilnya akan kurang baik karena MU kerap kalah ketika berhadapan dengan tim ini. Benar saja, Brighton berhasil menang 2-1 melalui gol di injury time.
Penulis benar-benar tak habis pikir dengan gol Joao Pedro yang dicetak pada menit 90+5. Saat proses gol terjadi, benar-benar tidak ada satu pun pemain yang menjaganya sehingga ia bisa menyundul bola dengan mudahnya ke gawang Onana.
Puncaknya tentu saja ketika MU dibabat habis oleh Liverpool di kandang. Dua blunder yang dilakukan oleh Casemiro membuat Liverpool berhasil unggul 2-0 di babak pertama melalui sontekan Luis Diaz. Permainan Casemiro di pertandingan tersebut memang benar-benar parah.
Ten Hag bereaksi cepat dengan menggantinya dengan pemain muda Toby Collyer di babak kedua, tapi tetap saja level permainan MU seolah berada jauh di bawah Liverpool. Bahkan, Mainoo juga melakukan blunder yang akhirnya dimanfaatkan dengan baik oleh Salah.
Jika ditanya apa yang salah dengan MU, jujur Penulis sendiri pun tidak bisa menjawabnya. Jika pertanyaan serupa diajukan ke penggemar Chelsea, mungkin mereka bisa menjawab manajemen di era Todd Boehly benar-benar membuat tim menjadi amburadul.
Nah, MU ini manajemen udah mulai dirombak, staf kepelatihan diganti, pemain bagus didatangkan, stadion dan fasilitas diperbaiki. Kalau semuanya baru, lantas mengapa MU tetap seperti musim-musim sebelumnya yang enggak jelas mainnya?
Memang semua butuh proses, tapi penggemar MU pasti akan mengatakan prosesnya sudah terlalu lama. Memang kita harus move on dari masa-masa keemasan Sir Alex Ferguson, tapi ya ga sebobrok ini juga. MU ini tim bola yang penuh dengan sejarah.
Entah sampai kapan ujian ini akan terus berlangsung bagi penggemar MU. Satu yang pasti, mayoritas penggemar MU itu setia. Meskipun disakiti berkali-kali, kami akan tetap mendukung MU. Tentu, sesekali sambil misuh karena saking kesalnya.
Lawang, 2 September 2024, terinspirasi setelah menonton kekalahan MU atas Liverpool
Penulis selalu menyukai jika ada pembalap Formula 1 (F1) yang berhasil meraih kemenangan perdananya. Di musim ini, Penulis sangat berharap kalau Oscar Piastri dari McLaren berhasil meraih kemenangan perdananya, setelah penampilan konsistennya di musim lalu.
Apalagi, musim 2024 juga seru karena dalam 12 balapan yang telah berlangsung, sudah ada enam pembalap berbeda yang berhasil menjadi juara. Tentu menarik jika ada pembalap ketujuh yang berhasil menjadi juara, apalagi yang belum pernah seperti Piastri.
Nah, harapan tersebut ternyata terwujud pada hari ini (21/7) ketika Piastri berhasil menjuarai GP Hungaria. Namun, kemenangan tersebut menjadi terasa awkward karena kesalahan strategi yang dilakukan oleh timnya.
Hampir Terulangnya Peristiwa Multi 21 oleh McLaren
Sejak babak kualifikasi, McLaren sudah terlihat akan mendominasi GP Hungaria, karena Lando Norris dan Oscar Piastri berhasil start dari posisi 1-2. Di belakang mereka ada Max Verstappen dari Red Bull, yang entah mengapa mobilnya selama beberapa balapan terakhir terlihat underperform.
Balapan sudah terlihat akan “kacau” sejak tikungan pertama, karena Norris kehilangan posisinya saat berduel dengan Verstappen. Piastri pun berhasil mengambil alih pimpinan balapan selama berlap-lap.
“Drama” dimulai ketika sesi pit kedua, di mana McLaren memutuskan untuk meminta Norris untuk pit terlebih dahulu. Alasannya, agar Norris bisa menahan laju Lewis Hamilton dan mengamankan kemenangan Piastri.
Masalahnya, sebenarnya jarak Hamilton dengan para pembalap McLaren sebenarnya masih relatif jauh, sehingga muncul kesan kalau memang tim menginginkan Norris yang menang demi bisa mendekat ke Verstappen.
Benar saja, saat Piastri pit, Norris berhasil mengambil alih pimpinan balapan. Ia seolah berhasil melakukan strategi undercut untuk menyalip rekan setimnya sendiri. Alhasil, radio tim McLaren pun menjadi penuh drama setelah kejadian ini.
Di radio, tim meminta Norris untuk memberikan kembali posisi pertama kepada Piastri, mungkin karena menyadari kesalahan strategi yang tidak menguntungkan Piastri yang sejatinya sudah mengemudi dengan baik sepanjang balapan.
Norris awalnya tampak enggan, apalagi pace-nya jauh lebih cepat dari Piastri karena jaraknya sempat mencapai 7 detik. Namun, di tiga lap terakhir, akhirnya Norris menuruti team order tersebut dan memberikan kemenangan perdana bagi Piastri.
Kemenangan ini pun terasa sedikit awkward bagi Piastri. Di radio setelah finis, ia terdengar kurang bersemangat dan langsung meminta maaf! Mungkin ia sendiri merasa bersalah dengan apa yang telah terjadi, karena sepertinya ia adalah tipe orang yang gak enakan.
“Sorry, I made this all a lot more painful than it needed to be,” ungkap Piastri di radio begitu berhasil finis di posisi pertama.
Norris pun bisa dibilang tidak bersalah sama sekali. Ia hanya melakukan tugasnya sebagai pembalap untuk memacu kendaraannya sekencang mungkin. Apalagi, ia juga sedang mengejar Verstappen mati-matian untuk menjadi juara musim ini.
Kesalahan murni terdapat pada strategi McLaren, yang seharusnya memasukkan Piastri ke pit terlebih dahulu sebelum Norris. Untungnya, Norris bisa menahan egonya dan menuruti perintah tim, tidak seperti Verstappen beberapa tahun lalu.
Keputusan Norris mungkin bijaksana, mengingat musim 2024 masih berjalan setengah. Bisa jadi di balapan-balapan selanjutnya, Norris membutuhkan “jasa” Piastri untuk bisa membantunya mengejar poin yang dimiliki oleh Verstappen.
Kejadian seperti ini pun membuat kita teringat pada peristiwa “Multi 21” antara Mark Webber dan Sebastian Vettel. Saat itu, Vettel disuruh mengalah dan membiarkan Webber menang, tapi perintah tersebut diabaikan oleh Vettel dan membuat hubungannya dengan Webber memanas.
Beberapa Rekor Setelah GP Hungaria
Oscar Piastri berhasil mencatatkan namanya sebagai pembalap ke-115 sepanjang sejarah F1 yang berhasil keluar menjadi juara. Raihan ini menjadi lebih istimewa karena kemenangan ini berhasil ia raih di musim keduanya di F1.
Rasanya, keputusan untuk menerima pinangan McLaren dibandingkan Alpine menjadi keputusan terbaik yang pernah diambil oleh Piastri dalam hidupnya. Bisa dibayangkan seandainya ia debut untuk Alpine, kemenangan perdanya di F1 tidak akan ia raih secepat ini.
Meskipun kemenangan perdananya terasa awkward, sebenarnya Piastri sangatlayak mendapatkan kemenangan ini. Ia yang terlihat selalu kalem berhasil memberikan penampilan yang konsisten selama ini, sehingga memang tinggal menunggu waktu saja hingga ia meraih kemenangan perdananya.
Piastri berhasil menjadi pembalap ketujuh yang berhasil menang di musim ini, setelah Max Verstappen, Carlos Sainz, Lando Norris, Charles Lelcrec, George Russel, dan Lewis Hamilton. Hal seperti ini terakhir terjadi pada musim 2012 silam.
Selain kemenangan Piastri, Lewis Hamilton juga berhasil mencuri perhatian dengan meraih podium ke-200 sepanjang kariernya dengan meraih podium ketiga. Ia berhasil melalui pertarungan yang keras dari Verstappen, yang terlihat kembali ke mode default-nya.
Semoga saja keseruan F1 musim ini akan terus berlanjut di balapan-balapan selanjutnya, di mana Verstappen dan Red Bull tidak lagi terlalu mendominasi. Tentu menarik dinanti apakah akan ada pembalap lain yang bisa menang balapan.
Lawang, 21 Juli 2024, terinspirasi setelah menonton GP Hungaria
You must be logged in to post a comment Login