Connect with us

Olahraga

Ketika Messi Memporak-porandakan Amerika Serikat

Published

on

Ketika Lionel Messi memutuskan untuk bermain di Major League Soccer (MLS) bersama Inter Miami, Penulis menyayangkan keputusan tersebut karena merasa sang mega bintang tersebut masih memiliki kemampuan bersaing di Eropa.

Hanya saja, jika dipikir-pikir lagi, Messi bisa dibilang sudah meraih segalanya, baik di level tim maupun tim nasional. Mungkin, Messi hanya ingin menikmati akhir masanya dan menikmati bagaimana nyamannya tinggal di Amerika Serikat.

Namun, Penulis tak menyangka kalau Messi akan menjadi terlalu overpowered di sana. Baru beberapa bulan, ia telah berhasil membawa Inter Miami, yang babak belur di liga, menjuarai Leagues Cup.

Torehan Mentereng Messi di Debutnya Bersama Inter Miami

Langsung Gacor di Amerika Serikat (CNN)

Messi langsung “menendang” sejak pertandingan debutnya saat Inter Miami berhadapan dengan Cruz Azul di Round 1 Leagues Cup. Masuk sebagai pemain pengganti, Messi langsung mencetak gol kemenangan pada saat injury time, tepatnya pada menit ke-94.

Di Round 2, Messi kembali tampil garang dengan mencatatkan 2 gol dan 1 assist yang membawa timnya menang dengan skor telak 4-0 atas Atlanta United. Saat melawan Orlando City di babak 32 besar, ia kembali berhasil mencetak 2 gol dan membawa timnya menang 3-1.

Pertandingan heroik Messi terjadi di babak selanjutnya saat Inter Miami berhadapan dengan FC Dallas. Sempat tertinggal 4-2, Messi menjadi penyama kedudukan di menit 85 melalui tendangan bebasnya yang cantik. Inter Miami pun menang setelah drama adu penalti.

Inter Miami menang mudah 4-0 saat berhadapan dengan Charlotte FC. Kali ini, Messi hanya menyumbangkan 1 gol. Begitu pula saat di babak semifinal saat melawan Philadelphia Union, yang diakhir kemenangan 4-1 dan Messi menyumbangkan 1 gol.

Pada babak final melawan Nashville SC, Messi mencetak gol pembuka sebelum akhirnya disamakan oleh gol bunuh diri. Pertandingan berlanjut hingga adu penalti yang akhirnya dimenangkan oleh Inter Miami dengan skor 11-10.

Artinya, sepanjang Leagues Cup atau dalam 7 pertandingan, Messi berhasil mencetak 9 gol dan 1 assist. Ia pun berhasil menjadi top score dengan torehan golnya tersebut. Debut Messi di Amerika Serikat pun dimulai dengan manis.

Untuk rekor pribadi, Messi juga sah menjadi pemain dengan raihan trofi terbanyak dengan 44 trofi. Ia berhasil mengalahkan mantan rekannya di Barcelona, Daniel Alves, yang memiliki 43 trofi. Benar-benar luar biasa.

Kita Sedang Berada di Penghujung Sebuah Era

Messi Terlalu OP untuk Amerika Serikat? (CNN)

Kesuksesan Messi mengantarkan Inter Miami menjadi juara Leagues Cup membuat banyak pihak berpikir kalau Messi terlalu overpowered untuk bermain di Amerika Serikat. Melihat kemampuannya di atas lapangan, rasanya ia masih layak untuk bermain di Eropa.

Namun, kita harus ingat kalau sekarang kita memang sedang di penghujung sebuah era, di mana para pemain bintang akan memasuki masa-masa pensiunnya. Selain Messi yang ke Amerika Serikat, Ronaldo pun pergi ke Arab Saudi yang diikuti oleh pemain “uzur” lainnya.

Eropa, yang menjadi kiblat sepak bola dunia, musim ini memang banyak ditinggalkan oleh pemain senior yang pada masanya memiliki permainan yang sangat bisa dinikmati. Hanya tinggal segelintir yang masih bisa bertahan di kerasnya sepak bola Eropa.

Namun, jangan lupa kalau masih ada banyak talenta muda yang akan siap menggantikan peran para pemain senior. Kylian Mbappe dan Erling Haaland disebut akan menjadi Messi vs Ronaldo selanjut, apalagi setelah Mbappe menolak untuk pindah ke Arab.

Untuk saat ini, marilah kita mengheningkan cipta atas berakhirnya sebuah era emas sepak bola di mana kita bisa melihat pemain sekaliber Messi dan Ronaldo bersaing di level teratas sepak bola. Mari kita bersyukur telah diberi kesempatan untuk melihat mereka.


Lawang, 21 Agustus 2023, terinspirasi setelah melihat bagaimana OP-nya Messi di MLS

Foto Featured Image: MLS

Olahraga

Sepertinya Erik Ten Hag Memang Perlu Keluar dari Manchester United

Published

on

By

Musim ini telah menjadi musim yang buruk bagi penggemar Manchester United (MU). Bagaimana tidak, dalam enam laga yang telah dijalani di liga, MU hanya berhasil meraih dua kemenangan, satu seri, dan tiga kekalahan.

Parahnya lagi, dua dari tiga kekalahan MU terjadi dengan skor yang cukup memalukan, yakni 0-3. Lebih memalukannya lagi, kekalahan atas Liverpool dan Tottenham Hotspurs tersebut terjadi di kandang MU, Old Trafford.

Di Europe League pun tidak lebih baik. Pada pertandingan pertama, MU hanya berhasil bermain imbang melawan FC Twente. Mau tidak mau, kursi kepelatihan Erik Ten Hag pun mulai digoyang lagi. Banyak penggemar yang ingin ia keluar dari tim.

Apakah Erik Ten Hag Memang Pelatih yang Buruk?

Padahal Skuad Sudah Cukup Oke (DetikSport)

Ketika banyak netizen yang sudah lama menginginkan Ten Hag keluar dari MU, Penulis masih berusaha untuk mendukungnya. Alasannya, mau siapapun pelatihnya, MU sedang berada dalam kondisi yang sulit karena banyak hal.

Apalagi, Ten Hag berhasil mengakhiri paceklik gelar MU yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Di musim pertamanya, ia berhasil meraih Carabao Cup, sedangkan di musim keduanya ia berhasil mendapatkan FA Cup setelah mengalahkan Manchester City di final.

Namun, makin ke sini, Penulis makin setuju untuk mendepak Ten Hag. Salah satu alasannya adalah karena sang pelatih kerap menunjukkan sikap keras kepala dan tidak ingin disalahkan atas hasil buruk yang didapatkan oleh timnya.

Sebagai seorang pelatih, tentu saja ia menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas buruknya performa tim. Akan tetapi, Ten Hag kerap menolak kritik yang dilayangkan kepadanya dan memberikan berbagai bantahan yang sering membuat jengkel.

Selain itu, permainan MU belakangan ini benar-benar amburadul. Jujur saja, melihat permainan timnas Indonesia di bawah arahan Shin Tae-yong jauh lebih enak dibandingkan melihat permainan MU.

Contoh dalam laga melawan Spurs kemarin, distribusi MU benar-benar buruk. Pemain MU jelas terlihat kesulitan untuk lepas dari high pressing yang dilakukan oleh pemain Spurs. Tak hanya itu, kemampuan individunya pun terlihat kalah telak.

Ten Hag selalu berkoar-koar ingin menjadikan MU sebagai tim penyerangan transisi terbaik. Masalahnya, finishing dan pola penyerangan MU benar-benar buruk. Buktinya dalam enam laga, MU hanya berhasil mencetak 5 gol, ketika Erling Haaland telah mencetak dua kali lipatnya.

Lini depan MU memang benar-benar terlihat tumpul. Joshua Zirkzee sebagai striker rekrutan terbaru kurang memiliki finishing touch yang akurat. Rasmus Hojlund pun masih belum bisa menemukan performa terbaiknya pascacedera.

Pemain-pemain sayapnya pun terlihat kurang bisa menusuk. Pemain tengah kurang bisa mendistribusikan bola ke depan. Pemain belakang kerap melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Mungkin hanya Andre Onana yang benar-benar bisa melakukan tugasnya dengan cukup baik.

Terakhir, satu alasan yang membuat Penulis ilfeel terhadap Ten Hag adalah nepotisme yang ia lakukan. Mungkin Pembaca juga sudah tahu bagaimana ia kerap merekrut mantan anak buahnya di Ajax Amsterdam. Hasilnya? Lihat saja berapa yang benar-benar berhasil.

Lantas, Siapa yang Lebih Layak dari Erik Ten Hag?

Kandidat Pengganti Favorit Penulis (Goal)

Penulis sadar kalau pergantian pelatih tidak akan serta-merta akan mengubah MU menjadi lebih baik dalam waktu singkat. Sejak ditinggal Sir Alex Ferguson, sudah banyak pelatih yang mencoba dan hasilnya tak pernah memuaskan.

Namun, melihat progres Ten Hag yang seolah mandek, Penulis merasa penyegaran memang perlu dilakukan. Penulis bahkan sudah kehabisan argumen untuk membela sang pelatih, sehingga akhirnya ikut bergabung dengan kubu yang menginginkan ia untuk cabut.

Momen ini membuat kita teringat pada masa-masa ketika para pendukung MU banyak yang menyuarakan agar Ole Gunnar Solkjaer dipecat dari tim. Penggemar sudah capek dengan narasi “percaya dengan proses” karena ini sudah memasuki tahun ketiganya di MU.

Sebagai perbandingan, kita bisa melihat bagaimana Arne Slot bisa langsung menyatu dengan timnya di musim perdananya. Tak hanya itu, Enzo Maresca juga terlihat langsung nyetel dengan Chelsea yang kerap melawak bersama MU dalam beberapa tahun terakhir.

Jika melihat mereka berdua, tentu narasi “percaya dengan proses” menjadi basi. Bisa jadi, bukan progres MU yang memang membutuhkan waktu lama, tapi memang kemampuan Ten Hag hanya sebatas ini. Ia tak akan mampu membawa MU ke masa kejayaannya lagi.

Lantas jika diganti, diganti oleh siapa? Kursi kepelatihan MU memang terlihat menakutkan dengan berbagai tuntutan yang ada. Belum lagi masalah-masalah di luar lapangan yang pernah dibocorkan oleh Cristiano Ronaldo beberapa tahun lalu.

Oleh karena itu, menurut Penulis nama yang paling cocok untuk menggantikan Ten Hag adalah Ruud Van Nisterlooy yang kini sedang menjadi asisten pelatih di MU. Ada banyak alasan mengapa Penulis menjagokan mantan striker tajam tersebut.

Pertama, Nisterlooy merupakan salah satu legenda MU. Ia tentu sudah mengenal tim dengan baik. Walau tak semua, ada beberapa pemain legenda yang berhasil menjadi pelatih di tim yang dulu ia bela, seperti Zinedine Zidane di Real Madrid, Pep Guardiola di Barcelona, atau Mikel Arteta di Arsenal sekarang.

Karier kepelatihannya memang belum cukup panjang untuk di tim senior. Namun, saat melatih PSV Eindhoven pada musim 2022-2023, ia berhasil mempersembahkan dua trofi, Johan Cruyff Shield dan KNVB Cup, sebelum memutuskan untuk meninggalkan tim karena suatu alasan.

Meskipun Nisterlooy belum tentu bisa membawa tim menjadi lebih baik, setidaknya akan ada penyegaran di dala m tim jika Ten Hag meninggalkan tim. Para pemain MU pun harusnya lebih hormat kepada Nisterlooy yang berstatus sebagai legenda tim.


Lawang, 30 September 2024, terinspirasi setelah kesabarannya habis melihat MU yang makin tidak karuan

Foto Featured Image: Daily Post Nigeria

Continue Reading

Olahraga

Rasanya Oscar Piastri Suatu Saat akan Jadi Juara Dunia

Published

on

By

Setelah GP Inggris yang berhasil dimenangkan oleh Lewis Hamilton, Penulis tidak berekspektasi banyak dengan balapan-balapan selanjutnya. Ternyata, Penulis salah, karena GP Azerbaijan juga tak kalah seru dan banyak drama!

GP Azerbaijan sendiri berhasil dimenangkan oleh Oscar Piastri dari Mclaren. Ini merupakan kemenangan keduanya sepanjang kariernya, setelah kemenangan awkward yang ia dapatkan pada GP Hungaria.

Melalui balapan yang dilalui oleh Piastri kemarin malam, entah mengapa Penulis semakin yakin kalau pembalap asal Australia tersebut berpotensi untuk menjadi juara dunia di masa depan. Ada banyak champion factors yang Penulis rasa ia miliki.

Jalannya GP Azerbaijan

Sebelumnya, mari kita bahas sedikit tentang GP Azerbaijan kemarin. Penulis sendiri tidak bisa menontonnya secara live karena kebetulan balapannya yang berlangsung pada pukul 18:00 WIB bersamaan dengan acara masjid di tempat tinggal Penulis.

Pole position sendiri berhasil diraih oleh Charles Leclerc. Ini adalah pole keempat secara beruntun yang berhasil ia raih di Azerbaijan. Namun, tiga edisi sebelumnya ia selalu gagal mengonversinya menjadi kemenangan.

Lantas, apakah kali ini ia berhasil mematahkan kutukannya seperti yang ia lakukan pada GP Monaco silam? Ternyata tidak, karena sekali lagi gelar juara luput dari tangannya setelah direbut oleh Piastri.

Piastri yang memang berada di belakang Leclerc hampir di setiap lap berhasil melakukan manuver dive bomb secara mulus dan tanpa kesalahan. Setelah itu, ia mampu bertahan dari manuver-manuver Leclerc hingga garis finis, apalagi degradasi ban Leclerc juga lebih parah.

Omong-omong soal finis, ada plot twist yang melibatkan Sergio Perez dan Carlos Sainz. Dua lap sebelum finis, Leclerc yang sudah tak mampu mengejar Piastri justru dikejar oleh Perez. Saat keduanya beradu, Sainz tiba-tiba menyalip Perez.

Nah, saat keduanya beradu di lintasan lurus, mereka justru bersenggolan dan mengakibatkan keduanya DNF. Dalam video tayangan ulang, kita bisa melihat kalau memang Sainz agak ke kiri, tapi Perez pun sebenarnya masih punya banyak ruang kosong di sisi kirinya.

Perez sangat marah dengan kecelakaan tersebut karena ini bisa dibilang salah satu performa terbaiknya setelah sekian balapan tampil underperform. Apalagi, hasil ini membuat Red Bull akhirnya berhasil dilewati oleh Mclaren di klasemen konstruktor dengan keunggulan 20 poin.

Max Verstappen yang selama ini menggendong Red Bull pun tampaknya tak mampu berbuat banyak. Dengan berbagai masalah yang ia temui di mobilnya, ia finis di belakang Lando Norris yang membuat jarak mereka berdua kembali terpangkas.

Hal menarik lain yang perlu dibahas adalah bagaimana George Russel kembali mendapatkan “giveaway” podium setelah kecelakaan yang menimpa Perez dan Sainz. Memang, terkadang hoki itu menentukan prestasi.

Oh, satu lagi, dua pembalap rookie, Franco Colapinto (William) dan Oliver Bearman (Haas) juga sama-sama berhasil mendulang poin pada balapan ini. Bearman sendiri dipastikan akan menjadi pembalap Haas musim depan, sedangkan nasib Colapinto belum diketahui.

Colapinto, yang menggantikan Logan Sargeant, seolah membuktikan kalau dirinya memang pantas untuk mendapatkan kursi F1. Di sisi lain, Bearman juga mencatatkan rekor menarik sebagai pembalap pertama yang meraih poin di dua balapan perdananya dengan dua tim yang berbeda.

Apa yang Membuat Piastri Layak Menjadi Juara Dunia

Kemenangan Solid dari Piastri (The Peninsula Qatar)

Sekarang mari kita bicara tentang Piastri. Menurut Penulis, balapan kemarin merupakan salah satu performa terbaiknya sepanjang kariernya di F1. Manuvernya dalam menyalip Leclerc, manajemen bannya, hingga aksi bertahannya perlu diacungi jempol.

Mungkin dalam beberapa balapan ia terlihat kurang memiliki pace seperti yang terlihat pada GP Hungaria. Namun, sebenarnya kualitas yang ia miliki bisa dibilang cukup luar biasa, apalagi jika mengingat ini baru musim keduanya di F1.

Banyak orang berpendapat kalau Piastri adalah Kimi Raikkonen versi baik. Ketenangannya luar biasa di usianya yang sangat muda (Piastri kelahiran tahun 2001). Mau dalam keadaan tertekan sekalipun seperti balapan kemarin, ia tetap bisa mengendalikan emosinya.

Ia juga bukan tipe yang meledak-ledak bahkan setelah meraih kemenangan sekalipun. Ia juga rasanya tak pernah terdengar marah-marah di radio, bahkan dalam kondisi yang merugikan dirinya sekalipun.

Walau tenang, di arena balapan, ia bisa berubah menjadi monster yang menakutkan. Pada GP Azerbaijan kemarin, ia mengabaikan instruksi tim untuk “bermain aman” dan memilih untuk mengikuti intusinya sebagai seorang juara. Hasilnya, ia terbukti benar.

Selama beberapa tahun terakhir, terutama di era dominasi Hamilton dan Verstappen, ada banyak nama pembalap muda yang dianggap layak untuk menjadi juara dunia. Contohnya adalah Leclerc dan Norris.

Namun, keduanya dianggap tak mampu balapan di bawah tekanan dan kerap melakukan blunder tak perlu. Alhasil, potensi mereka kerap dianggap sia-sia karena dianggap kurang punya mentalitas juara.

Nah, Piastri berbeda. Banyak penggemar yang menganggap kalau ia lebih memiliki mental juara dibandingkan para seniornya tersebut. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh dramanya ketika akan masuk ke dalam F1.

Seperti yang kita tahu, waktu Sebastian Vettel memutuskan untuk pensiun pada tahun 2022, terjadi efek domino. Fernando Alonso memutuskan untuk pindah dari Alpine ke Aston Martin untuk mengisi kekosongan tersebut.

Setelah itu, Alpine langsung mengumumkan Piastri akan menjadi pembalap mereka musim depan. Hal ini langsung dibantah oleh Piastri dengan mengatakan kalau ia belum menandatangani kontrak apapun. Plot twist-nya, ia justru bergabung dengan Mclaren.

Dengan beberapa faktor tersebut, entah mengapa Penulis meyakini kalau suatu hari Piastri bisa menjadi seorang juara dunia, baik dengan Mclaren maupun dengan tim lain. Mari kita nantikan saja apakah prediksi ini akan benar-benar terjadi atau tidak.


Lawang, 16 September 2024, terinspirasi setelah menonton GP Azerbaijan

Foto Featured Image: CNN

Continue Reading

Olahraga

Asa Mclaren Rebut Gelar Juara dari Red Bull Terhadang Papaya Rules

Published

on

By

Ketika Formula 1 memasuki awal musim 2024, banyak penggemar yang menginginkan musim ini di-skip saja dan langsung masuk ke musim 2025. Alasannya jelas, karena Max Verstappen dan Red Bull begitu mendominasi.

Bayangkan, dalam 10 balapan pertama, Verstappen berhasil memenangkan tujuh di antaranya. Kemenangan Verstappen hanya berhasil direbut oleh Carlos Sainz (GP Australia), Lando Norris (GP Miami), dan Charles Leclerc (GP Monaco).

Namun, dalam enam balapan terakhir, Verstappen dan Red Bull terlihat mengalami penurunan yang cukup signifikan. Bahkan, pesaing terdekat mereka, Lando Norris dan Mclaren, terlihat mulai mendekat dengan sangat cepat.

Penurunan Performa Red Bull dan Potensi Kehilangan Gelar Juara

Verstappen dan Red Bull Pusing (GPblog)

Dalam enam balapan terakhir, pemenangnya cukup bervariasi. Mercedez berhasil mendapatkan tiga kemenangan, mulai dari “rezeki tak ke mana” George Russel di GP Austria, kemenangan emosional Hamilton di GP Inggris dan giveaway di GP Belgia

Selain Mercedes, Mclaren juga sering berhasil merebut kemenangan di GP Belanda melalui Norris dan kemenangan awkward Oscar Piastri di GP Hungaria. Terbaru, Leclerc berhasil mendapatkan kemenangan keduanya musim ini di GP Italia dengan gemilang.

Puasa kemenangan hingga enam balapan membuat posisi Verstappen di puncak klasemen mulai goyang. Meskipun dalam enam balapan tersebut ia konsisten masuk setidaknya enam besar, selisih poinnya dengan Norris menipis hingga tinggal 62 poin saja.

Norris sendiri cukup kompetitif dan mobil Mclaren memang sedang kencang-kencangnya. Setelah insiden di GP Austria yang membuatnya DNF, ia berhasil naik podium empat kali dari lima kesempatan. Tiga di antaranya berhasil di atas Verstappen.

Klasemen konstraktor malah lebih tipis lagi. Saat ini, selisih antara Red Bull dan Mclaren hanya tersisa 8 poin! Salah satu faktor pendukungnya adalah performa Sergio Perez yang benar-benar anjlok, di saat duo Mclaren sama-sama konsisten di papan atas.

Yups, Piastri sendiri cukup mampu mengimbangi performa Norris. Dalam enam balapan terakhir, ia selalu konsisten masuk ke empat besar. Di klasemen, ia sekarang berada di posisi empat, selisih 44 poin dengan Norris di peringkat dua.

Nah, normalnya dalam Formula 1, tim akan memiliki pembalap prioritas yang (biasanya) dipilih berdasarkan siapa yang di klasemen lebih berpeluang untuk juara. Kita sudah sering melihat hal ini, seperti Ferrari di era Michael Schumacher atau Red Bull di era Sebastian Vettel.

Masalahnya, tampaknya Mclaren tidak menyukai team order seperti itu dan memutuskan untuk menerapkan Papaya Rules, yang intinya mempersilakan kedua pembalapnya untuk bersaing secara sehat selama tidak merugikan tim.

Mclaren yang Ogah Terapkan Team Order

Mclaren Harusnya Prioritaskan Norris (F1)

Lho, bukannya bagus karena menjunjung tinggi sportivitas? Jawabannya bisa benar, bisa salah. Bagi Mclaren yang terakhir kali juara pembalap pada tahun 2008 melalui Lewis Hamilton, bisa jadi itu keputusan yang salah.

Mclaren seolah sudah terlalu lama menjadi tim papan tengah, sehingga terkesan tidak siap ketika mereka memiliki kesempatan untuk menjadi juara baik dari segi pembalap maupun konstraktor. Padahal, saat ini mereka telah memiliki mobil yang sangat mumpuni.

Norris sendiri telah lama “mengabdi” untuk Mclaren sejak musim 2016, sehingga sangat masuk akal jika ia menjadi pembalap prioritas. Piastri yang baru bergabung musim lalu pun pasti bisa menerima keputusan tim, apalagi statusnya sebagai rookie.

Jika Mclaren tidak bisa memberi ketegasan kepada kedua pembalapnya, bisa-bisa justru akan merusak keharmonisan tim yang bisa berakibat lepasnya gelar juara. Norris bisa saja merasa kesal karena tidak diprioritaskan dan tidak mendapatkan bantuan dari Piastri.

Di sisi lain, Norris pun harus bisa meningkatkan performanya. Musim ini ia berhasil mendapatkan empat Pole Position, tapi tiga kali ia gagal mengonversinya menjadi kemenangan akibat buruknya start yang ia lakukan.

Idealisme yang dimiliki oleh Mclaren memang bagus, tapi rasanya kurang cocok diterapkan jika risikonya adalah membuat Norris harus mengubur mimpinya untuk menjadi juara dunia. Selisih poinnya dengan Verstappen benar-benar tipis, dengan delapan sirkuit tersisa.

Untuk gelar juara konstruktor mungkin relatif bisa direbut, mengingat bagaimana anjloknya Perez dan penurunan performa yang dialami oleh Red Bull. Sungguh, tak salah apabila Mclaren melakukan Asa Mclaren Rebut Gelar Juara dari
Red Bull Terhadang Papaya Rules

untuk memastikan gelar juara dunia pembalap diraih oleh Norris.


Sumber Featured Image: F1

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan