Connect with us

Olahraga

Dietrich Mateschitsz, Red Bull, dan Legasi Formula 1 yang Ditinggalkan

Published

on

Pagi tadi, Penulis dikejutkan dengan sebuah berita yang menyebutkan kalau bos Red Bull, Dietrich Mateschitz, meninggal dunia dalam usia 78 tahun karena sakit. Buat yang belum tahu, ia adalah salah satu orang paling kaya di dunia dengan kekayaan bersih mencapai 25,4 miliar dolar Amerika.

Dietrich (selanjutnya akan Penulis sebut Om Didi) mendirikan Red Bull GmbH pada tahun 1984 dengan menjalin kerja sama dengan pengusaha Thailand, Chaleo Yoovidhya, yang pemilik minuman energi Kratingdaeng. Berawal dari inilah ia mulai membangun kerajaan bisnisnya, termasuk di bidang olahraga.

Penulis sejujurnya baru mengetahui namanya akhir-akhir ini, ketika kanal YouTube BoxBoxNow Indonesia membuat video tentang sejarah tim Red Bull dan bagaimana peran Om Didi yang berawal dari pengusaha minuman energi menjadi pemilik salah satu tim tersukses di Formula 1 (F1).

Untuk menenangnya, Penulis memutuskan untuk membuat sebuah tulisan singkat mengenai kontribusi Om Didi di F1 dan bagaimana ia bisa meninggalkan legasi di F1 dengan luar biasa.

Awal Mula Red Bull di F1

Mobil Red Bull Sauber yang Melekat di Ingatan Penulis (Wikipedia)

Semenjak mengenal F1 di awal tahun 2000-an, Penulis tidak asing dengan Red Bull. Pasalnya, mereka merupakan sponsor utama di tim Sauber yang waktu itu masih menggunakan Kimi Raikkonen sebagai pembalapnya. Red Bull memang punya saham di sana sekitar 60%, tapi tetap saja Om Didi tidak bisa bergerak bebas.

Untuk itu, Om Didi memutuskan untuk membeli tim Jaguar Racing (dulunya bernama Stewart Grand Prix) pada tahun 2004 dan mengubahnya menjadi Red Bull Racing. Tidak cukup satu, Om Didi juga memutuskan untuk membeli klub legendaris asal Italia, Minardi, pada tahun 2005 dan mengubahnya menjadi Toro Rosso (banteng merah dalam bahasa Italia).

Uniknya, Toro Rosso yang dimaksudkan sebagai tim untuk membina pembalap muda justru meraih podium terlebih dahulu dibandingkan seniornya. Yang berhasil meraih podium tersebut, siapa lagi kalau bukan Sebastian Vettel ketika sedang berlaga di GP Italia pada tahun 2008.

Tidak hanya itu, Om Didi juga membeli sirkuit A-1 Ring di Austria dan mengubah namanya menjadi Red Bull Ring. Sirkuit ini pada akhirnya menjadi salah satu tuan rumah Grand Prix F1. Selain untuk balapan, sirkuit ini juga digunakan untuk membina pembalap-pembalap muda yang akan diproyeksikan untuk masuk ke tim utama.

Dalam periode tersebut, Penulis melihat tim Red Bull sebagai tim papan bawah, mong tim Jaguar memang bukan tim yang konsisten menembus papan atas. Namun, ternyata Penulis salah dan Red Bull bertransformasi menjadi tim yang sangat menjanjikan.

Dominasi Red Bull Lewat Vettel dan Verstappen

Verstappen dan Mobil Red Bull-nya (The West Australian)

Pada tahun 2009, ketika Brawn GP merajut kisah Cinderella-nya, tanpa diduga tim Red Bull yang dinahkodai Sebastian Vettel dan Mark Webber berhasil memberikan persaingan yang kuat terutama di paruh kedua musim.

Meskipun tidak menjadi juara, Red Bull berhasil mengunci beberapa kemenangan yang seolah menandakan kalau mereka siap menjadi tim papan atas. Mereka setidaknya mampu unggul di atas tim-tim yang selama ini menguasai F1.

Dominasi mereka dimulai pada musim 2010 hingga 2013, di mana Sebastian Vettel yang merupakan pembalap akademi mereka berhasil menjadi juara dunia empat kali berturut-turut, baik sebagai tim konstruktor maupun pembalap.

Sayangnya, dominasi mereka berhasil dipatahkan oleh Mercedes dan Lewis Hamilton, tim yang bermula dari Brawn GP. Untungnya, dominasi Mercedes berhasil dipatahkan secara dramatis oleh Red Bull melalui Max Verstappen yang berhasil menjadi juara dunia pada musim 2021.

Bahkan, ia berhasil mempertahankan gelarnya di musim 2022 ini di saat balapan masih menyisakan 4 race lagi. Mungkin, ini adalah pertanda bahwa Red Bull akan kembali mendominasi F1 (terlepas dari masalah budget cap yang sedang dihadapi sekarang).

Verstappen sendiri bergabung dengan Red Bull di tahun 2014 dan melakukan debut bersama Toro Rosso (sekarang Alpha Tauri) pada tahun berikutnya. Tak perlu lama, ia langsung promosi ke tim utama pada tahun 2016 karena talenta yang dimilikinya.

Tak heran jika Verstappen sampai mengatakan kalau tanpa Om Didi dirinyatidak akan berada di sini hari ini, menunjukkan betapa besarnya peran Om Didi dalam karirnya di F1.

Penutup

“Dengan sangat sedih kami mengetahui kematian Dietrich. Dia adalah pria yang luar biasa dan dia mencintai Formula Satu. Kami berutang banyak padanya sebagai sebuah tim, dan apa yang dia inginkan lebih dari segalanya adalah melihat kedua mobilnya keluar di kualifikasi hari ini. Pikiran saya bersama keluarganya,” kata kepala tim Red Bull, Christian Horner.

Kiprah Om Didi di F1 tidak perlu dipertanyakan lagi, dengan berbagai prestasi yang berhasil diraih oleh Red Bull semenjak terbentuk. Tidak hanya di F1, Om Didi juga memiliki beberapa tim olahraga lain seperti tim Nascar dan banyak olahraga ekstrem.

Red Bull juga diketahui memiliki beberapa tim sepak bola, seperti Red Bull Salzburg, New York Red Bulls, Re Bull Brasil, Red Bull Ghana, hingga yang paling terkenal RB Leipzig yang beberapa tahun terakhir mampu bersaing di papan atas Bundesliga.

Banyaknya klub olahraga yang dimiliki oleh Om Didi seolah membuktikan kalau ia melakukannya bukan hanya demi uang dan bisnis semata, tetapi karena ia memang benar-benar memiliki passion dalam bidang olahraga.

Kesabarannya dalam membangun tim Red Bull Racing di F1 menjadi bukti nyata lainnya. Kemunculan Red Bull di F1 yang notabene dikuasai oleh tim-tim dengan sejarah panjang seperti Ferrari, McLaren, dan Renault, sampai hari ini masih terkesan luar biasa.

Bayangkan saja, merek minuman energi (meskipun mereka memang bekerja sama dengan konstruktor lain dalam membuat mesin) bisa berkompetisi dengan merek-merek yang memang terjun di bidang otomotif.

Meninggalnya Om Didi tentu menyedihkan, terutama bagi keluarga besar Red Bull. Namun, legasi yang ia tinggalkan akan masih terus berjalan hingga bertahun-tahun yang akan datang. Apalagi, Red Bull dan Verstappen tampaknya akan mendominasi F1 untuk musim-musim berikutnya.


Lawang, 23 Oktober 2022, terinpsirasi setelah mendengar berita kematian Dietrich Mateschitsz

Foto: F1

Sumber Artikel:

Olahraga

Rezeki Gak ke Mana Ala George Russel dan Mercedes

Published

on

By

Awalnya mengira kalau Max Verstappen akan sunmori lagi, ternyata GP Austria yang berlangsung hari ini (30/6) berlangsung dengan seru dan penuh drama. Pasalnya, pertarungan keras antara Verstappen dengan Lando Norris berakhir antiklimaks.

Verstappen masih bisa melanjutkan balapan dan finis di peringkat 5, sedangkan Norris lebih apes karena harus DNF dan gagal mendapatkan poin tambahan. Menariknya, Norris berhasil menjadi Driver of the Day meski gagal menyelesaikan balapan.

Lantas, siapa yang full senyum hari ini? Tentu saja George Russel dan Mercedes, yang seakan ketiban durian runtuh dengan insiden yang menimpa Verstappen dan Norris. Russel yang berhasil mempertahankan posisi ketiga akhirnya keluar sebagai pemenang.

Pertarungan Panas antara Vertappen dan Russel

Selama 2/3 balapan, GP Austria sebenarnya terasa cukup membosankan. Jika ada peristiwa yang menarik, paling Charles Lelcrec yang harus pit berkali-kali di awal balapan atau Pierre Gasly dan Esteban Ocon yang seperti biasa malah gelut sendiri meskipun satu tim.

Nah, pertarungan baru terlihat seru ketika Verstappen sedikit lambat ketika pit dan membuat jaraknya dengan Norris yang terus menempel di peringkat kedua jadi terpangkas. Apalagi, Verstappen terus ngedumel di radio karena merasa ada yang aneh dengan mobilnya.

Puncaknya pun terjadi pada lap ke-64 (7 lap sebelum finis). Norris yang berusaha menyalip bersenggolan karena Verstappen kurang memberikan ruang. Akibatnya, kedua mobil pun mengalami puncture walau masih sempat untuk masuk ke pit.

Akibat insiden tersebut, Verstappen juga diberi hukuman penalti 10 detik yang tidak berpengaruh ke hasil akhir karena jaraknya yang cukup jauh dengan Nico Hulkenberg di peringkat-6.

Saat sesi wawancara, Norris meluapkan kekecewaannya dan merasa kalau dirinya sama sekali tidak bersalah pada insiden tersebut, meskipun beberapa netizen menganggap kalau ia melakukan divebombing terlalu agresif.

Lantas, bagaimana dengan Verstappen? Ia tidak secara terang-terangan menyalahkan Norris, walau juga tidak sepenuhnya merasa bertanggung jawab atas insiden tersebut. Mungkin ia sadar diri kalau insiden tersebut lebih banyak karena salahnya.

Meskipun insiden tersebut membuat panas hubungan Verstappen dan Norris yang selama ini cukup baik, tapi bagi penggemar tentu persaingan yang sengit seperti ini sudah lama dinantikan. Akankah tensi tinggi seperti Verstappen vs Hamilton di musim 2021 akan terulang?

George Russel dan Mercedes Full Senyum

Toto Wolff Full Senyum (X)

Mercedes yang performanya naik turun sepanjang musim ini jelas menjadi pihak yang paling diuntungkan dengan insiden Verstappen-Norris. Russel yang sepanjang balapan berhasil mempertahankan posisinya tahu-tahu keluar sebagai juara.

Kejadian ini seolah membuktikan kalau sudah rezeki memang enggak akan ke mana. Untuk sekadar podium saja Mercedes sudah cukup ngos-ngosan musim ini, eh tiba-tiba dapat giveaway gara-gara insiden yang melibatkan dua pembalap terdepan.

Tentu kita tidak boleh meremehkan kemenangan yang berhasil diraih oleh Russel dan Mercedes. Bisa mempertahan posisi ke-3 tentu tidak bisa dilakukan oleh semua pembalap. Kita harus tetap memberikan apresiasi atas kemenangan tak terduga tersebut.

Di belakang Russel, ada Oscar Piastri yang mungkin bisa jadi pelipur lara untuk McLaren setelah DNF-nya Norris. Carlos Sainz juga berhasil naik ke podium di peringkat ketiga, yang tampaknya juga menjadi pelipur lara bagi Ferrari setelah Lelcrec tercecer di belakang.

Selain itu, Penulis juga perlu memberi kredit untuk Haas yang berhasil menempatkan dua pembalapnya meraih poin setelah Hulkenberg berhasil finis di peringkat 6 dengan menahan Sergio Perez dan Kevin Magnussen di peringkat 8. Semoga saja balapan selanjutnya di Inggris lebih seru dari ini!


Lawang, 30 Juni 2024, terinpsirasi setelah menonton GP Austria hari ini

Foto Featured Image: GB News

Continue Reading

Olahraga

Ketika Kondisi Pemain Tak Jadi Pertimbangan dalam Bisnis Sepak Bola

Published

on

By

Ada yang menarik dari dunia sepak bola. Carlo Ancelotti, pelatih Real Madrid yang baru membawa klubnya juara Liga Champions untuk ke-15 kalinya, mengungkapkan bahwa timnya tidak akan berpartisipasi pada Piala Dunia Antarklub.

“FIFA bisa melupakan hal itu. Para pesepak bola dan klub tidak akan berpartisipasi dalam turnamen itu. Satu pertandingan di Madrid bernilai €20 juta dan FIFA ingin memberikan angka itu untuk seluruh turnamen: negatif. Seperti kami, beberapa klub akan menolak undangan tersebut.”

Namun, tak lama kemudian pihak Real Madrid mengklarfikasi ucapan tersebut dan menyatakan bahwa mereka akan tetap menjadi peserta turnamen tersebut. Ancelotti sendiri akhirnya juga membuat klarifikasi, dengan mengatakan bahwa pernyataannya “tidak ditafsirkan seperti yang saya maksudkan.”

Terlepas dari kehebohan yang diakibatkan oleh Ancelotti, Penulis memang ingin menyorot tentang bisnis sepak bola yang semakin berorientasi kepada uang dibandingkan kondisi pemain. Hal ini bisa terlihat dari format-format baru turnamen populer sepak bola.

Format Baru Turnamen-Turnamen Sepak Bola

Liga Champion akan Memiliki Format Baru (UEFA)

Selama ini, kita sudah familiar dengan format Liga Champion yang mempertandingkan 32 tim dari seluruh penjuru Eropa yang dibagi menjadi ke dalam 8 grup. Juara dan runner-up dari masing-masing grup akan lolos ke babak Playoff, dari 16 besar hingga final. Sesederhana itu.

Piala Dunia Antarklub juga sederhana, di mana perwakilan masing-masing zona akan mengirimkan satu perwakilannya. Turnamen ini memang kerap dipandang sebelah mata, mengingat kebanyakan juaranya berasal dari perwakilan Eropa.

Nah, mulai musim depan, format dari turnamen-turnamen ini akan dirombak habis-habisan. Kita mulai dari Liga Champion, yang jumlah pesertanya akan bertambah dari 32 menjadi 36 tim. Selain itu, semua tim akan dijadikan satu grup besar, tidak lagi dibagi menjadi 8 grup.

Lalu, masing-masing klub akan berhadapan dengan 8 lawan yang berbeda, di mana 4 pertandingan dilakukan secara Home dan 4 pertandingan secara Away. Pemilihan tim akan dilakukan secara acak melalui sistem pot.

Peringkat 1-8 akan otomatis lolos ke babak 16 besar, sedangkan peringkat 9-24 akan menjalani Playoff dengan sistem dua leg untuk menentukan 8 tim sisanya. Selain itu, tidak akan ada lagi tim dari Liga Champion yang akan turun ke Europe League.

Dengan format ini, maka jumlah pertandingan di Liga Champion akan meningkat pesat dari 125 pertandingan satu musim menjadi 189 pertandingan. Menurut hitungan Penulis, satu tim bisa melakoni hingga 19 laga dalam satu musim.

Piala Dunia Antarklub pun berubah total dengan menggunakan format lama Liga Champion. Artinya, dalam satu piala dunia akan ada 32 tim yang akan bertanding. Eropa kebagian jatah paling banyak dengan 12 tim, disusul Amerika Selatan (6), Amerika Utara dan Tengah (5), Asia (4), Afrika (4), dan Oseania (1).

Jangan lupa, Piala Dunia edisi 2026 pun akan mengalami perubahan format dengan diikuti oleh 48 negara. Seluruh peserta akan dibagi ke dalam 12 grup berisi 4 tim. Juara, runner-up, serta 8 tim peringkat 3 terbaik akan lolos ke babak 32 besar hingga ke babak final.

Potensi Cedera Pemain yang Makin Besar

Pemain Jadi Makin Rawan Cedera (Bloomberg)

Mungkin bagi penonton sepak bola seperti Penulis, lebih banyak pertandingan sepak bola akan menyenangkan. Namun, Penulis jadi kepikiran mengenai nasib para pemain yang seorang dikuras habis-habisan tenaganya demi bisnis bernama sepak bola ini.

Dengan format yang sekarang saja, fenomena badai cedera seolah sudah menjadi hal yang lumrah. Lihat saja Manchester United yang mendapatkan lebih dari 60 kasus cedera musim ini. Real Madrid pun sempat kehilangan semua bek tengahnya.

Tentu dengan semakin banyaknya pertandingan yang harus dijalani pemain setiap musimnya, potensi cedera pun menjadi semakin tinggi karena tenaga pemain menjadi terlalu diforsir. Mau main rotasi pun susah jika banyak pemain yang tidak tersedia.

Sekali lagi, Manchester United menjadi contoh yang bagus di sini. Hampir di setiap pertandingan, mau di Liga Inggris, Liga Champion, atau FA Cup, komposisi pemain yang diturunkan Ten Hag mirip-mirip karena memang tidak ada pemain lain yang bisa diturunkan.

Apakah pihak klub jadi harus menganggarkan dana lebih agar memiliki roster pemain yang tebal di klubnya? Rasanya sulit, mengingat harga pemain makin ke sini inflasinya makin gila-gilaan. Dompet klub bisa jebol jika harus menambah jumlah pemain agar pelatih bisa melakukan rotasi dengan lancar.

Mungkin pihak UEFA atau FIFA bisa berkelit dengan mengatakan ini-itu, tapi para penggemar bola rasanya tahu kalau alasan utama dari perubahan-perubahan format ini ujung-ujungnya ya perkara duit.

Logika sederhana yang paling gampang terlihat, dengan lebih banyaknya pertandingan yang tersaji, maka nilai sponsor yang masuk otomatis akan menjadi lebih besar karena produk mereka akan lebih sering muncul.

Penulis tidak tahu bagaimana para pemain menanggapi bertambahnya jumlah pertandingan yang harus mereka lakoni dalam semusim. Mungkin mereka happy-happy saja, apalagi kalau yang makan gaji buta seperti Neymar di Al-Hilal.

Namun, bagi para penggemar sepak bola, kekhawatiran tentang lebih mudahnya pemain cedera menjadi concern utama. Penulis sendiri sudah merasakan bagaimana badai cedera menghantam tim favoritnya hingga performanya menjadi amburadul.

Semoga saja kekhawatiran tersebut tidak benar-benar terjadi. Mengingat musim depan adalah pertama kalinya format baru turnamen akan diterapkan, kita akan melihat apakah format tersebut akan membuat pemain jadi lebih mudah cedera atau tidak.


Lawang, 10 Juni 2024, terinspirasi setelah melihat kompetisi sepak bola yang semakin banyak sehingga berpotensi membuat pemain sering mengalami cedera

Foto Featured Image: University of Huddersfield

Sumber Artikel:

Continue Reading

Olahraga

Kado Manis untuk Kroos, Kado Pahit untuk Reus

Published

on

By

Musim sepak bola 2023/2024 “resmi” berakhir dengan pertandingan final Liga Champion yang mempertemukan antara Real Madrid melawan Borussia Dortmund. Madrid kembali mengukuhkan dirinya sebagai raja Eropa dengan menang 2-0 dan memperoleh gelar ke-15.

Penulis sendiri awalnya berharap kalau Dortmund yang juara karena merasa bosan Madrid terus yang juara. Namun, beberapa hari sebelum pertandingan, mereka justru menjalin kontrak dengan Rheinmetall, perusahaan manufaktur senjata Jerman.

Kontroversinya bukan hanya karena klub dengan jersey kuning-hitam tersebut menjalin kerja sama dengan pabrik senjata, melainkan karena Rheinmetall diketahui sebagai salah satu penyuplai senjata untuk Israel.

Sebenarnya Real Madrid sendiri juga disponsori oleh HP, merek teknologi asal Amerika Serikat yang juga menyuplai berbagai teknologi untuk kebutuhan Israel. Jadi, sebenarnya sama saja dengan Dortmund, sehingga Penulis tidak memberikan dukungan untuk kedua tim.

Pada tulisan kali ini, Penulis lebih ingin menyorot dua pemain legend yang memutuskan untuk meninggalkan klubnya masing-masing. Toni Kroos dari Madrid memutuskan untuk gantung sepatu, sedangkan Marco Reus dari Dortmund akan pindah di akhir musim.

Kok Bisa ya Real Madrid Jago Banget di Eropa?

Jago Banget (Euronews)

Pertandingan final semalam sebenarnya bisa dibilang cukup membosankan karena Real Madrid cenderung bermain awal sepanjang 70 menit awal pertandingan. Bahkan, Penulis sampai sempat tertidur karena saking bosannya.

Di babak pertama, Dortmund sebenarnya sempat membuat beberapa peluang berbahaya ke gawang Madrid. Sayangnya, finishing dari pemain-pemainnya tidak tenang dan beberapa kali apes karena menyentuh tiang gawang.

Mungkin pemain Dortmund cukup nervous karena sudah lama tidak bertanding di final Liga Champion. Terakhir kali mereka bermain di final adalah di musim 2012/2013, ketika mereka berhadapan dengan Bayern Munich.

Kalau para pemain Madrid sendiri, jangan diragukan lagi mental juara Eropa-nya. Tidak hanya berhasil menjadi juara sebanyak 15 kali, Madrid juga berhasil mendominasi Liga Champion dengan menjadi juara 6 kali dari 11 tahun terakhir.

Selain itu, sejak format Liga Champion berubah pada musim 1992/1993, Madrid juga selalu menang jika lolos ke babak final, dengan total sembilan kali kemenangan. Sepanjang sejarahnya, Madrid hanya kalah tiga kali kalah dari 18 partisipasinya di final.

Tentu fakta ini membuat banyak penggemar sepak bola bertanya, “Kok, bisa, ya, Real Madrid jago banget di Eropa?” Mungkin haters Madrid akan menyebut kalau raihan tersebut bisa diperoleh karena Madrid kerap dibantu wasit, hingga dijuluki sebagai Vardrid.

Namun, menurut Penulis memang harus diakui kalau Madrid adalah salah satu tim sepak bola terbaik di dunia. Kedalaman skuadnya musim ini saja sangat luar biasa, hingga sang pelatih tidak perlu pusing jika pemainnya ada yang cedera.

Carlo Ancelotti, pelatih yang kerap disebut miskin taktik, berhasil membuktikan kalau dirinya adalah pelatih tersukses di Eropa dengan raihan lima trofi Liga Champion. Dua ketika ia melatih AC Milan, tiga ketika ia melatih Real Madrid.

Selain itu, Toni Kroos, Dani Carvajal, Luka Modric, dan Nacho menjadi pemain pertama yang berhasil meraih enam trofi Liga Champion, mengalahkan Cristiano Ronaldo (5) dan Lionel Messi (4).

Raihan Kroos sedikit lebih istimewa dibandingkan rekan-rekan lainnya, mengingat ia meraih milestone tersebut bersama dua klub yang berbeda (Bayern Munich di musim 2012/2013). Tentu trofi ini menjadi kado manis untuk Kroos, di mana pertandingan final ini akan menjadi pertandingan terakhirnya untuk Madrid.

Kado Manis untuk Kroos, Kado Pahit untuk Reus

Legenda Madrid (beIN SPORTS)

Bagi Penulis, Toni Kroos adalah salah satu gelandang sepak bola terbaik sepanjang sejarah. Posisinya sebagai pemain tengah membuatnya kerap membuat umpan-umpan indah yang kadang terasa tak masuk akal.

Usianya sendiri baru menginjak 34 tahun, sehingga keputusannya untuk gantung sepatu beberapa waktu lalu cukup mengejutkan Penulis. Tampaknya, sama seperti Phillip Lahm dari Bayern Munich, Kross ingin pensiun ketika sedang berada di puncak kariernya.

Kroos sendiri pindah ke Madrid dari Bayern Munich pada tahun 2014. Sepanjang kariernya di klub tersebut, ia telah mencatatkan 28 gol dan 98 assist di semua turnamen. Semua gelar yang bisa ia raih bersama klub telah berhasil ia raih.

Euro 2024 akan menjadi panggung terakhirnya di dunia sepak bola. Mengingat trofinya sudah hampir lengkap dan menyisakan Euro, tampaknya Kroos menargetkan juara di turnamen Eropa tersebut untuk menambah kado perpisahannya dengan sepakh bola.

Di sisi lain, kekalahan ini menjadi kado yang pahit untuk Marcus Reus, yang usianya lebih tua satu tahun dari Kroos. Di musim terakhirnya bersama Dortmund, ia gagal mempersembahkan satu trofi pun untuk klub yang sudah dibelanya sejak 2012 tersebut.

Padahal, Reus dikenal sangat loyal kepada Dortmund. Ketika kawan-kawannya satu per satu meninggalkan tim seperti Mario Gotze hingga Robert Lewandowski (yang bahkan pindah ke klub rival), Reus tetap setia bertahan.

Berbeda dengan Kroos, Reus juga tidak dipanggil oleh timnas, sehingga musim ini semakin terasa pahit untuknya. Memang cukup disayang pemain seberbakat Reus harus lebih sering berkutat dengan cedera di kariernya.

Hingga saat ini, belum diketahui akan pindah ke mana Reus musim depan. Melansir dari The Atletics, ia dirumorkan akan pindah ke MLS dan bergabung dengan St. Louis City. Ada beberapa klub dan liga lain yang disebut, tapi kita hanya bisa menunggu sampai ada pengumuman resmi.

Yang jelas, Kroos dan Reus telah mendapatkan “kado perpisahannya” masing-masing, walaupun berbeda rasa. Kedua pemain Jerman ini adalah legenda hidup sepak bola, yang telah memberikan performa terbaik mereka selama bertahun-tahun.

Selamat pensiun Kroos, dan selamat menjalani petualangan baru untuk Reus!


Lawang, 2 Juni 2024, terinspirasi setelah Real Madrid berhasil menjadi juara Liga Champion 2023/2024

Foto Featured Image: X

Sumber Artikel:

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan