Olahraga
Musim Baru, Pemain Baru, MU-nya Masih Sama
Setiap awal musim, para penggemar Manchester United (MU) di seluruh dunia menaruh harapan yang besar untuk klubnya. Tak sedikit yang menyebutkan kalau musim ini akan terjadi tsunami trofi, yang sayangnya hingga saat ini belum pernah terjadi.
Musim ini pun begitu, dan tampaknya hasilnya juga akan sama saja seperti musim-musim sebelumnya. Bagaimana tidak, liga baru berjalan tiga pertandingan, MU sudah menelan dua kali kekalahan.
Kekalahan yang terbaru terasa lebih menyakitkan karena didapatkan dari rival abadinya, Liverpool, dengan skor telak 0-3. Padahal di awal musim, MU tampak meyakinkan setelah Sir Jim Ratcliffe dan INEOS melakukan banyak perubahan, termasuk membeli pemain yang tepat.
Gebrakan yang Dibuat Sir Ratcliffe di Awal Musim
Beberapa tahun terakhir, MU kerap ditertawakan karena sering membeli pemain overpriced. Padahal, pemain yang dimiliki memiliki kualitas yang biasa-biasa saja. Contoh mudahnya adalah Jadon Sancho dan Antony.
Di musim ini, MU tampak telah belajar dari kesalahan tersebut dengan melakukan pembelian pemain yang masuk akal. Tidak hanya itu, pembelian yang dilakukan juga melihat kebutuhan tim, posisi mana yang membutuhkan pemain baru.
Berikut adalah daftar pemain baru MU, tidak termasuk pembelian pemain muda yang tidak masuk ke dalam tim ini:
- Leny Yoro (LOSC Lille | €62.00m)
- Manuel Ugarte (Paris Saint-Germain | €50.00m)
- Matthijs de Ligt (Bayern Munich | €45.00m)
- Joshua Zirkzee (Bologna FC | €42.50m)
- Noussair Mazraoui (Bayern Munich | €15.00m)
MU punya permasalahan besar di lini belakang, yang bisa dilihat dari defisitnya selisih gol mereka di musim kemarin. Oleh karena itu, Penulis mengapresiasi langkah manajemen MU yang baru di bawah Sir Ratcliffe yang mendatangkan dua bek, satu bek kanan, dan satu gelandang bertahan.
Dari sisi kepelatihan, ada beberapa perombakan. Yang paling fenomenal tentu saja mendatangkan mantan striker legendaris MU, Ruud van Nisterlooy, untuk menjadi asisten Erik Ten Hag.
Sir Ratcliffe juga menyebutkan akan memperbaiki fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh MU, termasuk stadion dan markas latihan. Dengan langkah-langkah tersebut, wajar jika penggemar MU menjadi banyak berekspetasi ke klub yang belakangan sering menyakiti mereka ini.
Ternyata MU Tetap Melawak
Penulis menonton ketiga pertandingan MU di awal musim ini, bahkan rela tetap berlangganan Vidio meskipun biayanya bertambah cukup banyak. Penulis secara pribadi penasaran dengan perubahan seperti apa yang akan terjadi di musim ini.
Ternyata, memang perubahan itu tidak bisa terjadi secara instan. MU bisa dibilang tampil cukup buruk dalam tiga pertandingan pertamanya. Kemenangan pertamanya melawan Fulham tidak terlalu impresif, bahkan gol yang dicetak Zirkzee terjadi menjelang pertandingan berakhir.
Saat melawan Brighton, Penulis sudah feeling hasilnya akan kurang baik karena MU kerap kalah ketika berhadapan dengan tim ini. Benar saja, Brighton berhasil menang 2-1 melalui gol di injury time.
Penulis benar-benar tak habis pikir dengan gol Joao Pedro yang dicetak pada menit 90+5. Saat proses gol terjadi, benar-benar tidak ada satu pun pemain yang menjaganya sehingga ia bisa menyundul bola dengan mudahnya ke gawang Onana.
Puncaknya tentu saja ketika MU dibabat habis oleh Liverpool di kandang. Dua blunder yang dilakukan oleh Casemiro membuat Liverpool berhasil unggul 2-0 di babak pertama melalui sontekan Luis Diaz. Permainan Casemiro di pertandingan tersebut memang benar-benar parah.
Ten Hag bereaksi cepat dengan menggantinya dengan pemain muda Toby Collyer di babak kedua, tapi tetap saja level permainan MU seolah berada jauh di bawah Liverpool. Bahkan, Mainoo juga melakukan blunder yang akhirnya dimanfaatkan dengan baik oleh Salah.
Jika ditanya apa yang salah dengan MU, jujur Penulis sendiri pun tidak bisa menjawabnya. Jika pertanyaan serupa diajukan ke penggemar Chelsea, mungkin mereka bisa menjawab manajemen di era Todd Boehly benar-benar membuat tim menjadi amburadul.
Nah, MU ini manajemen udah mulai dirombak, staf kepelatihan diganti, pemain bagus didatangkan, stadion dan fasilitas diperbaiki. Kalau semuanya baru, lantas mengapa MU tetap seperti musim-musim sebelumnya yang enggak jelas mainnya?
Memang semua butuh proses, tapi penggemar MU pasti akan mengatakan prosesnya sudah terlalu lama. Memang kita harus move on dari masa-masa keemasan Sir Alex Ferguson, tapi ya ga sebobrok ini juga. MU ini tim bola yang penuh dengan sejarah.
Entah sampai kapan ujian ini akan terus berlangsung bagi penggemar MU. Satu yang pasti, mayoritas penggemar MU itu setia. Meskipun disakiti berkali-kali, kami akan tetap mendukung MU. Tentu, sesekali sambil misuh karena saking kesalnya.
Lawang, 2 September 2024, terinspirasi setelah menonton kekalahan MU atas Liverpool
Foto Featured Image: The Independent
Olahraga
Apakah Manchester United Benar-Benar Telah Menjadi Klub Terkutuk?
Minggu kemarin benar-benar minggu yang melelahkan bagi penggemar Manchester United (MU). Setelah berhasil mengalahkan Manchester City dengan skor 2-1, MU justru kembali melawak di dua pertandingan selanjutnya.
Selain kalah dengan skor 3-4 dari Tottenham Hotspurs (sekaligus mengakhir laju MU di EFL Cup), MU juga baru saja dihabisi 0-3 oleh Bournemouth. Yang lebih menyakitkan, kekalahan telak ini terjadi di kandang MU, Old Trafford.
Sejak pergantian pelatih dari Erik Ten Hag ke Ruben Amorim, banyak optimisme yang muncul di penggemar. Ungkapan “tsunami trofi” pun mulai berdatangan lagi. Sayangnya, terbukti kalau MU tetaplah MU yang dulu, mau siapa pun pelatihnya.
Ada Perubahan Pola Permainan, tapi ya Begitulah
Jika melihat permainan MU di bawah Amorim, sebenarnya asa itu memang ada. Setelah lama melihat permainan MU yang tak berpola, akhirnya Amorim perlahan bisa menerapkan filosofi 3-4-2-1 yang ia terapkan di klub sebelumnya.
Meskipun hasilnya tak selalu positif, setidaknya ada progres dalam permainan MU. Para pemain lebih sering melakukan pressing, berusaha menjaga area dengan baik, melakukan ancaman-ancaman ke gawang lawan, dan lain sebagainya. Permainan MU (akhirnya) bisa dinikmati.
Selain itu, Amorim tak ragu untuk melakukan rotasi pemain, sesuatu yang jarang dilakukan di era Ten Hag. Walau hasilnya kadang mengecewakan (seperti performa Altay Bayindir ketika melawan Tottenham), setidaknya ini menunjukkan keberanian Amorim.
Amorim juga tak segan-segan untuk mencoret pemainnya jika dianggap tidak mampu perform. Marcus Rashford, yang pada era Ten Hag seolah menjadi anak emas, sudah tiga pertandingan beruntun tidak dimasukkan ke dalam line up.
Dari banyak poin plus tersebut, sayangnya hasil yang diperoleh MU sejak ditangani oleh Amorim tidak terlalu baik. Dalam sembilan laga yang telah dijalani di seluruh kompetisi, MU hanya berhasil meraih hasil 4 menang, 1 seri, dan 4 kekalahan.
Di kala lini penyerangan sudah mulai membaik (terutama berkat performa Amad Diallo), lini pertahanan perlu disorot karena sudah kebobolan 17 kali. Entah formasi Amorim yang memang rentan diserang, atau pemain MU saja yang tak bisa melakukan intruksi pelatih.
Tentu hal ini sangat disayangkan, apalagi ketika Manchester City tengah terpuruk dengan hanya meraih satu kemenangan dalam 12 laga terakhirnya (di mana 9 di antaranya berakhir dengan kekalahan). Alhasil, istilah “Manchester is clown” pun mulai bermunculan.
Apa yang Salah dengan Manchester United?
Sampai di titik ini, Penulis (dan rasanya mayoritas pendukung lainnya) sudah berada di titik bingung apa yang salah dengan klub ini. Apakah karena julukannya setan merah, sehingga membuat klub ini menjadi terkutuk?
Sejak perginya Sir Alex Ferguson, sudah banyak sekali pelatih yang mencoba menangani MU. Polanya selalu sama, di mana ada fase bulan madu dan fase kehancuran. Entah bagaimana dengan Amorim nanti, tapi sejauh ini tanda-tandanya kurang baik.
Memang, formasi dan gaya permainan MU yang diterapkan oleh Amorim benar-benar berbeda dari pelatih-pelatih sebelumnya, sehingga membutuhkan adaptasi. Namun, rasanya para penggemar sudah terlalu lama “menderita” hingga lebih dari satu dekade.
Apalagi, kita bisa melihat kalau Arne Slot bersama Liverpool dan Enzo Maresca bersama Chelsea bisa langsung nyetel. Bahkan di klasemen Liga Inggris saat ini, kedua tim berada di posisi kedua berkat penampilan konsisten mereka.
Penulis memberikan apresiasi kepada Liverpool yang harus diakui berhasil tampil luar biasa. Meskipun tak mendapatkan tambahan banyak pemain, Slot mampu meracik skuadnya menjadi skuad pemenang. Korban terakhir mereka adalah Tottenham, yang dibantai 6-3.
Mengapa mereka bisa langsung nyetel dengan klub barunya? Penulis juga tidak tahu. Secara kualitas skuad, harusnya tidak berbeda jauh. Namun, secara hasil dan peringkat di liga hasilnya benar-benar jauh.
Entah apa yang akan terjadi di masa depan. Tentu Penulis berharap Amorim berhasil menemukan solusi dari permasalahan yang sudah terlalu mengakar di klub ini. Akan tetapi, di sisi lain, rasanya Penulis sudah pesimis dan menganggap kalau klub ini memang sudah terkutuk.
Foto Featured Image: Rayo
Olahraga
Kok Bisa, ya, Ada Klub Enggak Pernah Menang Sampai 7 Kali
Penulis mengawali minggu ini dengan indah. Selain Manchester United (MU) berhasil menang secara meyakinkan dengan skor 4-0 atas Everton, klub tetangga harus mengalami kekalahan 0-2 atas Liverpool.
Ini menjadi kekalahan empat kali beruntun bagi Manchester City di Premier League, setelah sebelumnya kalah atas Bournemouth (1-2), Brightin and Hove Albion (1-2), dan Tottenham Hotspurs (0-4).
Catatan ini makin diperparah dari hasil pertandingan di kompetisi lain, seperti kekalahan 1-2 atas Spurs di EFL Cup dan 1-4 atas Sporting CP di Liga Champion. Selain itu, mereka juga hanya bisa imbang 3-3 saat berhadapan dengan Feyenoord, walau sempat unggul 3-0.
“Rekor” Impresif Pep dan Manchester City
Kalah Maning Kalah Maning (Caught Offside)
Rentetan hasil buruk tersebut membuat City mencatatkan rekor yang impresif, yakni 6 kali kalah dan 1 kali seri dalam tujuh pertandingan terakhir. Kemenangan terakhir yang mereka dapatkan adalah ketika berhadapan dengan Southampton dengan skor tipis 1-0.
Menariknya, pertandingan tersebut berlangsung pada tanggal 26 Oktober 2024. Artinya, selama bulan November kemarin City gagal meraih satu kemenangan pun. Tak hanya itu, mereka juga kebobolan 15 gol dalam bulan yang sama dan hanya mencetak tujuh gol.
Melansir dari 90Min, pencapaian lima lose streak ini adalah yang pertama bagi Pep Guardiola sepanjang kariernya. Selama menangani City, lose streak paling panjang yang pernah dialami oleh Pep adalah tiga kali beruntun, yakni pada tahun 2018 dan 2021.
Pep juga pernah menderita tiga kekalahan beruntun ketika masih menangani Bayern Munich pada tahun 2015. Selama menangani Barcelona, rekornya lebih fenomenal lagi, di mana ia tidak pernah kalah beruntun lebih dari dua kali.
Selain itu, melansir dari Goal, City menjadi klub pemenang Liga Inggris pertama yang menderita lima kekalahan beruntun sejak tahun 1956. Sebelum City, Chelsea juga pernah mengalami hal yang sama pada bulan Maret 1956.
Rekor menarik lainnya? Ini adalah pertama kalinya City menderita kekalahan lima kali secara beruntun dalam 18 tahun terakhir. Erling Haaland juga ikut mencetak rekor, di mana akhirnya ia mengalami kekalahan ketika berhasil mencetak gol di Premier League.
Mari Kita Bandingkan dengan MU
Lagi Unbeaten nih, Bos (The Seattle Times)
Sebagai perbandingan, MU justru tak terkalahkan sejak Erik Ten Hag dipecat. Dalam empat pertandingan di bawah asuhan Ruud van Nisterlooy, MU mencatatkan tiga kemenangan dan satu kali seri (5-2 vs Leicester City, 1-2 vs Chelsea, 2-0 vs Paok, 3-0 vs Leicester City.
Di bawah pelatih baru Ruben Amorim pun MU masih belum terkalahkan dengan dua kemenangan dan satu kali hasil imbang (1-1 vs Ipswich Town, 3-2 vs Bodo/Glimt, 4-0 vs Everton).
Kekalahan terakhir MU terjadi saat bertamu ke West Ham akhir Oktober. Artinya, di saat City harus terus menderita kekalahan, MU justru tak terkalahkan. Sebagai penggemar MU, kebahagiannya jadi double.
Walau fans MU memang terkenal karena kesombongannya ketika berada di atas angin, menurut Penulis ujian sebenarnya MU akan terlihat ketika berhadapan dengan Arsenal beberapa hari lagi. Jika berhasil menang, artinya MU berada di jalur yang benar.
Menariknya, meskipun menderita hasil buruk secara bertubi-tubi, kok rasanya media sosial sepi-sepi saja seolah tidak ada yang peduli. Coba bayangkan hal yang sama terjadi pada MU, pasti sudah menjadi gorengan media dan content creator selama berbulan-bulan.
Apa yang Terjadi dengan Manchester City?
Jadi Penyebab Utama? (Reuters)
Sebagai klub yang mendominasi Premier League beberapa tahun terakhir, tentu kejatuhan City menimbulkan banyak pertanyaan bagi penggemar sepak bola. Apa yang menyebabkan City seolah lupa dengan caranya menang?
Banyak yang mengatakan kalau cederanya Rodri menjadi biang keroknya. Pep tidak memiliki pengganti sepadan yang bisa mengisi posisi tersebut, sehingga strategi yang ia terapkan tak bisa berjalan dengan optimal.
Namun, alasan cedera rasanya terlalu klise. MU pernah mengalami badai cedera yang lebih parah musim kemarin, dengan total kasus cedera lebih dari 60. Namun, MU tak sampai mengalami apa yang dialami City sekarang.
Alasan lain yang lebih masuk akal adalah kedalaman skuad City yang seolah hilang begitu saja. Cederanya Rodri menjadi bukti nyata bagaimana tidak ada pemain pelapis yang setidaknya memiliki kualitas mendekatinya.
Lucunya, jika membuka situs resmi City bagian daftar pemain, bagian Forwards hanya memiliki Erling Haaland seorang. Amit-amit seandainya Haaland cedera, siapa yang akan mengisi posisinya?
Tak hanya itu, pemain-pemain inti City banyak yang sudah berusia di atas kepala tiga, seperti Ilkay Gundogan (34), Kyle Walker (34), Kevin De Bruyne (33), Ederson (31), Mateo Kovacic (30), John Stones (30), hingga Bernardo Silva (30).
Sebagai perbandingan (lagi), pemain inti MU yang berkepala tiga hanya Bruno Fernandes (30) dan Casemiro (32). MU bahkan tak segan untuk mengorbitkan pemain muda, seperti Alejandro Garnacho (20), Amad Diallo (22), hingga Kobbie Mainoo (19).
Ini seolah menunjukkan bahwa Pep tidak melakukan regenerasi kepada skuad City. Masa jaya City sudah mulai habis dan Pep tidak melakukan tindakan antisipasi. Memang sesekali ia memainkan pemain akademi, tapi tak ada yang benar-benar bersinar.
Tentu menarik untuk melihat apakah akhirnya Pep dan City berhasil bangkit dan memutus rentetan hasil buruk yang diderita. Penulis sebagai penggemar MU tentu berharap kalau hasil buruk ini akan terus berlanjut selama mungkin.
Lawang, 2 Desember 2024, terinspirasi setelah menonton kekalahan Manchester City atas Liverpool
Foto Featured Image: Bitter and Blue
Sumber Artikel:
Fixtures & Results | Man Utd Men’s First Team | Manchester United
Pep Guardiola’s worst losing streaks
Olahraga
Menatap Masa Depan Manchester United Bersama Ruben Amorim
Setelah jeda internasional, akhirnya para penggemar Manchester United (MU) bisa menyaksikan pertandingan perdana timnya di bawah asuhan pelatih baru, Ruben Amorim. Ia menggantikan Erik Ten Hag yang dipecat beberapa minggu lalu.
Hasilnya, sayang sekali tidak terlalu menyenangkan. Bertandang ke Portman Road yang menjadi kandang Ipswich Town, setan merah hanya berhasil meraih imbang 1-1. Bahkan, seandainya Andre Onana tidak tampil super, MU sangat berpeluang untuk kalah.
Penulis paham jika semua butuh proses. Tidak mungkin dalam satu laga Amorim langsung bisa mengubah MU kembali ke masa jayanya, apalagi dengan komposisi pemain yang sama. Oleh karena itu, mari kita menatap masa depam MU bersamanya.
Bagaimana Amorim Menerjemahkan Filosofinya ke MU
Selama Penulis menjadi penggemar MU, tim ini hampir selalu menggunakan formasi empat bek, dari zaman Sir Alex Ferguson hingga Erik Ten Hag. Nah, Amorim ini beda, karena dia terbiasa menggunakan formasi tiga bek, tepatnya 3-4-2-1.
Hal ini pun langsung ia terapkan pada pertandingan kemarin, meskipun waktu latihan yang ia lakukan bersama tim bisa terbilang cukup singkat. Selain itu, karena ada banyak pemain bertahan yang cedera, ia sedikit melakukan eksperimen.
Pada line-up, awalnya ia memasang Matthijs de Ligt, Johnny Evans, dan Noussair Mazraoui yang notabene merupakan bek sayap. Di babak kedua, ia bahkan mengganti Evans dengan Luke Shaw yang juga merupakan bek sayap dan baru sembuh dari cederanya.
Menggeser posisi sayap menjadi bek tengah sebenarnya bukan hal baru, apalagi pemain MU seperti Shaw juga pernah melakukannya. Tak jarang bek sayap akhirnya malah jadi bek tengah tetap, seperti yang terjadi pada Benjamin Pavard di Inter Milan.
Selain itu, ada yang menarik di babak kedua, di mana Amorim memasukkan Rasmus Hojlund dan Joshua Zirkzee sekaligus, menggantikan Christian Eriksen dan Marcus Rashford. Waktu melihat ini, Penulis benar-benar bingung dengan strategi sang pelatih.
Jika melihat polanya, Bruno Fernandes tampaknya ditarik agak mundur untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Eriksen dan salah satu dari Hojlund atau Zirkzee menempati posisi Bruno di belakang striker bersala Alejandro Garnacho.
Hal menarik lainnya di pertandingan kemarin adalah penempatan Amad Diallo di posisi bek kanan, yang ternyata cukup cocok untuknya. Pada pertandingan kemarin, Diallo berhasil memberikan assist untuk gol yang dicetak oleh Rashford.
Berdasarkan pertandingan kemarin, Penulis menilai kalau Amorim adalah tipikal pelatih yang tidak ragu untuk melakukan banyak eksperimen untuk menyesuaikan para pemainnya dengan sistem yang ia buat. Para pemain tampaknya harus keluar dari zona nyamannya.
Jangan Menaruh Terlalu Banyak Ekspetasi kepada Amorim
“Pertandingan yang sulit. Saya melihat para pemain saya terlalu banyak berpikir. Hal-hal baru, dan mereka memikirkan apa yang harus mereka lakukan. Itu tidak normal pada tahap musim ini, tetapi sejak awal sulit bagi mereka untuk mengatasinya. Ini seri dan itu bukan perasaan yang baik ketika Anda berada di Manchester United.”
Pernyataan di atas terlontar dari mulut Amorim seusai laga. Menurutnya, pemainnya masih ragu-ragu di lapangan, hal yang sebenarnya masih bisa dimaklumi karena strategi yang dibawa Amorim benar-benar baru dan para pemain butuh waktu untuk beradaptasi.
Amorim juga merupakan tipe pelatih yang memperhatikan ball possesion, dan menurutnya pertandingan kemarin MU kurang memegang kendali. Hal ini memang sangat terlihat, terutama di babak pertama di mana MU justru sering tertekan oleh Ipswich Town.
Dengan demikian, dapat disimpulkan kalau para penggemar mau tidak mau harus bersabar (lagi) sembari terus memantau progres yang diperlihatkan oleh Amorim dan pemainnya di lapangan.
Kita para penggemar juga harusnya melakukan interopeksi diri, jangan terlalu berekspetasi kepada pelatih baru. Entah sudah ada berapa pelatih top yang gagal menangani MU. Tim ini sakit bukan hanya di lapangan, tapi sudah menyebar ke berbagai sektor.
Apalagi, Amorim merupakan pelatih muda. Walau ia berhasil mencatatkan prestasi fenomenal, jangan langsung berharap kalau ia akan menjadi The Next Alex Ferguson. Ia hanya lebih tua beberapa hari dari Cristiano Ronaldo, jelas ia masih butuh banyak tambahan jam terbang.
Jadi, untuk sekarang lebih baik kita nikmati saja proses berubahnya MU di bawah arahan Amorim.
Lawang, 25 November 2024, terinspirasi setelah menonton pertandingan perdana Manchester United di bawah asuhan Ruben Amorim
Foto Featured Image: France24
-
Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Teruslah Bodoh Jangan Pintar
-
Film & Serial4 bulan ago
Gara-Gara Black Myth: Wukong, Saya Jadi Rewatch Kera Sakti
-
Non-Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Ngomongin Uang
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #22: Chinatown
-
Politik & Negara5 bulan ago
Peringatan Darurat: Apa Memang Sedarurat Itu Situasi Politik Saat Ini?
-
Musik4 bulan ago
Menatap Era Baru Linkin Park Bersama Emily Armstrong
-
Non-Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Buku Seni Menyederhanakan Hidup
-
Tokoh & Sejarah4 bulan ago
Mengapa iPhone Tetap Laris Manis Walau Gitu-Gitu Aja?
You must be logged in to post a comment Login