Pengembangan Diri
Belajar dari Pengalaman Orang Lain
Penulis adalah tipe orang yang suka mendengarkan cerita orang lain. Beberapa kali penulis membaca buku ataupun artikel untuk mengetahui bagaimana cara menjadi pendengar yang baik.
Tentu ada alasannya. Penulis selalu bisa belajar dari pengalaman orang lain, pengalaman yang mungkin tidak akan pernah penulis alami sendiri.
Belajar dari Keberhasilan Orang

Kisah Sukses Orang Lain (Alex Read)
Salah satu genre buku favorit penulis adalah biografi. Penulis yang pada dasarnya menyukai sejarah tentu tertarik dengan kisah hidup orang-orang sukses.
Penulis ingin mengetahui apa resep keberhasilan mereka, walaupun terkadang memang yang ditampilkan hanya yang baik-baik saja. Penulis tidak menutup mata terhadap fakta tersebut.
Nah, kisah tentang kesuksesan tidak melulu berasal dari buku biografi yang biasanya tebal-tebal. Kita juga bisa mendengarnya dari orang-orang yang ada di sekeliling kita.
Tentu definisi keberhasilannya pun bervariasi. Ada yang berhasil secara karir, ada yang berhasil membina keluarga, ada yang sukses berhijrah menjadi lebih baik, ada yang mampu berinvestasi sehingga mencapai financial freedom, dan lain sebagainya.
Biasanya jika ingin mengulik kunci keberhasilan tersebut, penulis akan secara tiba-tiba melakukan “sesi wawancara” dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mulai spesifik.
Contohnya, ketika konsultan sekaligus leader di tempat kerja penulis habis kontrak, penulis menanyakan perjalanan karirnya hingga bisa di titik yang sekarang.
Dengan mengetahui perjalanan karirnya, penulis bisa memproyeksikan bagaimana perjalanan karir penulis ke depannya. Mungkin tidak langsung jadi, tapi setidaknya ada sedikit gambaran ke mana kaki harus melangkah.
Tidak melulu soal hidup, penulis pun terkadang belajar tentang hal-hal lain seperti cinta. Penulis yang tak terlalu pandai bermain cinta senang mendengarkan cerita-cerita dari orang lain, terutama yang sedang melakukan pendekatan.
Walaupun mungkin tidak diterapkan di dalam kehidupan nyata, setidaknya penulis akan mencatat kisah tersebut di benak penulis. Siapa tahu, bisa jadi sumber inspirasi novel di waktu yang akan datang.
Belajar dari Hal yang (Mungkin) Negatif

Mengalami Apa yang Belum Pernah Dialami (Elevate)
Yang namanya mempelajari kehidupan, tentu tidak akan pas jika kita hanya belajar sisi positifnya saja. Hal negatif (atau hal yang sering dianggap negatif oleh orang lain) juga bisa menjadi pelajaran tersendiri dalam hidup.
Penulis sering bilang, kalau hidup penulis itu cenderung lurus-lurus saja. Pendidikan di rumah dan sikap introvert membuat penulis jarang mencoba hal-hal yang penulis tahu itu kurang baik. Contohnya, merokok, minum-minuman keras, dan hubungan seks bebas.
Nah, meskipun belum pernah mengalaminya sendiri (dan semoga tidak akan pernah selamanya), penulis sedikit tahu pengalaman dengan mencoba hal tersebut dari orang lain yang dengan baik hati mau berbagi kisah hidupnya.
Penulis jadi tahu seperti apa orang yang mabuk itu, apa saja jenis minuman keras, tahu bagaimana rasa penyesalan yang muncul akibat telah melakukan seks bebas, dan lain sebagainya.
Tidak hanya itu, penulis juga pernah mendengar cerita tentang depresi, tentang kasus bullying, tentang bagaimana tidak harmonisnya rumah tangga, dan hal-hal menyedihkan lainnya.
Biasanya, orang-orang yang menceritakan ini ingin didengar oleh orang lain agar bisa merasa sedikit tenang. Jika sudah seperti ini, penulis biasanya memosisikan diri untuk pasif, walau kadang tak sengaja mengeluarkan kata-kata nasihat yang sebenarnya tak diminta.
Yang bisa penulis lakukan adalah berusaha menunjukkan sikap empati dan berusaha meyakinkan bahwa mereka tidak sendirian. Mungkin hanya itu bantuan yang bisa penulis berikan kepada mereka.
Penutup
Manusia memiliki dua telinga dan satu mulut. Secara filosofi, penulis menganggap kita harus lebih banyak mendengar daripada berbicara. Penulis sendiri masih berusaha untuk seperti itu.
Apalagi, pada dasarnya penulis adalah orang yang pendiam dan cenderung memendam segala sesuatunya sendiri. Iya, itu tidak baik. Penulis juga sedang berusaha untuk lebih terbuka dengan orang lain.
Mendengarkan cerita tidak harus selalu dari yang lebih tua. Dari yang lebih muda pun terkadang kita akan mendapatkan sesuatu. Penulis sudah sering mendengar cerita-cerita yang bermacam-macam dari mereka yang lebih muda ini.
Dengan mendengarkan cerita dan pengalaman dari orang lain, kita akan mendapatkan pelajaran yang mungkin tidak akan pernah kita alami sendiri. Oleh karena itu, penulis sangat suka mendengarkan orang lain mengisahkan perjalanan hidupnya.
Kebayoran Lama, 20 Juli 2019, terinspirasi setelah mendengar banyak cerita dari orang lain
Foto: Andrea Tummons
Produktivitas
Productivity Hack #4: Kalau Cuma Butuh 5 Menit, Lakukan Sekarang
Jika ada satu kekurangan pada dirinya sendiri yang begitu ingin dihilangkan, mungkin salah satunya adalah kebiasaan untuk menunda segala sesuatu. Mulai dari hal-hal remeh sampai pekerjaan penting, Penulis punya kecenderungan untuk menundanya (prokrastinasi).
Untuk pekerjaan yang ada deadline-nya, Penulis bisa bilang bisa menyelesaikannya, walau kadang juga harus mepet deadline. Namun, untuk pekerjaan yang tidak memiliki deadline, ada peluang besar dari later menjadi never.
Menyadari hal ini, Penulis pun mencoba melakukan metode sederhana yang sedang berusaha diterapkan di kesehariannya. Metode tersebut adalah “Aturan 5 Menit”, di mana jika sebuah pekerjaan bisa diselesaikan dalam waktu kurang dari 5 menit, kerjakan sekarang juga.

Contoh Aplikasi Aturan 5 Menit

Sebelum menulis artikel ini, Penulis mencoba menerapkan metode ini agar tulisan ini terasa lebih nyata. Ada beberapa aktivitas yang Penulis lakukan di mana beberapa di antaranya sudah diniati sejak lama, tapi belum dikerjakan. Berikut daftarnya:
- Mengisi ulang botol Cleo di ruang tamu
- Merapikan tas-tas yang menumpuk dan berserakan dekat kasur
- Menggantung sweater dan celana training di atas kasur
- Mengubah posisi lampu LED di kamar (karena terbalik)
- Membersihkan sarang laba-laba dekat meja kerja (suprisingly ada laba-laba betina beserta anak-anaknya)
- Membersihkan sarang laba-laba dekat televisi (ada banyak bangkai semut yang mati)
Semua aktivitas tersebut jika waktu mengerjakannya digabung, tidak sampai 15 menit untuk selesai. Akan tetapi, waktu menundanya sudah berminggu-minggu atau lebih parahnya lagi berbulan-bulan. Padahal, tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya.
Bagi orang yang suka menunda seperti Penulis, di pikirannya selalu ada kata nanti. Ah, nanti aja dikerjakan. Ah, nanti aja diselesaikan. Ah, nanti aja dipikir. Pada akhirnya, “nanti” ini pun menjadi sesuatu yang tidak pernah dikerjakan dan akhirnya dilupakan.
“Tidak ada nanti”
Mengutip perkataan Shikamaru Nara di atas (manga Naruto Chapter 325) ketika ia berhadapan dengan Hidan, Penulis juga berusaha menghilangkan kata “nanti” dalam kesehariannya. Jika bisa dikerjakan sekarang, kerjakan sekarang.
Ketika sudah berkomitmen untuk menerapkannya, Penulis jadi lebih jarang untuk menunda-nunda pekerjaan terutama yang remeh (tentu terkadang masih ndableg). Alhasil, jadi lebih banyak pekerjaan yang terselesaikan.
Ada banyak hal sehari-hari yang hanya butuh kurang dari 5 menit untuk menyelesaikannya. Membersihkan tempat tidur, merapikan kabel charger setelah digunakan, cuci piring selesai makan, mengembalikan buku setelah selesai membaca, masih banyak lagi lainnya. Bisa dilihat kalau metode ini juga bisa digunakan untuk melatih disiplin diri.
Ketika bekerja pun, metode ini sangat membantu. Penulis terbiasa melakukan time block secara bulat, sehingga selalu ingin mengakhiri jam kerja di waktu bulan seperti jam 12 siang atau setidaknya 12:30. Rasanya sangat tidak enak jika berhenti kerja di jam 12:14, misalnya.
Nah, katakan jam 11:52 Penulis sudah menyelesaikan pekerjaan utamanya yang memakan waktu banyak, Penulis akan mencari pekerjaan-pekerjaan ringan yang bisa selesai dalam waktu singkat sembari menunggu jam 12:00.
Pekerjaan ringan di tempat kerja, walau ringan, bisa menumpuk juga dan membuat Penulis merasa overwhelming. Alhasil, pekerjaan yang ringan pun bisa menjadi penghambat untuk menyelesaikan pekerjaan yang lebih berat.
Sisi Buruk Aturan 5 Menit untuk Orang yang Mudah Terdistraksi

Ada satu loop hole dari metode ini. Terkadang, karena ada mindset untuk segera mengerjakan pekerjaan-pekerjaan remeh, pekerjaan utama yang harusnya menjadi fokus utama justru jadi terpinggirkan. Ini sangat mudah terjadi ke orang yang mudah terdistraksi seperti Penulis.
Misal Penulis sedang membuat satu artikel di tempat kerja. Ketika ingin upload gambar, Penulis jadi melihat file-file di komputernya yang belum dirapikan. Penulis pun membuat folder baru untuk memisahkan file-file tersebut berdasarkan tanggalnya.
Setelah itu, Penulis jadi teringat belum melengkapi to-do list kantor untuk disetor. Karena cuma butuh waktu sebentar, Penulis pun jadi menyelesaikan hal tersebut terlebih dahulu. Ketika selesai, Penulis ingat belum cek surel redaksi, sehingga Penulis membuka Outlook dulu.
Bisa dilihat hanya karena satu distraksi kecil, pekerjaan menulis yang menjadi fokus utama pun jadi terpinggirkan. Alokasi waktu yang harusnya untuk menyelesaikan tulisan jadi digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan lain yang secara deadline lebih longgar.
Lantas, bagaimana cara mengatasinya? Time block menjadi pilihan utama Penulis. Jika sudah mengalokasikan waktu untuk menulis, maka tidak boleh ada pekerjaan lain yang dikerjakan sampai pekerjaan utama selesai (kecuali ada yang urgent).
Untuk pekerjaan-pekerjaan kecil yang hanya butuh waktu sebentar, Penulis bisa mencatatnya dulu di catatan agar tidak terlupa. Kalau bisa, di catatan fisik yang selalu terlihat mata. Kalau mencatatnya di ponsel, kemungkinan untuk melupakannya akan lebih besar.
Memang terdengar kontradiksi karena pada akhirnya pekerjaan <5 menit tersebut ditunda juga. Namun, skala prioritas juga menjadi sesuatu yang tidak boleh diabaikan. Kita harus tahu mana pekerjaan yang diutamakan, bukan hanya dari durasi untuk menyelesaikannya.
Sejauh ini, Penulis merasakan manfaat dari penerapan metode ini dalam kesehariannya. Sekarang yang menjadi PR adalah bagaimana konsisten melakukannya. Tidak ada nanti.
Lawang, 9 Desember 2025, terinspirasi dari dirinya yang sedang berusaha untuk menghilangkan kebiasaan menunda-nunda
Featured Image Photo by Moose Photos
Pengembangan Diri
Memahami Sumber Ketidakbahagiaan untuk Menemukan Kebahagiaan
Siapa yang tidak ingin bahagia? Penulis rasa sudah fitrahnya manusia untuk merasa bahagia selama dia hidup. Walaupun definisi bahagia orang bisa berbeda-beda, sudah sewajarnya manusia mengejar kebahagiaan.
Jika disuruh mendeskripsikan apa itu bahagia, jujur Penulis sedikit kebingungan mendefinisikan versi Penulis. Mungkin karena tidak memahami apa makna dari kebahagiaan inilah Penulis jadi jarang merasa bahagia.
Karena merasa kesulitan mendefinisikan kebahagiaan, Penulis mencoba untuk berpikir sebaliknya. Bagaimana jika kita mencari apa yang membuat kita tidak bahagia, karena lebih mudah untuk diidentifikasi?

Memahami Apa Penyebab Ketidakbahagiaan

Tentu banyak hal yang bisa membuat kita tidak bahagia. Namun, jika dirumuskan dalam satu kalimat, Penulis meyakini kalau ketidakbahagiaan muncul ketika gambaran ideal yang ada di kepala tidak menjadi kenyataan.
Misalnya begini. Bagi Penulis, secara ideal Penulis harus bisa bangun pagi yang dilanjutkan dengan lari pagi. Setelah itu, mandi pagi, menulis artikel blog, baru mulai bekerja. Jika semua rangkaian tersebut tidak terlaksana, Penulis merasa gagal, dan akhirnya tidak bahagia
Contoh lain, bagi Penulis penghasilan yang ideal adalah 20 juta rupiah per bulan. Namun, hingga saat ini Penulis belum bisa mencapai nominal tersebut. Karena tidak sesuai dengan gambaran idealnya, Penulis pun jadi merasa tidak bahagia.
Sekarang Penulis mengambil contoh gambaran ideal ke orang lain. Misal kita punya gambaran ideal tentang pasangan di kepala: perhatian, peka, pendengar yang baik, loyal. Nah, ketika mendapatkan pasangan yang tidak sesuai dengan gambaran ideal tersebut, kita tidak bahagia.
Dengan kata lain, kita harus pandai-pandai mengelola ekspektasi yang ada di kepala kita, entah itu ekspektasi ke diri sendiri maupun ke orang lain. Tentu bukan berarti kita jadi punya target yang rendah dalam hidup, tapi lebih bisa menerima jika target tersebut belum bisa dicapai.
Sejujurnya karena tulisan ini lama ditunda, Penulis lupa di mana menemukan konsep di atas. Kemungkinan besar dari buku Filsafat Kebahagiaan, tapi Penulis tak bisa memastikan. Jadi, anggap saja benar.
Bersyukur Setiap Kali Mengeluh

Dalam buku Effortless karya Greg McKeown yang sedang dibaca, Penulis menemukan satu konsep yang menarik. Dalam salah satu babnya, kita diajak membiasakan diri untuk mensyukuri sesuatu setiap kali kita mengeluh.
Kalau Penulis tarik, ini bisa Penulis kaitkan dengan bahasan kebahagiaan dan ketidakbahagiaan di tulisan ini. Keluhan identik dengan ketidakbahagiaan, sedangkan rasa syukur identik dengan kebahagiaan.
Misal begini, kita mengeluhkan betapa banyaknya kerjaan yang terasa tidak masuk akal untuk kita kerjakan sendiri. Alhasil kita jadi merasa tidak bahagia, karena menurut gambaran ideal kita, seharusnya kita tidak mengerjakan tugas sebanyak itu.
Nah, begitu terbesit keluhan tersebut, coba kita cari satu hal saja yang bisa disyukuri tentang pekerjaan tersebut. Setidaknya, kita masih punya pekerjaan di tengah badai PHK di banyak tempat dan kondisi ekonomi seperti ini.
Contoh lain, kita merasa sebal karena pasangan kita kurang pengertian dan kurang peka. Dari keluhan tersebut, coba cari hal yang bisa disyukuri darinya. Oh, walau dia gitu, tapi dia setia banget dan selalu mau membantu di kala kita kesusahan.
Kalau mengingat hal-hal yang bisa disyukuri, gambaran ideal di kepala pun akan menyesuaikan diri. Dengan demikian, kita akan mencocokkan realita dengan bayangan ideal kita, sehingga kita bisa merasa bahagia.
Jadi, jika disimpulkan, maka kebahagiaan adalah ketika kita bisa mengelola gambaran ideal yang ada di kepala kita. Kebahagiaan adalah ketika kita bisa mengelola ekspektasi kita dengan baik. Jangan lupa bahagia!
Lawang, 17 September 2025, terinspirasi karena merasa dirinya perlu mendefinisikan ulang mengenai apa itu kebahagiaan
Foto Featured Image: Jorge Fakhouri Filho
Pengembangan Diri
Jangan Menunggu Sempurna, Mulai Aja Dulu
Sejak dulu, Penulis merasa dirinya adalah seorang perfeksionis parah. Segala sesuatu harus sesuai dengan standarnya. Bahkan, tak jarang kalau Penulis baru akan memulai sesuatu jika merasa itu sudah sempurna.
Tak hanya itu, Penulis kerap menanti waktu terbaik untuk memulainya agar sempurna seperti yang ada di bayangannya. Alhasil, karena menunggu kesempurnaan itu, Penulis justru tidak memulai-mulainya.
Nah, saat ini Penulis sedang membaca buku Effortless karya Greg McKeown. Salah satu poin yang tertera di buku tersebut adalah Dimulai. Intinya kita harus melakukan satu aksi pertama yang nyata, yang benar-benar kita lakukan. Itulah yang ingin Penulis bahas kali ini.
Menengok Ketidaksempurnaan Mangaka Populer
Dibandingkan menonton anime, Penulis lebih suka membaca komik karena membutuhkan durasi yang lebih singkat. Menariknya, dari sekian banyak komik yang pernah dibaca, Penulis menemukan satu kesamaan: tidak semua mangaka langsung bisa menggambar dengan bagus.
Contoh yang paling terkenal kasus ini adalah Hajime Isayama, mangaka Attack on Titan. Banyak orang yang membandingkan bagaimana “mentahnya” gambar di awal-awal jika dibandingkan dengan chapter-chapter yang paling baru.

Tak hanya Isayama, Penulis juga merasa ada evolusi dari gambar Masashi Kishimoto (Naruto), Akira Toriyama (Dragon Ball), Eiichiro Oda (One Piece), dan masih banyak lagi. Biasanya, chapter-chapter awal para mangaka tersebut masih mencari formula terbaik untuk komiknya.
Tentu ada standar minimum agar karya mereka bisa lolos dari editor. Namun, tetap saja jika dibandingkan dengan chapter-chapter terbaru dari komik tersebut, kita bisa melihat perubahan ke arah yang lebih baik.
Tak hanya komik, Webtoon pun memiliki pola yang sama. Dari beberapa judul favorit Penulis seperti Ngopi Yuk!, Kosan 95, Si Ocong, sampai Tahilalat pun juga tak langsung sempurna. Mereka tak menanti sempurna, yang penting mulai dulu aja.
Bahkan blog ini pun bisa dibilang juga memiliki pola yang sama. Ketika Penulis membaca tulisan-tulisan awal yang terbit di tahun 2018, Penulis merasa malu sendiri karena kualitasnya jelek dan banyak kesalahan penulisan yang mendasar.
Mulai Dulu Aja

Penulis menyadari bahwa perfeksionisme justru bisa menjadi benalu yang menghambat perkembangan diri. Menanti sesuatu yang tak akan pernah datang, seperti kesempurnaan, hanya akan berakhir dengan buruk.
Dari buku Atomic Habits karya James Clear, Penulis belajar bahwa untuk memulai sesuatu, mulailah dari yang kecil terlebih dahulu. Bangun lima menit lebih awal, menulis satu paragraf, membaca satu halaman, mengubah satu baris CV, adalah beberapa contohnya. Jangan dibuat ribet, buat sesederhana mungkin.
Misal Penulis ingin mengejar lagi cita-citanya untuk bekerja di luar negeri. Tidak perlu muluk-muluk harus apply 10 perusahaan dalam sehari. Penulis bisa memulai dengan memeriksa CV lamanya untuk mengecek apakah sudah layak atau belum.
Contoh lain adalah ketika Penulis ingin memiliki keseharian yang lebih sehat dan teratur. Maklum, bekerja dari rumah (WFH) selama hampir lima tahun membuat Penulis cukup kesulitan untuk mendisiplinkan diri.
Jadi, harus ada langkah-langkah kecil yang nyatan dan harus diambil untuk memperbaiki hal tersebut. Penulis memutuskan untuk merutinkan jalan kaki ke masjid setiap waktu sholat tiba, yang membuat Penulis jadi lebih disiplin waktu dibandingkan sebelumnya.
Kembalinya blog ini juga buah dari mulai aja dulu. Penulis dulu merasa perfeksionis dengan merasa nulis blog itu harus ada time block-nya sendiri, di pagi hari sebelum jam bekerja. Alhasil, blog pun jadi terbengkalai selama berbulan-bulan.
Penulis pun coba mengubah mindset-nya, yang penting nulis hari ini. Tidak sampai tayang pun tidak apa, yang penting mulai nulis dulu aja. Menariknya, setiap memulai menulis, pada akhirnya tulisan tersebut bisa tuntas hingga tayang.
Lantas, gimana kalau ketika kita misalnya ingin membangun rutinitas harian, tapi sering miss-nya? Ya, tidak apa-apa. Jangan mengejar kesempurnaan harus melakukan rutinitas tersebut selama 7 hari dalam seminggu.
Dibandingkan mengejar streak, yang penting ada berusaha agar setiap harinya bisa melakukan rutinitas tersebut. Kalau masih bolong-bolong pun tidak apa-apa. Akan tetapi, kalau bisa memang jangan bolong terlalu panjang, nanti malah berhenti total.
Untuk memudahkan, setiap kepikiran ingin melakukan sesuatu, langsung pikirkan apa yang harus dilakukan pertama kali. Nantinya, langkah-langkah selanjutnya akan mengikuti dengan sendirinya. Sekadar mencatat pun sudah cukup, yang penting ada aksi nyata yang dilakukan.
Hal lain yang tak kalah penting adalah jangan suka menunda-nunda. Ini adalah kebiasaan buruk Penulis yang sering dilakukan. Akibatnya, banyak hal jadi terlupakan begitu saja tanpa pernah direalisasikan. Ide-ide tulisan blog misalnya, yang keburu usang karena sudah lupa apa yang ingin ditulis.
Satu hal lain yang cukup fatal adalah Penulis merupakan tipe yang kalau satu tidak dilakukan, maka semua tidak dilakukan. Ini adalah puncak dari masalah yang ditimbulkan oleh sifat perfeksionisme, yang sering all or nothing.
Padahal, jika ada satu hal yang tidak sesuai rencana, masih ada banyak hal lain yang bisa diperjuangkan untuk diselesaikan. Jangan hanya karena satu hal membuat berantakan semuanya. Lebih baik kita fokus dengan apa yang masih bisa diselesaikan.
Sebagai orang yang sangat perfeksionis, belakangan ini Penulis berusaha berdamai dengan ketidaksempurnaan. Tidak semuanya harus sempurna sesuai dengan keinginan kita. Jika bisa melakukannya, mungkin kita akan bisa melakukan apa yang dulu kita anggap mustahil.
16 September 2025, terinspirasi setelah menyadari bahwa kita tak perlu menunggu sempurna untuk memulai sesuatu
Foto Featured Image: Mikhail Nilov
-
Olahraga12 bulan agoApakah Manchester United Benar-Benar Telah Menjadi Klub Terkutuk?
-
Fiksi8 bulan ago[REVIEW] Setelah Membaca Sang Alkemis
-
Olahraga10 bulan agoSaya Memutuskan Puasa Nonton MU di Bulan Puasa
-
Permainan8 bulan agoKoleksi Board Game #29: Blokus Shuffle: UNO Edition
-
Olahraga9 bulan agoTergelincirnya Para Rookie F1 di Balapan Debut Mereka
-
Politik & Negara10 bulan agoMau Sampai Kapan Kita Dibuat Pusing oleh Negara?
-
Musik6 bulan agoMari Kita Bicarakan Carmen dan Hearts2Hearts
-
Pengalaman10 bulan agoIni adalah Tulisan Pertama Whathefan di 2025

