Anime & Komik
Terima Kasih, Akira Toriyama, Selamat Jalan
Published
7 bulan agoon
By
FanandiJumat (8/3) kemarin, mangaka yang menciptakan Dragon Ball, Akira Toriyama, menghembuskan napas terakhirnya di usia 68 tahun. Ia meninggal dunia akibat acute subdural hematoma, sejenis pendarahan di otak.
Hal ini tentu mengejutkan banyak pihak, apalagi Toriyama kerap disebut sebagai inspirasi dari banyak mangaka shounen modern seperti Masashi Kishimoto (Naruto) dan Eiichiro Oda (One Piece). Tentu saja, penggemar Dragon Ball seperti Penulis pun juga turut terkejut.
Oleh karena itu, dalam rangka mengenang Akira Toriyama yang karyanya Penulis begitu nikmati, Penulis ingin berbagi sedikit mengenai Dragon Ball, mulai dari awal pertemuannya hingga mengapa Penulis begitu menyukainya.
NB: Penulis akan lebih banyak membahas hingga Dragon Ball Z saja. Dragon Ball GT, Dragon Ball Super, Dragon Ball Heroes, hingga Dragon Ball Daima yang akan datang tidak akan banyak Penulis bahas
Dari Mana Penulis Mengenal Dragon Ball?
Sejujurnya, Penulis sendiri tidak terlalu ingat dari mana dirinya bisa berkenalan dengan Dragon Ball. Bisa jadi awal mulanya dari tayangnya anime ini di Indosiar dan Animax, tapi bisa juga Penulis mengetahuinya dari komik, khususnya volume 17 yang dimiliki.
Penulis juga sempat bermain game Dragon Ball bergenre RPG yang sampai sekarang tidak pernah menemukannya lagi. Game tersebut hanya menceritakan “Saiyan Saga”, yang menjadi saga favorit Penulis, dan menyelipkan beberapa potongan animenya.
Penulis sempat mengikuti serinya secara rutin ketika tayang di Animax, itu pun hanya seri Dragon Ball saja. Baru ketika ada Dragon Ball Z Kai di Animax, Penulis mengikuti ceritanya, itu pun hanya sampai “Cell Saga” dan tidak nonton yang benar-benar lengkap.
Untuk skala yang lebih besar, Penulis mengetahui kisah-kisah Dragon Ball justru dari seri game Dragon Ball Z: Budokai Tenkaichi. Kebetulan, Penulis memainkan seri kedua dan ketiganya, bahkan terkadang masih main hingga sekarang melalui emulator.
Gara-gara game tersebut, Penulis juga jadi mengetahui kisah-kisah non-canon yang hanya muncul di filmnya, karena Penulis tidak pernah menonton film-filmnya. Kisah di Dragon Ball GT pun juga Penulis ketahui dari game ini.
Tidak hanya dari seri Budokai Tenkaichi, Penulis juga bermain Dragon Ball Sagas yang juga kerap menyelipkan potongan-potongan dari animenya. Apalagi, game ini juga lebih runtun dan jelas dalam menceritakan kisah Dragon Ball dibandingkan Budokai Tenkaichi.
Namun, dari semua penjabaran di atas, Penulis benar-benar tidak tahu media mana yang pertama dikonsumsi hingga membuatnya menjadi begitu suka Dragon Ball. Tahu-tahu sudah suka hingga sekarang, bahkan hingga mengoleksi action figure-nya.
Mengapa Suka Dragon Ball?
Sebagai “sepuhnya” anime dan manga shounen, plot cerita yang dimiliki oleh Dragon Ball bisa dibilang lurus-lurus saja tanpa banyak plot twist, tidak seperti Naruto atau One Piece yang terkadang bisa membuat penggemarnya tercengang karena twist ceritanya.
Pada awalnya, Dragon Ball hanya berpusat pada pencarian ketujuh Dragon Ball yang bisa mengabulkan permintaan apapun. Dalam perjalanannya, musuh yang dihadapi pun bermacam-macam, mulai Emperor Pilaf hingga King Piccolo.
Lalu ketika berpindah ke Dragon Ball Z, cerita sudah tidak berkutat pada petualangan mencari Dragon Ball. Kali ini, Goku dan kawan-kawan harus menghadapi ancaman yang mengintai bumi, dan nantinya, alam semesta.
Tentu mereka selalu bertemu dengan lawan yang kuat, hingga para karakter utamanya akhirnya berhasil membuka kekuatan baru dan melampaui musuhnya tersebut sehingga dunia kembali aman.
Lawan yang muncul pun, secara kebetulan, tingkat kekuatannya secara bertahap. Diawali dari Raditz dan Vegeta, lalu bertemu dengan Frieza dan pasukannya, para Android dan Cell, hingga kebangkitan Buu di akhir cerita Dragon Ball Z.
Penulis sering membayangkan, bagaimana jadinya jika Buu bangkit ketika Goku baru saja menikah dan memiliki anak Gohan. Tentu Goku dan alam semesta tidak akan selamat, bahkan Frieza pun akan dengan mudah dikalahkan. Yah, namanya juga kebutuhan cerita.
Lantas, jika ceritanya monoton dan repetitif, mengapa Penulis begitu menyukainya? Ada beberapa alasannya, seperti memang telah mengikuti serialnya dari kecil, kerap memainkan game-nya, adegan fighting yang seru, karakter (dan transformasi) yang keren, dan lainnya.
Namun, rasanya yang paling berkesan dari Dragon Ball adalah bagaimana serial tersebut mampu menjadi pionir sebagai anime shounen dan bagaimana ia bisa bertahan selama puluhan tahun. Hingga saat ini, masih banyak penggemarnya di seluruh dunia, termasuk Penulis.
Dragon Ball kerap menjadi inspirasi banyak kreator lain. Selain yang sudah Penulis sebutkan di atas, coba saja tonton serial Gintama. Ada banyak adegan komedi yang terinspirasi dari Dragon Ball. Ingat, ini hanya contoh kecil dari seberapa besar pengaruh serial ini.
Siapa yang Menjadi Karakter Favorit?
Dalam tulisan lama di blog ini, Penulis telah menyebutkan kalau karakter favoritnya di Dragon Ball adalah Vegeta. Pangeran Saiyan ini adalah tipikal tsundere yang harga dirinya selangit. Ambisinya hanya berkutat pada ingin menjadi yang paling kuat di alam semesta. Hal tersebut bisa terlihat dari Saga utama Dragon Ball.
Di “Saiyan Saga” dan “Frieza Saga”, ia berambisi untuk menjadi abadi agar bisa terus bertarung. Di “Cell Saga”, ia membiarkan Cell untuk masuk ke mode Perfect-nya. Di “Buu Saga”, ia sengaja berubah menjadi Majin agar bisa mendapatkan kekuatan besar untuk mengalahkan Goku.
Character development-nya bisa dibilang salah satu yang terbaik di sepanjang serial. Berawal dari musuh yang menyerang bumi, Vegeta berubah sepanjang seri, dari sekutu hingga akhirnya menjadi family man di serial Dragon Ball Super.
Nama jurusnya pun bisa dibilang salah satu yang paling keren di antara karakter lainnya, mulai dari Big Bang Attack, Final Flash, hingga Final Shine Attack. Semua adalah tipikal serangan jarak jauh yang melontarkan energi.
Penulis bisa mengetahui banyak jurus Vegeta juga dari Budokai Tenkaichi 3. Kebetulan, Vegeta adalah salah satu karakter favoritnya untuk digunakan, terutama Super Vegeta dan Super Saiyan 4 Vegeta. Penulis sampai memiliki action figure keduanya dengan pose Final Flash.
Karakter lain yang kerap Penulis pilih dalam game tersebut adalah Burter yang lincah, Super Trunks yang bulky, Super Saiyan 4 Gogeta yang overpowered, dan Kid Buu yang juga sangat enak untuk digunakan.
Kalau ditanya tentang scene favoritnya, mungkin pertarungan perdana antara Goku dan Vegeta menjadi jawabannya. Selain melekat karena game Dragon Ball RPG yang sudah Penulis sebutkan di atas (karena menjadi klimaksnya), pertarungan tersebut juga bisa dibilang sangat ikonik.
Untuk adegan pertarungan lain, tentu saja Goku vs Frieza harus disebutkan karena itu adalah kali pertama Goku berubah menjadi Super Saiyan. Pertarungan final melawan Cell dan Buu juga seru, tapi tidak akan bisa mengalahkan pertarungan tersebut.
Selain itu, ada beberapa adegan minor yang juga Penulis suka, mulai dari Picollo yang mengorbankan diri untuk melindungi Gohan di “Saiyan Saga”, Tien Shinhan yang menahan Cell agar tidak bisa menangkap Android 18, hingga Vegeta yang akhirnya mengakui kalau Goku lebih kuat dari dirinya.
Penutup
Akira Toriyama memang sudah meninggalkan kita. Namun, legasinya Penulis yakin masih akan bertahan hingga nanti. Penulis pun kemungkinan besar akan mengenalkan serial ini ke anaknya nanti, memperlihatkan sebuah serial legendaris yang menginspirasi banyak orang.
Dragon Ball bukan hanya sekadar serial anime, bukan juga hanya sekadar tumpukan komik. Dragon Ball telah menjadi sebuah fenomena yang tidak bisa disamai oleh serial sejenis. Waralaba ini akan selalu punya tempat spesial di hati para penggemarnya.
Selamat jalan Akira Toriyama, terima kasih atas karyamu yang sudah menghibur dan menginspirasi Penulis.
Lawang, 10 Maret 2024, terinspirasi setelah mendengar berita kematian Akira Toriyama
Sumber Artikel: BBC
You may like
-
Saya Memutuskan untuk Mengoleksi Komik Naruto Bind Up Edition
-
Setelah My Hero Academia Tamat
-
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Saya Memutuskan untuk Mengoleksi Komik Dragon Ball Super
-
Vegeta adalah Karakter Dragon Ball dengan Pengembangan Terbaik
-
Karakter Paling Sial di Dragon Ball adalah Future Trunks
Anime & Komik
Saya Memutuskan untuk Mengoleksi Komik Naruto Bind Up Edition
Published
4 hari agoon
2 Oktober 2024By
FanandiTak hanya Dragon Ball, Penulis juga tumbuh besar dengan seri Naruto. Bahkan, jumlah komik yang Penulis waktu kecil justru didominasi oleh manga karya Masashi Kishimoto ini, walau sempat berhenti beli karena telah membaca versi digitalnya.
Nah, belakangan ini, PT Elex Media Komputindo memutuskan untuk mencetak remake dalam bentuk Bind Up Edition. Singkatnya, ini adalah versi di mana dua komik dijadikan satu dan ukurannya pun diperbesar. Harganya per komik adalah Rp99 ribu.
Sempat menimbang-menimbang, akhirnya Penulis pun memutuskan untuk memulai mengoleksinya dari volume 1, terlepas telah memiliki beberapa komik versi aslinya. Penulis akan menjabarkan alasannya di bawah ini.
Perkenalan dengan Naruto
Awal Penulis mengenal Naruto sebenarnya cukup telat, yakni ketika duduk di bangku SMP. Penulis tahu karena teman-teman Penulis sering membicarakannya sehingga menjadi tertarik karena dunia ninja terdengar seru untuk diikuti.
Oleh karena itu, Penulis mencoba untuk mulai membeli komiknya. Di dekat rumah Penulis, kebetulan ada yang jual dengan harga murah. Waktu itu, Penulis belum paham kalau komik itu adalah komik bajakan karena kualitas gambarnya yang menyakitkan mata.
Tidak dari volume 1, Penulis langsung membeli volume 20 karena itu yang tersedia di rak. Tentu Penulis sempat bingung karena tahu-tahu ada seorang wanita menjadi seorang pemimpin desa dan karakter bernama Sasuke mengajak gelud Naruto.
Walau begitu, Penulis merasa kalau komik ini terasa seru dan membaca volume lanjutannya. Penulis masih bisa memahami kalau inti dari konfliknya adalah Sasuke yang ingin keluar desa demi mendapatkan kekuatan dari Orochimaru dan berusaha dicegah oleh Naruto dkk.
Sembari mengikuti arc tersebut, Penulis beberapa kali dijelaskan tentang awal mula cerita Naruto oleh temannya yang lebih dulu mengikutinya. Namun, tetap saja mengetahui ceritanya secara melompat-lompat membuat Penulis cukup kebingungan.
Penulis pun mencoba untuk membeli komik Naruto volume awal-awal. Anehnya, volume yang Penulis miliki terkesan acak, yakni volume 12, 15, 16, dan 17. Penulis tak ingat bagaimana bisa memilikinya, tapi komik-komik tersebut masih ada sampai sekarang.
Tak hanya itu, Penulis juga punya volume 1, 2, dan 4, karena dulu sempat berniat untuk mengoleksi komiknya secara lengkap. Namun, niat tersebut tak pernah kejadian karena waktu itu Penulis merasa lebih seru (dan lebih cepat) untuk mengikuti manga digitalnya saja.
Melengkapi Kepingan yang Hilang
Mungkin karena memiliki daya ingat yang cukup kuat, Penulis masih mengingat volume berapa saja yang pernah dimiliki. Antara volume 20 hingga 40, Penulis memiliki semua kecuali volume 22. Mulai dari volume 27, Penulis tak pernah lagi membeli komik bajakan.
Setelah volume 40, Penulis lebih sering membaca versi digitalnya. Satu-satunya komik Naruto yang Penulis miliki setelah volume tersebut adalah volume 46 dan 71. Karena konflik yang semakin memanas, Penulis pun semakin melupakan “masa lalu” Naruto di volume-volume awal.
Itulah salah satu alasan Penulis memutuskan untuk mengoleksi komik Naruto Bind Up Edition: karena ada banyak kisah Naruto yang belum pernah Penulis ketahui. Apalagi, Penulis hampir tidak pernah menonton serial animenya.
Kehadiran Bind Up Edition ini seolah menjadi momentum yang pas untuk melengkapi kepingan yang hilang seputar Naruto. Walau edisi ini benar-benar hanya menggabungkan dua volume menjadi satu, Penulis merasa tidak rugi untuk membelinya.
Apalagi, cerita-cerita yang dulu Penulis abaikan karena dirasa akan membosankan ternyata seru. “Chūnin Exams Arc” sejak awal ternyata sudah terasa seru. Penulis juga jadi mengetahui secara lengkap bagaimana Orochimaru meninggalkan segel di leher Sasuke.
Selain itu, dengan membaca secara runtun, alasan Sasuke memutuskan untuk meninggalkan desa dan pergi ke tempat Orochimaru menjadi masuk akal. Penulis akan membahas topik ini secara detail di tulisan lain.
Hal lain seputar Naruto yang baru Penulis ketahui setelah mulai mengoleksi Bind Up Edition adalah bagaimana pertemuan pertama Naruto dengan Jiraiya, bagaimana Gaara hampir mengakhiri karier ninja Rock Lee, dan masih banyak lagi lainnya.
Upaya Penebusan Dosa
Hingga artikel ini ditulis, sudah ada 10 volume yang dirilis. Artinya, seri ini telah sampai di komik Naruto pertama yang Penulis baca. Berhubung dulu membaca versi bajakannya, membaca versi aslinya dengan kualitas gambar yang bagus jelas memuaskan.
Selain itu, Penulis juga menganggap koleksi ini sebagai upaya “penebusan dosa” karena dulu membaca versi bajakannya. Waktu itu, dengan polosnya Penulis menganggap kalau memang ada versi murah dari sebuah komik, makanya kualitasnya jelek.
Dengan mulai mengoleksi dari awal, Penulis akan mendapatkan kesempatan untuk membaca komik Naruto tanpa terganggu gambar buram yang terkadang sangat sulit untuk dilihat. Apalagi, ukurang komik edisi Bind Up ini juga lebih besar.
Penulis tidak tahu apakah masih ada banyak komik bajakan yang dijual di pasaran. Semoga saja sudah tidak ada lagi pihak yang membajak komik, setidaknya secara fisik. Kalau secara daring, rasanya akan sangat sulit untuk mengendalikannya.
Sebagai tambahan, Penulis pun jadi merasakan kembali sensasi yang pernah dirasakan waktu kecil ketika menanti komik volume terbaru dirilis. Namun, mengingat lamanya komik Dragon Ball Super Vol. 20 rilis, rasanya Penulis harus benarn-benar ekstra sabar.
Lawang, 2 Oktober 2024, terinspirasi setelah mengoleksi komik Naruto Bind Up Edition
Tepat satu bulan yang lalu, manga My Hero Academia resmi tamat. Dengan jumlah chapter sekitar 400 lebih sedikit, kita akhirnya mendapatkan konklusi tentang akhir dari perjalanan Deku dan kawan-kawan, setidaknya dari perspektif kita sebagai pembaca.
Sejujurnya, Penulis sudah lama berhenti menonton serial animenya karena terlalu banyak dragging dan flashback yang repetitif. Oleh karena itu, Penulis memutuskan untuk membaca manganya saja yang tersedia secara gratis dan legal di aplikasi Manga Plus.
Penulis sudah sempat bercerita tentang awal pertemuannya dengan seri ini di tulisan “Sekolah Superhero Ala My Hero Academia,” jadi Penulis tidak akan mengulan bagian tersebut di sini. Pada tulisan kali ini, Penulis akan memberikan pendapatnya setelah manga ini tamat.
Dibuat Bingung Siapa yang Menjadi Final Villain
Sejujurnya, Penulis merasa lega karena akhirnya My Hero Academia telah tamat, tapi bukan dalam artian yang baik. Menurut Penulis, arc terakhir manga ini terasa terlalu panjang dan menjemukan, sehingga Penulis sempat merasa malas untuk terus membaca.
Ada banyak alasannya, tapi yang utama adalah bagaimana musuh utama di serial ini digambarkan mati bangkit mati bangkit berkali-kali. Final boss di seri ini adalah All For One (AFO), bukan Tomura Shigaraki yang hanya dimanfaatkan oleh AFO.
Awalnya, AFO terlihat berhasil dikalahkan oleh Katsuki Bakugo, apalagi AFO terus mengalami degenerasi hingga ke wujud bayinya, dan akhirnya menghilang begitu saja. Namun, Penulis sudah lupa mengapa, tapi akhirnya ia berhasil menguasi tubuh Shigaraki.
Bagian ini menyebalkan bagi Penulis, karena Shigaraki lebih pantas untuk menjadi musuh terakhir dari tokoh utama Izuku Midoriya. Alasannya, mereka berdua sejauh ini telah hidup dengan meyakini prinsip yang saling bertolak belakang.
Hal ini mirip dengan kisah Naruto, yang justru memunculkan Kaguya Ōtsutsuki sebagai final villain. Madara Uchiha jelas lebih menjadi musuh terakhir Naruto dan kawan-kawan, bukannya sosok yang sebelumnya hampir tidak pernah disebut-sebut.
Namun, setidaknya di Naruto urutannya villain yang muncul jelas. Obito, Madara, baru Kagura keluar. Kalau My Hero Academia, Penulis dibuat bingung untuk mengetahui siapa sebenarnya yang ingin dijadikan sebagai final villain.
Bahkan, ketika akhirnya Midoriya berhasil mengalahkan AFO untuk selamanya, sempat ada perasaan was-was kalau ternyata tiba-tiba Shigaraki masih hidup entah bagaimana caranya. Untungnya, hal tersebut tidak pernah terjadi.
Pertarungan Lain di Peperangan Akhir
Sekarang mari kita bicarakan pertarungan lain. Sama seperti arc Perang Dunia Ninja Keempat di Naruto, wajar jika ada banyak adegan pertarungan yang akan meng-highlight karakter-karakternya. Itu pun terjadi di final arc My Hero Academia.
Awalnya masih oke, tapi makin lama makin menjemukan. Mungkin pertarungan yang benar-benar Penulis bisa nikmati adalah pertarungan antara Ochaco Uraraka dan Himiko Toga. Keduanya seperti sepasang sahabat yang harus bertarung karena perbedaan ideologi.
Mungkin ada bias karena Toga adalah salah satu karakter favorit Penulis di serial ini, tapi pertarungan mereka terasa bermakna untuk satu sama lain. Bagaimana akhirnya Toga mati pun cukup membekas bagi Penulis, di mana ia memberikan darahnya sendiri untuk menyelamatkan nyawa Ochaco.
Pertarungan antara Dabi dan Shoto Todoroki juga literally “panas,” apalagi ditambah dengan bumbu drama keluarga antara keduanya. Namun, kesan yang ditinggalkan kurang kuat, hingga Penulis sudah lupa bagaimana pertarungan antara mereka berakhir.
Pertarungan antara baik vs buruk di final arc pun menjadi terkesan membosankan. Durasi pertarungannya terlalu panjang, villain seolah tak mati-mati. Yang lebih menyebalkan, setelah pertarungan sepanjang itu, sedikit sekali pahlawan yang mati di dalam perang.
Awalnya, Bakugo sempat terlihat akan tewas karena menerima luka yang sangat parah dari Shigaraki. Namun, ia berhasil diselamatkan oleh Edgeshot yang mengorbankan dirinya, walau ujung-ujungnya ia juga berhasil selamat meskipun harus menjadi versi mini.
Padahal, kematian Bakugo akan menjadi sangat heroik jika benar-benar terjadi. Midoriya akan menjadi movitasi lebih untuk mengalahkan musuhnya karena “Uncle Ben Situation.” Sayang, tampaknya sang mangaka memang sesayang itu dengan para karakternya.
Sebagai perbandingan, di Naruto meskipun juga banyak yang selamat, setidaknya masih ada beberapa karakter utama yang dimatikan seperti Neji Hyuga, Shikaku Nara, hingga Inoichi Yamanaka.
Akhir yang Kurang Memuaskan, Padahal Sudah Lama Dinanti
Anime shounen biasanya bercerita bagaimana protagonis utamanya berjuang untuk meraih apa yang ia impikan sejak awal cerita. Hal ini bisa dilihat dari Naruto yang ingin menjadi Hokage dan Luffy yang ingin menjadi Raja Bajak Laut.
Nah, hal tersebut tidak terjadi di My Hero Academia. Setelah pertarungan yang begitu hebat, tentu kita penasaran dengan masa depan para karakter favorit kita. Intinya, Midoriya kehilangan semua quirk-nya dan menjadi guru di U.A. High School.
Namun, di akhir cerita diceritakan ia mendapatkan semacam perangkat yang membuatnya tetap bisa menjadi superhero, mungkin seperti Iron Man. Jadi, Midoriya tetap bisa menjadi superhero, meskipun tidak menjadi nomor satu seperti impiannya di awal cerita.
Konklusi My Hero Academia yang seperti itu jelas membuat kesal banyak orang. Pada akhirnya, Midoriya gagal mendapatkan apa yang ia impikan dan justru “hanya” menjadi guru setelah kehilangan quirk. Mirio Togata-lah yang menjadi superhero nomor satu di akhir cerita.
Selain itu, kisah cinta Midoriya pun tidak memiliki kesimpulan sama sekali apakah akhirnya ia bersanding dengan Ochaco. Banyak yang berseloroh kalau “gaji sebagai guru” membuat Midoriya tidak menarik bagi Ochaco.
Biasanya, memang karakter utama anime shounen bersanding dengan orang yang selama ini dijodoh-jodohkan dengan penggemar. Contohnya adalah Naruto dengan Hinata Hyuga atau Tanjiro Kamado dengan Kanao Tsuyuri.
Karena banyaknya masalah yang muncul mulai dari final arc hingga konklusi cerita, tak heran jika banyak penggemar yang merasa tidak puas dengan akhir cerita My Hero Academia, mirip dengan fenomena yang terjadi pada Attack on Titan.
Akhir kata, Penulis bisa mengatakan kalau dirinya bukan merasa puas karena sudah My Hero Academia sudah tamat, tapi justru merasa lega dan berpikir “akhirnya tamat juga ini manga.” Tentu ini agak disayangkan, mengingat My Hero Academia adalah salah satu manga shounen favorit Penulis.
Lawang, 5 September 2024, terinspirasi setelah tamatnya My Hero Academia setelah sekian lama dinanti
Sumber Featured Image: ComicBook
Anime & Komik
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
Published
3 bulan agoon
11 Juli 2024By
FanandiBeberapa hari terakhir, Penulis kerap menonton konten-konten Yu-Gi-Oh! di YouTube. Entah apa alasannya, mungkin karena ingin nostalgia saja karena sewaktu kecil gemar membaca (bahkan mengoleksi) komiknya.
Penulis pun jadi membaca ulang komiknya, walau tidak semua. Kebetulan, ada beberapa koleksinya yang masih terselamatkan, walau kebanyakan sudah raib entah ke mana. Untuk volume yang hilang, Penulis membacanya di internet.
Gara-gara hal tersebut, Penulis jadi ingin menulis sesuatu tentang Yu-Gi-Oh!. Awalnya Penulis tidak tahu ingin menulis tentang apa, tapi seperti biasa, Penulis lepaskan saja jari-jarinya di keyboard dan membiarkan mereka ingin menulis apa.
Penulis dan Komik Yu-Gi-Oh!
Seingat Penulis, komik Yu-Gi-Oh! yang pertama kali Penulis baca adalah komik volume 15 milik sepupunya, yang waktu itu menceritakan pertandingan final antara Yugi melawan Pegasus sebagai bos terakhir.
Waktu itu, peraturan duel kartunya masih sakarepe mangakanya (RIP Kazuki Takahashi). Bayangkan saja, kartu sekuat Dark Magician bisa dipanggil tanpa perlu pengorbanan. Hanya saja, waktu masih kecil tentu Penulis tak terlalu memedulikan hal tersebut.
Komik Yu-Gi-Oh! pertama yang Penulis beli sendiri adalah volume 19. Di volume tersebut, ceritanya Yugi sedang mengikuti turnamen duel di Kota Domino dan melawan seseorang yang ternyata juga pemilik kartu Dark Magician.
Dari komik tersebut, Penulis jadi terus melanjutkan membeli komik Yu-Gi-Oh!. Setiap mampir ke toko buku, setiap ada volume baru, pasti akan Penulis beli. Oleh karena itu, koleksi komik Yu-Gi-Oh! Penulis hampir lengkap dari volume 19 hingga 38, yang merupakan volume terakhir.
Penulis tidak tertarik membeli volume-volume awal karena belum ada duel-duel kartu. Di arc Pegasus pun peraturannya masih mentah dan kurang menarik. Apalagi di arc turnamen ini, ada banyak pertarungan antar-duelist yang menarik, meskipun jujur saja kadang sangat tak masuk akal.
Tidak hanya dari efek kartu yang disesuaikan dengan plot cerita, terkadang ada saja bumbu drama seperti “shadow game” yang menumbalkan nyawa. Bayangkan, kita bisa kehilangan nyawa karena bermain kartu!
Jika disuruh memilih duel favoritnya, di antara sekian banyak, mungkin Penulis akan memilih pertarungan antara Yugi Mutou melawan Yami Bakura di dalam ingatan Yugi Pharaoh (di komik volume 37). Duel tersebut membuktikan kalau Yugi yang selama ini seolah menjadi bayangan Yugi Pharaoh juga bisa bertarung.
Berbicara tentang Pharaoh, arc terakhir dari seri ini berfokus pada masa lalu Yugi. Ceritanya cukup menarik dan seru bagi Penulis, di mana Yugi berhadapan dengan musuh-musuh tangguh, mulai dari Bakura dengan Diabound-nya hingga Zorc Necrophades.
Arc ini juga bisa menjadi konklusi yang pas untuk serialnya. Setelah mendapatkan ingatan masa lalunya yang berdarah, Yugi Pharaoh (yang bernama Atem) dan Yugi Mutou berduel untuk menentukan nasib mereka. Atem kalah dan pergi meninggalkan Yugi dan kawan-kawan lainnya.
Kalau animenya, Penulis sesekali menonton di televisi pada hari Minggu pagi. Namun, jujur Penulis tidak terlalu ingat karena tidak terlalu memorable. Mungkin yang paling Penulis ingat adalah episode filler di mana Yugi dan Kaiba bersatu melawan The Big 5 yang memiliki kartu Five-Headed Dragon dengan ATK 5000.
Penulis dan Permainan Kartu Yu-Gi-Oh!
Banyak meme yang bertebaran di internet tentang bagaimana bingungnya pemain Yu-Gi-Oh! yang sudah lama pensiun, lantas melawan pemain yang masih aktif hari ini. Yu-Gi-Oh! hari ini seolah tentang bagaimana menghabisi lawan secepat mungkin, kalau bisa sejak putaran pertama.
Padahal, dulu waktu masih main, Penulis merasa ada banyak “seni” dari peraturan aslinya, di mana untuk memanggil monster berbintang besar harus mengorbankan monster berbintang kecil. Ada cara unik lain, seperti Fusion ataupun Ritual.
Kita bisa mempelajari banyak peraturan Yu-Gi-Oh! dari manganya, meskipun terkadang efeknya dibuat nyeleneh demi kebutuhan plot cerita. Namun, dari sana dasar bermain Yu-Gi-Oh! Penulis dapatkan dan menjadi ingin mencoba bermain game-nya.
Ada beberapa game Yu-Gi-Oh! yang pernah Penulis mainkan, seperti Yu-Gi-Oh! Forbidden Memories (PlayStation 1) dan Yu-Gi-Oh! The Duelists of the Roses (PlayStation 2). Namun, baru di game Yu-Gi-Oh! Tag Force (PlayStation 2) Penulis benar-benar paham cara bermain Yu-Gi-Oh!.
Di seri tersebut, masih belum ada peraturan summon monster yang aneh-aneh, masih mengikuti peraturan dasar yang Penulis pahami. Dalam bermain, Penulis sering mengandalkan archetype Cyber Dragon, yang di game-nya menjadi andalan Zane Trusdale.
Selain Cyber Dragon, salah satu archetype favorit Penulis adalah Blue-Eyes White Dragon, sedangkan adik Penulis sangat menyukai Elemental Hero, sampai-sampai tidak mau mencoba archetype yang lain. Bahkan, ia sampai mencetak sendiri kartu-kartu Elemental Hero dan ditempel ke kartu Yu-Gi-Oh! asli.
Selain itu, Penulis juga pernah mencoba platform Yu-Gi-Oh! yang tersedia secara online, walau seringnya cuma melawan adiknya, karena kemampuan Penulis tidak cukup hebat untuk bertanding dengan orang lain. Melalui platform ini, Penulis jadi belajar tentang metode summon yang baru-baru.
Pertama ada Synchro Summon, yang intinya membutuhkan monster Tuner untuk memanggilnya. Lalu tak lama ada juga XYZ Summon, yang intinya membutuhkan beberapa monster dengan level yang sama untuk digabungkan. Sampai sini masih bisa dipahami.
Nah, begitu masuk Pendulum Summon, Penulis memutuskan untuk mengangkat bendera putih. Penulis sudah tak mampu mengikutinya lagi. Apalagi sekarang ada Link Summon yang makin membuat Penulis malas untuk mengikuti permainan kartu Yu-Gi-Oh!.
Penutup
Yu-Gi-Oh! jelas telah mewarnai masa kecil dan remaja Penulis, baik lewat komik maupun permainan kartunya. Oleh karena itu, hingga sekarang pun Penulis sesekali masih menonton konten Yu-Gi-Oh! di internet sebagai obat kangen.
Apalagi, gara-gara Yu-Gi-Oh!-lah Penulis jadi menyukai permainan TCG (Trading Card Game). Ada banyak judul lain yang pernah Penulis mainkan, mulai dari Duel Monster, Magic: The Gathering, Hearthstone, Pokemon TCG, hingga Marvel Snap. Tentu, semuanya tidak ada yang benar-benar Penulis kuasai!
Oleh karena itu, Yu-Gi-Oh! selalu punya tempat spesial dalam hidup Penulis, meskipun sudah tidak pernah bermain atau mengikuti permainannya lagi. Mungkin suatu hari Penulis akan mencetak kartu Yu-Gi-Oh! sendiri untuk melawan deck Elemental Hero milik adiknya.
Lawang, 11 Juli 2024, terinspirasi setelah banyak menonton konten Yu-Gi-Oh!
Foto Featured Image: Yu-Gi-Oh!
Saya Memutuskan untuk Mengoleksi Komik Naruto Bind Up Edition
Selama Bangun, Mata Kita Terus Terpapar Layar
Sepertinya Erik Ten Hag Memang Perlu Keluar dari Manchester United
Koleksi Board Game #25: Happy Little Dinosaur
[REVIEW] Setelah Membaca Ngomongin Uang
Tag
Fanandi's Choice
-
Tentang Rasa4 bulan ago
Ketika Mencari Pasangan Menggunakan Standar TikTok
-
Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Twenty-Four Eyes: Dua Belas Pasang Mata
-
Buku4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca A Happy Life: Sebuah Perenungan
-
Politik & Negara4 bulan ago
Menyorot Kebijakan Pemerintah yang Makin ke Sini Makin ke Sana
-
Olahraga4 bulan ago
Kado Manis untuk Kroos, Kado Pahit untuk Reus
-
Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #17: Unstable Unicorns
-
Anime & Komik4 bulan ago
Karakter Paling Sial di Dragon Ball adalah Future Trunks
-
Buku4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca The Devotion of Suspect X
You must be logged in to post a comment Login