Connect with us

Tentang Rasa

Belajar Melepaskan

Published

on

Jika mendengar kata melepaskan, apa yang akan muncul di benak kita? Tentu intepretasinya akan bermacam-macam, tergantung sudut pandang mana yang akan digunakan.

Kata melepaskan kerap diidentikkan dengan perpisahan, baik terpisah secara fisik mampan batin.

Perpisahan secara fisik bisa diatasi dengan pertemuan. Bagaimana dengan perpisahan batin? Nah, ini yang menjadi sedikit rumit.

***

Orangtua kerap melepas anaknya ke tanah rantau, baik untuk studi ataupun mencari kesempatan lainnya. Di sini, orangtua harus belajar melepaskan anaknya dan mulai membiasakan diri untuk hidup jauh dari anaknya.

Awalnya, pasti orangtua akan merasa berat. Ada saja hal yang akan membuat mereka khawatir, mulai dari keteraturan makan, kesehatan, hingga faktor ekonomi.

Namun seiring berjalannya waktu, mereka akan menjadi tenang. Sang anak ternyata mampu hidup mandiri di kota orang.

Di dalam perjalanan tersebut, orangtua belajar melepaskan anaknya. Awalnya memang sangat berat, namun pada akhirnya mereka bisa mengatasi permasalahan tersebut.

***

Melepaskan menjadi sesuatu yang berat karena cinta. Mau bagaimanapun, disuruh berpisah dengan orang yang kita cintai itu berat.

Jika kita sudah menyayangi seseorang atau kelompok, kita pasti ingin bersama mereka terus. Kita ingin sebanyak-banyaknya membuat momen yang akan menjadi kenangan indah.

Hanya saja, terkadang takdir membuat kita harus berpisah dengan beragam alasan.

Misal ketika kita harus terpaksa berpisah dengan kekasih yang sangat disayangi. Ketika kita berada di titik tersebut, pasti melepaskan akan menjadi sesuatu yang sangat berat.

Kita akan terus merasa ketakutan bagaimana hidup ini jadinya. Tak pernah terbayangkan bagaimana dunia tanpa kehadiran dirinya.

Kenangan-kenangan yang pernah dibuat justru semakin menambah luka di hati. Kita ingin lebih banyak lagi membuat kenangan seperti itu.

Beragam cara dilakukan agar kita berhasil move on. Memblokir kontak, tidak kepo dengan aktivitasnya di media sosial, menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas, dan lain sebagainya.

Hasilnya? Ada yang berhasil, ada yang gamon alias gagal move on. Mau pakai cara apapun, sosoknya masih selalu terbayang-bayang di pikiran.

Di sinilah kita butuh belajar melepaskan.

***

People come and go. Orang akan selalu datang dan pergi dalam kehidupan kita. Ada yang pergi karena kematian, ada yang tiba-tiba menghilang, ada yang karena konflik, macam-macam.

Semua yang ada di dunia ini sifatnya fana dan sementara. Tidak ada yang benar-benar abadi. Di sini lah pentingnya untuk belajar melepaskan, bahkan melepaskan orang yang sangat disayang sekalipun.

Dari pengalaman pribadi, Penulis merasa salah satu penghalang terbesar untuk melepaskan adalah perasaan sayang yang berlebihan. Perasaan tersebut justru menjadi benalu yang membelenggu diri sendiri.

Seperti yang sudah sering Penulis sebutkan di dalam blog ini, apapun yang berlebihan tidak pernah baik. Perasaan sayang menjadi salah satunya.

Dalam kasus ini, cara belajar melepaskan adalah mengurangi kadar sayang tersebut. Bukan berarti kita menjadi jahat. Sayangilah orang lain dalam kadar yang secukupnya. Memang sulit karena tidak ada takaran sayang yang pasti, tapi harus dilakukan.

Kita juga harus tahu kalau orang memiliki kehidupannya masing-masing. Bisa jadi, diri kita sudah tidak masuk di dalam rencana hidupnya. Bisa jadi, kita yang terlalu tinggi menilai diri sendiri.

Perlu dicatat, kita tidak bisa mengendalikan perasaan orang lain. Yang bisa kita kendalikan adalah perasaan diri sendiri. Maka dari itu, kita harus fokus untuk mengendalikan perasaan sendiri.

***

Salah satu upaya yang bisa membantu kita untuk melepaskan adalah membuka diri ke orang baru. Orang introvert macam Penulis jelas akan kesulitan melakukannya.

Akan tetapi, hal ini penting untuk dilakukan. Melepaskan kerap menimbulkan perasaan takut kesepian yang cukup parah. Dengan bertemu orang-orang baru dan berusaha berbaur dengan mereka, kita (seharusnya) tidak akan merasa kesepian.

Penulis merasa dirinya termasuk sulit untuk membuka diri. Di sisi lain, Penulis kerap merasa kesepian karena sendirian di tanah rantau.

Oleh karena itu, Penulis harus belajar secara bertahap agar lebih bisa membuka dirinya dan menjalin hubungan dengan orang-orang baru.

***

Melepaskan, apalagi dengan ikhlas, memang berat. Terkadang membutuhkan waktu yang singkat untuk bisa menerimanya, tapi rasanya lebih sering berdurasi panjang.

Perasaan sayang yang berlebihan tidak baik karena kita jadi sulit untuk melepaskan. Agar bisa belajar melepaskan, kita harus bisa mengendalikan perasaan diri sendiri.

Sulit, tapi bisa.

 

 

Kebayoran Lama, 8 Juni 2020, terinspirasi dari perenungan selama berhari-hari

Foto: Bridge Between

Tentang Rasa

Perasaan Orang Lain Itu Ada di Luar Kendali Kita

Published

on

Ketika sedang merasa jatuh cinta ke orang lain, kita seolah memiliki kemampuan untuk melakukan apapun untuknya. Kita rela berkorban banyak hal, dengan harapan semua pemberian dan pengorbanan tersebut akan membuatnya mencintai kita juga.

Sayangnya, dalam hidup tak semuanya selalu bisa seperti itu. Terkadang dalam hidup, kita jatuh cinta kepada seseorang yang sama sekali tidak memberikan hatinya untuk kita, meskipun sudah banyak hal yang kita lakukan untuk meluluhkan hatinya.

Tentu rasanya menyedihkan sekaligus menyakitkan untuk mengalami hal tersebut. Rasanya tidak ada manusia yang ingin mengalami cinta bertepuk sebelah tangan. Namun, inilah hidup. Inilah kenyataan yang harus kita terima dan hadapi.

Padahal Sudah Banyak Berkorban

Meme Norman Osborn yang Menggambarkan Poin Ini (Know Your Meme)

Ketika kita sedang mendekati seseorang, tentu ada banyak hal yang harus dikorbankan. Mungkin uang untuk mentraktir makan atau membelikan hadiah, tenaga untuk mengantarnya ke mana-mana, pikiran untuk membantu mengerjakan pekerjaannya, dan lain sebagainya.

Jika pikiran kita transaksional, tentu kita berharap imbalan dari semua yang sudah dilakukan tersebut. Tentu saja yang diharapkan adalah dia mau menerima perasaan kita. Sayangnya, masalah cinta sangat berbeda dengan matematika.

Meskipun kita sudah melakukan banyak hal untuknya, sebenarnya sama sekali tidak ada kewajiban untuk membalas baginya, dalam bentuk apapun. Jika dia memutuskan untuk tidak membalas, ya itu keputusan mereka yang tidak bisa diganggu gugat.

Mungkin kadang kita akan merasa tidak terima, bahkan menganggap dia adalah orang yang tidak tahu berterima kasih dan hanya memanfaatkan kebaikan kita. Lho, ya salah sendiri, kan keputusan untuk melakukan banyak hal untuknya kan keputusan kita sendiri.

Apa yang kita lakukan untuknya dilakukan dengan kesadaran diri, walau kadang memang “dibodohi” oleh perasaan cinta. Cinta memang bisa membuat orang tolol luar biasa, sehingga tak heran kita jadi punya celah untuk dimanfaatkan oleh orang lain.

Seperti kata alm. Meggy Z melalui lagu “Takut Sengsara”, percuma saja bercinta kalau kau takut sengsara. Kalau takut cinta kita tidak berbalas meskipun sudah banyak berkorban, ya jangan jatuh cinta dulu.

Apalagi, kalau kita memang sayang ke orang lain, seharusnya kita tidak merasa berkorban seperti kata Sujiwo Tejo. Ketika kita sudah merasa berkorban, mungkin itu artinya kita tidak benar-benar sayang ke orang tersebut.

Perasaan Orang Lain Itu Ada di Luar Kendali Kita

Harus Menyadari Perasaan Orang Lain Tidak Bisa Kita Kendalikan (RDNE Stock project)

Sebenarnya sangat manusiawi jika kita ingin perasaan kita berbalas. Bahkan, rasanya tidak ada orang yang melakukan PDKT tanpa berharap upayanya berhasil. Namun, perlu diingat kalau hasilnya nanti memang ada di luar kendali kita.

Hasil dari PDKT tentu saja bergantung kepada perasaan orang lain, yang tentu saja juga tidak bisa kita kendalikan. Kita bisa melakukan apapun untuk berusaha mengubah perasaan tersebut, tetapi hasil akhirnya tetap di luar kendali kita.

Dengan memahami hal ini, kita pun bisa meminimalisir perasaan kecewa ketika perasaan tidak berbalas. Kita jadi menyadari kalau terlepas dari semua hal yang sudah kita lakukan, orang lain berhak untuk menentukan ingin menaruh perasaannya ke siapapun.

Yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan diri sendiri, menentukan ingin sampai sejauh apa melakukan sesuatu untuk orang lain yang disayang. Hanya diri kita sendiri yang mampu menentukan sampai sejauh apa batasan ketika sedang memperjuangkan orang lain.

Jika masih mau berjuang mati-matian meskipun sudah mendapatkan respons yang negatif, ya silakan saja. Penulis tidak punya hak untuk melarang siapapun. Hanya saja, melalui tulisan ini Penulis ingin mengingatkan kalau perasaan orang lain itu ada di luar kendali kita.


Lawang, 8 Agustus 2023, terinspirasi setelah menyadari kalau perasaan orang lain itu memang ada di luar kendali kita

Foto Featured Image: Andrea Piacquadio

Continue Reading

Tentang Rasa

Kalau Sayang Seseorang, Kita Rela Berubah Jadi Lebih Baik

Published

on

Di antara dua pilihan berikut ini, coba Pembaca lebih condong yang mana: 1) Percaya bahwa kekurangan diri bisa dilengkapi oleh orang lain, atau 2) Percaya bahwa kekurangan diri hanya bisa diperbaiki oleh diri sendiri.

Kalau Penulis, tidak memilih dua-duanya. Penulis merasa dirinya lebih cocok untuk mengambil jalan tengah dari dua pilihan tersebut: Berusaha memperbaiki kekurangan diri secara mandiri demi orang lain yang disayangi.

Apa maksud dari kalimat tersebut? Pada tulisan kali ini, mumpung sudah lama tidak menulis rubrik Tentang Rasa, Penulis akan mencoba menuliskan sesuatu yang baru dirinya temukan sebagai pelajaran hidup yang berharga.

Petuah dari Kawan-Kawan

Dalam konteks pasangan, Penulis pernah mendengarkan dua opini yang saling bertolak belakang, sebagaiamana pilihan yang Penulis ajukan di awal tulisan ini. Intinya adalah bagaimana cara memperbaiki kekurangan diri sendiri.

Kawan yang satu mengatakan kalau “pasangan itu saling melengkapi” adalah hal yang salah. Menurutnya, kekurangan diri sendiri yang cuma kita yang bisa memperbaiki dan percuma berharap itu bisa diperbaiki atau diisi orang lain.

Kawan yang satu lagi (dan sudah menikah) mengatakan kalau pasangan itu mau bagaimanapun memang harus saling melengkapi. Kita sebagai manusia biasa tidak akan pernah bisa mengatasi kekurangan diri sendirian.

Mendengar dua hal tersebut, Penulis pun mengambil sebuah kesimpulan sendiri. Memang, kekurangan diri sendiri itu tanggung jawab kita sendiri. Jadi, jangan sampai itu dilimpahkan ke orang lain, bahkan ke pasangan sekalipun.

Namun, Penulis juga menyadari bahwa kita tidak akan pernah menjadi sosok sempurna yang tak punya kekurangan. Mau berusaha seperti apa, kita pasti punya kekurangan yang akan sulit untuk dihilangkan sama sekali. Lantas, harus seperti apa?

Sebuah Dorongan untuk Menjadi Lebih Baik

Akhir-akhir ini, Penulis menyadari ketika kita sayang dengan seseorang, kita jadi memiliki semacam dorongan untuk berubah menjadi lebih baik. Salah satunya adalah dengan memperbaiki kekurangan diri sendiri.

Terkadang, kita tidak menyadari kekurangan diri kita. Orang-orang terdekat kita bisa jadi akan menyadari hal tersebut duluan daripada diri kita sendiri. Untuk itu, kehadiran mereka jadi sangat mutlak dibutuhkan dalam hidup ini.

Dengan kata lain, kita tetap butuh bantuan dari orang lain untuk menyadari kekurangan diri. Hanya saja, pada akhirnya tetap diri kita sendiri yang harus berusaha untuk memperbaikinya, bukan berpangku tangan ke orang lain dan berharap mereka bisa melengkapi kekurangan tersebut.

Tentu, pada prakteknya akan ada hal yang bisa dilakukan oleh orang lain untuk memperbaiki kekurangan kita. Akan tetapi, anggap saja itu bonus dan tanggung jawabnya tetap ada di kita. Mau dibantu seperti apapun, kalau kitanya tidak mau berubah, ya percuma.

Saat Penulis menyadari kekurangan dirinya melalui orang lain, Penulis pasti merasa tertampar karena tidak menyadari hal tersebut. Pasti ada perasaan bersalah, tetapi jelas lebih penting untuk berusaha memperbaiki kekurangan tersebut demi diri sendiri dan orang tersebut.

Bukan Berarti Hidup untuk Memenuhi Ekspektasi Orang Lain

Jika rela berubah menjadi lebih baik demi orang lain, apakah artinya kita hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain? Tentu tidak seperti itu, karena hidup di bawah bayang-bayang ekspektasi orang jelas tidak menyenangkan.

Di sini, konteks yang Penulis maksud adalah berubah menjadi lebih baik demi orang lain, bukan berubah menjadi orang lain. Kalau konteks yang kedua, tentu Penulis tidak setuju karena kita tidak menjadi diri sendiri hanya demi orang lain.

Misalkan Penulis menyadari kalau egonya masih tinggi dan ternyata itu menyakiti orang lain. Kalau kita sayang dengan seseorang, tentu kita tidak ingin menyakitinya, bukan? Untuk itu, Penulis pun memutuskan untuk belajar mengurangi egonya.

Contoh lain, Penulis memiliki kekurangan tidak bisa masak sama sekali. Cara memperbaiki kekurangan tersebut bukan mencari pasangan yang jago masak, tapi belajar untuk memasak. Syukur-syukur kalau pasangannya bisa masak, Penulis jadi bisa belajar kepadanya.

Kalau misal kita diingatkan akan kekurangan diri oleh orang lain, jangan jadikan hal tersebut sebagai ekspektasi mereka ke kita. Justru, terimalah hal tersebut dengan lapang dada dan jadikan sebagai motivasi untuk memperbaiki kekurangan diri tersebut.

Penutup

Meskipun awalnya berubah demi orang lain, pada akhirnya diri kita sendiri lah yang menikmati perubahan tersebut. Menjadi lebih baik demi orang-orang yang disayang, bagi Penulis menjadi salah satu motivasi terkuat.

Tentu hal ini tidak berlaku hanya untuk pasangan saja. Ini juga bisa diterapkan untuk orang tua, keluarga, teman, dan lainnya. Intinya, orang-orang terdekat kita akan mampu memberikan kita dorongan untuk membuat kita ingin menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Terlepas dari apa yang dikatakan oleh kawan-kawan Penulis di atas, Penulis meyakini kalau memang sudah sewajarnya kita termotivasi untuk menjadi lebih baik dengan memperbaiki kekurangan diri demi orang-orang yang disayangi.


Lawang, 24 Oktober 2022, terinspirasi setelah dirinya menyadari kalau ada semacam kekuatan dan dorongan untuk menjadi lebih baik demi orang-orang yang disayanginya

Foto: Becca Tapert

Continue Reading

Tentang Rasa

Kalau Sudah Bukan Prioritas, ya Harus Ikhlas

Published

on

Ketika ditanya tentang siapa yang paling diprioritaskan, siapa yang muncul pertama kali muncul di benak Pembaca? Mungkin jawabannya akan bervariasi, mulai orang tua, keluarga, saudara, pacar, sahabat, atasan, bahkan diri sendiri.

Setiap orang berhak untuk menentukan siapa yang ingin diprioritaskan dalam hidupnya. Pasti ada yang mendasari mengapa kita memilih orang tersebut untuk diprioritaskan. Mau sesibuk apapun kita, pasti akan menyempatkan waktu untuk mereka.

Masalahnya, bagaimana jika kita tidak menjadi prioritas bagi orang yang kita prioritaskan? Nah, Penulis menemukan kalau hal ini cukup menyesakkan bagi sebagian orang, termasuk Penulis sendiri. Untuk itu, Penulis ingin sedikit membahasnya di tulisan kali ini.

Kita Tidak Punya Hak untuk Diprioritaskan Orang Lain

Terkadang, kita merasa berhak untuk diprioritaskan jika kita memprioritaskan orang tersebut. Jika kita menyempatkan waktu ketika mereka butuh kita, kita merasa kalau mereka juga harus menyempatkan waktu ketika kita butuh.

Penulis sempat (atau sampai sekarang?) memiliki pola pikir seperti ini, sehingga hubungan seolah terasa sebagai sesuatu yang bersifat transaksional. I give you this, so I will ask you for that.

Namun, ketika direnungkan lagi, sejatinya kita tidak memiliki hak untuk diprioritaskan orang lain. Kita memiliki hak untuk memilih siapa yang akan kita prioritaskan, begitu juga dengan orang lain.

Patut dicatat, hanya karena kita memprioritaskan mereka, hal tersebut tidak serta merta membuat mereka memiliki semacam kewajiban untuk memprioritaskan kita. Itu bukan berarti mereka tidak tahu balas budi, melainkan benar-benar hanya pilihan mereka.

Berharap atau bahkan menuntut prioritas dari orang lain hanya akan menimbulkan sakit hati, yang sejujurnya pernah (atau sering?) Penulis rasakan. Untuk itu, Penulis merasa harus melawannya dengan satu kata: Ikhlas.

Kalau Sudah Tidak Jadi Prioritas, ya Harus Ikhlas

Penulis yang sudah berusia 28 tahun mulai merasakan bagaimana orang-orang yang dulu dekat dengan dirinya mulai memiliki kesibukan dan dunianya masing-masing. Orang yang dulu chat setiap hari, sekarang muncul kalau butuh saja.

Seperti yang sudah Penulis singgung di atas, sempat ada perasaan sakit hati karena Penulis merasa selalu memprioritaskan mereka. Ketika merasa dirinya sudah tidak jadi prioritas mereka, perasaan kecewa pun menyeruak dari dalam tubuh.

Biasanya, ketika mengalami gejolak perasaan seperti ini, Penulis akan memutuskan untuk berhenti sejenak dan merenung. Hasilnya, Penulis pun menyadari kalau siapa prioritas orang lain bukan sesuatu yang bisa kita kendalikan.

Ini membantu Penulis untuk bisa merasa ikhlas jika merasa dirinya sudah tidak jadi prioritas bagi orang lain, termasuk orang-orang yang Penulis anggap dekat dan berharga dalam hidupnya. Tidak apa-apa, Penulis berusaha menghargai pilihan tersebut.

Lantas, apakah kita juga perlu berhenti memprioritaskan orang tersebut? Itu Penulis kembalikan ke masing-masing individu. Kalau mau tetap memprioritaskan, boleh saja asal tidak berharap apa-apa. Kalau mau berhenti juga tidak masalah sama sekali.

Bagaimana kalau sejak awal sebenarnya kita tidak pernah diprioritaskan, dan perasaan merasa diprioritaskan itu hanya dari diri sendiri? Bagaimana jika mereka hanya seolah-olah memprioritaskan kita dan sebenarnya karena mereka lagi butuh saja?

Itulah pentingnya tahu diri dan tidak berekspektasi apa-apa ke orang lain. Penulis sekarang pun menyadari, berharap diprioritaskan orang lain hanya membuat capek saja. Cukup lakukan yang terbaik dalam hidup, tanpa perlu berharap ke manusia.

Penutup

Ingin diprioritaskan oleh orang lain, terutama orang yang kita anggap spesial, adalah hal yang sangat manusiawi dan lumrah. Siapa yang tidak suka jika menjadi prioritas dan selalu ada setiap kita membutuhkan mereka?

Namun, perlu diingat kalau daftar prioritas orang lain tidak bisa kita kendalikan. Mengharapkan hal tersebut pada akhirnya hanya akan menimbulkan perasaan sakit hati dan kecewa yang akan memicu perasaan-perasaan negatif lainnya.

Untuk itu, kita harus bisa belajar ikhlas jika memang sudah tidak menjadi prioritas orang lain. Memang terkesan menyedihkan, tetapi harus kita biasakan dalam hidup. Yang penting, tetap berusaha menjadi orang baik, meskipun ke orang yang sudah tidak memprioritaskan kita.


Lawang, 24 Agustus 2022, terinspirasi setelah seorang teman mengirim sebuah quote di grup yang menjadi topik utama dari tulisan ini

Foto: Noah Silliman on Unsplash

Continue Reading

Fanandi's Choice