Tentang Rasa
Jangan Jadi Bucin
Jatuh cinta merupakan hak dari setiap individu. Kita bisa mencintai siapa saja yang berhasil memikat hati kita, selama tidak melanggar norma sosial dan agama.
Yang tidak boleh adalah mencintai secara berlebihan. Istilahnya yang populer adalah budak cinta atau sering disingkat sebagai bucin.
Berdasarkan pengalaman penulis pribadi, menjadi bucin lebih banyak membawa keburukan kepada kita. Bahkan, rasanya tidak ada sisi positif satupun dengan menjadi seorang bucin.
Apa Itu Bucin?
Seperti yang sudah penulis singgung sebelumnya, bucin merujuk kepada suatu keadaan di mana kita mencintai seseorang secara berlebihan.
Ciri-ciri dari seorang bucin antara lain rela melakukan apapun demi orang yang dicintainya, memiliki hasrat untuk selalu bersamanya, memberikan perhatian secara berlebihan, hingga selalu mengiyakan apa kata sang kekasih.
Kita seolah rela melakukan apapun demi membahagiakan dirinya, meskipun artinya kita harus mengorbankan kebahahagiaan diri kita sendiri.
Karena sikapnya tersebut, ada beberapa efek samping yang akan muncul. Contohnya, jadi melupakan teman-teman, terlihat seperti “babu” yang patuh terhadap majikannya, di kepalanya hanya ada orang yang menjadi sumber bucinnya, dan lain sebagainya.
Bucin tidak hanya berlaku kepada sepasang kekasih, tapi juga bisa ke idol. Akan tetapi, di sini penulis hanya akan berfokus pada bucin yang sedang dimabuk asmara.
Kenapa Bucin?
Ada banyak alasan mengapa seseorang menjadi bucin dan memutuskan untuk menjadi bucin. Alasan paling umum adalah karena perasaan takut mereka akan hancur jika sampai tidak bersama dengan yang terkasih.
Perasaan tidak akan menemukan orang lain sebaik dia juga menjadi salah satu bahan bakar paling ampuh untuk menjadi seorang bucin. Kita akan dibutakan oleh yang namanya cinta, walau penulis sendiri tidak yakin itu benar-benar cinta.
Bisa jadi, kita menjadi bucin karena sedang merasakan perasaan yang sebelumnya belum pernah dirasakan. Terdorong oleh rasa penasaran, terkadang kita akan cenderung nekat untuk mengekspresikan perasaan secara berlebihan.
Akibatnya, kita akan terlihat goblok dan mungkin akan jadi bahan tertawaan orang lain. Kalau kita punya teman-teman yang benar, mungkin mereka akan mengingatkan kita untuk tidak berlebihan.
Sayangnya, kita lebih memilih untuk tutup telinga dan menuruti kebucinan kita. Memang terkadang kita tidak sadar kebucinan kita ketika sedang menjadi bucin.
Jangan Jadi Bucin
Mungkin ada orang yang pernah menjadi bucin, ada yang sedang menjadi bucin, ada yang tidak pernah menjadi bucin. Penulis sendiri sudah pernah mengalami bagaimana rasanya jatuh cinta secara berlebihan dan merasa kapok.
Penulis banyak menyesali betapa bodohnya penulis di kala itu. Namun yang namanya hidup pasti berproses, menjadi bucin adalah salah satu proses tersebut.
Sebagai mantan bucin (atau sampai sekarang?), penulis mengingatkan kepada kita semua untuk tidak menjadi bucin. Hidup kita terlalu berharga untuk itu.
Mencintai seseorang merupakan hak kita sebagai manusia yang diciptakan untuk saling berpasangan. Hanya saja, jangan sampai cinta ke manusia lebih besar dari cinta kita ke Tuhan.
Bisa jadi wanita atau pria yang sedang kita puja-puja bukan yang terbaik untuk kita. Yakinlah bahwa Tuhan selalu punya rencana yang lebih baik untuk kita.
Sedih, galau, putus asa ketika putus cinta itu biasa dan sangat manusiawi. Tapi jangan sampai berpikiran bahwa hidup kita telah berakhir. Kita masih punya kehidupan yang harus dijalani tanpanya.
Kalau kita sampai menganggap tidak bisa hidup tanpanya, artinya kita telah menyekutukan Tuhan bukan?
Kebayoran Lama, 18 November 2019, terinspirasi dari apa hayo?
Foto: Pablo Heimplatz
Tentang Rasa
Ketika Mencari Pasangan Menggunakan Standar TikTok
Penulis sudah lama tidak membuka TikTok karena berbagai alasan. Namun, ada satu hal yang mendorong Penulis untuk melakukan riset ke TikTok karena ada satu komentar yang kerap muncul di berbagai media sosial lainnya: “cewek pakai standar TikTok.”
Karena sudah lama tidak membukanya, tentu Penulis sedikit kebingungan apa maksudnya, walau ada asumsi-asumsi. Penulis pun memutuskan untuk kembali membuka TikTok untuk melakukan riset dan melakukan wawancara dengan pengguna TikTok.
Ternyata, jika disimpulkan, di TikTok sering ada konten yang membahas mengenai standar-standar yang harus dipenuhi oleh pasangan. Semua konten yang Penulis temukan memiliki point of view (POV) dari sisi wanita yang menetapkan standar tertentu untuk lelakinya.
Bagaimana TikTok Berubah Menjadi Standar Pasangan
Berdasarkan hasil riset dan wawancara, Penulis menemukan fakta bahwa banyak standar yang dipasang oleh orang-orang TikTok kadang tidak masuk akal, bahkan terkesan mengada-ada. Bahayanya, standar-standar tersebut ditelan mentah-mentah oleh banyak pengguna.
Penulis menemukan satu contoh standar yang menurut Penulis sangat tidak masuk akal, yakni tentang typing atau mengetik di chat. Bayangkan, ada standar yang menyebutkan ciri-ciri typing ganteng. Masalah typing saja bisa dibilang ganteng atau tidak, bahkan bisa jadi red flag kalau tidak cocok!
Jika boleh berandai-andai, mungkin standar lain yang dianggap tidak masuk akal itu seperti berharap punya pasangan dengan sifat sesempurna mungkin, bisa memberikan uang bulanan dengan nominal fantastis, atau bahkan memiliki fisik seperit idol K-Pop. Mungkin lho, ya.
Standar ini bisa digunakan baik ketika sedang mencari atau bahkan telah memiliki pasangan. Jika belum punya, mungkin standar ini membuat mereka kesulitan menemukan pasangan. Jika sudah punya, kemungkinan besar pasangan mereka akan dituntut menjadi seperti apa yang muncul di TikTok.
Memiliki standar tertentu untuk pasangan sebenarnya adalah hal yang normal-normal saja. Penulis pun tentu memiliki standarnya sendiri. Namun, hal tersebut menjadi kurang pas apabila kita menggunakan standar orang lain yang belum tentu cocok dengan kita.
Ketika memasang standar yang begitu tinggi dalam mencari pasangan, terkadang kita lupa untuk menengok ke diri sendiri: apakah aku sudah pantas mendapatkan pasangan yang seperti yang aku standarkan tersebut?
Terlalu Demanding sampai Lupa Sadar Diri
Terkadang kita ini terlalu demanding dalam menentukan standar pasangan, sampai lupa kalau diri kita sendiri juga butuh terus meningkatkan value diri agar layak mendapatkan pasangan yang baik. Kita terlalu fokus meminta, sampai lupa kalau ada yang harus diberikan.
Berharap dapat pasangan milyader, tapi dirinya sendiri cuma hobi rebahan, ya enggak layak. Berharap dapat pasangan pekerja keras, tapi dirinya pemalas, ya enggak layak. Berharap dapat pasangan baik hati, tapi dirinya sendiri sifatnya kayak setan, ya enggak layak.
Mungkin akan ada yang berpendapat kalau selama orangnya memiliki paras rupawan, mau pemalas pun pasti bisa mendapatkan pasangan kaya. Namun, perlu diingat kalau orang kaya pasti memiliki standar yang tinggi juga.
Buat apa punya paras yang menarik, kalau value yang lain minus. Pasti ada banyak orang-orang cantik/tampan lain yang value-nya memenuhi standar. Persaingan untuk mendapatkan pasangan di dunia ini keras, jika kita tidak berusaha untuk terus meningkatkan value diri.
Jangan lupa kalau media sosial, termasuk TikTok, adalah platform yang penuh dengan “kosmetik.” Jangan langsung percaya apapun yang dilihat di sana, termasuk para kreator konten yang membuat konten tentang standar pasangan.
Jika kita menelan mentah semua apa kata orang TikTok tentang standar pasangan, alhasil standar kita pun akan menjadi tidak realistis. Ingin pasangan seperti ini itu, sampai lupa kalau setiap manusia itu memiliki plus dan minusnya masing-masing, Kok, enak mau plusnya doang?
Laki-Laki Jarang Mendapatkan Unconditional Love
Karena semua konten yang Penulis temukan membahas tentang bagaimana wanita menggunakan standar TikTok untuk menentukan kriteria pasangan, Penulis jadi ingat quote terkenal dari Chris Rock:
“Only women, children, and dogs are loved unconditionally. A man is only loved under the condition that he provide something.”
“Hanya wanita, anak-anak, dan anjing yang dicintai tanpa syarat. Seorang pria hanya dicintai dengan syarat dia memberikan sesuatu.”
Berdasarkan pengalaman pribadi dan sharing yang dilakukan orang-orang di media sosial, seringnya memang seperti itu. Seorang pria bisa mencintai seorang wanita tanpa alasan, tapi sulit terjadi sebaliknya. Mungkin ada beberapa anomali, tapi seringnya memang seperti itu.
Contohnya seperti ini. Pria bisa mencintai seorang wanita yang miskin dan menganggur, tapi hal sebaliknya jarang sekali terjadi. Wanita miskin dan nganggur pun mungkin berharap dapat suami mapan untuk mengangkat derajat dirinya dan keluarganya.
Penulis paham kalau sebenarnya tidak bisa digeneralisir seperti itu. Pria mokondo yang tanpa malu meminta uang ke pihak wanita pun banyak. Namun, di sini fokus Penulis adalah bagaimana “cewek pakai standar TikTok” memiliki begitu banyak persyaratan untuk pasangannya.
Dari dulu, pria memang seolah selalu dituntut untuk memberikan effort lebih untuk wanita. Hal tersebut tampaknya memang sudah menjadi standar sehingga diwajarkan. Penulis sendiri tidak merasa keberatan karena memang itu salah satu “risiko” menjadi seorang pria.
Namun, jika tuntutannya berlebihan, tentu hal tersebut akan memberatkan pihak prianya. Kalau sudah cinta, pria akan seolah rela melakukan apapun untuk wanitanya. Namun, kalau yang dituntut terlalu banyak, lama-lama sang pria pun akan merasa tak mampu untuk memenuhi semuanya.
Penutup
Daripada terus memasang standar yang tidak masuk akal dan mudah memberi red flag untuk hal sepele, ada baiknya kita melakukan interopeksi diri. Daripada cuma menuntut, ada baiknya kita meningkatkan value diri agar sesuai dengan standar yang kita ciptakan sendiri.
Kalau jadi sekadar referensi bagaimana menentukan standar pasangan, TikTok oke, kok. Hanya saja, kalau sampai jadi patokan yang bersifat mutlak, kok, rasanya kurang bijak, ya. Kita tidak pernah tahu bagaimana kehidupan sang pembuat standar, jadi lebih baik kita buat standar kita sendiri saja.
Kalaupun ada orang yang berlandaskan TikTok dalam menentukan kriteria pasangan, ya sudah biarkan saja. Penulis yakin ada lebih banyak orang yang tidak menggunakan TikTok semata untuk menentukan standarnya.
Lawang, 5 Juni 2024, terinspirasi setelah menemukan banyak sekali komentar mengenai “cewek pakai standar TikTok”
Foto Featured Image: WIRED
Tentang Rasa
Perasaan Orang Lain Itu Ada di Luar Kendali Kita
Ketika sedang merasa jatuh cinta ke orang lain, kita seolah memiliki kemampuan untuk melakukan apapun untuknya. Kita rela berkorban banyak hal, dengan harapan semua pemberian dan pengorbanan tersebut akan membuatnya mencintai kita juga.
Sayangnya, dalam hidup tak semuanya selalu bisa seperti itu. Terkadang dalam hidup, kita jatuh cinta kepada seseorang yang sama sekali tidak memberikan hatinya untuk kita, meskipun sudah banyak hal yang kita lakukan untuk meluluhkan hatinya.
Tentu rasanya menyedihkan sekaligus menyakitkan untuk mengalami hal tersebut. Rasanya tidak ada manusia yang ingin mengalami cinta bertepuk sebelah tangan. Namun, inilah hidup. Inilah kenyataan yang harus kita terima dan hadapi.
Padahal Sudah Banyak Berkorban
Ketika kita sedang mendekati seseorang, tentu ada banyak hal yang harus dikorbankan. Mungkin uang untuk mentraktir makan atau membelikan hadiah, tenaga untuk mengantarnya ke mana-mana, pikiran untuk membantu mengerjakan pekerjaannya, dan lain sebagainya.
Jika pikiran kita transaksional, tentu kita berharap imbalan dari semua yang sudah dilakukan tersebut. Tentu saja yang diharapkan adalah dia mau menerima perasaan kita. Sayangnya, masalah cinta sangat berbeda dengan matematika.
Meskipun kita sudah melakukan banyak hal untuknya, sebenarnya sama sekali tidak ada kewajiban untuk membalas baginya, dalam bentuk apapun. Jika dia memutuskan untuk tidak membalas, ya itu keputusan mereka yang tidak bisa diganggu gugat.
Mungkin kadang kita akan merasa tidak terima, bahkan menganggap dia adalah orang yang tidak tahu berterima kasih dan hanya memanfaatkan kebaikan kita. Lho, ya salah sendiri, kan keputusan untuk melakukan banyak hal untuknya kan keputusan kita sendiri.
Apa yang kita lakukan untuknya dilakukan dengan kesadaran diri, walau kadang memang “dibodohi” oleh perasaan cinta. Cinta memang bisa membuat orang tolol luar biasa, sehingga tak heran kita jadi punya celah untuk dimanfaatkan oleh orang lain.
Seperti kata alm. Meggy Z melalui lagu “Takut Sengsara”, percuma saja bercinta kalau kau takut sengsara. Kalau takut cinta kita tidak berbalas meskipun sudah banyak berkorban, ya jangan jatuh cinta dulu.
Apalagi, kalau kita memang sayang ke orang lain, seharusnya kita tidak merasa berkorban seperti kata Sujiwo Tejo. Ketika kita sudah merasa berkorban, mungkin itu artinya kita tidak benar-benar sayang ke orang tersebut.
Perasaan Orang Lain Itu Ada di Luar Kendali Kita
Sebenarnya sangat manusiawi jika kita ingin perasaan kita berbalas. Bahkan, rasanya tidak ada orang yang melakukan PDKT tanpa berharap upayanya berhasil. Namun, perlu diingat kalau hasilnya nanti memang ada di luar kendali kita.
Hasil dari PDKT tentu saja bergantung kepada perasaan orang lain, yang tentu saja juga tidak bisa kita kendalikan. Kita bisa melakukan apapun untuk berusaha mengubah perasaan tersebut, tetapi hasil akhirnya tetap di luar kendali kita.
Dengan memahami hal ini, kita pun bisa meminimalisir perasaan kecewa ketika perasaan tidak berbalas. Kita jadi menyadari kalau terlepas dari semua hal yang sudah kita lakukan, orang lain berhak untuk menentukan ingin menaruh perasaannya ke siapapun.
Yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan diri sendiri, menentukan ingin sampai sejauh apa melakukan sesuatu untuk orang lain yang disayang. Hanya diri kita sendiri yang mampu menentukan sampai sejauh apa batasan ketika sedang memperjuangkan orang lain.
Jika masih mau berjuang mati-matian meskipun sudah mendapatkan respons yang negatif, ya silakan saja. Penulis tidak punya hak untuk melarang siapapun. Hanya saja, melalui tulisan ini Penulis ingin mengingatkan kalau perasaan orang lain itu ada di luar kendali kita.
Lawang, 8 Agustus 2023, terinspirasi setelah menyadari kalau perasaan orang lain itu memang ada di luar kendali kita
Foto Featured Image: Andrea Piacquadio
Tentang Rasa
Kalau Sayang Seseorang, Kita Rela Berubah Jadi Lebih Baik
Di antara dua pilihan berikut ini, coba Pembaca lebih condong yang mana: 1) Percaya bahwa kekurangan diri bisa dilengkapi oleh orang lain, atau 2) Percaya bahwa kekurangan diri hanya bisa diperbaiki oleh diri sendiri.
Kalau Penulis, tidak memilih dua-duanya. Penulis merasa dirinya lebih cocok untuk mengambil jalan tengah dari dua pilihan tersebut: Berusaha memperbaiki kekurangan diri secara mandiri demi orang lain yang disayangi.
Apa maksud dari kalimat tersebut? Pada tulisan kali ini, mumpung sudah lama tidak menulis rubrik Tentang Rasa, Penulis akan mencoba menuliskan sesuatu yang baru dirinya temukan sebagai pelajaran hidup yang berharga.
Petuah dari Kawan-Kawan
Dalam konteks pasangan, Penulis pernah mendengarkan dua opini yang saling bertolak belakang, sebagaiamana pilihan yang Penulis ajukan di awal tulisan ini. Intinya adalah bagaimana cara memperbaiki kekurangan diri sendiri.
Kawan yang satu mengatakan kalau “pasangan itu saling melengkapi” adalah hal yang salah. Menurutnya, kekurangan diri sendiri yang cuma kita yang bisa memperbaiki dan percuma berharap itu bisa diperbaiki atau diisi orang lain.
Kawan yang satu lagi (dan sudah menikah) mengatakan kalau pasangan itu mau bagaimanapun memang harus saling melengkapi. Kita sebagai manusia biasa tidak akan pernah bisa mengatasi kekurangan diri sendirian.
Mendengar dua hal tersebut, Penulis pun mengambil sebuah kesimpulan sendiri. Memang, kekurangan diri sendiri itu tanggung jawab kita sendiri. Jadi, jangan sampai itu dilimpahkan ke orang lain, bahkan ke pasangan sekalipun.
Namun, Penulis juga menyadari bahwa kita tidak akan pernah menjadi sosok sempurna yang tak punya kekurangan. Mau berusaha seperti apa, kita pasti punya kekurangan yang akan sulit untuk dihilangkan sama sekali. Lantas, harus seperti apa?
Sebuah Dorongan untuk Menjadi Lebih Baik
Akhir-akhir ini, Penulis menyadari ketika kita sayang dengan seseorang, kita jadi memiliki semacam dorongan untuk berubah menjadi lebih baik. Salah satunya adalah dengan memperbaiki kekurangan diri sendiri.
Terkadang, kita tidak menyadari kekurangan diri kita. Orang-orang terdekat kita bisa jadi akan menyadari hal tersebut duluan daripada diri kita sendiri. Untuk itu, kehadiran mereka jadi sangat mutlak dibutuhkan dalam hidup ini.
Dengan kata lain, kita tetap butuh bantuan dari orang lain untuk menyadari kekurangan diri. Hanya saja, pada akhirnya tetap diri kita sendiri yang harus berusaha untuk memperbaikinya, bukan berpangku tangan ke orang lain dan berharap mereka bisa melengkapi kekurangan tersebut.
Tentu, pada prakteknya akan ada hal yang bisa dilakukan oleh orang lain untuk memperbaiki kekurangan kita. Akan tetapi, anggap saja itu bonus dan tanggung jawabnya tetap ada di kita. Mau dibantu seperti apapun, kalau kitanya tidak mau berubah, ya percuma.
Saat Penulis menyadari kekurangan dirinya melalui orang lain, Penulis pasti merasa tertampar karena tidak menyadari hal tersebut. Pasti ada perasaan bersalah, tetapi jelas lebih penting untuk berusaha memperbaiki kekurangan tersebut demi diri sendiri dan orang tersebut.
Bukan Berarti Hidup untuk Memenuhi Ekspektasi Orang Lain
Jika rela berubah menjadi lebih baik demi orang lain, apakah artinya kita hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain? Tentu tidak seperti itu, karena hidup di bawah bayang-bayang ekspektasi orang jelas tidak menyenangkan.
Di sini, konteks yang Penulis maksud adalah berubah menjadi lebih baik demi orang lain, bukan berubah menjadi orang lain. Kalau konteks yang kedua, tentu Penulis tidak setuju karena kita tidak menjadi diri sendiri hanya demi orang lain.
Misalkan Penulis menyadari kalau egonya masih tinggi dan ternyata itu menyakiti orang lain. Kalau kita sayang dengan seseorang, tentu kita tidak ingin menyakitinya, bukan? Untuk itu, Penulis pun memutuskan untuk belajar mengurangi egonya.
Contoh lain, Penulis memiliki kekurangan tidak bisa masak sama sekali. Cara memperbaiki kekurangan tersebut bukan mencari pasangan yang jago masak, tapi belajar untuk memasak. Syukur-syukur kalau pasangannya bisa masak, Penulis jadi bisa belajar kepadanya.
Kalau misal kita diingatkan akan kekurangan diri oleh orang lain, jangan jadikan hal tersebut sebagai ekspektasi mereka ke kita. Justru, terimalah hal tersebut dengan lapang dada dan jadikan sebagai motivasi untuk memperbaiki kekurangan diri tersebut.
Penutup
Meskipun awalnya berubah demi orang lain, pada akhirnya diri kita sendiri lah yang menikmati perubahan tersebut. Menjadi lebih baik demi orang-orang yang disayang, bagi Penulis menjadi salah satu motivasi terkuat.
Tentu hal ini tidak berlaku hanya untuk pasangan saja. Ini juga bisa diterapkan untuk orang tua, keluarga, teman, dan lainnya. Intinya, orang-orang terdekat kita akan mampu memberikan kita dorongan untuk membuat kita ingin menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Terlepas dari apa yang dikatakan oleh kawan-kawan Penulis di atas, Penulis meyakini kalau memang sudah sewajarnya kita termotivasi untuk menjadi lebih baik dengan memperbaiki kekurangan diri demi orang-orang yang disayangi.
Lawang, 24 Oktober 2022, terinspirasi setelah dirinya menyadari kalau ada semacam kekuatan dan dorongan untuk menjadi lebih baik demi orang-orang yang disayanginya
Foto: Becca Tapert
-
Film & Serial4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Menonton Deadpool & Wolverine
-
Film & Serial3 bulan ago
Gara-Gara Black Myth: Wukong, Saya Jadi Rewatch Kera Sakti
-
Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Teruslah Bodoh Jangan Pintar
-
Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #22: Chinatown
-
Politik & Negara4 bulan ago
Peringatan Darurat: Apa Memang Sedarurat Itu Situasi Politik Saat Ini?
-
Non-Fiksi3 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Ngomongin Uang
-
Olahraga5 bulan ago
Kemenangan Perdana yang Awkward Bagi Oscar Piastri di Formula 1
-
Musik3 bulan ago
Menatap Era Baru Linkin Park Bersama Emily Armstrong