Olahraga
Satu Nyawa untuk Sepak Bola Itu Terlalu Banyak
Kejadian tragis kembali menimpa sepak bola Indonesia, ketika ratusan suporter Arema meninggal dunia setelah timnya dikalahkan oleh Persebaya dengan skor 2-3. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi kejadian ini, yang akan Penulis bahas di bawah nanti.
Berita ini menarik perhatian banyak pihak, termasuk media luar negeri. Hal tersebut wajar, mengingat jumlah korban tewas mencapai ratusan dan masih ada banyak korban luka-luka yang masih mendapatkan perawatan.
Bahkan, jumlah korban pada kejadian menjadi yang terbanyak nomor dua di dunia setelah peristiwa di Estadio Nacional, Lima, Peru, yang terjadi pada tanggal 24 Mei 1964 dengan total korban meninggal dunia 328 orang.
Sepak bola harusnya menyebarkan kebahagiaan dan suka cita bagi penontonnya, bukan merenggut nyawa seperti ini.
Kronologi Kejadian Kematian Ratusan Suporter Arema

Semua berawal dari kekalahan Arema atas Persebaya di Stadion Kanjuruhan dengan skor 2-3. Ini menambah rentetan hasil buruk klub kebanggaan arek Malang tersebut, di mana pada lima pertandingan terakhir hanya bisa meraih satu kemenangan dan menelan tiga kekalahan.
Hasil buruk inilah yang memicu turunnya suporter Arema ke lapangan setelah pertandingan usai. Mereka mengungkapkan kekesalan dan frustasi mereka, bahkan katanya mereka ingin bertanya kepada pemain kenapa bisa sampai kalah.
Melihat hal ini, polisi pun langsung bergerak dan melakukan antisipasi. Awalnya lewat cara persuasif, tetapi gagal karena oknum suporter makin rusuh dan mulai melakukan perusakan, baik ke properti stadion maupun mobil polisi. Bentrok antara suporter dan polisi pun tak terhindarkan.
Kerusuhan inilah yang memicu pihak kepolisian akhirnya menembakkan gas air mata. Naasnya, gas air mata tersebut juga sampai ke tribun dan menimbulkan kepanikan. Penonton di tribun pun mulai berdesak-desakkan untuk keluar stadion.
Alhasil, timbullah penumpukan di pintu keluar dan membuat banyak orang merasa sesak dan pingsan. Banyak yang terinjak-injak. Ratusan nyawa melayang. Indonesia dan dunia sepak bola berduka cita untuk sebuah tragedi yang benar-benar menyayat hati.
Siapa yang Salah?

Setelah peristiwa ini terjadi, tentu muncul satu pertanyaan besar: Siapa yang salah? Setelah ditelusuri, ternyata ada banyak faktor yang menyebabkan melayangnya nyawa ratusan Aremania, sebutan untuk suporter Arema.
Pertama, suporter yang rusuh dengan turun ke lapangan. Jumlah mereka sekitar tiga ribu orang menurut pernyataan kepolisian, dari total 40 ribuan penonton. Aksi mereka yang mengarah ke anarki membuat kepolisian harus melakukan tindakan.
Sayangnya, tindakan yang dipilih adalah menembakkan gas air mata. Padahal, FIFA Stadium Safety and Security Regulations Pasal 19 b berbunyi: ‘No firearms or “crowd control gas” shall be carried or used’.
Artinya, penggunaan senjata api ataupun gas untuk mengendalikan masa tidak boleh digunakan. Namun, polisi berdalih terpaksa melakukan hal tersebut karena suporter Arema sudah menyerang petugas dan merusak mobil di lapangan.
Pihak klub juga disorot. Menurut pernyataan Mahfud MD, Stadion Kanjuruhan hanya berkapasitas 38 ribu orang, tetapi tiket yang dijual mencapai 42 ribu orang. Dengan begitu, bisa dibayangkan betapa padatnya di sana ketika para penonton pada berhamburan keluar.
PT Liga Indonesia Baru (PT LIB) juga dikecam karena menolak usulan kepolisian agar memajukan jam pertandingan ke sore hari. Padahal, hal tersebut adalah bentuk antisipasi kerusuhan, tetapi PT LIB terkesan lebih mementingkan rating.
Jadi jika ditanya yang salah, peristiwa menyedihkan ini adalah konsekuensi dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh banyak pihak. Nyawa sudah melayang, lebih baik kita jadikan peristiwa hari ini sebagai bahan interopeksi masing-masing.
Fanatisme yang Berlebihan Tidak Pernah Baik

Peristiwa yang terjadi pada suporter Arema ini seolah mengingatkan kita bahwa fanatisme yang berlebihan terhadap apapun itu tidak pernah berakhir dengan baik. Kita harus mengetahui batasan-batasan agar hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.
Suporter yang merasa kecewa dan frustasi dengan permainan buruk yang ditampilkan oleh klub kesayangannya adalah hal yang lumrah. Penulis entah berapa kali mengungkapkan kekecewaannya ketika Manchester United (MU) bermain dengan sangat buruk.
Namun, cara penyampaian kekecewaan dan perasaan frustasi tersebut tentu harus dengan cara-cara yang baik dan benar, bukan dengan kekerasan atau cara-cara kotor lain yang bisa menimbulkan efek domino.
Ironinya, kerusuhan yang ditimbulkan oleh beberapa oknum suporter (dan mungkin terselip provokator-provokator) berdampak sangat parah kepada suporter lain yang mungkin sebenarnya tidak terlibat dalam kerusuhan tersebut.
Mereka hanya panik dengan kejadian di lapangan, sehingga ingin keluar dari stadion secepat mungkin. Kekacauan demi kekacauan membuat situasi benar-benar tidak kondusif. Entah berapa orang yang menangis karena ditinggal oleh anggota keluarganya untuk selamanya.
Penutup
Dengan adanya kejadian ini, akhirnya Liga 1 akan dihentikan selama satu minggu. Semua pertandingan akan ditunda untuk waktu yang belum ditentukan. Itu merupakan keputusan yang tepat, bahkan kalau perlu ditunda lebih lama hingga situasi lebih kondusif.
Pihak manajemen Arema juga sudah membuat pernyataan kalau mereka akan bertanggung jawab atas kejadian ini, baik kepada korban yang telah meninggal ataupun sedang dirawat. Mereka juga akan membuka crisis center agar masyarakat bisa mendapatkan informasi.
Penulis mengucapkan ucapan duka cita dari hati yang paling dalam untuk korban-korban yang meninggal dunia akibat peristiwa ini. Penulis juga berdoa agar keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan ketabahan dalam menerima musibah ini.
Semoga saja tragadi sepak bola ini mampu menjadi tamparan keras untuk kita agar berbenah dan bisa menciptakan iklim sepak bola yang lebih sehat. Satu nyawa untuk sepak bola itu terlalu banyak.
Lawang, 2 Oktober 2022, terinspirasi setelah membaca berita tentang banyaknya suporter Arema yang meninggal
Foto: Arema FC
Sumber Artikel:
- 127 Orang Tewas, Tragedi di Stadion Kanjuruhan Nomor Dua Paling Mengerikan di Dunia | Republika Online
- Kronologi Penyebab 127 Orang Meninggal Dunia dalam Kerusuhan Laga Arema FC vs Persebaya Surabaya : Okezone Bola
- Larangan FIFA dan Alasan Polisi Gunakan Gas Air Mata di Kanjuruhan (detik.com)
- Mahfud soal Tragedi Kanjuruhan: Kapasitas 38 Ribu, Cetak Tiket 42 Ribu (cnnindonesia.com)
- Ini Bukti Polisi Minta Percepat Arema Vs Persebaya, Ditolak PT LIB (detik.com)
- Pernyataan Arema FC Terkait Tragedi Kanjuruhan (detik.com)
Olahraga
Kita Selalu Senang Jika Ada Pembalap yang Raih Podium Perdana
GP Meksiko yang berlangsung pada hari Minggu (26/10) kemarin berlangsung cukup seru dan penuh drama. Lando Norris memang berhasil menjadi juara sekaligus menyalip Oscar Piastri di klasemen, tapi di belakangnya ada banyak hal yang terjadi.
Penulis tidak akan membahas satu-satu, tapi hanya ingin mengutarakan perasaan “aduh sedikit lagi” kepada Oliver Bearman, pembalap rookie dari Haas yang nyaris saja meraih podium perdananya (sekaligus podium perdana Haas sebagai tim).
Sepanjang balapan, ia yang start dari peringkat 10 berhasil berada di posisi empat cukup lama. Banyak yang sudah berharap ia akan podium, karena Lewis Hamilton terkena penalti 10 detik. Sayangnya, ia kalah strategi dari Max Verstappen yang berhasil merebut podium.
Seandainya saja Bearman berhasil podium, maka ia akan menjadi pembalap “baru” selanjutnya yang akan merasakan bagaimana berdiri di atas podium F1 untuk pertama kalinya. Musim 2025 ini memang seolah menjadi ajang para rookie (dan satu veteran) untuk merasakan nikmatnya podium.
Siapa Saja Pembalap Baru yang Naik Podium?

Di awal musim, persaingan seolah mengerucut antara duo McLaren melawan Verstappen saja. Hal itu terbukti dengan persaingan gelar juara pembalap saat ini, di mana mereka bertiga masih saling mengejar. Apalagi, McLaren telah mengunci gelar juara konstruktor.
Selain mereka, hanya ada dua pembalap yang bisa rutin naik ke podium, yakni George Russel (Mercedes) dan Charles Leclerc (Ferrari). Mantan juara dunia 7 kali, Lewis Hamilton, masih berusaha untuk meraih podium perdana bersama tim barunya, Ferrari.
Walaupun peserta podium terkesan monoton, setidaknya ada beberapa nama baru yang berhasil meraih podium perdananya. Ada juga pembalap yang berhasil meraih podium perdana bersama tim barunya (bukan, bukan Hamilton), dan kebetulan podium ketiga semua.
Yang pertama ada Kimi Antonelli dari Mercedes, yang juga merupakan pembalap paling muda di grid (kelahiran 2006, seumuran sama Carmen H2H). Ia berhasil meraih podium perdananya di GP Kanada, ketika rekan setimnya berhasil menjadi juara.
Selanjutnya ada pembalap veteran Niko Hulkenberg dari Kick Sauber. Setelah 239 balapan tanpa pernah sekalipun podium, ia berhail meraihnya di GP Inggris secara spektakuler. Bahkan, ada banyak momen lucu karena itu adalah pengalaman pertamanya!
Rookie selanjutnya yang berhasil meraih podium adalah Isack Hadjar dari Racing Bull. Ia berhasil meraih podium perdananya di GP Belanda setelah menjalani balapan yang spektakuler. Bisa dibilang, rookie tahun ini memang banyak yang menjanjikan.
Nah, nama terakhir yang “baru” mencicipi podium bersama tim barunya adalah Carlos Sainz Jr. bersama William. Tentu Sainz sudah cukup kenyang meraih podium, bahkan memenangkan balapan, tapi meraihnya bersama tim baru tentu tetap terasa istimewa.
Berhubung juara satunya berputar antara Norris, Piastri, dan Verstappen (juga Russel yang raih dua kemenangan), menantikan apakah akan ada pembalap baru lain yang akan naik podium menjadi keseruan tersendiri bagi penggemar F1, atau setidaknya bagi Penulis.
Mengapa Kita Suka Jika Ada Pembalap Baru yang Raih Podium Perdana?

Jika mengamati kolom komentar di konten F1 ketika ada pembalap baru yang raih podium perdana, mayoritas isinya positif dan sangat mengapresiasi. Meskipun pendukung pembalap lain, pujian tak akan sungkan untuk dilemparkan ke mereka.
Cinderella story seperti ini sebenarnya memang menjadi favorit banyak orang, termasuk Penulis. Berapa banyak penggemar Liga Inggris yang girang ketika Leicester City menjadi juara secara mengejutkan di musim 2015/2015? Hampir semua!
Hal yang sama juga terjadi di F1. Mungkin kita masih ingat bagaimana Cinderella Story di tahun 2009, ketika tim baru Brawn GP secara mengejutkan berhasil mendominasi musim, dengan Jenson Button keluar sebagai juara dunia. Brawn GP pun akhirnya menjadi Mercedes.
Mungkin kalau sekarang, keajaiban seperti itu sudah sulit untuk terulang. Yang ada, justru dominasi tim-tim tertentu yang seolah sulit untuk dikejar oleh tim lain. Lihat saja 7 tahun dominasi Mercedes (2014-2021), dominasi Verstappen, dan kini dominasi McLaren.
Oleh karena itu, wajar jika banyak penggemar F1 menyukai kejutan-kejutan kecil ketika ada pembalap baru yang berhasil meraih podium perdananya. Siapapun yang mendapatkannya, semua akan ikut senang. Kok kita, sesama pembalap aja ikut senang.
Penampilan para rookie yang menjanjikan jelas menjadi tontonan yang menyenangkan, karena mereka adalah produk regenerasi pembalap-pembalap senior yang (mungkin) masa depannya cerah.
Raihan podium di Hulkenberg di GP Inggris yang diguyur hujan juga menjadi sorotan yang sangat menarik. Ia mengendarai salah satu mobil terburuk di grid, mungkin hanya lebih baik dari Alpine di musim ini. Hebatnya lagi, ia start dari peringkat 19!
Mungkin karena ada hal-hal tak terduga seperti inilah Penulis menjadi penggemar F1, tentu selain keseruan ketika balapan. Penulis tak akan pernah bosan menanti akan ada nama baru yang berhasil naik ke podium dengan tersenyum penuh.
Lawang, 29 Oktober 2025, terinspirasi setelah Oliver Bearman nyaris podium di GP Meksiko kemarin
Olahraga
Sudah Tak Tahu Lagi Apa yang Harus Diubah dari Tim Ini
Hari Senin telah menjadi momok yang mengerikan bagi penggemar Manchester United (MU). Pasalnya, mood kami ditentukan oleh hasil yang diperoleh tim yang bermain di hari Minggu. Seperti yang kita tahu, hasilnya lebih sering kalahnya.
Terbaru, MU baru saja dihancurleburkan oleh tim sekota Manchester City dengan skor telak 0-3 pada hari Minggu (14/9) kemarin yang berlangsung di Etihad Stadium. Erling Haaland mencetak brace, sedangkan satu gol lagi disumbang Phil Foden.
Dengan hasil tersebut, MU kembali mencetak rekor baru, yakni awal musim terburuk di era Premiere League dengan hanya mencatatkan empat poin dari empat pertandingan awal dan hanya bisa bertengger di peringkat 14.
Pertanyaan pun muncul: apalagi yang harus diubah dari tim ini?
Padahal Pelatih dan Pemain Sudah Diganti

Saat Ruben Amorim masuk menggantikan Erik Ten Hag, banyak optimisme yang muncul dari penggemar, apalagi jika mengingat prestasi menterengnya sewaktu melatih Sporting Lisbon. Sebenarnya ini selalu terjadi setiap ada pelatih baru yang masuk.
Formasi yang digunakan pun berubah drastis, dari 4-2-3-1 menjadi 3-4-2-1 (ada juga yang menganggap 3-4-3). MU yang bertahun-tahun menggunakan formasi empat bek pun tentu harus melakukan adaptasi.
Oleh karena itu, ketika masuk di tengah musim dan MU meraih hasil yang sangat buruk di bawah Amorim, penggemar masih bisa memberi toleransi. Berada di peringkat 15 di akhir musim jelas memalukan, tapi Amorim masih baru, sehingga butuh waktu dulu.
Di awal musim 2025/26, optimisme masuk dengan serangkaian hasil positif di pra-musim. Banyak pemain baru didatangkan, mulai dari Matheus Cunha (Wolverhampton), Bryan Mbuemo (Brentford), Benjamin Sesko (RB Leipzig), hingga terbaru kiper Senne Lammens (Royal Antwerp).
Sebaliknya, pemain-pemain yang dianggap bermasalah pada dilepas atau dipinjamkan, mulai dari Marcus Rasford (loan ke Barcelona), Antony (dijual ke Real Betis), Jadon Sancho (loan ke Aston Villa), Alejandro Garnacho (dijual ke Chelsea), Rasmus Hojlund (loan ke Napoli), hingga Andre Onana (loan ke Trabzonspor).
Hasilnya? Ternyata tetap saja kacau. Saat kalah 0-1 atas Arsenal di laga pembuka, masih banyak pendukung MU yang masih optimis, bahkan mengapresiasi permainan MU yang lebih mengalir daripada musim sebelumnya.
Namun, setelah hasil imbang melawan Fulham (1-1) dan menang susah payah atas tim promosi Burnley (3-2) seolah menyadarkan kami akan realita yang ada. Belum lagi kekalahan memalukan dari tim divisi empat Grimsby di ajang Carabao Cup.
Kekalahan 0-3 dari Manchester City seolah menjadi puncak dari rentetan hasil buruk ini. Pertandingan selanjutnya akan mempertemukan MU dan Chelsea yang masih belum terkalahkan. Penulis sudah pasrah kalau tim ini akan kembali menelan kekalahan.
Rekor Buruk Amorim yang Seolah Tak Kunjung Usai

Amorim tentu menjadi pihak yang paling disorot atas performa buruk tim sepanjang 2025. Tak hanya itu, ia seolah tak pernah kehabisan rekor buruk untuk dipecahkan. Bayangkan, ia menjadi pelatih pasca-Alex Ferguson dengan winrate terendah, yakni 36.17%.
Dari 47 laga yang sudah dijalani Amorim, hanya 17 yang berujung dengan kemenangan. Itu pun mayoritas saat menghadapi klub-klub yang secara market value berada di bawah MU. Amorim sudah mengalami 18 kekalahan, sedangkan sisanya berakhir seri.
Jika hanya melihat statistik di Premier League, hasilnya lebih mengenaskan. Dari 31 laga, Amorim hanya berhasil mencatatkan 8 kemenangan atau setara 25% winrate. Sekitar 50% pertandingan MU (16 laga) harus berakhir dengan kekalahan.
Lini depan MU yang sudah mendapat suntikan tiga pemain baru pun patut dipertanyakan. Baru empat gol yang tercipta dalam empat pertandingan awal di Premier League, itu pun yang dua disumbang dari gol bunuh diri lawan dari satu penalti.
Satu-satunya gol yang tercipta dari open play adalah gol dari Mbuemo saat berjumpa dengan Burnley. Bayangkan, dari empat pertandingan, baru ada satu gol dari open play. Ini sangat menggambarkan betapa buruknya lini depan MU dalam urusan mencetak gol.
Keputusan Amorim yang tetap memaksakan formasi 3-4-2-1 pun dipertanyakan: mengapa tetap memaksakan formasi tersebut ketika hasilnya buruk terus? Mengharapkan hasil yang sama dengan usaha yang berbeda tentu merupakan hal yang konyol.
Bisa jadi, Amorim memang tidak memiliki strategi lain selain filosofi sepak bola yang dianutnya tersebut. Ia bukan tipe pelatih yang fleksibel dalam menerapkan strategi, sehingga terus memaksa MU yang tak pernah bermain dengan formasi tiga bek sebelumnya.
Xabi Alonso menggunakan formasi tiga bek waktu di Bayer Leverkusen, tapi mengubah taktiknya menjadi empat bek sewaktu pindah ke Real Madrid. Arne Slot pun menggunakan formasi yang menyesuaikan dengan daftar pemainnya, dan berhasil juara Premier League.
Walau begitu, seandainya Amorim akhirnya mencoba strategi baru, Penulis tetap pesimis hasilnya akan berubah. Pasti tim jadi butuh waktu lagi buat beradaptasi dan alhasil rentetan hasil buruk pun akan tetap datang.
Ujung-ujungnya, Penulis merasa Amorim akan dipecat dan diganti pelatih baru lagi. Setelah itu, MU akan kembali butuh proses adaptasi lagi, lalu meraih hasil buruk lagi, hingga akhirnya ganti pelatih lagi. Ini sudah berlangsung selama satu dekade terakhir.
Jujur saja, Penulis (dan rasanya mayoritas pendukung MU) sudah tak merasakan emosi apa-apa ketika melihat tim ini kalah. Kami seolah hanya sedang menanti keajaiban agar tim ini bisa berubah menjadi lebih baik lagi, entah kapan.
Boro-boro tsunami trofi yang selalu digaungkan di awal musim, yang ada trofi-trofinya tersapu tsunami karena buruknya permainan MU. Kalau sudah seperti ini, tidak degradasi pun sudah alhamdulillah buat Penulis.
Lawang, 15 September 2025, terinspirasi setelah menonton kekalahan Manchester United semalam atas Manchester City
Foto Featured Image: Liputan6
Olahraga
Tergelincirnya Para Rookie F1 di Balapan Debut Mereka
Formula 1 (F1) akhirnya mulai kembali, di mana Australia menjadi venue pertama seperti yang sudah sering terjadi. Menariknya, entah ingatan Penulis yang salah atau gimana, balapan di Australia tahun ini terjadi lebih awal, yakni pukul 11:00 WIB.
Musim 2025 ini memang sering dianggap “nanggung” karena ini adalah musim terakhir sebelum peralihan ke musim 2026 dengan regulasi baru. Namun, dari balapan pertama ini, rasanya musim ini cukup seru untuk dinikmati.
Di tengah guyuran hujan yang labil (bahkan sinar matahari sempat terlihat di tengah-tengah hujan), Lando Norris berhasil meraih kemenangan kelima sepanjang kariernya. Kemenangan ini terasa istimewa, mengingat banyaknya “drama” yang terjadi sepanjang balapan.

Beda Nasib Para Rookie di Balapan Debut

Salah satu hal yang membuat musim 2025 terasa seru adalah banyaknya kehadiran para rookie baru. Meskipun beberapa sudah pernah mencicipi kursi F1, baru di musim inilah mereka hadir dengan status pembalap utama untuk satu musim penuh.
Daftar para pembalap rookie musim ini adalah:
- Andrea Kimi Antonelli – Mercedes
- Jack Doohan – Alpine
- Isack Hadjar – Racing Bulls
- Liam Lawson – Red Bull
- Gabriel Bortoleto – Sauber
- Oliver Bearman – Haas
Dari nama-nama di atas, ada beberapa nama yang tidak asing seperti Lawson yang menggantikan Daniel Ricciardo di tengah musim 2024 dan Bearman yang sempat menggantikan Carlos Sainz di Ferrari ketika ia harus menjalani operasi usus buntu.
Lantas, bagaimana debut para pembalap rookie di atas? Sayangnya berjalan kurang baik karena mayoritas dari mereka gagal finis! Sirkuit yang basah tampaknya memang menjadi momok yang menakutkan bagi mereka.
Dimulai dari Hadjar yang harus selip ketika Formation Lap. Iya, bahkan ketika balapan belum mulai, ia sudah harus tersingkir dari balapan! Hal tersebut tampaknya sangat melukainya, karena beberapa kali ia tertangkap kamera sedang menangis setelah insiden tersebut.
Ketika balapan akhirnya diulangi, di lap pertama Doohan juga menyusul! Menariknya, ketika Safety Car keluar, Sainz yang kini membela William juga terpelintir. Ini menunjukkan bahwa pembalap senior pun kesulitan untuk balapan di Albert Park siang tadi.
Menjelang balapan, ada dua nama yang menyusul, yakni Bortoleto dan Lawson, yang sama-sama tergelincir. Artinya, hanya ada dua nama rookie yang berhasil finis, yakni Bearman dan Antonelli. Bearman pun hanya bisa finis di peringkat terakhir (14).
Untuk kasus Antonelli bisa dibilang sedikit unik. Ia menjalani kualifikasi yang tidak begitu baik, sehingga harus tercecer di peringkat 16. Walaupun ia berhasil naik perlahan, tapi ia terlihat kesulitan untuk bisa sekadar menembus 10 besar.
Nah, entah bagaimana, ketika terjadi chaos yang mengakibatkan keluarnya Safety Car untuk ketiga kalinya, si Antonelli ini tiba-tiba bisa merangkak naik ke peringkat empat! Sempat terkena penalti lima detik, pada akhirnya penalti tersebut dicabut oleh FIA.
Tentu mendapatkan 12 poin di debut merupakan prestasi yang bisa dibanggakan oleh Antonelli, apalagi jika melihat para rekan sejawatnya yang banyak tergelincir. Namun, ini masih balapan pertama, jadi rasanya kita belum bisa nge-judge mereka.
Performa Super dari Lando Norris

Selain membicarakan para rookie, yang tak kalah seru adalah balapan itu sendiri. Apresiasi harus diberikan kepada Lando Norris yang, walau mengaku sering melakukan kesalahan, berhasil mempertahankan posisinya hingga akhir balapan.
Selama ini, Norris kerap dicap kurang tenang dan tak bisa menghadapi tekanan. Apalagi di cuaca hujan seperti tadi siang, tentu kita ingat bagaimana “tragisnya” ia ketika menolak untuk masuk pit dan akibatnya mobilnya tergelincir keluar arena.
Namun, ia berhasil membuktikan bahwa ia telah berkembang dan menjadi lebih dewasa. Performanya patut diacungi jempol, apalagi jika melihat rekan setimnya Oscar Piastri yang juga sempat terpeleset walaupun berhasil kembali dan finis di peringkat ke-9.
Sejujurnya, Penulis menjagokan Piastri untuk menang di balapan kali ini. Apalagi, ini adalah balapan kandangnya, sehingga kemenangan di sana pasti akan menjadi kado manis untuk para penggemar F1 di sana. Tak apa, masih ada musim depan, mengingat kontraknya di McLaren juga baru diperpanjang.
Hilangnya Dominasi Red Bull

Nah, di belakang Norris ada Max Verstappen sang juara bertahan. Sejak pra-musim, kita sudah mendapatkan feeling kalau ia dan Red Bull tak akan segahar musim-musim sebelumnya. Namun, yang namanya Verstappen, meskipun mobilnya bobrok sekalipun masih bisa minimal podium.
Kebobrokan mobil Red Bull bisa dilihat dari performa Lawson, yang di babak kualifikasi hanya bisa berhasil mendapatkan posisi ke-18. Bahkan, banyak jokes yang beredar kalau Lawson hanya second account dari Sergio Perez! Namun, ini kan baru balapan pertama.
Banyak yang menuding kalau ini terjadi karena sejak dulu, Red Bull terlalu Verstappen-sentris. Jadi, kecuali Red Bull menemukan pembalap yang memiliki gaya balap seperti Verstappen, maka hasilnya akan selalu njomplang seperti ini.
Memang, Verstappen adalah salah satu talenta terbaik yang pernah ada di F1. Tak ada yang meragukan kemampuannya, sehingga keputusan Red Bull untuk menganakemaskannya bisa dimaklumi. Namun, jika Red Bull ingin juara konstruktor, mereka butuh dua pembalap yang mampu konsisten menyumbang poin.
Ferrari yang Masih Lawak

Selain banyaknya rookie, salah satu yang membuat musim 2025 menjadi menarik adalah kehadiran Sir Lewis Hamilton yang berpindah tim ke Ferrari. Tentu banyak fans Ferrari dan Hamilton yang ingin melihat mereka menjadi juara musim ini.
Namun, kenyataannya ternyata tak seindah harapan. Di balapan pertamanya saja, mereka kembali melawak. Yang paling lucu tentu saja interaksi antara Charles Leclerc dan timnya di radio, ketika ia mengeluhkan adanya genangan air di dalam cockpit-nya.
Untuk memahami konteksnya, bisa dilihat di bawah ini:
- Charles Leclerc: “Ini ada bocor nggak, ya?”
- Engineer: “Bocor apaan?”
- Charles: “Lah, kokpit gue penuh air, bro!”
- Engineer: “Hmm… mungkin aja air.”
- Charles: “Mantap. Tambahin deh yang ini ke daftar kata-kata bijak.”
Kita bisa merasakan bagaimana sarkasme dilontarkan oleh Leclerc kepada timnya. Mengingat ia sudah cukup lama bersama Ferrari, tampaknya kesabarannya sudah benar-benar terlatih untk menghadapi hal lucu yang dilakukan oleh timnya.
Hamilton pun menjalani debutnya bersama Ferrari dengan kurang baik. Ia stuck di barisan tengah dan beberapa kali menyampaikan keluhan terhadap mobilnya. Bahkan di akhir balapan, ia disalip oleh Piastri dan harus puas finis di peringkat ke-10.
Mari Kita Komentari Juga yang Lain

Selain yang telah disebutkan di atas, masih ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas. Pertama, Mercedes yang berpotensi untuk menjadi kuda hitam di musim ini. Selain debut Antonelli yang cemerlang, performa George Russel sepanjang balapan juga konsisten sehingga bisa meraih podium.
Sainz harus menjalani debut yang buruk bersama tim barunya setelah ia harus mengakhiri balapan lebih cepat. Untungnya, Alexander Albon berhasil meraih poin krusial dengan finis di peringkat ke-5.
Nasib sial harus diterima oleh Yuki Tsunoda dari Racing Bulls. Setelah berhasil menjaga posisinya di peringkat 5-6, ia harus mengakhiri balapan tanpa poin setelah chaos yang terjadi menjelang akhir balapan.
Selain itu, Nico Hulkenberg dari Kick Sauber juga perlu diapresiasi karena dengan menggunakan mobil yang katanya paling buruk di sirkuit, ia berhasil meraih 6 poin setelah finis di posisi ke-7.
***
Dengan hasil ini, untuk sementara McLaren berada di peringkat pertama dengan 27 poin. Mercedes berada di bawahnya dengan poin yang sama, disusul oleh Red Bull, William, Aston Martin, Kick Sauber, Ferrari, Alpine, Racing Bulls, dan Haas.
Minggu depan, balapan akan berlangsung di China jam 2 siang. Tentu menarik untuk melihat persaingan para rookie dan pembalap lainnya. Musim 2025 masih panjang, dan tampaknya tidak akan menjadi musim yang membosankan.
Lawang, 16 Maret 2025, terinspirasi setelah menonton GP Australia tadi siang
Foto Featured Image: PlanetF1
-
Non-Fiksi12 bulan ago[REVIEW] Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan
-
Olahraga12 bulan agoKok Bisa, ya, Ada Klub Enggak Pernah Menang Sampai 7 Kali
-
Permainan12 bulan agoKoleksi Board Game #28: Point City
-
Sosial Budaya12 bulan agoMengapa Tidak Pernah Ada Istilah “Laki-Laki Independen”?
-
Renungan12 bulan agoMerenungi Manusia Primitif yang Masih Hidup di Era Modern
-
Olahraga11 bulan agoApakah Manchester United Benar-Benar Telah Menjadi Klub Terkutuk?
-
Fiksi8 bulan ago[REVIEW] Setelah Membaca Sang Alkemis
-
Sosial Budaya12 bulan agoLaki-Laki Tidak Bercerita, Laki-Laki Curhat ke ChatGPT



You must be logged in to post a comment Login