Olahraga
Badai Cedera Manchester United yang Tak Kunjung Berlalu
Merasa frustasi karena melihat Manchester United (MU) sudah menjadi hal yang biasa bagi para penggemarnya. Namun, melihat MU begitu kesulitan melawan sebuah klub dari EFL Championship merupakan another level of pain.
Dalam laga semifinal FA Cup yang berlangsung kemarin malam (21/4), sebenarnya MU cukup diuntungkan karena tidak langsung berhadapan dengan Chelsea ataupun Manchester City. Lawan MU cukup mudah, yakni Coventry City.
Walaupun sebenarnya tidak terlalu kaget jika MU melawak, Penulis tidak menyangka kalau mereka benar-benar terlihat memalukan ketika berhadapan dengan tim yang berada di peringkat 8 EFL Championship.
Meskipun lolos ke final, Penulis merasa malu sebagai penggemar. Namun, di sisi lain, Penulis berusaha mewajarkan hal tersebut mengingat MU sedang diterpa badai cedera yang begitu mengerikan.
Jalan Pertandingan Manchester United vs Coventry City
Sejak awal pertandingan, MU sebenarnya terlihat cukup mendominasi lawannya. Di babak pertama, MU telah unggul 2-0 lewat gol Scott McTominay dan Harry Maguire. Di menit 58, MU memperlebar jarak melalui sontekan Bruno Fernandes.
Sampai menit ke-70, Penulis mengira kalau posisi MU sudah cukup aman untuk mengunci tempat di babak final. Masa iya melawan tim sekelas Coventry City bisa di-comeback dalam waktu 20 menit. Penulis lupa, yang sedang Penulis lihat adalah MU.
Seperti yang sudah pernah Penulis bahas dalam tulisan “Biasakan Nonton MU Sampai Habis, LOL,” Penulis sudah mengutarakan kalau sekarang injury time adalah momen yang mengerikan bagi penggemar MU, berbeda dengan era Fergie ketika injury time menjadi hal yang menakutkan bagi lawan MU.
Hanya dalam rentang waktu 8 menit, Coventry City berhasil mengejar ketertinggalan lewat gol Ellis Simms dan Callum O’Hare, nama-nama yang jelas belum pernah Penulis dengar sebelumnya. Sejak itu, Penulis benar-benar cemas hingga rasanya ingin berhenti menonton pertandingan.
Benar saja, pada injury time, Coventry berhasil mendapatkan penalti setelah Aaron Wan-Bissaka melakukan handball di kotak terlarang. Haji Wright berhasil mengeksekusinya dengan baik dan memaksa MU bermain di babak tambahan waktu.
Mental Penulis terasa benar-benar hancur ketika Victor Torp mencetak gol pada menit 120+3 memanfaatkan counter attack. Untungnya, gol tersebut dianulir melalui VAR karena berbau offside. Pertandingan pun dilanjutkan ke babak adu penalti.
Sekali lagi, mental Penulis dibuat anjlok karena Casemiro sebagai penendang pertama MU gagal mencetak gol. Bau-bau kekalahan pun semakin tercium. Untungnya, Andre Onana juga berhasil menepis tendangan Callum O’Hare dengan sangat baik.
Penulis mulai bisa bernapas lega ketika tendangan Ben Sheaf tidak menemui titik sasaran. Rasmun Hojlund sebagai penentu berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik dan membawa MU berhasil lolos ke final FA Cup untuk yang kedua kalinya secara berturut-turut.
Di babak final, MU akan menghadapi Manchester City yang sebelumnya berhasil mengalahkan Chelsea juga melalui babak adu penalti. Ini akan menjadi ulangan final musim 2022/2023, di mana City berhasil keluar menjadi juara dan mengunci treble winners di musim tersebut.
Tentu Penulis merasa was-was karena mau tidak mau harus diakui kalau klub tetangga tersebut lebih superior dibandingkan MU. Melawan City yang Coventry saja kesulitan, apalagi yang Manchester? Apalagi, MU seolah sedang “dikutuk” karena banyaknya pemain yang cedera.
Manchester United Seolah Dikutuk dengan Badai Cedera
Alasan selalu bisa dicari-cari, termasuk mengapa MU bisa terlihat kewalahan ketika menghadapi tim sekelas Coventry City. Seperti sebelumnya, alasan yang paling mudah adalah banyaknya pemain MU yang cedera dan tidak bisa dimainkan.
Hal ini bisa dilihat dari line up kemarin, di mana Casemiro sampai dipasang menjadi bek karena setidaknya ada 5 bek MU yang cedera, yakni Lisandro Martinez, Victor Lindelof, Raphael Varane, Jonny Evans, hingga bek muda Willy Kambwala.
Jangan lupa, dua bek kiri MU yakni Luke Shaw dan Tyrell Malacia (yang tak pernah kelihatan hingga penggemar mencurigai kalau ia telah “meninggal”) juga sudah lama cedera, hingga MU harus menggunakan Wan-Bissaka untuk mengisi posisi tersebut.
Di posisi gelandang ada Mason Mount dan Sofyan Amrabat yang juga cedera. Di posisi striker, Anthony Martial juga tak terlihat fit untuk dimainkan, walaupun para penggemar pun tak terlalu mengharapkan keberadaannya.
Entah mengapa klub ini seperti dikutuk dengan jumlah cedera yang begitu banyak di musim ini dengan lebih dari 60 kasus cedera yang berbeda. Praktis, hanya tersisa Antony, Christian Eriksen, Amad Dialo, dan kiper Altay Bayindir di bangku cadangan yang berasal dari skuad senior.
Apalagi, di pertandingan kemarin Marcus Rashford dan Scott McTominay juga terlihat harus meninggalkan lapangan karena mengalami cedera. Seumur hidup menjadi penggemar MU, baru kali ini Penulis melihat tim ini dihantam badai cedera yang begitu masif.
Jika tidak ada pemain yang sembuh, maka di pertandingan selanjutnya kemungkinan besar MU akan menggunakan susunan pemain: Onana; Dalot, Casemiro, Maguire, Wan-Bissaka; Eriksen, Mainoo; Antony, Fernandes, Garnacho; Hojlund.
Bisa dilihat, pemain MU benar-benar habis! Jika prediksi formasi tersebut benar, maka bisa dipastikan kalau di pertandingan selanjutnya pemain cadangan MU akan diambil dari pemain akademi seperti yang sudah terjadi pada pertandingan kemarin.
Tim medis yang dimiliki MU pun sampai dipertanyakan oleh penggemar. Mengapa bisa para pemain begitu mudah cedera? Apalagi, tak jarang cedera tersebut berlangsung untuk jangka waktu yang sangat panjang. Lihat saja kasus Malacia yang tak terlihat rimbanya.
Di tengah badai cedera ini, Penulis masih bisa sedikit bersimpati kepada Erik ten Hag selaku pelatih. Rasanya siapapun pelatihnya, kalau dihadapkan situasi sulit seperti sekarang, tentu saja akan sulit untuk meraih hasil yang maksimal.
Namun, keputusan-keputusan ten Hag di lapangan sendiri kadang menimbulkan pertanyaan. Keputusannya untuk menarik Garnacho dan Mainoo di pertandingan kemarin dianggap blunder, apalagi ternyata Rashford dan McTominay alami cedera.
Entah sampai kapan badai cedera ini akan berlalu. Meskipun kembalinya semua pemain tidak menjamin akan membuat permainan MU membaik, setidaknya ten Hag jadi memiliki lebih banyak opsi dalam menjalankan strateginya.
Lawang, 22 April 2024, terinspirasi setelah merasa malu dengan pertandingan yang dijalani MU ketika berhadapan dengan Coventry City di semifinal FA Cup
Foto Featured Image: Detik
Olahraga
Apakah Manchester United Benar-Benar Telah Menjadi Klub Terkutuk?
Minggu kemarin benar-benar minggu yang melelahkan bagi penggemar Manchester United (MU). Setelah berhasil mengalahkan Manchester City dengan skor 2-1, MU justru kembali melawak di dua pertandingan selanjutnya.
Selain kalah dengan skor 3-4 dari Tottenham Hotspurs (sekaligus mengakhir laju MU di EFL Cup), MU juga baru saja dihabisi 0-3 oleh Bournemouth. Yang lebih menyakitkan, kekalahan telak ini terjadi di kandang MU, Old Trafford.
Sejak pergantian pelatih dari Erik Ten Hag ke Ruben Amorim, banyak optimisme yang muncul di penggemar. Ungkapan “tsunami trofi” pun mulai berdatangan lagi. Sayangnya, terbukti kalau MU tetaplah MU yang dulu, mau siapa pun pelatihnya.
Ada Perubahan Pola Permainan, tapi ya Begitulah
Jika melihat permainan MU di bawah Amorim, sebenarnya asa itu memang ada. Setelah lama melihat permainan MU yang tak berpola, akhirnya Amorim perlahan bisa menerapkan filosofi 3-4-2-1 yang ia terapkan di klub sebelumnya.
Meskipun hasilnya tak selalu positif, setidaknya ada progres dalam permainan MU. Para pemain lebih sering melakukan pressing, berusaha menjaga area dengan baik, melakukan ancaman-ancaman ke gawang lawan, dan lain sebagainya. Permainan MU (akhirnya) bisa dinikmati.
Selain itu, Amorim tak ragu untuk melakukan rotasi pemain, sesuatu yang jarang dilakukan di era Ten Hag. Walau hasilnya kadang mengecewakan (seperti performa Altay Bayindir ketika melawan Tottenham), setidaknya ini menunjukkan keberanian Amorim.
Amorim juga tak segan-segan untuk mencoret pemainnya jika dianggap tidak mampu perform. Marcus Rashford, yang pada era Ten Hag seolah menjadi anak emas, sudah tiga pertandingan beruntun tidak dimasukkan ke dalam line up.
Dari banyak poin plus tersebut, sayangnya hasil yang diperoleh MU sejak ditangani oleh Amorim tidak terlalu baik. Dalam sembilan laga yang telah dijalani di seluruh kompetisi, MU hanya berhasil meraih hasil 4 menang, 1 seri, dan 4 kekalahan.
Di kala lini penyerangan sudah mulai membaik (terutama berkat performa Amad Diallo), lini pertahanan perlu disorot karena sudah kebobolan 17 kali. Entah formasi Amorim yang memang rentan diserang, atau pemain MU saja yang tak bisa melakukan intruksi pelatih.
Tentu hal ini sangat disayangkan, apalagi ketika Manchester City tengah terpuruk dengan hanya meraih satu kemenangan dalam 12 laga terakhirnya (di mana 9 di antaranya berakhir dengan kekalahan). Alhasil, istilah “Manchester is clown” pun mulai bermunculan.
Apa yang Salah dengan Manchester United?
Sampai di titik ini, Penulis (dan rasanya mayoritas pendukung lainnya) sudah berada di titik bingung apa yang salah dengan klub ini. Apakah karena julukannya setan merah, sehingga membuat klub ini menjadi terkutuk?
Sejak perginya Sir Alex Ferguson, sudah banyak sekali pelatih yang mencoba menangani MU. Polanya selalu sama, di mana ada fase bulan madu dan fase kehancuran. Entah bagaimana dengan Amorim nanti, tapi sejauh ini tanda-tandanya kurang baik.
Memang, formasi dan gaya permainan MU yang diterapkan oleh Amorim benar-benar berbeda dari pelatih-pelatih sebelumnya, sehingga membutuhkan adaptasi. Namun, rasanya para penggemar sudah terlalu lama “menderita” hingga lebih dari satu dekade.
Apalagi, kita bisa melihat kalau Arne Slot bersama Liverpool dan Enzo Maresca bersama Chelsea bisa langsung nyetel. Bahkan di klasemen Liga Inggris saat ini, kedua tim berada di posisi kedua berkat penampilan konsisten mereka.
Penulis memberikan apresiasi kepada Liverpool yang harus diakui berhasil tampil luar biasa. Meskipun tak mendapatkan tambahan banyak pemain, Slot mampu meracik skuadnya menjadi skuad pemenang. Korban terakhir mereka adalah Tottenham, yang dibantai 6-3.
Mengapa mereka bisa langsung nyetel dengan klub barunya? Penulis juga tidak tahu. Secara kualitas skuad, harusnya tidak berbeda jauh. Namun, secara hasil dan peringkat di liga hasilnya benar-benar jauh.
Entah apa yang akan terjadi di masa depan. Tentu Penulis berharap Amorim berhasil menemukan solusi dari permasalahan yang sudah terlalu mengakar di klub ini. Akan tetapi, di sisi lain, rasanya Penulis sudah pesimis dan menganggap kalau klub ini memang sudah terkutuk.
Foto Featured Image: Rayo
Olahraga
Kok Bisa, ya, Ada Klub Enggak Pernah Menang Sampai 7 Kali
Penulis mengawali minggu ini dengan indah. Selain Manchester United (MU) berhasil menang secara meyakinkan dengan skor 4-0 atas Everton, klub tetangga harus mengalami kekalahan 0-2 atas Liverpool.
Ini menjadi kekalahan empat kali beruntun bagi Manchester City di Premier League, setelah sebelumnya kalah atas Bournemouth (1-2), Brightin and Hove Albion (1-2), dan Tottenham Hotspurs (0-4).
Catatan ini makin diperparah dari hasil pertandingan di kompetisi lain, seperti kekalahan 1-2 atas Spurs di EFL Cup dan 1-4 atas Sporting CP di Liga Champion. Selain itu, mereka juga hanya bisa imbang 3-3 saat berhadapan dengan Feyenoord, walau sempat unggul 3-0.
“Rekor” Impresif Pep dan Manchester City
Kalah Maning Kalah Maning (Caught Offside)
Rentetan hasil buruk tersebut membuat City mencatatkan rekor yang impresif, yakni 6 kali kalah dan 1 kali seri dalam tujuh pertandingan terakhir. Kemenangan terakhir yang mereka dapatkan adalah ketika berhadapan dengan Southampton dengan skor tipis 1-0.
Menariknya, pertandingan tersebut berlangsung pada tanggal 26 Oktober 2024. Artinya, selama bulan November kemarin City gagal meraih satu kemenangan pun. Tak hanya itu, mereka juga kebobolan 15 gol dalam bulan yang sama dan hanya mencetak tujuh gol.
Melansir dari 90Min, pencapaian lima lose streak ini adalah yang pertama bagi Pep Guardiola sepanjang kariernya. Selama menangani City, lose streak paling panjang yang pernah dialami oleh Pep adalah tiga kali beruntun, yakni pada tahun 2018 dan 2021.
Pep juga pernah menderita tiga kekalahan beruntun ketika masih menangani Bayern Munich pada tahun 2015. Selama menangani Barcelona, rekornya lebih fenomenal lagi, di mana ia tidak pernah kalah beruntun lebih dari dua kali.
Selain itu, melansir dari Goal, City menjadi klub pemenang Liga Inggris pertama yang menderita lima kekalahan beruntun sejak tahun 1956. Sebelum City, Chelsea juga pernah mengalami hal yang sama pada bulan Maret 1956.
Rekor menarik lainnya? Ini adalah pertama kalinya City menderita kekalahan lima kali secara beruntun dalam 18 tahun terakhir. Erling Haaland juga ikut mencetak rekor, di mana akhirnya ia mengalami kekalahan ketika berhasil mencetak gol di Premier League.
Mari Kita Bandingkan dengan MU
Lagi Unbeaten nih, Bos (The Seattle Times)
Sebagai perbandingan, MU justru tak terkalahkan sejak Erik Ten Hag dipecat. Dalam empat pertandingan di bawah asuhan Ruud van Nisterlooy, MU mencatatkan tiga kemenangan dan satu kali seri (5-2 vs Leicester City, 1-2 vs Chelsea, 2-0 vs Paok, 3-0 vs Leicester City.
Di bawah pelatih baru Ruben Amorim pun MU masih belum terkalahkan dengan dua kemenangan dan satu kali hasil imbang (1-1 vs Ipswich Town, 3-2 vs Bodo/Glimt, 4-0 vs Everton).
Kekalahan terakhir MU terjadi saat bertamu ke West Ham akhir Oktober. Artinya, di saat City harus terus menderita kekalahan, MU justru tak terkalahkan. Sebagai penggemar MU, kebahagiannya jadi double.
Walau fans MU memang terkenal karena kesombongannya ketika berada di atas angin, menurut Penulis ujian sebenarnya MU akan terlihat ketika berhadapan dengan Arsenal beberapa hari lagi. Jika berhasil menang, artinya MU berada di jalur yang benar.
Menariknya, meskipun menderita hasil buruk secara bertubi-tubi, kok rasanya media sosial sepi-sepi saja seolah tidak ada yang peduli. Coba bayangkan hal yang sama terjadi pada MU, pasti sudah menjadi gorengan media dan content creator selama berbulan-bulan.
Apa yang Terjadi dengan Manchester City?
Jadi Penyebab Utama? (Reuters)
Sebagai klub yang mendominasi Premier League beberapa tahun terakhir, tentu kejatuhan City menimbulkan banyak pertanyaan bagi penggemar sepak bola. Apa yang menyebabkan City seolah lupa dengan caranya menang?
Banyak yang mengatakan kalau cederanya Rodri menjadi biang keroknya. Pep tidak memiliki pengganti sepadan yang bisa mengisi posisi tersebut, sehingga strategi yang ia terapkan tak bisa berjalan dengan optimal.
Namun, alasan cedera rasanya terlalu klise. MU pernah mengalami badai cedera yang lebih parah musim kemarin, dengan total kasus cedera lebih dari 60. Namun, MU tak sampai mengalami apa yang dialami City sekarang.
Alasan lain yang lebih masuk akal adalah kedalaman skuad City yang seolah hilang begitu saja. Cederanya Rodri menjadi bukti nyata bagaimana tidak ada pemain pelapis yang setidaknya memiliki kualitas mendekatinya.
Lucunya, jika membuka situs resmi City bagian daftar pemain, bagian Forwards hanya memiliki Erling Haaland seorang. Amit-amit seandainya Haaland cedera, siapa yang akan mengisi posisinya?
Tak hanya itu, pemain-pemain inti City banyak yang sudah berusia di atas kepala tiga, seperti Ilkay Gundogan (34), Kyle Walker (34), Kevin De Bruyne (33), Ederson (31), Mateo Kovacic (30), John Stones (30), hingga Bernardo Silva (30).
Sebagai perbandingan (lagi), pemain inti MU yang berkepala tiga hanya Bruno Fernandes (30) dan Casemiro (32). MU bahkan tak segan untuk mengorbitkan pemain muda, seperti Alejandro Garnacho (20), Amad Diallo (22), hingga Kobbie Mainoo (19).
Ini seolah menunjukkan bahwa Pep tidak melakukan regenerasi kepada skuad City. Masa jaya City sudah mulai habis dan Pep tidak melakukan tindakan antisipasi. Memang sesekali ia memainkan pemain akademi, tapi tak ada yang benar-benar bersinar.
Tentu menarik untuk melihat apakah akhirnya Pep dan City berhasil bangkit dan memutus rentetan hasil buruk yang diderita. Penulis sebagai penggemar MU tentu berharap kalau hasil buruk ini akan terus berlanjut selama mungkin.
Lawang, 2 Desember 2024, terinspirasi setelah menonton kekalahan Manchester City atas Liverpool
Foto Featured Image: Bitter and Blue
Sumber Artikel:
Fixtures & Results | Man Utd Men’s First Team | Manchester United
Pep Guardiola’s worst losing streaks
Olahraga
Menatap Masa Depan Manchester United Bersama Ruben Amorim
Setelah jeda internasional, akhirnya para penggemar Manchester United (MU) bisa menyaksikan pertandingan perdana timnya di bawah asuhan pelatih baru, Ruben Amorim. Ia menggantikan Erik Ten Hag yang dipecat beberapa minggu lalu.
Hasilnya, sayang sekali tidak terlalu menyenangkan. Bertandang ke Portman Road yang menjadi kandang Ipswich Town, setan merah hanya berhasil meraih imbang 1-1. Bahkan, seandainya Andre Onana tidak tampil super, MU sangat berpeluang untuk kalah.
Penulis paham jika semua butuh proses. Tidak mungkin dalam satu laga Amorim langsung bisa mengubah MU kembali ke masa jayanya, apalagi dengan komposisi pemain yang sama. Oleh karena itu, mari kita menatap masa depam MU bersamanya.
Bagaimana Amorim Menerjemahkan Filosofinya ke MU
Selama Penulis menjadi penggemar MU, tim ini hampir selalu menggunakan formasi empat bek, dari zaman Sir Alex Ferguson hingga Erik Ten Hag. Nah, Amorim ini beda, karena dia terbiasa menggunakan formasi tiga bek, tepatnya 3-4-2-1.
Hal ini pun langsung ia terapkan pada pertandingan kemarin, meskipun waktu latihan yang ia lakukan bersama tim bisa terbilang cukup singkat. Selain itu, karena ada banyak pemain bertahan yang cedera, ia sedikit melakukan eksperimen.
Pada line-up, awalnya ia memasang Matthijs de Ligt, Johnny Evans, dan Noussair Mazraoui yang notabene merupakan bek sayap. Di babak kedua, ia bahkan mengganti Evans dengan Luke Shaw yang juga merupakan bek sayap dan baru sembuh dari cederanya.
Menggeser posisi sayap menjadi bek tengah sebenarnya bukan hal baru, apalagi pemain MU seperti Shaw juga pernah melakukannya. Tak jarang bek sayap akhirnya malah jadi bek tengah tetap, seperti yang terjadi pada Benjamin Pavard di Inter Milan.
Selain itu, ada yang menarik di babak kedua, di mana Amorim memasukkan Rasmus Hojlund dan Joshua Zirkzee sekaligus, menggantikan Christian Eriksen dan Marcus Rashford. Waktu melihat ini, Penulis benar-benar bingung dengan strategi sang pelatih.
Jika melihat polanya, Bruno Fernandes tampaknya ditarik agak mundur untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Eriksen dan salah satu dari Hojlund atau Zirkzee menempati posisi Bruno di belakang striker bersala Alejandro Garnacho.
Hal menarik lainnya di pertandingan kemarin adalah penempatan Amad Diallo di posisi bek kanan, yang ternyata cukup cocok untuknya. Pada pertandingan kemarin, Diallo berhasil memberikan assist untuk gol yang dicetak oleh Rashford.
Berdasarkan pertandingan kemarin, Penulis menilai kalau Amorim adalah tipikal pelatih yang tidak ragu untuk melakukan banyak eksperimen untuk menyesuaikan para pemainnya dengan sistem yang ia buat. Para pemain tampaknya harus keluar dari zona nyamannya.
Jangan Menaruh Terlalu Banyak Ekspetasi kepada Amorim
“Pertandingan yang sulit. Saya melihat para pemain saya terlalu banyak berpikir. Hal-hal baru, dan mereka memikirkan apa yang harus mereka lakukan. Itu tidak normal pada tahap musim ini, tetapi sejak awal sulit bagi mereka untuk mengatasinya. Ini seri dan itu bukan perasaan yang baik ketika Anda berada di Manchester United.”
Pernyataan di atas terlontar dari mulut Amorim seusai laga. Menurutnya, pemainnya masih ragu-ragu di lapangan, hal yang sebenarnya masih bisa dimaklumi karena strategi yang dibawa Amorim benar-benar baru dan para pemain butuh waktu untuk beradaptasi.
Amorim juga merupakan tipe pelatih yang memperhatikan ball possesion, dan menurutnya pertandingan kemarin MU kurang memegang kendali. Hal ini memang sangat terlihat, terutama di babak pertama di mana MU justru sering tertekan oleh Ipswich Town.
Dengan demikian, dapat disimpulkan kalau para penggemar mau tidak mau harus bersabar (lagi) sembari terus memantau progres yang diperlihatkan oleh Amorim dan pemainnya di lapangan.
Kita para penggemar juga harusnya melakukan interopeksi diri, jangan terlalu berekspetasi kepada pelatih baru. Entah sudah ada berapa pelatih top yang gagal menangani MU. Tim ini sakit bukan hanya di lapangan, tapi sudah menyebar ke berbagai sektor.
Apalagi, Amorim merupakan pelatih muda. Walau ia berhasil mencatatkan prestasi fenomenal, jangan langsung berharap kalau ia akan menjadi The Next Alex Ferguson. Ia hanya lebih tua beberapa hari dari Cristiano Ronaldo, jelas ia masih butuh banyak tambahan jam terbang.
Jadi, untuk sekarang lebih baik kita nikmati saja proses berubahnya MU di bawah arahan Amorim.
Lawang, 25 November 2024, terinspirasi setelah menonton pertandingan perdana Manchester United di bawah asuhan Ruben Amorim
Foto Featured Image: France24
-
Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Teruslah Bodoh Jangan Pintar
-
Film & Serial4 bulan ago
Gara-Gara Black Myth: Wukong, Saya Jadi Rewatch Kera Sakti
-
Non-Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Ngomongin Uang
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #22: Chinatown
-
Politik & Negara5 bulan ago
Peringatan Darurat: Apa Memang Sedarurat Itu Situasi Politik Saat Ini?
-
Musik4 bulan ago
Menatap Era Baru Linkin Park Bersama Emily Armstrong
-
Non-Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Buku Seni Menyederhanakan Hidup
-
Tokoh & Sejarah4 bulan ago
Mengapa iPhone Tetap Laris Manis Walau Gitu-Gitu Aja?
You must be logged in to post a comment Login