Buku
Menikmati Buku-Buku Sujiwo Tejo

Dalam melatih kemampuan merangkai kalimat menjadi sebuah tulisan, penulis banyak belajar dengan membaca buku-buku karya penulis lain. Kadang fiksi, kadang kumpulan esai, kadang campuran antara keduanya.
Salah satu penulis yang penulis kagumi cara penulisannya adalah buku-buku karya Sujiwo Tejo yang terkenal sebagai dalang edan, seniman, budayawan, atau apapun yang biasanya media sematkan padanya.
Penulis hampir memiliki semua buku yang pernah ia terbitkan, kecuali beberapa buku lama yang sudah jarang terlihat di rak toko buku. Ada juga buku yang memang kurang penulis minati seperti Republik #Jancukers dan Serat Tripama.
Koleksi Buku Sujiwo Tejo
Buku karya Sujiwo Tejo pertama yang penulis miliki adalah Lupa Endonesa. Buku ini merupakan kumpulan dari tulisan-tulisannya di koran Jawa Pos (atau Kompas? Penulis sedikit lupa) yang menyoroti berbagai kejadian yang tengah hangat di ruang publik.
Karena suka dengan buku ini, penulis pun membeli lanjutannya yang terbit beberapa tahun kemudian, yakni Lupa Endonesa Deui dan Lupa 3ndonesa. Isinya kurang lebih sama, hanya topik yang diangkat tentu lebih baru.
Buku lain yang penulis miliki adalah Rahvayana. Buku ini memiliki dua seri, yakni Rahvayana: Aku Lala Padamu dan Rahvayana: Ada yang Tiada. Sebagai penikmat cerita wayang, penulis tentu jatuh cinta dengan kedua buku ini.
Mengapa begitu? Karena buku ini berusaha menggambar kisah Ramayana dengan sudut pandang yang berbeda, yakni dari mata Rahwana yang begitu mencintai dan mengagumi Sinta. Tentu, gaya penulisannya pun khas Sujiwo Tejo yang terkesan sakarepe dewe.
Lantas ada buku Balada Gathak Gathuk dan Sabdo Cinta Angon Kasih yang mengambil tema berbeda, meskipun secara konsep sedikit mirip dengan seri Lupa Endonesa. Hanya saja, pada dua buku tersebut terdapat satu alur cerita yang saling berkesinambungan.
Buku Talijiwo dan Senandung Talijiwo merupakan rubrik terbaru milik Sujiwo Tejo yang dibukukan. Ada kesan romantis yang dihasilkan oleh kedua buku ini, berbeda dengan buku lain yang lebih menonjolkan sisi budaya dan politik di masyarakat.
Selain itu, penulis juga memiliki buku Tuhan Masa Asyik yang jujur sangat berat untuk penulis cerna dan Kelakar Madura Buat Gus Dur yang condong bergenre humor.
Kenapa Suka Membaca Buku Sujiwo Tejo?
Jujur, jika ditanya apakah penulis memahami buku-buku tersebut, penulis akan bereaksi dengan tertawa canggung sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
Sujiwo Tejo sering kali memasukkan pesan implisit di dalam tulisannya, dan penulis tidak selalu menangkap apa yang ia maksudkan. Terkadang, ketika membaca bab demi bab, ada saja bagian yang membuat penulis mengerutkan dahi.
Jika memang seperti itu, mengapa tetap membaca buku-buku karyanya? Seperti yang sudah penulis singgung di paragraf awal, penulis banyak belajar bagaimana cara menulis dari beliau.
Selain itu, penulis juga sangat menyukai metode Sujiwo Tejo dalam menggunakan tokoh-tokoh wayang untuk menjelaskan kejadian yang berlangsung hari ini.
Menurut ayah penulis, itu adalah hal yang sangat susah dilakukan dan hanya sedikit yang mampu melakukannya. Salah satu yang bisa (dan ahli), ya Sujiwo Tejo.
Bahasa yang digunakan pun sangat enak untuk dinikmati, tidak menggunakan bahasa berat yang di mana hanya akademisi yang bisa memahaminya. Nuansa sastra sangat kental terasa di dalamnya.
Tapi ya kembali lagi, penulis tidak selalu berhasil menangkap pesan tersiratnya. Mungkin kapasitas otak penulis yang tidak nyampai ke sana.
Penutup
Apakah penulis merupakan pengagum karya-karya Sujiwo Tejo? Tanpa ragu penulis akan menjawab iya. Penulis sangat menikmati buku-buku karya beliau. Beliau juga merupakan salah satu panutan penulis dalam menulis.
Ilmu yang penulis miliki jelas masih kalah jauh dari beliau, tapi hal tersebut justru menjadi pemacu agar terus belajar sehingga bisa berkarya dengan lebih baik lagi.
Yang jelas, penulis akan selalu menantikan buku-buku terbaru yang diterbitkan oleh beliau, meskipun tak selalu memahami apa yang Sujiwo Tejo maksudkan dengan tulisannya.
Kebayoran Lama, 31 Juli 2019, terinspirasi setelah menyadari betapa banyaknya kolekso buku Sujiwo Tejo yang dimiliki
Fiksi
[REVIEW] Setelah Membaca Sang Alkemis

Pada suatu saat, ada seorang teman yang bertanya apakah Penulis pernah membaca novel The Alchemist (atau Sang Alkemis dalam bahasa Indonesia) karya Paolo Coelho. Meskipun sering melihat buku tersebut di toko buku, Penulis tidak pernah kepikiran untuk membelinya.
Nah, di awal bulan Februari kemarin ketika Penulis ke Jakarta, Penulis jalan-jalan ke Pondok Indah Mall (PIM) selepas kerja, karena tempat tersebut memang sering Penulis kunjungi untuk sekadar “cuci mata”. Tentu, salah satu destinasinya adalah Gramedia PIM.
Entah ada dorongan apa, Penulis akhirnya memutuskan untuk membeli novel Sang Alkemis saat itu bersama dengan komik Spy X Family vol. 13. Siapa sangka, novel tipis ini langsung menjadi salah satu favorit Penulis dan tandas dalam waktu singkat!
Sebelum lanjut, spoiler alert!
Detail Buku Sang Alkemis
- Judul: Sang Alkemis (The Alchemist)
- Penulis: Paolo Coelho
- Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
- Cetakan: Ke-48
- Tanggal Terbit: Januari 2025
- Tebal: 224 halaman
- ISBN: 9786020656069
- Harga: Rp69.000
Sinopsis Buku Sang Alkemis
Setiap beberapa puluh tahun, muncul sebuah buku yang mengubah hidup para pembacanya selamanya. Novel Paulo Coelho yang memikat ini telah memberikan inspirasi bagi jutaan orang di seluruh dunia. Kisah yang sangat sederhana, namun menyimpan kebijaksanaan penuh makna, tentang anak gembala bernama Santiago yang berkelana dari rumahnya di Spanyol ke padang pasir Mesir untuk mencari harta karun terpendam di Piramida-Piramida. Di perjalanan dia bertemu seorang perempuan Gipsi, seorang lelaki yang mengaku dirinya Raja, dan seorang alkemis––semuanya menunjukkan jalan kepada Santiago untuk menuju harta karunnya.
Tak ada yang tahu isi harta karun itu, atau apakah Santiago akan berhasil mengatasi rintangan-rintangan sepanjang jalan. Namun perjalanan yang semula bertujuan untuk menemukan harta duniawi berubah menjadi penemuan harta di dalam diri.
Kaya, menggugah, dan sangat manusiawi, kisah Santiago menunjukkan kekuatan mimpi-mimpi dan pentingnya mendengarkan suara hati kita.
Isi Buku Sang Alkemis
Sesuai dengan sinopsisnya, novel ini berfokus ke petualangan yang dialami oleh seorang gembala bernama Santiago, yang berasal dari Spanyol. Berdasarkan petunjuk dari seorang perempuan Gipsi, ia dituntun untuk mencari harta karun di Piramida Mesir.
Awalnya, ia tak menggubris omongan perempuan Gipsi tersebut. Namun, kemudian ia bertemu dengan seseorang yang mengaku sebagai “raja Salem”. Santiago pun akhirnya merasa yakin untuk mencoba berburu harta karun tersebut.
Santiago memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya, lantas menjual semua dombanya agar mendapatkan uang untuk modal berburu harta karun. Ia pun menyeberangi lautan yang memisahkan benua Eropa dan Afrika.
Naas, ia justru langsung ditipu dan harus kehilangan semua uangnya. Untuk bisa menyambung hidup, ia pun bekerja dengan penjual kristal dengan niat mengumpulkan uang agar bisa kembali ke Spanyol dan kembali menjadi seorang gembala.
Setelah beberapa bulan, uangnya mulai terkumpul. Apalagi, ia adalah anak muda yang memiliki banyak ide cemerlang. Pada satu titik, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mencari harta karunnya dan mengurungkan niat untuk kembali ke Spanyol.
Lantas, ia pun menjadi rombongan yang melintasi gurun pasir, di mana ia bertemu dengan seorang Inggris yang sedang mencari “Sang Alkemis” karena ingin memiliki ilmu mengubah apa pun menjadi emas.
Mereka singgah di sebuah oasis, berlindung dari perang antarsuku yang sedang terjadi. Di oasis tersebut, hidup sekelompok orang yang hidup dengan damai. Menariknya, di sini Santiago bertemu dengan wanita yang menarik perhatiannya, Fatima.
Tanpa disangka, justru Santiago yang bertemu dengan Sang Alkemis, yang memandunya untuk menemukan harta karun tersebut. Ketika akhirnya berhasil mencapai Piramida, ia sadar bahwa apa yang ia cari selama ini berada di tempat ketika ia memulai semuanya.
Setelah Membaca Sang Alkemis
Penulis membaca novel ini tanpa ekspektasi apa pun, toh novel ini juga tipis sehingga fine-fine saja untuk dibaca di kala senggang. Namun, pada akhirnya Penulis justru tertarik masuk ke dalam ceritanya seolah Penulis ikut bertualang bersama Santiago.
Secara cerita, premis yang ditawarkan oleh Sang Alkemis sederhana saja dengan gaya bahasa yang terkadang puitis, tapi masih mudah dicerna. Namun, kisahnya penuh dengan makna dan banyak sekali kalimat yang quotable. Ada beberapa yang Penulis sukai, seperti:
- Kalau kau menaruh perhatian pada saat sekarang, kau bisa memperbaikinya. Dan kalau kau memperbaiki saat sekarang ini, apa yang akan datang juga akan lebih baik.
- Orang-orang takut mengejar impian-impian mereka yang paling berharga, sebab mereka merasa tidak layak mendapatkannya, atau tidak tidak akan pernah bisa mewujudkannya.
- Bahwa pada saat-saat paling gelap di malam hari adalah saat-saat menjelang fajar.
- Hanya ada satu hal yang membuat orang tak bisa meraih impiannya: takut gagal.
- Itulah yang dilakukan oleh para alkemis. Mereka menunjukkan bahwa kalau kita berusaha menjadi lebih baik, segala sesuatu di sekitar kita akan ikut menjadi lebih baik.
Inti cerita dari novel ini adalah perjalanan sama penting dengan tujuan. Hal ini digambarkan dengan baik dengan loop yang harus dialami oleh Santiago, di mana apa yang ia kejar selama ini ternyata berada tepat di bawah kakinya.
Bahkan, menurut Penulis sebenarnya ini adalah buku pengembangan diri berkedok novel. Beberapa contoh di quote di atas bahkan seolah datang yang tepat di saat Penulis membutuhkannya, sehingga begitu memorable di kepala.
Memang, rasanya novel ini kurang related di keseharian kita karena Santiago sering sekali bertemu dengan keberuntungan, walau ada beberapa momen dia juga tertimpa sial. Setidaknya, mindset positif yang ia miliki untuk bertahan hidup bisa coba kita terapkan dalam hidup ini.
Terlepas dari itu, satu hal menarik lainnya adalah bagaimana Santiago bertemu dengan banyak umat muslim sepanjang perjalanannya. Sangat jarang Penulis menemukan ini di novel terjemahan, tapi masuk akal karena Santiago melakukan perjalanan ke Piramida di Mesir.
Tak hanya itu, ia juga menemukan tambatan hatinya di kampung muslim. Namun, ini sedikit menimbulkan pertanyaan karena di awal cerita, ia memiliki perasaan kepada anak pemilik toko roti. Ini menimulkan kesan kalau si anak pemilik toko roti sama sekali tak memiliki peran signifikan dalam cerita.
Buku ini memang memiliki unsur supernatural, yang biasanya tidak Penulis sukai kecuali di novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya dan seri Funiculi Funicula. Namun, karena unsur tersebut hanya hadir sebagai bumbu pelengkap (seperti bahasa universal), Penulis tak terlalu mempermasalahkannya.
Secara keseluruhan, Sang Alkemis merupakan salah satu novel terbaik yang pernah Penulis baca. Gara-gara novel ini, Penulis jadi penasaran dengan novel Paolo Coelho yang lain. Apakah Pembaca ada rekomendasi?
Skor: 9/10
Lawang, 9 April 2025, terinspirasi setelah membaca buku Sang Alkemis karya Paolo Coelho
Non-Fiksi
[REVIEW] Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan

Filsafat selalu menjadi topik yang menarik bagi Penulis, meskipun harus diakui kalau dirinya tidak selalu paham. Walau begitu, hal tersebut tak menghalangi Penulis untuk membaca buku-buku filsafat, apalagi jika disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami.
Oleh karena itu, tentu buku karangan Fahruddin Faiz menjadi sesuatu yang menarik, karena beliau dalam video-videonya mampunya menjabarkan filsafat secara sederhana. Penulis sudah pernah membaca satu bukunya, sehingga ketika tahu ada buku baru, Penulis membelinya.
Berjudul Filsafat Kebahagiaan, buku ini langsung mencuri perhatian Penulis karena konsepnya yang terfokus pada satu topik: kebahagiaan. Ini adalah topik menarik untuk didalami, karena kita sebagai manusia kerap bingung mendefinisikan apa itu kebahagiaan.
Detail Buku Filsafat Kebahagiaan
- Judul: Filsafat Kebahagiaan
- Penulis: Fahruddin Faiz
- Penerbit: Mizan Pustaka
- Cetakan: Ketiga
- Tanggal Terbit: Maret 2024
- Tebal: 288 halaman
- ISBN: 9786024413323
- Harga: Rp89.000
Sinopsis Buku Filsafat Kebahagiaan
Orang boleh berbeda dalam banyak hal, tapi bakal bersepakat dalam satu hal: ingin bahagia. Sayangnya, makna bahagia itu tidak tunggal dan sama bagi semua orang. Bahagia bagi yang satu, boleh jadi bukan bahagia bagi yang lain. Bahagia itu ternyata macam-macam dan bisa saling bertentangan. Maka, layak sekali kalau orang bertanya: apa, sih, bahagia itu sebenarnya?
Empat orang bijak—Plato, al-Farabi, al-Ghazali, dan Ki Ageng Suryomentaram—menawarkan konsep kebahagiaan, berikut cara-cara mencapainya. Meski masing-masing mengambil pendekatan berbeda, ada beberapa kesamaan yang mencolok: bahwa orang mesti mengenal diri sendiri sebagai titik berangkat, dan orang menemukan diri sendiri sebagai titik tujuan. Mustahil orang mencapai kebahagiaan kalau tidak tahu siapa dirinya dan apa makna bahagia bagi dirinya.
Buku ini bakal memberi pencerahan bagi Anda yang mencari kebahagiaan sejati.
Isi Buku Filsafat Kebahagiaan
Sesuai dengan judulnya, buku ini akan mengulas filsafat kebahagiaan dari sudut pandang empat tokoh: Plato, al-Farabi, al-Ghazali, dan Ki Ageng Suryomentaram. Masing-masing memiliki pendekatan yang berbeda untuk mendefiniskan kebahagiaan.
Plato sebagai salah satu filsuf dari Yunani kuno tentu meletakkan fondasi untuk memahami kebahagiaan. Lalu, pemikiran tersebut dijabarkan lagi melalui pendekatan Islam melalui al-Farabi dan al-Ghazali yang lebih sufi.
Penulis secara pribadi tertarik dengan keputusan Faiz untuk memasukkan Ki Ageng Suryomentaram, yang tentu saja menyelipkan filsafat-filsafat Jawa. Dengan demikian, buku ini berisi filsafat Barat, Islam, dan Jawa.
Filsafat Kebahagiaan Versi Plato
Kalau menurut Plato, hakikat manusia adalah jiwanya, badan hanya manifestasi dari jiwa. Secara singkat, menurut Plato jiwa itu mengandung tiga unsur (di mana ketiga unsur ini dipengaruhi ole Eros atau cinta), yaitu:
- Epithumia: Lambang nafsu manusia yang rendah, seperti makan, minum, seks
- Thumos: Lambang hasrat, ambisi, atau harga diri, seperti afektivitas, rasa semangat, agresivitas
- Logistikon: Lambang akal, rasio,
Ketiga unsur inilah yang akan memengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang menurut Plato. Apabila kita bisa mengendalikan ketiganya dan mampu menetapkan batasan, maka kita akan bisa menemukan kebahagiaan.
Filsafat Kebahagiaan Versi al-Farabi
Nah, konsep kebahagiaan yang diungkap oleh Plato bersifat indidualis. Menurut al-Farabi, kebahagiaan itu juga butuh hubungan sosial. Selain itu, kenikmatan yang punya nilai ibadah akan punya kualitas kebahagiaan yang lebih awet.
Ada satu quote yang cukup menohok di bagian al-Farabi,”Tuhan menciptakan kita untuk bahagia. Kalau mudah galau, Anda melecehkan Tuhan.” Tentu ini akan membuat kita jadi termenung dan berusaha bersyukur atas apapun yang sudah kita dapatkan hingga saat ini.
Bahagia menurut al-Farabi akan tercapai ketika jiwa terimplementasikan secara optimal. Caranya adalah dengan mengoptimalkan daya gerak, daya mengetahi, dan daya berpikir yang sudah menjadi fitrah manusia.
Jangan lupa, kebahagiaan juga harus didapatkan dari kebahagiaan sosial. Bukan hanya dari lingkup keluarga atau pertemanan, tapi juga dari negara. Bayangkan saja jika kita memiliki kehidupan yang baik, tiba-tiba negara merusaknya, maka kebahagiaan itu bisa hilang.
Oleh karena itu, menurut al-Farabi kunci kebahagiaan itu dipegang oleh filsuf, ulama, dan pemimpin negara. Kalau dari sendiri, kita harus bisa menakhlukkan jiwa untuk tercapai jiwa yang tenang dan terus melakukan perilaku utama atau kebajikan.
Filsafat Kebahagiaan Versi al-Ghazali
Kalau menurut al-Ghazali, kunci kebahagiaan itu adalah dengan mengenali diri sendiri. Dengan mengenal diri sendiri, kita juga akan bisa menemukan citra Tuhan dan mengenal Tuhan lebih dekat lagi.
Mirip dengan Plato, al-Ghazali menyebut manusia memiliki tiga unsur, yakni unsur hewan, setan, dan malaikat. Untuk bisa bahagia, manusia harus bisa mewaspadai syahwat dan amarah, serta terus mencari ilmu.
Filsafat Kebahagiaan Versi Ki Ageng Suryomentaram
Beda lagi dengan pendapatnya Ki Ageng Suryomentaram. Menurut beliau, rumus kebahagiaan itu bisa disingkat sebagai 6S yang intinya mengajak kita untuk hidup sederhana, yakni:
- Sakbutuhe (sekadar kebutuhan)
- Sakperlune (sekadar keperluan)
- Sakcukupe (sekadar kecukupan)
- Sakbenere (sekadar kebenaran)
- Sakmesthine (sekadar kepantasan/keharusan)
- Sakpenake (sekadar kenyamanan/kenikmatan)
Mirip dengan al-Ghazali, syarat bahagia versi Ki Ageng adalah mengerti diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar. Untuk bisa melakukannya, kita harus bisa hidup saat ini (saiki), di sini (ing kene), dan seperti ini (ngene).
Ki Ageng juga menekankan kalau kebahagiaan itu harus tergantung oleh kondisi internal tanpa tergantung dengan kondisi eksternal. Kita juga harus bisa mengendalikan keinginan diri, entah kesenangan fisik, reputasi, maupun status sosial.
Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan
Selama hampir tujuh tahun menulis artikel ulasan buku di blog ini, rasanya baru kali ini bagian “Isi Buku” sepanjang sekarang. Salah satu alasannya adalah agar Penulis bisa mengingat apa saja isi dari buku ini, yang menurut Penulis sangat penting untuk kehidupannya.
Walau sudah menulis sepanjang itu, percayalah bahwa masih ada banyak bagian yang tidak Penulis banyak. Buku ini memang tergolong tipis, tapi isinya sangat padat dan daging semua. Karena begitu menarik, Penulis bisa menyelesaikan buku ini dengan cukup cepat.
Seperti yang sudah Penulis singgung di awal, buku ini benar-benar menggambarkan ciri khas Fahruddin Faiz yang bisa menyampaikan hal berat menjadi ringan sehingga bisa dipahami oleh semua orang, bahkan yang asing dengan dunia filsafat sekalipun.
Kata filsafat yang selama ini terkesan mengerikan berhasil diubah menjadi menyenangkan dan terkesan santai untuk dipelajari. Sama sekali tidak ada penjelasan yang njelimet yang membuat kita harus membaca ulang lagi.
Lantas, apakah buku ini akan membuat kita langsung paham apa itu kebahagiaan? Tentu tidak semudah itu. Pada akhirnya, kebahagiaan itu tanggung jawab kita sendiri. Buku ini hanya hadir untuk membantu kita menemukan kebahagiaan itu.
Bahagia adalah bagian dari diri manusia, dan sudah sewajarnya manusia mengejar kebahagiaan dengan cara-cara yang benar. Manusia sudah sewajarnya merasa bahagia, karena itu adalah fitrah kita sebagai manusia.
Semoga saja makin banyak topik-topik filsafat lain yang akan diulas oleh Fahruddin Faiz, dengan mempertahankan gaya bahasanya yang mudah dicerna. Saat ini Penulis sedang membaca buku Filsafat Moral, yang juga akan tandas dalam waktu dekat.
Skor: 9/10
Lawang, 4 Desember 2024, terinspirasi setelah membaca Filosofi Kebahagiaan karya Fahruddin Faiz
Non-Fiksi
[REVIEW] Setelah Membaca The Book of Everyday Things

Penulis sudah memiliki tiga buku tulisan Desi Anwar, yakni Hidup Sederhana, Going Offline, dan Apa yang Kita Pikirkan Ketika Kita Sendirian. Penulis merasa cocok dengan gaya penulisannya, sederhana tapi bermakna.
Oleh karena itu, tak heran jika Penulis sampai menambah satu buku lagi tulisan Desi Anwar. Kali ini, sudut pandang yang diambil cukup menarik, dengan judul The Book of Everyday Things.
Saat membaca sekilas isinya, Penulis merasa sedikit terkejut karena buku ini membahas literally hal-hal remeh yang sering kita abaikan begitu saja karena telah menjadi bagian dari hidup kita sejak lama. Ternyata, ada banyak sudut menarik dari benda-benda tersebut.
Detail Buku The Book of Everyday Things
- Judul: The Book of Everyday Things
- Penulis: Desi Anwar
- Penerbit: Penerbit Gramedia Pustaka Utama
- Cetakan: Pertama
- Tanggal Terbit: Februari 2024
- Tebal: 300 halaman
- ISBN: 9786020675923
- Harga: Rp149.000
Sinopsis Buku The Book of Everyday Things
Buku, bantal, sepatu, bolpoin, jam tangan, mainan, uang, dan sikat gigi… Ini adalah berbagai benda yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya begitu biasa sehingga kita menerimanya begitu saja, seolah-olah semua benda itu sudah menjadi bagian hidup kita. Pada kenyataannya, kemampuan untuk membuat benda mungkin adalah cara kita mendefinisikan spesies kita dan membuat kita berbeda dari makhluk hidup lainnya.
Coba tengok keadaan di sekitar kita perhatikan jumlah benda yang ada di sekeliling yang terus bertimbun sepanjang hidup kita. Seorang manusia mungkin mengawali hidupnya hanya dengan tarikan napas pertama, kemudian tidak membawa apa-apa ke dalam kuburnya selain yang dihiaskan orang lain pada jasadnya yang sudah tak bernyawa. Padahal, selama hidupnya, dia bergantung pada berbagai benda, bukan hanya untuk memungkinkannya berfungsi, melainkan juga agar memiliki identitas dan tujuan: Berbagai benda dan barang yang diciptakan dan diproduksi oleh sesama manusia yang dapat digunakan untuk mengendalikan serta memanipulasi lingkungannya dan menentukan takdirnya. Berbagai barang yang mengisi tidak hanya ruang yang ditempatinya, tetapi juga yang pada akhirnya mengacaukan dan menyesakkan seluruh Bumi, yang sekaligus menyisakan semakin sedikit ruang bagi makhluk hidup lainnya untuk berkembang.
The Book of Everyday Things adalah pengingat bahwa terlepas dari kemampuan spesies kita untuk menaklukkan alam dan menciptakan aneka benda menakjubkan untuk membuat hidup kita lebih nyaman, obsesi kita untuk memproduksi dan mengonsumsi beragam benda mungkin justru membuat kita makin tidak memahami tujuan sebenarnya keberadaan kita. Bahwa mungkin kebahagiaan sejati tidak hanya terletak pada berbagai benda buatan manusia, tetapi juga menghargai apa yang diberikan alam kepada kita.
Isi Buku The Book of Everyday Things
Sesuai dengan judulnya, buku ini dibagi menjadi beberapa bab dengan judul benda atau sesuatu yang menemani keseharian kita. Total, ada 30 bab yang awalnya bagi Penulis tak akan menarik untuk dibahas, yakni:
- Buku
- Bantal
- Roti
- Surat
- Pernak-pernik
- Teh
- Uang
- Kucing
- Keluarga
- Sepatu
- Jam Tangan
- Foto
- Televisi
- Sabun
- Mainan
- Alat Tulis
- Mimpi
- Sekolah
- Ingatan
- Seni
- Bendera
- Kematian
- Topeng
- Sikat Gigi
- Rumah
- Kekuatan Adikodrati
- Gula
- Cahaya
- Informasi
- Limbah
Setiap babnya memiliki ketebalan yang bervariasi, tapi tidak ada yang terlalu memonopoli karena cukup seimbang. Dengan ketebalan hingga 300 halaman, setiap bab kurang lebih memiliki 10 halaman.
Mungkin banyak yang kebingungan, apa menariknya membahas bantal? Penulis juga sempat berpikir seperti itu. Namun, setelah membaca, ternyata ada banyak sekali hal menarik yang bisa dibahas dari sebuah bantal.
Di setiap babnya, Desi Anwar menggunakan dua pendekatan, yakni bagaimana pengalaman pribadinya terhadap benda tersebut dan menyisipkan sejarah penggunaan benda tersebut dalam peradaban manusia.
Mengingat Penulis merupakan penggemar sejarah, tentu mengetahui bagaimana sebuah benda yang kerap diabaikan begitu saja memiliki sejarah yang panjang menjadi hal yang sangat menarik.
Kita kadang meremehkan benda-benda ini karena sudah terlalu biasa dengan keberadaannya tanpa pernah bertanya bagaimana benda ini bisa hadir di dunia dan memudahkan kehidupan kita. Ujungnya, hal ini akan membantu kita merasa bersyukur dengan keberadaannya.
Tiga puluh benda (atau hal) yang ada di dalam buku ini tidak terkait satu sama lain, sehingga Pembaca bisa membacanya lompat-lompat tergantung benda mana yang paling membuat penasaran.
Setelah Membaca The Book of Everyday Things
The Book of Everyday Things menjadi bukti bahwa ide itu bisa datang dari mana saja. Siapa yang bisa menyangka kalau bantal bisa menjadi sepuluh halaman tulisan? Jelas buku ini menjadi inspirasi Penulis dalam mengisi blognya, terutama ketika sedang buntu ide.
Untuk gaya kepenulisan, rasanya tak perlu meragukan kemampuan Desi Anwar. Dijamin, walau benda yang dibahas terkesan remeh, pembahasan yang disajikan tetap menarik dan tidak membuat bosan. Buktinya, Penulis bisa menyelesaikan buku ini dengan cepat.
Selain itu, buku ini juga dipenuhi dengan berbagai ilustrasi yang menarik dengan nuansa oranye. Hal ini memang menambah daya tarik buku ini, tapi sekaligus membuat harganya menjadi lebih mahal, yakni Rp149.000.
Ada satu hal yang kurang sreg buat Penulis. Buku ini berjudul The Book of Everyday Things, di mana things diterjemahkan sebagai “benda.” Namun, beberapa bab di buku ini justru membahas hal yang tidak bisa dianggap sebagai benda.
Kucing dan keluarga jelas kurang cocok untuk dianggap sebagai benda, karena mereka makhluk hidup. Mimpi dan kematian lebih cocok dianggap sebagai peristiwa. Bahkan cahaya dan informasi pun bukan sesuatu yang tangible.
Mungkin Desi Anwar memiliki alasan dan penerjemahan sendiri mengapa memasukkan hal-hal tersebut ke dalam buku ini, sehingga Penulis juga tidak terlalu mempermasalahkannya. Hanya saja, Penulis merasa masih ada benda-benda lain yang layak untuk dibahas olehnya.
Secara keseluruhan, Penulis merasa buku ini adalah bacaan santai yang membuat kita mendapatkan banyak insight menarik sekaligus mengajak kita merenungi keberadaan benda-benda yang ada di keseharian kita.
Penulis merekomendasikan buku ini untuk siapa saja yang mudah merasa penasaran dengan hal-hal yang mungkin tidak terpikirkan orang lain. Buku ini akan sangat cocok untuk menjadi teman perjalanan yang menyenangkan.
Skor: 8/10
Lawang, 27 November 2024, terinspirasi setelah membaca The Book of Everyday Things karya Desi Anwar
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca The Book of Everyday Things
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan
-
Renungan5 bulan ago
Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri
-
Anime & Komik5 bulan ago
Ai Haibara adalah Karakter Favorit Saya di Detective Conan
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #28: Point City
-
Olahraga4 bulan ago
Apakah Manchester United Benar-Benar Telah Menjadi Klub Terkutuk?
-
Sosial Budaya5 bulan ago
Mengapa Tidak Pernah Ada Istilah “Laki-Laki Independen”?
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #27: Here to Slay