Politik & Negara
Jokowi dan Prabowo Sama-Sama Putra Terbaik Bangsa

Grup keluarga sering kali dianggap sebagai ladang penyebaran hoaks terbaik. Hal tersebut ada benarnya, namun tak semuanya seperti itu.
Contohnya, adalah salah satu broadcast dari ayah penulis yang berisikan sebuah pesan yang menurut penulis sangat bagus, terutama ketika suasana politik sedang panas-panasnya.
Oleh karena itu, penulis ingin membaginya di sini agar pembaca sekalian bisa membacanya juga. Broadcast ini dibuat oleh Agus Taufiq, entah siapa dia penulis kurang tahu.
Pilpres 2019: Pertarungan Putra Terbaik Bangsa
Kita boleh kecewa pada Jokowi, boleh pula tak percaya pada Prabowo. Tapi kita harus akui, faktanya mereka adalah 2 orang putra terbaik bangsa.
Jokowi
Jokowi adalah kisah nyata seorang rakyat biasa yang bisa menjadi manusia luar biasa. Impian banyak anak desa, doa dari semua orang tua untuk anaknya.
Ini bukan sinetron dan dongeng, ini nyata. Seorang anak pinggir kali, yang harus pindah rumah berkali-kali karena tak mampu bayar sewa juga kena penggusuran dari angkuhnya kehidupan kota.
Beliau lahir dari anak tukang kayu, pembelajar keras yang akhirnya mengantarkan dirinya masuk ke Jurusan Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), salah satu kampus terbaik yang tak semua orang mampu meraihnya.
Beliau bukan aktivis mahasiswa, tak punya nama di zamannya. Jokowi memilih menepi dari politik kampus.
Ia lebih suka naik gunung di akhir pekan, hingga akhirnya secara bertahap merintis bisnis dan menjadi pengusaha mebel di Surakarta.
Ya, doa jutaan orang tua, “bapak kuli, semoga kamu bisa jadi insinyur”. Jokowi adalah kisah nyata perjuangan anak miskin yang mengangkat derajat keluarganya melalui pendidikan dan kerja keras.
Jokowi bukan kader asli yang dibesarkan partai. Ia awalnya diminta menemani F.X. Hadi Rudyatmo (PDIP) yang enggan maju sebagai walikota Solo.
Alasannya, ia khawatir dengan isu agama dan memilih untuk menjadi wakil Jokowi yang diprediksi lebih bisa diterima publik Solo karena seorang muslim.
Jokowi menghadirkan kepemimpinan gaya baru di Solo. Berdialog dengan masyarakat yang akan direlokasi, menggusur dengan sangat manusiawi, bahkan dengan PKL dikirab layaknya festival budaya, dikawal satpol PP layaknya pejabat.
Tak ada kekerasan, pengggusuran itu dibuat menyenangkan. Tak heran, ia menang mutlak dalam periode kedua kepemimpinanannya di Solo.
Kecemerlangannya dalam memimpin mengantarkan beliau menapaki jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta (2012) hingga menjadi Presiden RI (2014).
Prabowo

Prabowo (Sipayo.com)
Prabowo adalah putra mahkota dalam berbagai kisah. Putra terbaik dalam segala aspek.
Kakeknya adalah Pendiri Bank Negara Indonesia (BNI), Raden Mas Margono Djojohadikoesoemo, beliau juga Anggota BPUPKI dan Ketua DPAS pertama.
Ayahnya adalah begawan ekonomi legendaris republik ini, Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, yang namanya diabadikan menjadi nama gedung di Kementerian Keuangan.
Sumitro juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan, Menristek, Menteri Perindustrian dan Perdagangan di era Soekarno dan Soeharto.
Soemitro juga terkenal sebagai kritikus yang berani dengan keras menentang kebijakan-kebijakan ekonomi Soekarno dan Soeharto yang dianggap tidak pro rakyat.
Bahkan pernah menjadi buron ke luar negeri di masa pemerintahan Soekarno karena dianggap terlalu vokal dan berbahaya.
Saat menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Sumitro pernah “didiamkan” tak disapa Bu Tien Soeharto selama setahun karena menolak memberikan hak istimewa dalam perdagangan.
Prabowo lulus sekolah menengah di usia 16 tahun, lebih muda dari sebayanya. Di usia 17 tahun, Prabowo bersama aktivis legendaris Soe Hok Gie mendirikan LSM Pembangunan, yang fokus pada pembangunan desa dan merupakan LSM Pertama di Indonesia.
Di tengah keluarga intelektual, ia justru memilih jalan berbeda menjadi prajurit bangsa. Prabowo adalah lulusan Akademi Militer tahun 1974.
Meski di militer, Prabowo tetap mewarisi tradisi intelektual ayahnya. Beliau terkenal sebagai tentara yang paling rajin membaca dangan koleksi buku yang sangat banyak dan menguasai 4 bahasa asing, yaitu bahasa Inggris, Perancis, Belanda, dan Jerman.
Prabowo berkali-kali dikirim mengikuti pelatihan dan kursus di luar negeri tahun 1974, 1975, 1977, 1981.
Beliau juga pernah mengenyam pendidikan Counter Terorist Course Gsg-9 di Jerman dan Special Forces Officer Course di Fort Benning, USA.
Beliau bersama Putra Raja Yordania menjadi lulusan terbaik dari pendidikan militer yang diikutinya di Amerika.
Permainan Buzzer
Percayalah, isu Jokowi akan membangkitkan PKI dan Prabowo akan mendirikan Khilafah hanyalah permainan buzzer untuk menakut-nakuti kita.
Jokowi jelas masih berusia 5 tahun saat PKI dibubarkan, ayahnya pun jelas bukan intelektual PKI, hanya tukang kayu yang tak tahu urusan politik PKI.
Prabowo, meski diidentikkan dengan ABRI Hijau dan sangat dekat dengan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) milik B.J. Habibie di tahun 1998, nyatanya ibu dan adik Prabowo adalah seorang nasrani.
Prabowo dan ayahnya muslim. Saat natal maupun lebaran, mereka merayakan bersama-sama. Begitulah keberagaman dan toleransi yang hidup di keluarga Prabowo.
Prestasi Jokowi dan Prabowo
Jokowi pernah dinobatkan sebagai salah satu walikota terbaik dunia, pun begitu dengan Prabowo yang mampu meraih banyak prestasi saat memimpin kopassus dan membuat kopassus menjadi salah satu satuan elit terbaik di dunia dan pasukannya memiliki kesejahteraan di atas rata-rata.
Jokowi sukses dengan Asian Games, kita semua dibuat terpesona dengan upacara pembukaan dan penutupan yang luar biasa.
Tapi jangan lupakan bahwa medali terbanyak yang mengatrol peringkat Indonesia adalah cabor Pencak Silat yang dibina oleh Prabowo sebagai ketua IPSI.
Perbedaan Gaya Kepemimpinan

Jokowi dan Prabowo (JARRAK.ID)
Akuilah, mereka berdua ada putra terbaik bangsa. Hanya berbeda gaya bahasa, Jokowi yang orang Solo tulen khas dengan keramahan dan suara lembutnya, gaya yang santai dan banyak bercanda.
Kita semua tentu senang dengan gaya kepemimpinan yang asik dan merakyat. Beliau membawa gaya baru dalam definisi pemimpin di Indonesia.
Prabowo setengah Banyumas (Ayah) dan setengah Minahasa (Ibu). Banyumas memang ibarat Bataknya Jawa. Gaya Banyumasan lebih tinggi nada suaranya, sedikit ceplas ceplos dan terbuka dibanding jawa bagian Joglosemar (Jogja Solo Semarang) dengan tata bahasa krama inggil.
Ditambah ibu yang dari Sulawesi dan latar bekalang militer. Wajar gaya bicaranya tegas dan berapi-api.
Tapi tentu kita semua bangga jika punya pemimpin yang mampu berorasi dengan lantang dengan bahasa Inggris yang fasih dalam memperjuangkan Palestina dan negeri tertindas lainnya di depan rapat PBB dan forum-forum internasional.
Jadi, baik gaya yang santai ataupun berapi-api ini hanya masalah selera pemilih saja, yang terpenting adalah keberpihakannya pada rakyat.
Jika Jokowi bukan orang yang baik tidak mungkin Prabowo memperjuangkannya untuk maju sebagai Gubernur DKI, dimana dulu Megawati hampir tidak merestui, tapi Prabowo yang memperjuangkan.
Sebaliknya, Anda yang meyakini Jokowi adalah orang baik, artinya harus juga meyakini Prabowo adalah orang baik karena munculnya Jokowi ke Jakarta tak lepas dari perjuangan Prabowo dan adiknya yang menyokong dana kampanye Jokowi.
Jadi, stop terbawa arus informasi yang menghayutkan kita menjelek-jelekkan personal capres. Kita harus kritis terhadap kebijakan dan program para Capres, tapi bukan menjatuhkan personalnya.
Kritik kebijakan dan programnya, bukan personalnya atau latar belakang keluarganya. Tugas kita berikutnya adalah mempelajari program yang ditawarkan dan mengenali siapa-siapa saja yang berada dibalik Sang Capres pilihan.
Karena kita telah sepakat keduanya orang baik, tinggal kita menilai orang-orang di sekitar mereka.
Bagi yang tetap ingin menyerang personal Jokowi dan Prabowo, pertanyaan sederhananya: Apakah Anda sudah lebih baik dari Jokowi dan Prabowo?
Penutup
Penulis tidak tahu kebenaran fakta-fakta yang disajikan, tapi inti dari tulisan ini adalah mengajak kepada masyarakat Indonesia untuk berhenti menyerang capres dan menyebarkan hoaks.
Kita sangat mudah percaya informasi-informasi yang kebenarannya patut diragukan. Berbagai kampanye hitam ditebar untuk menjatuhkan elektabilitas calon lainnya.
Siapapun nanti yang terpilih, semoga bisa membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik lagi.
Kebayoran Lama, 15 April 2019, terinspirasi setelah mendapatkan broadcast di grup keluarga
Foto: Tirto.ID
Politik & Negara
Ketika Para Artis Terjun ke Dunia Politik

Seperti yang sudah Penulis bahas dalam tulisan 2024 Mau Pilih Siapa?, tahun depan akan menjadi tahun politik. Jika melihat situasi dan kondisi sekarang, bukan tidak mungkin suasananya akan terasa lebih “panas” dari tahun-tahun sebelumnya.
Selain menantikan calon-calon presiden yang akan dimunculkan, hal yang menarik lainnya adalah mengetahu siapa saja calon legislatif (caleg) yang bisa kita pilih nantinya. Apalagi, tahun depan dipastikan akan banyak artis dan public figure yang turut serta.
Pada tulisan kali ini, Penulis akan membahas sedikit mengenai fenomena artis yang terjun ke dunia politik. Apakah peranan mereka hanya sekadar pendulang suara, atau mereka benar-benar memiliki kapabilitas untuk mewakili rakyat?
Mengapa Para Artis Ingin Menjadi Caleg?
Begitu melihat panjangnya daftar nama artis dan public figure yang akan mencalonkan diri sebagai caleg, Penulis benar-benar terkejut. Rasanya, belum pernah daftarnya sepanjang ini. Pembaca bisa melihatnya melalui posting dari Finfolk Money di bawah ini:
Memang ada beberapa nama lama seperti Kris Dayanti, Rieke Diah Pitaloka, Nurul Arifin, hingga Desy Ratnasari. Namun, jujur Penulis menemukan banyak nama baru di sini. Pemilu 2024 tampaknya menjadi debut mereka di dunia politik, jika seandainya terpilih.
Berbondong-bondongnya mereka untuk mencalonkan diri pun menimbukan tanda tanya besar: Apakah mereka yang selama ini berprofesi sebagai entertainer memiliki kemampuan untuk berpolitik yang terkenal rumit dan penuh intrik?
Jika mau berprasangka buruk, kemungkinan besar para artis tersebut direkrut untuk mendulang suara partai yang mengusung mereka. Dengan popularitas yang dimiliki, bukan tidak mungkin masyarakat memiliki tokoh yang mereka tahu.
Kalau mau dibandingkan dengan para kader partai biasa, jelas para selebriti akan lebih dikenal oleh masyarakat. Tanpa membawa embel-embel kampanye pun, kehadiran mereka pasti mampu untuk menarik massa.
Dari sisi artisnya, mungkin mereka merasa masa mereka di dunia hiburan sudah hampir habis, sehingga memutuskan untuk banting setir ke profesi yang lebih menjanjikan. Apalagi, caleg memang memiliki gaji dan tunjangan yang cukup menggiurkan.
Jika mau berprasangka baik, bisa jadi para artis tersebut merasa ada begitu banyak masalah di negara ini dan ingin berkontribusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Kalau mau memperbaiki sistem, ya harus masuk ke dalam sistemnya.
Dengan pengaruh dan ketenaran yang dimiliki, bisa jadi suara mereka lebih didengar. Bisa jadi ide-ide yang keluar dari para tokoh ini bisa menjadi solusi dari sebuah permasalahan. Bisa jadi mereka adalah sosok sesungguhnya yang pantas untuk menjadi wakil rakyat.
Pertanyaannya, mana yang benar? Tergantung. Semua tentu memiliki motivasinya masing-masing hingga rela meninggalkan dunia keartisan dan memilih untuk terjun ke dunia politik. Jadi, mungkin lebih baik kita seimbangkan saja antara prasangka baik dan buruknya.
Apakah Para Artis Boleh Menjadi Caleg?
Lantas, apakah para artis boleh bergabung dengan partai politik dan menjadi caleg? Tentu saja boleh, mengingat semua warga Indonesia pada dasarnya memiliki hak yang sama, walau belum tentu semua orang memiliki kesempatan tersebut.
Hanya saja, Penulis memang sedikit merasa khawatir kalau para artis ini hanya digunakan “alat” agar partai politik bisa meraup lebih banyak suara. Dengan nama besar yang sudah dimiliki, mereka rasanya tidak perlu memasang baliho di mana-mana.
Selain itu, Penulis juga mempertanyakan kapabilitas mereka karena menjadi seorang wakil rakyat merupakan pekerjaan yang berat. Jika mereka selama ini berkarir sebagai entertainer, kapan mereka memiliki waktu untuk belajar politik dan lain-lain?
Memang ada beberapa artis yang terbukti berhasil menjadi anggota dewan selama bertahun-tahun, bahkan terus terpilih di setiap pemilu. Namun, rasanya persentasenya tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan politisi asli.
Masyarakat kita harusnya juga sudah cukup cerdas dalam berpolitik. Dalam memilih caleg, tentu yang harus dipertimbangkan adalah program, visi misi, maupun track record-nya selama ini. Jangan sampai memilih caleg hanya berdasarkan popularitasnya saja.
Jika nanti mereka memang banyak yang terpilih, Penulis hanya bisa berdoa agar mereka amanah dan mampu mengemban tanggung jawab dengan sebaik mungkin. Semoga mereka bisa lebih baik dari anggota-anggota dewan sebelumnya.
Jika mereka terbukti mampu menjadi wakil rakyat yang baik, bukan tidak mungkin di masa depan akan lebih banyak lagi artis dan public figure yang mengikuti jejak mereka.
Lawang, 23 Mei 2023, terinspirasi setelah menyadari kalau ada banyak artis yang mencalonkan diri sebagai caleg di Pemilu 2024 mendatang
Foto Featured Image:
Politik & Negara
2024 Mau Pilih Siapa?

Tak terasa tahun 2024 akan segera datang. Presiden Joko Widodo telah menggenapi masa jabatannya selama dua periode. Artinya, suasana politik akan “memanas” dalam beberapa bulan mendatang, hingga saatnya pemilihan presiden (pilpres).
Dalam beberapa tahun terakhir, sudah mulai terasa tokoh-tokoh yang mengampanyekan diri agar lebih dikenal oleh publik, sehingga mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk dicalonkan menjadi presiden.
Untuk itu, Penulis pun ingin sedikit membahas mengenai peta politik di 2024 secara kasar dan siapa saja yang akan muncul ke permukaan, sembari membahas sejarah pesta demokrasi kita yang bisa dibilang masih berusia muda ini.
Partai Penguasa Belum Tentu Menang Lagi

Ketika seorang presiden yang sudah dua kali menjabat akhirnya lengser, tentu publik akan merasa penasaran siapa sosok baru yang akan menggantikannya. Ini karena dalam era demokrasi, presiden petahana memang selalu bisa menang lagi.
Setelah 32 tahun dipimpin oleh Soeharto, kita memiliki 3 presiden dalam rentang 6 tahun (1998 – 2004), yaitu B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati Sukarnoputri. Barulah setelah itu, kita mengalami era politik yang relatif stabil.
Dalam era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), beliau berhasil memenangkan pemilu di tahun 2004 dan 2009, bersama wakil presiden yang berbeda. Begitu pula di era Joko Widodo, yang berhasil memenangkan pemilu di tahun 2014 dan 2019 juga dengan berbeda wakil.
Menariknya, dalam 20 tahun tersebut, kita bisa melihat kalau partai politik (parpol) yang menang pilpres belum tentu bisa memenangkan pemilu lagi. Sebagai gantinya, justru pihak oposisi yang berhasil “merebut” kekuasaan.
SBY bersama Partai Demokrat gagal mempertahankan kursi mereka, bahkan di tahun 2014 memutuskan untuk netral dan tidak mencalonkan presiden. Pada akhirnya, Joko Widodo dan PDI Perjuangan yang merupakan oposisi berhasil meraih pucuk kekuasaan di negeri ini.
Nah, tentu menarik apakah di tahun 2024 mendatang, PDI Perjuangan mampu kembali mendudukkan kader mereka di kursi kepresidenan, atau kejadian di tahun 2014 akan kembali terulang?
Setidaknya PDI Perjuangan sudah menentukan siapa calon presiden (capres) dari partai mereka, yang akan Penulis bahas pada bagian selanjutnya. Tinggal ditunggu saja, siapa yang akan menjadi pesaing PDI Perjuangan di Pemilihan Presiden 2024 mendatang.
Siapa Saja Calon Presiden 2024?

Seperti yang sudah Penulis singgung di awal, sudah ada banyak nama yang terlihat ingin menyalonkan diri sebagai presiden, entah secara implisit maupun eksplisit. Anehnya, mereka yang sering Penulis lihat di baliho justru jarang dibicarakan oleh publik.
Kita telah melihat baliho Puan Maharani dari PDI Perjuangan dengan tagline Sayap Kebhinekaan. Namun, kita semua tahu PDI Perjuangan pada akhirnya menyalonkan Ganjar, bukan Puan.
Penulis juga kerap melihat baliho Muhaimin Iskandar alias Cak Imin dari PKB. Setiap musim pemilihan presiden, selalu ada wajahnya terpampang di mana. Bedanya, kali ini beliau dengan pede mencantumkan kata “Presiden”, bukan “Wakil Presiden” seperti di tahun 2019 silam.
Selain mereka berdua, Penulis juga sering melihat sosok Airlangga Hartarto, ketua umum Partai Golkar, di jalan-jalan. Menteri BUMN saat ini, Erick Thohir, juga kerap terlihat, bahkan sampai muncul di mesin ATM bank negara.
Menariknya, mereka semua belum ada yang telah dideklarasikan secara resmi oleh parpol. Sampai saat ini, baru ada dua sosok, yaitu Anies Baswedan yang diusung oleh Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat, serta Ganjar Pranowo dari PDI Perjuangan.
Selain itu, bau-baunya Prabowo Subianto juga akan dicalonkan oleh Partai Gerindra lagi untuk ketiga kalinya sebagai capres. Nama Ridwan Kamil juga kerap dimunculkan, walau belum mendapatkan dukungan dari partai mana pun.
Penutup
Berhubung pendaftaran capres masih lama (sekitar bulan Oktober), tentu peta politik ini masih bisa berubah. Apalagi, masih banyak partai politik yang belum secara tegas menentukan akan mengusung atau mendukung capres siapa.
Jika melihat daftar-daftar nama yang ada, kemungkinan besar hanya akan ada tiga capres yang akan maju, yaitu Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. Adanya Presidential Threshold tentu menjadi alasan utamanya.
Belum ada nama wakil presiden yang telah resmi digandeng oleh mereka. Namun, pergerakan PPP dengan “merekrut” Sandiaga Uno tampaknya memunculkan peluang kalau duet Ganjar-Sandi akan terjadi. Erick Thohir juga diisukan untuk menemani Ganjar.
Lantas, siapa yang akan Penulis pilih di 2024 berdasarkan nama-nama yang sudah ada? Penulis pribadi belum menentukan pilihannya karena masih menantikan program-program yang ditawarkan oleh para capres.
Kalau Pembaca, apakah sudah menentukan pilihan? Siapapun pilihan kita nanti, semoga saja kita bisa menjaga suhu politik kita di tahun politik 2024 bisa tetap dingin. Semoga siapapun yang terpilih, bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik lagi. Amin.
Lawang, 9 Mei 2023, terinspirasi setelah seringnya melihat beberapa tokoh mulai mempromosikan diri menjadi presiden
Foto Featured Image: ERA.ID
Politik & Negara
Formula E di Pusaran Politik Indonesia

Di awal bulan Juni ini, Jakarta untuk pertama kalinya menjadi salah satu tuan rumah ajang balapan mobil listrik Formula E yang berada di bawah naungan FIA (Fédération Internationale de l’Automobile), badan yang juga menaungi Formula 1 alias F1.
Sebagai penggemar F1, Penulis pun merasa tertarik untuk menonton balapan ini karena diadakan di Indonesia. Meskipun tidak pernah mengikuti Formula E, justru ini menjadi kesempatan untuk bisa mengenal cabang balapan yang satu ini.
Ada banyak hal baru yang Penulis ketahui tentang Formula E dan apa saja perbedaannya dengan F1. Contoh, tidak adanya jumlah lap, adanya zona Attack Mode dan voting penggemar yang bisa menambah kecepatan, dan masih banyak lagi lainnya.
Setelah melalui balapan yang terselenggara sekitar 45 menit tersebut, Mitch Evans berhasil menjadi juara. Penulis sendiri merasa menikmati balapan tersebut, terutama di 15 menit terakhir yang banyak menyajikan aksi salip menyalip.
Sayangnya, Penulis merasa kalau ajang sekelas Formula E ini harus berada di pusaran politik dengan begitu kencangnya, bahkan mulai dari jauh-jauh hari ketika banyak pihak yang meragukan kalau Jakarta sanggup menjadi tuan rumah.
Dipermasalahkan Sejak Awal

Bagi yang mengikuti “kisah” Formula E ini dari awal, pasti tahu kalau penyelenggaraannya sudah penuh dengan drama sejak inisiasinya. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, jelas menjadi salah satu yang paling sering disorot sekaligus diserang oleh lawan politiknya.
Masalah yang paling sering disinggung adalah Commitment Fee yang berjumlah 560 miliar (dari yang awalnya mencapai 2,3 triliun rupiah, mengalami penurunan karena adanya pandemi COVID-19).
Meskipun uang tersebut digunakan untuk kontrak selama tiga musim Formula E, jumlah tersebut dianggap terlalu besar, apalagi menggunakan APBD. Pihak yang paling vokal menolak pengadaan Formula E ini tentu saja Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Mereka kerap menyebutkan kalau Jakarta masih memiliki segudang permasalahan seperti banjir dan macet, sehingga dana tersebut tentu sangat sayang jika digelontorkan untuk “hanya” menggelar Formula E.
Selain itu, lokasi balapan yang awalnya ingin di sekitar Monas mendapatkan penolakan dari banyak pihak dengan berbagai alasan seperti ingin melindungi cagar budaya. Akhirnya, lokasi balapan pun dipindah ke area Ancol, dekat Jakarta International Stadium (JIS).
Kambing dan Terperosoknya Giring

Setelah sempat mengalami penundaan karena adanya pandemi, akhirnya Formula E di Jakarta akan diadakan pada pertengahan tahun 2022. Nah, pada awal tahun, ada sebuah kejadian yang menjadi viral akibat video yang direkam oleh Ketua Umum PSI, Giring Ganesha.
Ia melakukan semacam sidak ke lokasi yang akan menjadi sirkuit Formula E. Pada saat itu, kondisinya memang terlihat sama sekali belum layak untuk menjadi sebuah sirkuit. Masih banyak kambing, dan kaki Giring sempat terperosok ke dalam lumpur.
Hasil sidak ini pun memunculkan pesimisme publik terhadap Formula E: Apakah bisa hanya dalam beberapa bulan sirkuit dengan standar internasional akan bisa selesai dibangun?
Ternyata, pengerjaan sirkuit sangat cepat. Hanya dalam waktu tiga bulan (bahkan kurang), sirkuit Jakarta International E-Prix Circuit (JIEC) selesai dibangun. Pihak Jakpro dan Formula E seolah mampu menjawab keraguan publik tersebut.
Beda Perlakuan MotoGP dan Formula E

Hal lain yang disorot dari penyelenggaraan Formula E ini tentu saja dukungan dari pemerintah. Berbeda dengan penyelenggaraan MotoGP di Mandalika, tidak ada satupun sponsor dari BUMN.
Ketua Pelaksana Formula E Jakarta Ahmad Sahroni sempat mengungkapkan kekecewaannya atas absennya BUMN sebagai sponsor. Bahkan untuk masalah listrik, Sahroni mengungkapkan bahwa pihaknya membayar penuh, meskipun sempat ditawari pemotongan harga.
Alasannya pun bermacam-macam. Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan sudah banyak event yang harus disponsori seperti G20. Dirut PT Pertamina Nicke Widyawati menyebutkan bahwa model bisnis Formula E (yang merupakan mobil listrik) tidak sesuai dengan Pertamina.
Sebenarnya alasan-alasan tersebut masih masuk akal. Pemerintah memang terlihat seperti sedang mengalami masalah keuangan, sehingga harus pandai berhemat. Di sisi lain, Pertamina memang belum memiliki produk yang bisa digunakan untuk mobil listrik.
Hanya saja, memang cukup disayangkan jika BUMN yang bisa mewakili negara malah absen di ajang sebesar Formula E yang diliput oleh ratusan media dari luar negeri. Sebagai gantinya, ada 31 sponsor swasta seperti MS Glow yang masuk.
Jadi Komoditas Politik Banyak Pihak

Setelah melalui berbagai hal, akhirnya Formula E di Jakarta pun berhasil digelar pada hari Sabtu, 4 Juni 2022. Banyak yang menganggap panitia telah sukses menggelar ajang tersebut dan ternyata antusiasme publik pun cukup besar.
Menariknya, ada banyak sekali orang partai yang ikut hadir dalam acara tersebut. Kalau mau berprasangka buruk, mereka seolah ingin “memanfaatkan” kesuksesan Formula E untuk mendapatkan semacam exposure dan lebih dikenal oleh masyarakat.
Jelas, ini menjadi portofolio yang bagus bagi Anies Baswedan jika benar-benar ingin maju menjadi calon presiden (capres) di 2024. Selain itu, Ahmad Sahroni yang juga merupakan kader Partai Nasdem juga tampaknya menjadi semakin populer.
Lantas, bagaimana tanggapan dari pihak PSI yang selama ini paling kencang menolak Formula E? Giring mengatakan bahwa mungkin Formula E tidak akan terlaksana jika kakinya tidak masuk ke dalam lumpur. Menurutnya, itu menjadi motivasi bagi panitia.
Tidak hanya itu, ia juga menolak untuk menyebut Formula E di Jakarta sukses jika tidak ada parameter yang pasti dari sisi ekonomi. MotoGP memang berhasil menyumbang triliunan rupiah menurut klaim Sandiaga Uno, sehingga wajar Formula E diharapkan mampu meraih keuntungan seperti itu.
Kader PSI yang lain, Muhammad Guntur Romli, melalui akun Twitter-nya mengatakan bahwa Formula E (dan pembangunan JIS) adalah upaya Anies untuk menutupi kegagalannya dalam mengurus Jakarta.
Bahkan, setelah acaranya selesai, keriuhan politisnya masih lebih ramai daripada keriuhan acaranya sendiri.
Penutup
Komedian sekaligus sutradara Ernest Prakasa menyebutkan kalau wajar jika brand tidak mau mensponsori Formula E karena ajang tersebut kalah tenar dibandingkan MotoGP. Bahkan, ia menyebutkan siapa yang mengikuti Formula E selain pihak panitia.
Meskipun terkesan nyinyir, sebenarnya pernyataan Ernest memang ada benarnya. Ajang Formula E baru dimulai tahun 2014, berbeda dengan MotoGP yang sudah dihelat sejak tahun 1949 atau Formula 1 yang digelar sejak tahun 1950.
Hanya saja, menurut Penulis justru ketidakpopuleran tersebut jadi motivasi untuk menyelenggarakannya agar bisa menjadi populer. Dengan diadakannya Formula E tahun ini, masyarakat pun jadi tahu banyak tentang ajang ini.
Apalagi, Formula E memiliki kampanye untuk meningkatkan penggunaan kendaraan listrik (terlepas dari sisi bisnis juga tentunya) yang akan menggantikan kendaraan berbahan bakar fosil di masa depan.
Oleh karena itu, Penulis yang memang dasarnya penggemar F1 pun mendukung pengadaan Formula E, sama seperti ketika mendukung ajang MotoGP di Sirkuit Mandalika. Negara kita negara besar, harus mampu menyelenggarakan event internasional seperti itu.
Memang Penulis sedikit merasa risih dengan kencangnya nuansa politis di penyelenggaraan Formula E. Penulis ingin menikmati ajang ini sebagai penggemar olahraga balap tanpa embel-embel apapun.
Namun, Penulis menganggap kalau kita tak akan pernah bisa terlepas dari hal tersebut. Setiap ada kesempatan untuk menaikkan elektabilitas, pasti akan diambil oleh para politikus. Jadi, Penulis pun harus terbiasa dengan hal tersebut.
Lawang, 13 Juni 2022, terinspirasi setelah mengikuti pelaksanaan Formula E dari awal hingga akhir, lengkap dengan segala keriuhannya.
Foto: Formula E
Sumber Artikel:
- Jakpro: Commitment Fee Formula E Turun dari Rp 2,3 Triliun Jadi Rp 560 Miliar karena Kondisi Pandemi Covid-19 (kompas.com)
- Tak Ada BUMN di Daftar Sponsor Formula E, Ahmad Sahroni Sindir PLN? Halaman all – Kompas.com
- Pertamina Absen di Balapan Formula E, Kok Castrol Bisa? – Kabar24 Bisnis.com
- Kronologi Ernest Prakasa Komentari Formula E hingga Dibully, Permintaan Maaf Bikin Tambah Panas (suara.com)
- Musik4 bulan ago
Maskulinitas pada Musik Dewa
- Buku4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Funiculi Funicula: Kisah-Kisah yang Baru Terungkap
- Anime & Komik4 bulan ago
Alasan Saya Tidak Suka One Piece
- Musik5 bulan ago
9 Personel Twice dan Impresi Saya ke Mereka
- Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #6 King of New York
- Pengembangan Diri5 bulan ago
Pada Akhirnya, Kebaikan yang Kita Lakukan akan Kembali ke Diri Sendiri
- Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Funiculi Funicula: Before the Coffee Gets Cold (Spoiler Version)
- Sosial Budaya4 bulan ago
Hype Konser Coldplay di Indonesia: Beneran Nge-fans atau Sekadar FOMO?