Buku
Pemilihan Diksi dan Totalitas Riset Pada Aroma Karsa
Beberapa waktu lalu, penulis baru saja menyelesaikan novel terbaru karya Dewi Lestari yang berjudul Aroma Karsa. Penulis membelinya sewaktu ada promo yang lumayan di Togamas Dieng pada tanggal 23 April 2018. Novel yang cukup tebal ini cukup dibeli dengan harga Rp. 93.750, di mana harga aslinya mencapai Rp. 125.000.
Sebelumnya ada beberapa buku Dee, panggilan akrabnya, yang sudah penulis habiskan seperti Filosofi Kopi dan Serial Supernova yang mencapai enam jilid tersebut. Dari pengalaman, apa yang penulis suka dari Dee adalah pemilihan diksi yang indah, namun tidak sampai membuat maknanya hilang.
Untunglah pada Aroma Karsa karakteristik Dee tersebut tetap terjaga. Sebelumnya, penulis akan menjelaskan secara singkat tentang isi cerita, baru setelah itu akan penulis kupas tentang pemilihan diksi.
Semua Tentang Penciuman
Pertama kali membaca sinopsis yang tertera di sampul bagian belakang, penulis mengira ini adalah novel sejarah seperti novel-novel karya Langit Krisna Hariadi. Namun jika dibaca lebih seksama lagi, ternyata novel ini merupakan novel yang berpusat pada seseorang bernama Jati Wesi yang memiliki kemampuan penciuman super, hingga ia dijuluki sebagai si Hidung Tikus.
Jati hidup dan besar di TPA Bantar Gebang sebagai anak pungutan. Kemampuannya yang luar biasa membuat ia bekerja di salah satu tempat penjual parfum eceran sebagai peracik, hingga pada akhirnya ia bertemu dengan Raras Prayagung, pemilik perusahaan raksasa bernama Kemara.
Raras Prayagung terobsesi untuk mencari Puspa Karsa, tanaman rahasia yang ia ketahui dari lontar warisan neneknya. Kemampuan hidung Jati diharapkan oleh Raras dapat membantunya mencari Puspa Karsa, walaupun anak angkatnya, Tanya Suma, memiliki kemampuan serupa.
Ceritanya mengalir dengan cantik, membuat saya tidak terasa menghabiskan ratusan lembar dalam beberapa jam. Sampai setengah buku, saya belum bisa menebak ke mana arah cerita ini, yang tentu membuat penulis semakin penasaran.
Tiga perempat buku, penulis sudah bisa memahami ke mana cerita ini berjalan, dan di situ penulis mulai berkurang antusiasmenya. Bukan karena ceritanya yang membosankan, melainkan karena adanya unsur “alam lain” pada novel ini, sesuatu yang tidak penulis sukai.
Untunglah pada akhirnya penulis tetap menamatkan novel ini, dan merekomendasikannya kepada pembaca yang sudah cukup umur.
Pemilihan Diksi dan Totalitas Riset
Badai telah sengaja merembeskan aroma dan membiarkan sekelumit rahasia kedatangannya terungkap.
Di atas merupakan salah satu contoh pemilihan diksi yang penulis sukai. Penulis tidak terlalu paham bahasa sastra, yang jelas Dee merupakan salah satu kiblat penulis dalam merangkai kata menjadi sebuah keutuhan dalam kalimat.
Selain pemilihan diksi, yang patut diapresiasi dari Dee adalah totalitasnya dalam melakukan riset. Coba baca satu paragraf berikut.
Ada kualitas urea, laktosa, amonia (mungkin bisa dicoba pakai ambergris, civet, fennel, kesturi). Hangat, lembab, manis, dan amis.
Penulis hanya mengetahui beberapa istilah tersebut, dan penulis yakin orang yang awam juga merasa asing dengan istilah tersebut. Penulis meyakini bahwa Dee mengetahui itu semua berdasarkan riset yang mendalam, demi bahan novelnya. Sebuah usaha yang patut ditiru oleh seluruh penulis di Indonesia, bahkan dunia.
Dengan membaca Aroma Karsa, penulis sadar bahwa masih (sangat) butuh untuk belajar, belajar, dan belajar menulis lebih baik lagi.
Nilainya 4.1/5
Lawang, 31 Juli 2018, terinspirasi setelah membaca novel Aroma Karsa
Non-Fiksi
[REVIEW] Setelah Membaca The Book of Everyday Things
Penulis sudah memiliki tiga buku tulisan Desi Anwar, yakni Hidup Sederhana, Going Offline, dan Apa yang Kita Pikirkan Ketika Kita Sendirian. Penulis merasa cocok dengan gaya penulisannya, sederhana tapi bermakna.
Oleh karena itu, tak heran jika Penulis sampai menambah satu buku lagi tulisan Desi Anwar. Kali ini, sudut pandang yang diambil cukup menarik, dengan judul The Book of Everyday Things.
Saat membaca sekilas isinya, Penulis merasa sedikit terkejut karena buku ini membahas literally hal-hal remeh yang sering kita abaikan begitu saja karena telah menjadi bagian dari hidup kita sejak lama. Ternyata, ada banyak sudut menarik dari benda-benda tersebut.
Detail Buku The Book of Everyday Things
- Judul: The Book of Everyday Things
- Penulis: Desi Anwar
- Penerbit: Penerbit Gramedia Pustaka Utama
- Cetakan: Pertama
- Tanggal Terbit: Februari 2024
- Tebal: 300 halaman
- ISBN: 9786020675923
- Harga: Rp149.000
Sinopsis Buku The Book of Everyday Things
Buku, bantal, sepatu, bolpoin, jam tangan, mainan, uang, dan sikat gigi… Ini adalah berbagai benda yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya begitu biasa sehingga kita menerimanya begitu saja, seolah-olah semua benda itu sudah menjadi bagian hidup kita. Pada kenyataannya, kemampuan untuk membuat benda mungkin adalah cara kita mendefinisikan spesies kita dan membuat kita berbeda dari makhluk hidup lainnya.
Coba tengok keadaan di sekitar kita perhatikan jumlah benda yang ada di sekeliling yang terus bertimbun sepanjang hidup kita. Seorang manusia mungkin mengawali hidupnya hanya dengan tarikan napas pertama, kemudian tidak membawa apa-apa ke dalam kuburnya selain yang dihiaskan orang lain pada jasadnya yang sudah tak bernyawa. Padahal, selama hidupnya, dia bergantung pada berbagai benda, bukan hanya untuk memungkinkannya berfungsi, melainkan juga agar memiliki identitas dan tujuan: Berbagai benda dan barang yang diciptakan dan diproduksi oleh sesama manusia yang dapat digunakan untuk mengendalikan serta memanipulasi lingkungannya dan menentukan takdirnya. Berbagai barang yang mengisi tidak hanya ruang yang ditempatinya, tetapi juga yang pada akhirnya mengacaukan dan menyesakkan seluruh Bumi, yang sekaligus menyisakan semakin sedikit ruang bagi makhluk hidup lainnya untuk berkembang.
The Book of Everyday Things adalah pengingat bahwa terlepas dari kemampuan spesies kita untuk menaklukkan alam dan menciptakan aneka benda menakjubkan untuk membuat hidup kita lebih nyaman, obsesi kita untuk memproduksi dan mengonsumsi beragam benda mungkin justru membuat kita makin tidak memahami tujuan sebenarnya keberadaan kita. Bahwa mungkin kebahagiaan sejati tidak hanya terletak pada berbagai benda buatan manusia, tetapi juga menghargai apa yang diberikan alam kepada kita.
Isi Buku The Book of Everyday Things
Sesuai dengan judulnya, buku ini dibagi menjadi beberapa bab dengan judul benda atau sesuatu yang menemani keseharian kita. Total, ada 30 bab yang awalnya bagi Penulis tak akan menarik untuk dibahas, yakni:
- Buku
- Bantal
- Roti
- Surat
- Pernak-pernik
- Teh
- Uang
- Kucing
- Keluarga
- Sepatu
- Jam Tangan
- Foto
- Televisi
- Sabun
- Mainan
- Alat Tulis
- Mimpi
- Sekolah
- Ingatan
- Seni
- Bendera
- Kematian
- Topeng
- Sikat Gigi
- Rumah
- Kekuatan Adikodrati
- Gula
- Cahaya
- Informasi
- Limbah
Setiap babnya memiliki ketebalan yang bervariasi, tapi tidak ada yang terlalu memonopoli karena cukup seimbang. Dengan ketebalan hingga 300 halaman, setiap bab kurang lebih memiliki 10 halaman.
Mungkin banyak yang kebingungan, apa menariknya membahas bantal? Penulis juga sempat berpikir seperti itu. Namun, setelah membaca, ternyata ada banyak sekali hal menarik yang bisa dibahas dari sebuah bantal.
Di setiap babnya, Desi Anwar menggunakan dua pendekatan, yakni bagaimana pengalaman pribadinya terhadap benda tersebut dan menyisipkan sejarah penggunaan benda tersebut dalam peradaban manusia.
Mengingat Penulis merupakan penggemar sejarah, tentu mengetahui bagaimana sebuah benda yang kerap diabaikan begitu saja memiliki sejarah yang panjang menjadi hal yang sangat menarik.
Kita kadang meremehkan benda-benda ini karena sudah terlalu biasa dengan keberadaannya tanpa pernah bertanya bagaimana benda ini bisa hadir di dunia dan memudahkan kehidupan kita. Ujungnya, hal ini akan membantu kita merasa bersyukur dengan keberadaannya.
Tiga puluh benda (atau hal) yang ada di dalam buku ini tidak terkait satu sama lain, sehingga Pembaca bisa membacanya lompat-lompat tergantung benda mana yang paling membuat penasaran.
Setelah Membaca The Book of Everyday Things
The Book of Everyday Things menjadi bukti bahwa ide itu bisa datang dari mana saja. Siapa yang bisa menyangka kalau bantal bisa menjadi sepuluh halaman tulisan? Jelas buku ini menjadi inspirasi Penulis dalam mengisi blognya, terutama ketika sedang buntu ide.
Untuk gaya kepenulisan, rasanya tak perlu meragukan kemampuan Desi Anwar. Dijamin, walau benda yang dibahas terkesan remeh, pembahasan yang disajikan tetap menarik dan tidak membuat bosan. Buktinya, Penulis bisa menyelesaikan buku ini dengan cepat.
Selain itu, buku ini juga dipenuhi dengan berbagai ilustrasi yang menarik dengan nuansa oranye. Hal ini memang menambah daya tarik buku ini, tapi sekaligus membuat harganya menjadi lebih mahal, yakni Rp149.000.
Ada satu hal yang kurang sreg buat Penulis. Buku ini berjudul The Book of Everyday Things, di mana things diterjemahkan sebagai “benda.” Namun, beberapa bab di buku ini justru membahas hal yang tidak bisa dianggap sebagai benda.
Kucing dan keluarga jelas kurang cocok untuk dianggap sebagai benda, karena mereka makhluk hidup. Mimpi dan kematian lebih cocok dianggap sebagai peristiwa. Bahkan cahaya dan informasi pun bukan sesuatu yang tangible.
Mungkin Desi Anwar memiliki alasan dan penerjemahan sendiri mengapa memasukkan hal-hal tersebut ke dalam buku ini, sehingga Penulis juga tidak terlalu mempermasalahkannya. Hanya saja, Penulis merasa masih ada benda-benda lain yang layak untuk dibahas olehnya.
Secara keseluruhan, Penulis merasa buku ini adalah bacaan santai yang membuat kita mendapatkan banyak insight menarik sekaligus mengajak kita merenungi keberadaan benda-benda yang ada di keseharian kita.
Penulis merekomendasikan buku ini untuk siapa saja yang mudah merasa penasaran dengan hal-hal yang mungkin tidak terpikirkan orang lain. Buku ini akan sangat cocok untuk menjadi teman perjalanan yang menyenangkan.
Skor: 8/10
Lawang, 27 November 2024, terinspirasi setelah membaca The Book of Everyday Things karya Desi Anwar
Fiksi
[REVIEW] Setelah Membaca Anak-Anak Semar
Cerita pewayangan selalu menarik bagi Penulis. Walau bukan tipe orang yang hafal semua lore dalam pewayangan, setidaknya kalau diajak ngobrol tentang topik ini bisa nyambung. Oleh karena itu, Penulis punya beberapa judul novel yang bertemakan pewayangan.
Beberapa contoh novel pewayangan yang pernah Penulis ulas di blog ini adalah Kitab Omong Kosong dari Seno Gumira Ajidarma dan Anak Bajang Menggiring Angin dari Sindhunata. Dua-duanya menarik, sehingga jika salah satu merilis novel wayang baru, Penulis akan membelinya.
Nah, oleh karena itu, Penulis memutuskan untuk membeli novel berjudul Anak-Anak Semar yang ditulis oleh Sindhunata. Apalagi, mayoritas cerita wayang yang Penulis baca selama ini jarang mengulas tentang salah satu anggota Punakawan tersebut.
Detail Buku Ngomongin Uang
- Judul: Anak-Anak Semar
- Penulis: Sindhunata
- Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
- Cetakan: Pertama
- Tanggal Terbit: Juni 2022
- Tebal: 204 halaman
- ISBN: 9786020662084
- Harga: Rp128.000
Sinopsis Buku Ngomongin Uang
Maka kau adalah samar, ya, Semar. Janganlah kau samar terhadap kegelapan, jangan pula kau samar terhadap terang. Hanya dengan hatimu yang samar, kau dapat melihat terang dalam kegelapan, kebaikan dalam kejahatan. Hanya dengan hatimu yang samar pula, kau dapat melihat kegelapan dan terang, kejahatan dalam kebaikan.
Anak-anak Semar karya Sindhunata berkisah tentang Semar sebagai pembawa harapan dan pengingat akan nilai-nilai serta akar budaya di tengah zaman yang bergerak begitu cepat. Dalam buku dengan ilustrasi lukisan karya Nasirun ini, wajah Semar kerap berubah-ubah. Kadang ia disebut Sang Pamomong, sosok yang selalu melindungi rakyat kecil dan tertindas. Lain waktu, ia juga seperti pohon rindang yang dengan samar bayangannya bisa memberikan keteduhan bagi siapa pun yang ada di dekatnya.
Isi Buku Anak-Anak Semar
Tidak seperti judulnya, Anak-Anak Semar tidak bercerita tentang Bagong, Petruk, dan Gareng. Jujur, Penulis tidak benar-benar paham apa maksud dari judul tersebut karena novel ini justru bercerita tentang perjalanan dan perenungan Semar.
Yang Penulis tangkap, “anak-anak” di sini sebenarnya ditujukan kepada masyarakat yang ada di dalam novel ini sekaligus kita sebagai pembaca novel ini. Kita ini anak-anak yang masih membutuhkan keberadaan Semar, yang diceritakan sempat menghilang tanpa sebab.
Novel ini terdiri dari enam bab utama, yakni:
- Semar Mencari Raga
- Semar Hilang
- Semar Mati
- Semar Mbangun Khayangan
- Semar Boyong
- Semar Minggat
Dari keenam judul tersebut, kita sudah mendapatkan gambaran kasar mengenai perjalanan yang akan dihadapi oleh Semar di novel ini: bagaimana ia “melepaskan” rohnya dari jasadnya, lalu bagaimana hilangnya Semar menimbulkan kegemparan, hingga anggapan bahwa Semar telah mati.
Setelah itu, setelah melalui perenungan dalam di alam khayangan (karena sejatinya Semar adalah dewa), ia berkeinginan untuk membuat “khayangannya” sendiri di dunia, lalu kembali ke bumi. Lantas, mengapa di akhir justru ia “minggat”? Temukan jawabannya di novel ini.
Setelah Membaca Anak-Anak Semar
Sejujurnya, jika dibandingkan dengan novel Anak Bajang Menggiring Angin, Anak-Anak Semar lebih berat untuk dicerna. Alasannya, novel ini lebih banyak berisikan kalimat-kalimat monolog untuk menggambarkan situasi yang terjadi, baik ketika ada Semar maupun tidak.
Dialog yang ada lebih sering digunakan untuk mendukung situasi yang sedang terjadi. Misal, kegemparan ketika Semar menghilang, banyak dialog dari masyarakat yang menunjukkan keresahan. Selain itu, dialog juga terjadi ketika dalang sedang menceritakan kisah wayang.
Oleh karena itu, meskipun novelnya tipis, Penulis cukup lama menamatkannya. Ada banyak sekali bagian yang membuat Penulis harus berpikir keras untuk bisa memahaminya. Terkadang, sudah pelan-pelan membacanya pun Penulis masih kesulitan.
Tipisnya novel ini (hanya sekitar 200 halaman) juga menjadi kekurangan buku ini, karena harganya cukup mahal! Penulis tidak memahami apa alasan novel ini dilabeli harga Rp128 ribu, ketika buku lain yang memiliki ketebalan mirip biasanya dilabeli sekitar 70-80 ribu.
Namun, masih banyak hal positif dari novel ini. Keindahan pemilihan kata oleh Sindhunata jelas tak perlu diragukan lagi. Meskipun memang tak mudah dipahami, setidaknya kita akan dibuai dengan keindahan bahasa yang beliau tuliskan.
Sama seperti novel Anak Bajang Menggiring Angin, ada banyak filsafat jawa yang disisipkan dalam novel setipis ini. Salah satu yang paling sering dibahas adalah bagaimana pentingnya untuk merenungi diri sendiri, seperti yang sering Semar lakukan pada novel ini.
Selain itu, ada banyak ilustrasi menarik yang dibuat oleh Nasirun. Ilustrasi tersebut menggambarkan Semar dalam berbagai wujud. Cukup banyak ilustrasi yang terdapat di novel ini, setidaknya satu di setiap babnya.
Dengan berbagai penilaian tersebut, Penulis kurang merekomendasikan novel ini untuk orang yang masih awam dengan dunia perwayangan karena pasti akan terasa berat. Namun, jika memang sudah mengetahui banyak tentang dunia wayang, buku ini akan menjadi bacaan yang menarik.
Skor: 6/10
Lawang, 19 Juli 2024, terinspirasi setelah membaca buku Anak-Anak Semar karya Sindhunata
Non-Fiksi
[REVIEW] Setelah Membaca Ngomongin Uang
Dalam beberapa tahun terakhir, keuangan menjadi salah satu topik yang sedang banyak dipelajari mengingat usia Penulis sekarang sudah berkepala tiga. Meskipun bisa dibilang terlambat, rasanya tidak ada salahnya untuk tetap mempelajarinya.
Sumber-sumber belajar keuangan pun tentu dari banyak medium, mulai dari YouTube, media sosial, hingga buku. Salah satu buku yang pernah Penulis baca adalah The Psychology of Money karya Morgan Housel. Sayangnya, Penulis merasa buku ini kurang praktis untuk diterapkan dalam keseharian.
Nah, waktu tahu akun Instagram Ngomongin Uang akan menerbitkan sebuah buku tentang keuangan, Penulis langsung merasa tertarik karena telah mengikuti akun tersebut cukup lama dan senang dengan ulasan-ulasan yang mereka buat.
Hasilnya, timbul perasaan menyesal karena harusnya Penulis membaca buku seperti ini bertahun-tahun yang lalu.
Detail Buku Ngomongin Uang
- Judul: Ngomongin Uang: Menjadi ‘Kaya” Versi Kamu Sendiri
- Penulis: Glenn Ardi
- Penerbit: Penerbit Buku Kompas
- Cetakan:
- Tanggal Terbit:
- Tebal: 244 halaman
- ISBN: 9786231606204
- Harga: Rp125.000
Sinopsis Buku Ngomongin Uang
Kekayaan sering kali bukan hanya soal uang atau status sosial. Kekayaan yang sesungguhnya bersifat sangat personal, karena setiap orang mendefinisikan kesuksesan dan kebahagiaannya dengan cara yang berbeda.
Namun, apa pun definisi kekayaan bagi kamu, UANG adalah alat ukur dan kendaraan yang bisa membawamu mencapai tujuan. Karena itulah, memahami keuangan adalah hal yang fundamental dalam membangun kehidupan terbaik versi kamu. Buku ini hadir untuk kamu yang merasa keuangannya mandek, kamu yang overthinking dan terus membandingkan dirimu dengan kesuksesan orang lain, dan kamu yang merasa masa depan keuangan kamu suram—Yuk, kita Ngomongin Uang!
Karena ngomongin uang telah mengubah hidup saya! Membuat hidup saya lebih terencana, memberi rasa aman, kedamaian, kebebasan, sekaligus rasa kecukupan. Buku ini bukan soal motivasi sukses atau cara cepat kaya, tetapi buku ini akan membuat kamu menjadi ‘KAYA’ versi kamu sendiri.
Isi Buku Ngomongin Uang
Sesuai dengan judulnya, buku Ngomongin Uang akan membahas tentang uang dari banyak sudut pandang. Buku ini membahas banyak hal yang sebenarnya cukup generik, mulai dari sejarah uang, cara-cara mendapatkan uang, penjelasan tentang investasi, dan lain sebagainya.
Buku ini terdiri dari 13 bab yang menarik dan dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi menarik yang digambar oleh Ariawan. Masing-masing bab memiliki kedalaman yang bervariasi, tergantung seberapa panjang topik yang dibahas. Ketigabelas bab tersebut adalah:
- Bab 1: Cerita Terbentuknya Uang
- Bab 2: Nilai Uang yang Selalu Berubah
- Bab 3: Tahap Prioritas Keuangan
- Bab 4: Ciri Khas Calon Orang Kaya
- Bab 5: Perhatikan Pengeluaran Kamu
- Bab 6: Jalan Menuju Kekayaan
- Bab 7: Memaknai Arti Kekayaan
- Bab 8: Kaya Menurut Versi Kamu Sendiri
- Bab 9: Investasi Itu untuk Apa?
- Bab 10: Gimana Caranya Beli Rumah?
- Bab 11: Perlukah Membeli Mobil?
- Bab 12: Fenomena Sandwich Generation
- Bab 13: Hidup Tanpa Bekerja Lagi
- Penutup: Apakah Saat Ini Saya Sudah Kaya?
Secara singkat, dua bab pertama membantu kita memahami apa itu uang dan mengapa benda tersebut bisa menjadi sesuatu yang sangat penting, bahkan “dituhankan” oleh sebagian manusia. Sebagai orang yang suka sejarah, bab-bab awal ini sangat menarik.
Bab 3 hingga 9 membahas tentang kekayaan dan pengelolaan uang yang kita miliki. Kaya tidak selalu berarti punya harta yang melimpah dan tak akan habis. Masing-masing dari kita bisa memiliki definisi kayanya sendiri.
Bab 9 hingga 11 membahas mengenai topik investasi dan pertimbangan-pertimbangan apakah kita perlu membeli aset seperti rumah dan mobil. Seperti yang kita tahu, kondisi saat ini membuat banyak orang kesulitan untuk membeli aset-aset tersebut, sehingga investasi menjadi penting.
Dua bab terakhir merupakan tambahan insight menarik seputar dunia keuangan terutama pembahasan sandwich generation, sebuah fenomena yang kerap terjadi saat ini di mana seseorang harus menghidupi orang lain dan keluarganya sendiri.
Setelah Membaca Ngomongin Uang
Begitu selesai menyelesaikan buku ini (dengan waktu yang relatif singkat), Penulis merasa termenung. Seharusnya, ilmu-ilmu keuangan yang ada di buku ini sudah dibahas di sekolah, agar ketika siswa beranjak dewasa, mereka telah memiliki bekal ilmu keuangan yang cukup.
Buku Ngomongin Uang, sejujurnya memang hanya mengajarkan hal-hal fundamental tentang keuangan. Namun, dasar-dasar tersebut tidak pernah diajarkan ke kita saat masih sekolah, bahkan ketika kuliah pun tidak ilmunya kecuali kita kuliah jurusan yang berhubungan dengan keuangan.
Apalagi, bahasa yang digunakan dalam buku ini benar-benar mudah dipahami. Itu juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Penulis mampu menyelesaikan buku ini dengan cepat. Walau begitu, ilmu yang bisa kita dapatkan tidak main-main.
Buku ini tidak mengajak kita untuk mati-matian mengejar uang selama hidup di dunia ini. Sebaliknya, kita diajak untuk bisa bijaksana dalam menyikapi uang. Posisikan uang sebagai sebuah alat, bukan sebagai sebuah tujuan.
Topik-topik yang diangkat di buku ini juga related dengan kehidupan sehari-hari kita, sehingga buku ini pun terasa dekat. Isu-isu seperti harga rumah yang makin mahal dan fenomena sandwich generation dibahas di sini dengan menarik.
Selain itu, ilustrasi-ilustrasi yang terdapat pada buku ini juga mempertahankan ciri khas yang dimiliki oleh akun Instagram Ngomongin Uang. Ilustrasi yang terdapat dalam buku ini tidak hanya menjadi pemanis, karena terkadang membantu kita memahami poin yang ingin disampaikan.
Penulis berharap kalau buku ini akan memiliki sekuel yang akan lebih detail dan membahas topik-topik keuangan yang lebih berat. Seandainya ada, Penulis tanpa ragu akan langsung membelinya untuk menambah ilmu keuangannya. Mungkin itu juga yang menjadi kekurangan buku ini: isinya kurang banyak.
Intinya, buku ini sangat Penulis rekomendasikan untuk siapa saja. Keuangan adalah topik yang jarang dibahas secara umum di ruang publik. Memahami ilmu-ilmu dasarnya bisa membantu kita untuk memiliki dan mengelola keuangan kita lebih baik lagi di masa depan.
Skor: 9/10
Lawang, 28 September 2024, terinspirasi setelah membaca buku Ngomongin Uang karya Glenn Ardi
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Anime & Komik5 bulan ago
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang
-
Film & Serial4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Menonton Deadpool & Wolverine
-
Film & Serial3 bulan ago
Gara-Gara Black Myth: Wukong, Saya Jadi Rewatch Kera Sakti
-
Permainan3 bulan ago
Koleksi Board Game #22: Chinatown
-
Olahraga5 bulan ago
Dua Drama di Dua Pertandingan Euro 2024 yang Membosankan
-
Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Teruslah Bodoh Jangan Pintar
You must be logged in to post a comment Login