Connect with us

Olahraga

Kado Manis untuk Kroos, Kado Pahit untuk Reus

Published

on

Musim sepak bola 2023/2024 “resmi” berakhir dengan pertandingan final Liga Champion yang mempertemukan antara Real Madrid melawan Borussia Dortmund. Madrid kembali mengukuhkan dirinya sebagai raja Eropa dengan menang 2-0 dan memperoleh gelar ke-15.

Penulis sendiri awalnya berharap kalau Dortmund yang juara karena merasa bosan Madrid terus yang juara. Namun, beberapa hari sebelum pertandingan, mereka justru menjalin kontrak dengan Rheinmetall, perusahaan manufaktur senjata Jerman.

Kontroversinya bukan hanya karena klub dengan jersey kuning-hitam tersebut menjalin kerja sama dengan pabrik senjata, melainkan karena Rheinmetall diketahui sebagai salah satu penyuplai senjata untuk Israel.

Sebenarnya Real Madrid sendiri juga disponsori oleh HP, merek teknologi asal Amerika Serikat yang juga menyuplai berbagai teknologi untuk kebutuhan Israel. Jadi, sebenarnya sama saja dengan Dortmund, sehingga Penulis tidak memberikan dukungan untuk kedua tim.

Pada tulisan kali ini, Penulis lebih ingin menyorot dua pemain legend yang memutuskan untuk meninggalkan klubnya masing-masing. Toni Kroos dari Madrid memutuskan untuk gantung sepatu, sedangkan Marco Reus dari Dortmund akan pindah di akhir musim.

Kok Bisa ya Real Madrid Jago Banget di Eropa?

Jago Banget (Euronews)

Pertandingan final semalam sebenarnya bisa dibilang cukup membosankan karena Real Madrid cenderung bermain awal sepanjang 70 menit awal pertandingan. Bahkan, Penulis sampai sempat tertidur karena saking bosannya.

Di babak pertama, Dortmund sebenarnya sempat membuat beberapa peluang berbahaya ke gawang Madrid. Sayangnya, finishing dari pemain-pemainnya tidak tenang dan beberapa kali apes karena menyentuh tiang gawang.

Mungkin pemain Dortmund cukup nervous karena sudah lama tidak bertanding di final Liga Champion. Terakhir kali mereka bermain di final adalah di musim 2012/2013, ketika mereka berhadapan dengan Bayern Munich.

Kalau para pemain Madrid sendiri, jangan diragukan lagi mental juara Eropa-nya. Tidak hanya berhasil menjadi juara sebanyak 15 kali, Madrid juga berhasil mendominasi Liga Champion dengan menjadi juara 6 kali dari 11 tahun terakhir.

Selain itu, sejak format Liga Champion berubah pada musim 1992/1993, Madrid juga selalu menang jika lolos ke babak final, dengan total sembilan kali kemenangan. Sepanjang sejarahnya, Madrid hanya kalah tiga kali kalah dari 18 partisipasinya di final.

Tentu fakta ini membuat banyak penggemar sepak bola bertanya, “Kok, bisa, ya, Real Madrid jago banget di Eropa?” Mungkin haters Madrid akan menyebut kalau raihan tersebut bisa diperoleh karena Madrid kerap dibantu wasit, hingga dijuluki sebagai Vardrid.

Namun, menurut Penulis memang harus diakui kalau Madrid adalah salah satu tim sepak bola terbaik di dunia. Kedalaman skuadnya musim ini saja sangat luar biasa, hingga sang pelatih tidak perlu pusing jika pemainnya ada yang cedera.

Carlo Ancelotti, pelatih yang kerap disebut miskin taktik, berhasil membuktikan kalau dirinya adalah pelatih tersukses di Eropa dengan raihan lima trofi Liga Champion. Dua ketika ia melatih AC Milan, tiga ketika ia melatih Real Madrid.

Selain itu, Toni Kroos, Dani Carvajal, Luka Modric, dan Nacho menjadi pemain pertama yang berhasil meraih enam trofi Liga Champion, mengalahkan Cristiano Ronaldo (5) dan Lionel Messi (4).

Raihan Kroos sedikit lebih istimewa dibandingkan rekan-rekan lainnya, mengingat ia meraih milestone tersebut bersama dua klub yang berbeda (Bayern Munich di musim 2012/2013). Tentu trofi ini menjadi kado manis untuk Kroos, di mana pertandingan final ini akan menjadi pertandingan terakhirnya untuk Madrid.

Kado Manis untuk Kroos, Kado Pahit untuk Reus

Legenda Madrid (beIN SPORTS)

Bagi Penulis, Toni Kroos adalah salah satu gelandang sepak bola terbaik sepanjang sejarah. Posisinya sebagai pemain tengah membuatnya kerap membuat umpan-umpan indah yang kadang terasa tak masuk akal.

Usianya sendiri baru menginjak 34 tahun, sehingga keputusannya untuk gantung sepatu beberapa waktu lalu cukup mengejutkan Penulis. Tampaknya, sama seperti Phillip Lahm dari Bayern Munich, Kross ingin pensiun ketika sedang berada di puncak kariernya.

Kroos sendiri pindah ke Madrid dari Bayern Munich pada tahun 2014. Sepanjang kariernya di klub tersebut, ia telah mencatatkan 28 gol dan 98 assist di semua turnamen. Semua gelar yang bisa ia raih bersama klub telah berhasil ia raih.

Euro 2024 akan menjadi panggung terakhirnya di dunia sepak bola. Mengingat trofinya sudah hampir lengkap dan menyisakan Euro, tampaknya Kroos menargetkan juara di turnamen Eropa tersebut untuk menambah kado perpisahannya dengan sepakh bola.

Di sisi lain, kekalahan ini menjadi kado yang pahit untuk Marcus Reus, yang usianya lebih tua satu tahun dari Kroos. Di musim terakhirnya bersama Dortmund, ia gagal mempersembahkan satu trofi pun untuk klub yang sudah dibelanya sejak 2012 tersebut.

Padahal, Reus dikenal sangat loyal kepada Dortmund. Ketika kawan-kawannya satu per satu meninggalkan tim seperti Mario Gotze hingga Robert Lewandowski (yang bahkan pindah ke klub rival), Reus tetap setia bertahan.

Berbeda dengan Kroos, Reus juga tidak dipanggil oleh timnas, sehingga musim ini semakin terasa pahit untuknya. Memang cukup disayang pemain seberbakat Reus harus lebih sering berkutat dengan cedera di kariernya.

Hingga saat ini, belum diketahui akan pindah ke mana Reus musim depan. Melansir dari The Atletics, ia dirumorkan akan pindah ke MLS dan bergabung dengan St. Louis City. Ada beberapa klub dan liga lain yang disebut, tapi kita hanya bisa menunggu sampai ada pengumuman resmi.

Yang jelas, Kroos dan Reus telah mendapatkan “kado perpisahannya” masing-masing, walaupun berbeda rasa. Kedua pemain Jerman ini adalah legenda hidup sepak bola, yang telah memberikan performa terbaik mereka selama bertahun-tahun.

Selamat pensiun Kroos, dan selamat menjalani petualangan baru untuk Reus!


Lawang, 2 Juni 2024, terinspirasi setelah Real Madrid berhasil menjadi juara Liga Champion 2023/2024

Foto Featured Image: X

Sumber Artikel:

Olahraga

Kok Bisa, ya, Ada Klub Enggak Pernah Menang Sampai 7 Kali

Published

on

By

Penulis mengawali minggu ini dengan indah. Selain Manchester United (MU) berhasil menang secara meyakinkan dengan skor 4-0 atas Everton, klub tetangga harus mengalami kekalahan 0-2 atas Liverpool.

Ini menjadi kekalahan empat kali beruntun bagi Manchester City di Premier League, setelah sebelumnya kalah atas Bournemouth (1-2), Brightin and Hove Albion (1-2), dan Tottenham Hotspurs (0-4).

Catatan ini makin diperparah dari hasil pertandingan di kompetisi lain, seperti kekalahan 1-2 atas Spurs di EFL Cup dan 1-4 atas Sporting CP di Liga Champion. Selain itu, mereka juga hanya bisa imbang 3-3 saat berhadapan dengan Feyenoord, walau sempat unggul 3-0.

“Rekor” Impresif Pep dan Manchester City

Kalah Maning Kalah Maning (Caught Offside)

Rentetan hasil buruk tersebut membuat City mencatatkan rekor yang impresif, yakni 6 kali kalah dan 1 kali seri dalam tujuh pertandingan terakhir. Kemenangan terakhir yang mereka dapatkan adalah ketika berhadapan dengan Southampton dengan skor tipis 1-0.

Menariknya, pertandingan tersebut berlangsung pada tanggal 26 Oktober 2024. Artinya, selama bulan November kemarin City gagal meraih satu kemenangan pun. Tak hanya itu, mereka juga kebobolan 15 gol dalam bulan yang sama dan hanya mencetak tujuh gol.

Melansir dari 90Min, pencapaian lima lose streak ini adalah yang pertama bagi Pep Guardiola sepanjang kariernya. Selama menangani City, lose streak paling panjang yang pernah dialami oleh Pep adalah tiga kali beruntun, yakni pada tahun 2018 dan 2021.

Pep juga pernah menderita tiga kekalahan beruntun ketika masih menangani Bayern Munich pada tahun 2015. Selama menangani Barcelona, rekornya lebih fenomenal lagi, di mana ia tidak pernah kalah beruntun lebih dari dua kali.

Selain itu, melansir dari Goal, City menjadi klub pemenang Liga Inggris pertama yang menderita lima kekalahan beruntun sejak tahun 1956. Sebelum City, Chelsea juga pernah mengalami hal yang sama pada bulan Maret 1956.

Rekor menarik lainnya? Ini adalah pertama kalinya City menderita kekalahan lima kali secara beruntun dalam 18 tahun terakhir. Erling Haaland juga ikut mencetak rekor, di mana akhirnya ia mengalami kekalahan ketika berhasil mencetak gol di Premier League.

Mari Kita Bandingkan dengan MU

Lagi Unbeaten nih, Bos (The Seattle Times)

Sebagai perbandingan, MU justru tak terkalahkan sejak Erik Ten Hag dipecat. Dalam empat pertandingan di bawah asuhan Ruud van Nisterlooy, MU mencatatkan tiga kemenangan dan satu kali seri (5-2 vs Leicester City, 1-2 vs Chelsea, 2-0 vs Paok, 3-0 vs Leicester City.

Di bawah pelatih baru Ruben Amorim pun MU masih belum terkalahkan dengan dua kemenangan dan satu kali hasil imbang (1-1 vs Ipswich Town, 3-2 vs Bodo/Glimt, 4-0 vs Everton).

Kekalahan terakhir MU terjadi saat bertamu ke West Ham akhir Oktober. Artinya, di saat City harus terus menderita kekalahan, MU justru tak terkalahkan. Sebagai penggemar MU, kebahagiannya jadi double.

Walau fans MU memang terkenal karena kesombongannya ketika berada di atas angin, menurut Penulis ujian sebenarnya MU akan terlihat ketika berhadapan dengan Arsenal beberapa hari lagi. Jika berhasil menang, artinya MU berada di jalur yang benar.

Menariknya, meskipun menderita hasil buruk secara bertubi-tubi, kok rasanya media sosial sepi-sepi saja seolah tidak ada yang peduli. Coba bayangkan hal yang sama terjadi pada MU, pasti sudah menjadi gorengan media dan content creator selama berbulan-bulan.

Apa yang Terjadi dengan Manchester City?

Jadi Penyebab Utama? (Reuters)

Sebagai klub yang mendominasi Premier League beberapa tahun terakhir, tentu kejatuhan City menimbulkan banyak pertanyaan bagi penggemar sepak bola. Apa yang menyebabkan City seolah lupa dengan caranya menang?

Banyak yang mengatakan kalau cederanya Rodri menjadi biang keroknya. Pep tidak memiliki pengganti sepadan yang bisa mengisi posisi tersebut, sehingga strategi yang ia terapkan tak bisa berjalan dengan optimal.

Namun, alasan cedera rasanya terlalu klise. MU pernah mengalami badai cedera yang lebih parah musim kemarin, dengan total kasus cedera lebih dari 60. Namun, MU tak sampai mengalami apa yang dialami City sekarang.

Alasan lain yang lebih masuk akal adalah kedalaman skuad City yang seolah hilang begitu saja. Cederanya Rodri menjadi bukti nyata bagaimana tidak ada pemain pelapis yang setidaknya memiliki kualitas mendekatinya.

Lucunya, jika membuka situs resmi City bagian daftar pemain, bagian Forwards hanya memiliki Erling Haaland seorang. Amit-amit seandainya Haaland cedera, siapa yang akan mengisi posisinya?

Tak hanya itu, pemain-pemain inti City banyak yang sudah berusia di atas kepala tiga, seperti Ilkay Gundogan (34), Kyle Walker (34), Kevin De Bruyne (33), Ederson (31), Mateo Kovacic (30), John Stones (30), hingga Bernardo Silva (30).

Sebagai perbandingan (lagi), pemain inti MU yang berkepala tiga hanya Bruno Fernandes (30) dan Casemiro (32). MU bahkan tak segan untuk mengorbitkan pemain muda, seperti Alejandro Garnacho (20), Amad Diallo (22), hingga Kobbie Mainoo (19).

Ini seolah menunjukkan bahwa Pep tidak melakukan regenerasi kepada skuad City. Masa jaya City sudah mulai habis dan Pep tidak melakukan tindakan antisipasi. Memang sesekali ia memainkan pemain akademi, tapi tak ada yang benar-benar bersinar.

Tentu menarik untuk melihat apakah akhirnya Pep dan City berhasil bangkit dan memutus rentetan hasil buruk yang diderita. Penulis sebagai penggemar MU tentu berharap kalau hasil buruk ini akan terus berlanjut selama mungkin.


Lawang, 2 Desember 2024, terinspirasi setelah menonton kekalahan Manchester City atas Liverpool

Foto Featured Image: Bitter and Blue

Sumber Artikel:

Fixtures & Results | Man Utd Men’s First Team | Manchester United

Man City plummet to worst form in 18 years as Pep Guardiola suffers unprecedented fifth straight defeat in 4-0 thrashing against Tottenham | Goal.com

Pep Guardiola’s worst losing streaks

Manchester City – Detailed squad 24/25 | Transfermarkt

Manchester United – Detailed squad 24/25 | Transfermarkt

Continue Reading

Olahraga

Menatap Masa Depan Manchester United Bersama Ruben Amorim

Published

on

By

Setelah jeda internasional, akhirnya para penggemar Manchester United (MU) bisa menyaksikan pertandingan perdana timnya di bawah asuhan pelatih baru, Ruben Amorim. Ia menggantikan Erik Ten Hag yang dipecat beberapa minggu lalu.

Hasilnya, sayang sekali tidak terlalu menyenangkan. Bertandang ke Portman Road yang menjadi kandang Ipswich Town, setan merah hanya berhasil meraih imbang 1-1. Bahkan, seandainya Andre Onana tidak tampil super, MU sangat berpeluang untuk kalah.

Penulis paham jika semua butuh proses. Tidak mungkin dalam satu laga Amorim langsung bisa mengubah MU kembali ke masa jayanya, apalagi dengan komposisi pemain yang sama. Oleh karena itu, mari kita menatap masa depam MU bersamanya.

Bagaimana Amorim Menerjemahkan Filosofinya ke MU

MU di Bawah Arahan Amorim (Optus Sport)

Selama Penulis menjadi penggemar MU, tim ini hampir selalu menggunakan formasi empat bek, dari zaman Sir Alex Ferguson hingga Erik Ten Hag. Nah, Amorim ini beda, karena dia terbiasa menggunakan formasi tiga bek, tepatnya 3-4-2-1.

Hal ini pun langsung ia terapkan pada pertandingan kemarin, meskipun waktu latihan yang ia lakukan bersama tim bisa terbilang cukup singkat. Selain itu, karena ada banyak pemain bertahan yang cedera, ia sedikit melakukan eksperimen.

Pada line-up, awalnya ia memasang Matthijs de Ligt, Johnny Evans, dan Noussair Mazraoui yang notabene merupakan bek sayap. Di babak kedua, ia bahkan mengganti Evans dengan Luke Shaw yang juga merupakan bek sayap dan baru sembuh dari cederanya.

Menggeser posisi sayap menjadi bek tengah sebenarnya bukan hal baru, apalagi pemain MU seperti Shaw juga pernah melakukannya. Tak jarang bek sayap akhirnya malah jadi bek tengah tetap, seperti yang terjadi pada Benjamin Pavard di Inter Milan.

Selain itu, ada yang menarik di babak kedua, di mana Amorim memasukkan Rasmus Hojlund dan Joshua Zirkzee sekaligus, menggantikan Christian Eriksen dan Marcus Rashford. Waktu melihat ini, Penulis benar-benar bingung dengan strategi sang pelatih.

Jika melihat polanya, Bruno Fernandes tampaknya ditarik agak mundur untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Eriksen dan salah satu dari Hojlund atau Zirkzee menempati posisi Bruno di belakang striker bersala Alejandro Garnacho.

Hal menarik lainnya di pertandingan kemarin adalah penempatan Amad Diallo di posisi bek kanan, yang ternyata cukup cocok untuknya. Pada pertandingan kemarin, Diallo berhasil memberikan assist untuk gol yang dicetak oleh Rashford.

Berdasarkan pertandingan kemarin, Penulis menilai kalau Amorim adalah tipikal pelatih yang tidak ragu untuk melakukan banyak eksperimen untuk menyesuaikan para pemainnya dengan sistem yang ia buat. Para pemain tampaknya harus keluar dari zona nyamannya.

Jangan Menaruh Terlalu Banyak Ekspetasi kepada Amorim

Wawancara Ruben Amorim (YouTube)

“Pertandingan yang sulit. Saya melihat para pemain saya terlalu banyak berpikir. Hal-hal baru, dan mereka memikirkan apa yang harus mereka lakukan. Itu tidak normal pada tahap musim ini, tetapi sejak awal sulit bagi mereka untuk mengatasinya. Ini seri dan itu bukan perasaan yang baik ketika Anda berada di Manchester United.”

Pernyataan di atas terlontar dari mulut Amorim seusai laga. Menurutnya, pemainnya masih ragu-ragu di lapangan, hal yang sebenarnya masih bisa dimaklumi karena strategi yang dibawa Amorim benar-benar baru dan para pemain butuh waktu untuk beradaptasi.

Amorim juga merupakan tipe pelatih yang memperhatikan ball possesion, dan menurutnya pertandingan kemarin MU kurang memegang kendali. Hal ini memang sangat terlihat, terutama di babak pertama di mana MU justru sering tertekan oleh Ipswich Town.

Dengan demikian, dapat disimpulkan kalau para penggemar mau tidak mau harus bersabar (lagi) sembari terus memantau progres yang diperlihatkan oleh Amorim dan pemainnya di lapangan.

Kita para penggemar juga harusnya melakukan interopeksi diri, jangan terlalu berekspetasi kepada pelatih baru. Entah sudah ada berapa pelatih top yang gagal menangani MU. Tim ini sakit bukan hanya di lapangan, tapi sudah menyebar ke berbagai sektor.

Apalagi, Amorim merupakan pelatih muda. Walau ia berhasil mencatatkan prestasi fenomenal, jangan langsung berharap kalau ia akan menjadi The Next Alex Ferguson. Ia hanya lebih tua beberapa hari dari Cristiano Ronaldo, jelas ia masih butuh banyak tambahan jam terbang.

Jadi, untuk sekarang lebih baik kita nikmati saja proses berubahnya MU di bawah arahan Amorim.


Lawang, 25 November 2024, terinspirasi setelah menonton pertandingan perdana Manchester United di bawah asuhan Ruben Amorim

Foto Featured Image: France24

Continue Reading

Olahraga

Siapa yang Menyangka Kalau F1 Musim 2024 akan Seseru Ini?

Published

on

By

Ketika baru memasuki musim 2024, banyak penggemar Formula 1 (F1) yang langsung ingin lompat ke musim 2025. Alasannya, Red Bull dan Max Verstappen tampaknya akan mengulangi dominasinya seperti yang terjadi di tahun 2023.

Hal tersebut dapat dimaklumi, mengingat dari 10 balapan pertama, Verstappen berhasil memenangkan tujuh di antaranya. Walau tak sedominan musim 2023, jelas hal tersebut membuat penggemar skeptis kalau musim ini akan terasa seru.

Namun, semua berubah setelah GP Spanyol. Verstappen secara tiba-tiba kehilangan dominasinya dan tak pernah lagi menang balapan. Bahkan, secara bercanda banyak yang mengatakan kalau mereka merindukan lagu kebangsaan Belanda dikumandangkan!

Apa yang Terjadi Setelah GP Spanyol?

Verstappen Jadi Ugal-Ugalan (Motor Sport Magazine)

Dalam 10 balapan pertama, hanya ada tiga pembalap yang berhasil mencuri kemenangan dari Verstappen. Mereka adalah Carlos Sainz (GP Australia), Lando Norris (GP Miami), dan Charles Leclerc (GP Monaco).

Nah, setelah itu, ada banyak pembalap lain yang ikut meraih kemenangan. Total, musim ini sudah ada tujuh pembalap yang berhasil menjadi juara, salah satu yang terbanyak di era F1 modern. Berikut adalah daftar pemenang balapan selain Verstappen di musim ini:

  • Lando Norris (McLaren) – 3 | GP Miami, GP Belanda, GP Singapura
  • Charles Leclerc (Ferrari) – 3 | GP Monaco, GP Italia, GP Amerika Serikat
  • Carlos Sainz (Ferrari) – 2 | GP Australia, GP Meksiko
  • Lewis Hamilton (Mercedes) – 2 | GP Inggris, GP Belgia
  • Oscar Piastri (McLaren) – 2 | GP Hungaria, GP Azerbaijan
  • George Russel (Mercedes) – 1 | GP Austria

“Kejatuhan” Verstappen setelah awal musim ini tentu menarik untuk dipelajari. Di mata orang awam, jelas ada masalah di dalam kubu Red Bull, baik itu dari sisi teknis maupun non-teknis. Seperti yang kita tahu, banyak rumor tak sedap yang datang dari internal tim Red Bull.

Di sisi lain, tim-tim lain pun terus memperbaiki diri untuk bisa mengejar gelar juara. McLaren sempat konsisten menempatkan dua pembalapnya di podium, tapi belakangan justru Ferrari yang melakukannya. Mercedes sendiri cukup stagnan dan seolah mengekor di belakang mereka.

Dari sisi Verstappen, kita bisa melihat betapa ia mulai frustasi dengan timnya dan mulai tak kuat lagi menggendong tim jika melihat Sergio Perez yang seolah AFK sepanjang musim ini. Penampilannya yang ugal-ugalan di GP Meksiko menjadi buktinya.

Namun, inilah yang dirindukan oleh penggemar F1: persaingan ketat hingga akhir musim untuk menentukan siapa juaranya. Hingga empat balapan tersisa, kita belum tahu siapa saja yang bisa menjadi juara dunia, entah itu klasemen pembalap maupun konstruktor.

Posisi Perebutan Gelar Juara Saat Ini

Calon Penantang Terkuat Verstappen dan Red Bull (Motorsport Magazine)

Dengan empat balapan tersisa (GP Brazil, GP Las Vegas, GP Qatar, dan GP Abu Dhabi), tentu menarik melihat bagaimana peluang pembalap dan tim untuk bisa mengunci gelar juara di akhir musim. Seperti yang sudah disinggung, pemenang belum terlihat.

Mari kita mulai dari sisi pembalap. Untuk saat ini, Verstappen memang masih menduduki puncak klasemen dengan raihan 362 poin. Walau lama tak menang, Verstappen merupakan salah satu pembalap paling konsisten dalam urusan mencetak poin.

Di belakangnya ada Norris dengan selisih 47 poin. Angka ini bisa dibilang sudah sangat tipis. Apabila Norris berhasil menang balapan di saat Verstappen gagal finis, maka gelar juara bisa ia kunci jika di balapan selanjutnya berhasil selalu finis di depan Verstappen.

Leclerc menyusul di belakangnya, dengan selisih 24 poin dengan Norris. Walau peluangnya masih ada, rasanya kemungkinannya sangat kecil. Begitu pula dengan kans Piastri (251 poin) dan Sainz (240 poin) yang ada di belakangnya.

Dari sisi tim justru terlihat lebih menarik dan tak tertebak. Red Bull yang sempat lama berada di posisi pertama telah digusur oleh McLaren. Alasannya jelas, Verstappen seorang diri harus bertarung melawan dua pembalap McLaren yang langganan podium.

Saat ini, McLaren tengah nyaman berada di puncak klasemen dengan koleksi 566 poin. Namun, mereka tak bisa bersantai karena Ferrari secara mengejutkan mampu menggusur Red Bull di posisi kedua. Saat ini, Ferrari hanya selisih 29 poin dengan McLaren.

Jika Ferrari bisa mempertahankan dominasinya seperti di dua balapan terakhir, bukan tak mungkin beberapa minggu ke depan mereka berhasil mengudeta Mclaren. Apalagi, performa Piastri justru mengalami penurunan belakangan ini.

Lantas, apakah peluang Red Bull telah tertutup rapat? Secara matematika, sebenarnya masih sangat mungkin karena selisih mereka dengan McLaren hanya 54 poin. Namun, mengingat Perez sangat tidak bisa diharapkan untuk menyumbang poin, rasanya akan sangat berat.

Prediksi Penulis, musim 2024 ini akan dimenangkan oleh Max Verstappen untuk pembalap dan McLaren untuk konstruktor. Walau secara matematis masih bisa disalip oleh yang lain, rasanya mereka masih terlalu kuat untuk digusur. Mari kita lihat hingga musim ini berakhir.


Lawang, 29 Oktober 2024, terinspirasi setelah menyaksikan betapa serunya musim F1 tahun ini

Foto Featured Image: F1

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan