“FIFA bisa melupakan hal itu. Para pesepak bola dan klub tidak akan berpartisipasi dalam turnamen itu. Satu pertandingan di Madrid bernilai €20 juta dan FIFA ingin memberikan angka itu untuk seluruh turnamen: negatif. Seperti kami, beberapa klub akan menolak undangan tersebut.”
Namun, tak lama kemudian pihak Real Madrid mengklarfikasi ucapan tersebut dan menyatakan bahwa mereka akan tetap menjadi peserta turnamen tersebut. Ancelotti sendiri akhirnya juga membuat klarifikasi, dengan mengatakan bahwa pernyataannya “tidak ditafsirkan seperti yang saya maksudkan.”
Terlepas dari kehebohan yang diakibatkan oleh Ancelotti, Penulis memang ingin menyorot tentang bisnis sepak bola yang semakin berorientasi kepada uang dibandingkan kondisi pemain. Hal ini bisa terlihat dari format-format baru turnamen populer sepak bola.
Format Baru Turnamen-Turnamen Sepak Bola
Selama ini, kita sudah familiar dengan format Liga Champion yang mempertandingkan 32 tim dari seluruh penjuru Eropa yang dibagi menjadi ke dalam 8 grup. Juara dan runner-up dari masing-masing grup akan lolos ke babak Playoff, dari 16 besar hingga final. Sesederhana itu.
Piala Dunia Antarklub juga sederhana, di mana perwakilan masing-masing zona akan mengirimkan satu perwakilannya. Turnamen ini memang kerap dipandang sebelah mata, mengingat kebanyakan juaranya berasal dari perwakilan Eropa.
Nah, mulai musim depan, format dari turnamen-turnamen ini akan dirombak habis-habisan. Kita mulai dari Liga Champion, yang jumlah pesertanya akan bertambah dari 32 menjadi 36 tim. Selain itu, semua tim akan dijadikan satu grup besar, tidak lagi dibagi menjadi 8 grup.
Lalu, masing-masing klub akan berhadapan dengan 8 lawan yang berbeda, di mana 4 pertandingan dilakukan secara Home dan 4 pertandingan secara Away. Pemilihan tim akan dilakukan secara acak melalui sistem pot.
Peringkat 1-8 akan otomatis lolos ke babak 16 besar, sedangkan peringkat 9-24 akan menjalani Playoff dengan sistem dua leg untuk menentukan 8 tim sisanya. Selain itu, tidak akan ada lagi tim dari Liga Champion yang akan turun ke Europe League.
Dengan format ini, maka jumlah pertandingan di Liga Champion akan meningkat pesat dari 125 pertandingan satu musim menjadi 189 pertandingan. Menurut hitungan Penulis, satu tim bisa melakoni hingga 19 laga dalam satu musim.
Piala Dunia Antarklub pun berubah total dengan menggunakan format lama Liga Champion. Artinya, dalam satu piala dunia akan ada 32 tim yang akan bertanding. Eropa kebagian jatah paling banyak dengan 12 tim, disusul Amerika Selatan (6), Amerika Utara dan Tengah (5), Asia (4), Afrika (4), dan Oseania (1).
Jangan lupa, Piala Dunia edisi 2026 pun akan mengalami perubahan format dengan diikuti oleh 48 negara. Seluruh peserta akan dibagi ke dalam 12 grup berisi 4 tim. Juara, runner-up, serta 8 tim peringkat 3 terbaik akan lolos ke babak 32 besar hingga ke babak final.
Potensi Cedera Pemain yang Makin Besar
Mungkin bagi penonton sepak bola seperti Penulis, lebih banyak pertandingan sepak bola akan menyenangkan. Namun, Penulis jadi kepikiran mengenai nasib para pemain yang seorang dikuras habis-habisan tenaganya demi bisnis bernama sepak bola ini.
Tentu dengan semakin banyaknya pertandingan yang harus dijalani pemain setiap musimnya, potensi cedera pun menjadi semakin tinggi karena tenaga pemain menjadi terlalu diforsir. Mau main rotasi pun susah jika banyak pemain yang tidak tersedia.
Sekali lagi, Manchester United menjadi contoh yang bagus di sini. Hampir di setiap pertandingan, mau di Liga Inggris, Liga Champion, atau FA Cup, komposisi pemain yang diturunkan Ten Hag mirip-mirip karena memang tidak ada pemain lain yang bisa diturunkan.
Apakah pihak klub jadi harus menganggarkan dana lebih agar memiliki roster pemain yang tebal di klubnya? Rasanya sulit, mengingat harga pemain makin ke sini inflasinya makin gila-gilaan. Dompet klub bisa jebol jika harus menambah jumlah pemain agar pelatih bisa melakukan rotasi dengan lancar.
Mungkin pihak UEFA atau FIFA bisa berkelit dengan mengatakan ini-itu, tapi para penggemar bola rasanya tahu kalau alasan utama dari perubahan-perubahan format ini ujung-ujungnya ya perkara duit.
Logika sederhana yang paling gampang terlihat, dengan lebih banyaknya pertandingan yang tersaji, maka nilai sponsor yang masuk otomatis akan menjadi lebih besar karena produk mereka akan lebih sering muncul.
Penulis tidak tahu bagaimana para pemain menanggapi bertambahnya jumlah pertandingan yang harus mereka lakoni dalam semusim. Mungkin mereka happy-happy saja, apalagi kalau yang makan gaji buta seperti Neymar di Al-Hilal.
Namun, bagi para penggemar sepak bola, kekhawatiran tentang lebih mudahnya pemain cedera menjadi concern utama. Penulis sendiri sudah merasakan bagaimana badai cedera menghantam tim favoritnya hingga performanya menjadi amburadul.
Semoga saja kekhawatiran tersebut tidak benar-benar terjadi. Mengingat musim depan adalah pertama kalinya format baru turnamen akan diterapkan, kita akan melihat apakah format tersebut akan membuat pemain jadi lebih mudah cedera atau tidak.
Lawang, 10 Juni 2024, terinspirasi setelah melihat kompetisi sepak bola yang semakin banyak sehingga berpotensi membuat pemain sering mengalami cedera
Ketika Formula 1 memasuki awal musim 2024, banyak penggemar yang menginginkan musim ini di-skip saja dan langsung masuk ke musim 2025. Alasannya jelas, karena Max Verstappen dan Red Bull begitu mendominasi.
Bayangkan, dalam 10 balapan pertama, Verstappen berhasil memenangkan tujuh di antaranya. Kemenangan Verstappen hanya berhasil direbut oleh Carlos Sainz (GP Australia), Lando Norris (GP Miami), dan Charles Leclerc (GP Monaco).
Namun, dalam enam balapan terakhir, Verstappen dan Red Bull terlihat mengalami penurunan yang cukup signifikan. Bahkan, pesaing terdekat mereka, Lando Norris dan Mclaren, terlihat mulai mendekat dengan sangat cepat.
Selain Mercedes, Mclaren juga sering berhasil merebut kemenangan di GP Belanda melalui Norris dan kemenangan awkward Oscar Piastri di GP Hungaria. Terbaru, Leclerc berhasil mendapatkan kemenangan keduanya musim ini di GP Italia dengan gemilang.
Puasa kemenangan hingga enam balapan membuat posisi Verstappen di puncak klasemen mulai goyang. Meskipun dalam enam balapan tersebut ia konsisten masuk setidaknya enam besar, selisih poinnya dengan Norris menipis hingga tinggal 62 poin saja.
Norris sendiri cukup kompetitif dan mobil Mclaren memang sedang kencang-kencangnya. Setelah insiden di GP Austria yang membuatnya DNF, ia berhasil naik podium empat kali dari lima kesempatan. Tiga di antaranya berhasil di atas Verstappen.
Klasemen konstraktor malah lebih tipis lagi. Saat ini, selisih antara Red Bull dan Mclaren hanya tersisa 8 poin! Salah satu faktor pendukungnya adalah performa Sergio Perez yang benar-benar anjlok, di saat duo Mclaren sama-sama konsisten di papan atas.
Yups, Piastri sendiri cukup mampu mengimbangi performa Norris. Dalam enam balapan terakhir, ia selalu konsisten masuk ke empat besar. Di klasemen, ia sekarang berada di posisi empat, selisih 44 poin dengan Norris di peringkat dua.
Nah, normalnya dalam Formula 1, tim akan memiliki pembalap prioritas yang (biasanya) dipilih berdasarkan siapa yang di klasemen lebih berpeluang untuk juara. Kita sudah sering melihat hal ini, seperti Ferrari di era Michael Schumacher atau Red Bull di era Sebastian Vettel.
Masalahnya, tampaknya Mclaren tidak menyukai team order seperti itu dan memutuskan untuk menerapkan Papaya Rules, yang intinya mempersilakan kedua pembalapnya untuk bersaing secara sehat selama tidak merugikan tim.
Mclaren yang Ogah Terapkan Team Order
Lho, bukannya bagus karena menjunjung tinggi sportivitas? Jawabannya bisa benar, bisa salah. Bagi Mclaren yang terakhir kali juara pembalap pada tahun 2008 melalui Lewis Hamilton, bisa jadi itu keputusan yang salah.
Mclaren seolah sudah terlalu lama menjadi tim papan tengah, sehingga terkesan tidak siap ketika mereka memiliki kesempatan untuk menjadi juara baik dari segi pembalap maupun konstraktor. Padahal, saat ini mereka telah memiliki mobil yang sangat mumpuni.
Norris sendiri telah lama “mengabdi” untuk Mclaren sejak musim 2016, sehingga sangat masuk akal jika ia menjadi pembalap prioritas. Piastri yang baru bergabung musim lalu pun pasti bisa menerima keputusan tim, apalagi statusnya sebagai rookie.
Jika Mclaren tidak bisa memberi ketegasan kepada kedua pembalapnya, bisa-bisa justru akan merusak keharmonisan tim yang bisa berakibat lepasnya gelar juara. Norris bisa saja merasa kesal karena tidak diprioritaskan dan tidak mendapatkan bantuan dari Piastri.
Di sisi lain, Norris pun harus bisa meningkatkan performanya. Musim ini ia berhasil mendapatkan empat Pole Position, tapi tiga kali ia gagal mengonversinya menjadi kemenangan akibat buruknya start yang ia lakukan.
Idealisme yang dimiliki oleh Mclaren memang bagus, tapi rasanya kurang cocok diterapkan jika risikonya adalah membuat Norris harus mengubur mimpinya untuk menjadi juara dunia. Selisih poinnya dengan Verstappen benar-benar tipis, dengan delapan sirkuit tersisa.
Untuk gelar juara konstruktor mungkin relatif bisa direbut, mengingat bagaimana anjloknya Perez dan penurunan performa yang dialami oleh Red Bull. Sungguh, tak salah apabila Mclaren melakukan Asa Mclaren Rebut Gelar Juara dari Red Bull Terhadang Papaya Rules
untuk memastikan gelar juara dunia pembalap diraih oleh Norris.
Penulis selalu menyukai jika ada pembalap Formula 1 (F1) yang berhasil meraih kemenangan perdananya. Di musim ini, Penulis sangat berharap kalau Oscar Piastri dari McLaren berhasil meraih kemenangan perdananya, setelah penampilan konsistennya di musim lalu.
Apalagi, musim 2024 juga seru karena dalam 12 balapan yang telah berlangsung, sudah ada enam pembalap berbeda yang berhasil menjadi juara. Tentu menarik jika ada pembalap ketujuh yang berhasil menjadi juara, apalagi yang belum pernah seperti Piastri.
Nah, harapan tersebut ternyata terwujud pada hari ini (21/7) ketika Piastri berhasil menjuarai GP Hungaria. Namun, kemenangan tersebut menjadi terasa awkward karena kesalahan strategi yang dilakukan oleh timnya.
Hampir Terulangnya Peristiwa Multi 21 oleh McLaren
Sejak babak kualifikasi, McLaren sudah terlihat akan mendominasi GP Hungaria, karena Lando Norris dan Oscar Piastri berhasil start dari posisi 1-2. Di belakang mereka ada Max Verstappen dari Red Bull, yang entah mengapa mobilnya selama beberapa balapan terakhir terlihat underperform.
Balapan sudah terlihat akan “kacau” sejak tikungan pertama, karena Norris kehilangan posisinya saat berduel dengan Verstappen. Piastri pun berhasil mengambil alih pimpinan balapan selama berlap-lap.
“Drama” dimulai ketika sesi pit kedua, di mana McLaren memutuskan untuk meminta Norris untuk pit terlebih dahulu. Alasannya, agar Norris bisa menahan laju Lewis Hamilton dan mengamankan kemenangan Piastri.
Masalahnya, sebenarnya jarak Hamilton dengan para pembalap McLaren sebenarnya masih relatif jauh, sehingga muncul kesan kalau memang tim menginginkan Norris yang menang demi bisa mendekat ke Verstappen.
Benar saja, saat Piastri pit, Norris berhasil mengambil alih pimpinan balapan. Ia seolah berhasil melakukan strategi undercut untuk menyalip rekan setimnya sendiri. Alhasil, radio tim McLaren pun menjadi penuh drama setelah kejadian ini.
Di radio, tim meminta Norris untuk memberikan kembali posisi pertama kepada Piastri, mungkin karena menyadari kesalahan strategi yang tidak menguntungkan Piastri yang sejatinya sudah mengemudi dengan baik sepanjang balapan.
Norris awalnya tampak enggan, apalagi pace-nya jauh lebih cepat dari Piastri karena jaraknya sempat mencapai 7 detik. Namun, di tiga lap terakhir, akhirnya Norris menuruti team order tersebut dan memberikan kemenangan perdana bagi Piastri.
Kemenangan ini pun terasa sedikit awkward bagi Piastri. Di radio setelah finis, ia terdengar kurang bersemangat dan langsung meminta maaf! Mungkin ia sendiri merasa bersalah dengan apa yang telah terjadi, karena sepertinya ia adalah tipe orang yang gak enakan.
“Sorry, I made this all a lot more painful than it needed to be,” ungkap Piastri di radio begitu berhasil finis di posisi pertama.
Norris pun bisa dibilang tidak bersalah sama sekali. Ia hanya melakukan tugasnya sebagai pembalap untuk memacu kendaraannya sekencang mungkin. Apalagi, ia juga sedang mengejar Verstappen mati-matian untuk menjadi juara musim ini.
Kesalahan murni terdapat pada strategi McLaren, yang seharusnya memasukkan Piastri ke pit terlebih dahulu sebelum Norris. Untungnya, Norris bisa menahan egonya dan menuruti perintah tim, tidak seperti Verstappen beberapa tahun lalu.
Keputusan Norris mungkin bijaksana, mengingat musim 2024 masih berjalan setengah. Bisa jadi di balapan-balapan selanjutnya, Norris membutuhkan “jasa” Piastri untuk bisa membantunya mengejar poin yang dimiliki oleh Verstappen.
Kejadian seperti ini pun membuat kita teringat pada peristiwa “Multi 21” antara Mark Webber dan Sebastian Vettel. Saat itu, Vettel disuruh mengalah dan membiarkan Webber menang, tapi perintah tersebut diabaikan oleh Vettel dan membuat hubungannya dengan Webber memanas.
Beberapa Rekor Setelah GP Hungaria
Oscar Piastri berhasil mencatatkan namanya sebagai pembalap ke-115 sepanjang sejarah F1 yang berhasil keluar menjadi juara. Raihan ini menjadi lebih istimewa karena kemenangan ini berhasil ia raih di musim keduanya di F1.
Rasanya, keputusan untuk menerima pinangan McLaren dibandingkan Alpine menjadi keputusan terbaik yang pernah diambil oleh Piastri dalam hidupnya. Bisa dibayangkan seandainya ia debut untuk Alpine, kemenangan perdanya di F1 tidak akan ia raih secepat ini.
Meskipun kemenangan perdananya terasa awkward, sebenarnya Piastri sangatlayak mendapatkan kemenangan ini. Ia yang terlihat selalu kalem berhasil memberikan penampilan yang konsisten selama ini, sehingga memang tinggal menunggu waktu saja hingga ia meraih kemenangan perdananya.
Piastri berhasil menjadi pembalap ketujuh yang berhasil menang di musim ini, setelah Max Verstappen, Carlos Sainz, Lando Norris, Charles Lelcrec, George Russel, dan Lewis Hamilton. Hal seperti ini terakhir terjadi pada musim 2012 silam.
Selain kemenangan Piastri, Lewis Hamilton juga berhasil mencuri perhatian dengan meraih podium ke-200 sepanjang kariernya dengan meraih podium ketiga. Ia berhasil melalui pertarungan yang keras dari Verstappen, yang terlihat kembali ke mode default-nya.
Semoga saja keseruan F1 musim ini akan terus berlanjut di balapan-balapan selanjutnya, di mana Verstappen dan Red Bull tidak lagi terlalu mendominasi. Tentu menarik dinanti apakah akan ada pembalap lain yang bisa menang balapan.
Lawang, 21 Juli 2024, terinspirasi setelah menonton GP Hungaria
Ketika nonton Formula 1 (F1), salah satu tanda kalau balapannya membosankan bagi Penulis adalah ketika dirinya sering mengecek HP. Nah, di British GP yang baru saja usai malam ini (7/7), Penulis hampir tidak pernah mengecek HP sama sekali karena memang seru balapannya!
Dari awal balapan hingga finis, ada saja momen yang membuat kita merasa kalau hasil balapan akan berbeda. Bayangkan saja, total ada lima pembalap berbeda yang pernah memimpin jalannya balapan.
Pada akhirnya, Lewis Hamilton berhasil memutus puasa kemenangannya sejak yang terakhir ia raih pada tahun 2021 silam. Tidak hanya itu, Hamilton juga berhasil mencetak beberapa rekor baru yang rasanya akan sulit untuk dikejar oleh pembalap lain di masa depan.
Masing-masing pembalap memiliki momen serunya sendiri di British GP, walau ada yang harus bernasib apes. Adanya hujan yang mampir sebentar menjadi salah satu faktornya, walau ada faktor lain seperti rusaknya mobil atau kesalahan strategi.
George Russel (Mercedes) contohnya, yang sejatinya berhasil meraih pole position dan start dari posisi terdepan. Namun, posisinya sempat tersalip oleh Hamilton dan Norris. Lebih apesnya lagi, mobilnya mengalami masalah pada water system sehingga harus DNF.
Lando Norris (McLaren) pun demikian. Sempat di atas angin dan memimpin balapan cukup lama, keputusannya untuk menggunakan ban Soft setelah hujan berakibat fatal. Bukan hanya tak mampu mengejar Hamilton di depan, ia justru berhasil disalip oleh Verstappen.
Omong-omong soal Max Verstappen (Red Bull), meneer Belanda ini memang edan. Sepanjang balapan, ia terlihat kesulitan dengan mobilnya hingga tercecer ke posisi 5, bahkan hampir saja disalip oleh Sainz.
Namun, namanya juga Verstappen, ia berhasil membalikkan keadaan setelah hujan. Memutuskan untuk menggunakan ban Hard, kecepatan Verstappen sangat gila. Selain berhasil menyalip Norris, Verstappen juga terus memotong jaraknya dengan Hamilton. Seandainya lap masih tersisa banyak, Verstappen akan keluar menjadi juaranya.
Verstappen bersaing ketat dengan Oscar Piastri (McLaren) untuk mencatakan fastest lap. Di lap-lap terakhir, mereka saling bergantian mencatatkan waktu fastets lap, walaupun plot twist-nya justru Carlos Sainz (Ferrari) yang berhasil meraihnya di lap terakhir.
Piastri sendiri cukup bernasib apes. Keputusan McLaren untuk tidak melakukan double stack (pit dua mobil sekaligus) seperti Mercedes membuatnya banyak kehilangan waktu karena menggunakan ban kering di sirkuit basah.
Namun, nasib Piastri tidak seburuk Sergio Perez (Red Bull) dan Charles Lelcrec(Ferrari) yang seolah menjadi “tumbal” timnya. Bagaimana tidak, mereka mendapatkan ban Intermediate lebih awal dan akibatnya balapan mereka menjadi tidak karuan.
Sejujurnya Penulis merasa heran dengan performa amburadul dari Perez. Bukannya membaik, perfomanya justru makin menurun setelah menandatangani kontrak baru dengan Red Bull. Jika terus seperti ini, bukan tidak mungkin kontraknya akan diputus.
Terakhir sebelum masuk ke menu utama tulisan ini, apresiasi juga perlu diberikan kepada Nico Hulkenberg (Haas) yang berhasil finis di posisi ke-6 secara dua kali beruntun. Ia berhasil menjaga duo Aston Martin di belakangnya dan membuat posisi Haas di klasemen semakin mendekat ke RB Honda RBPT.
Lewis Hamilton sang Legenda Hidup yang Belum Habis
Sekarang kita masuk ke menu utamanya: Lewis Hamilton. Pembalap dengan gelar Sir ini mampu menjalani balapan yang rapi tanpa kesalahan. Kemenangan yang ia raih di British GP ini seolah membuktikan kalau ia, yang akan pindah ke Ferrari musim depan, masih belum habis.
Kemenangan ini juga terasa sangat emosional bagi Hamilton. Setelah melewati bendera finis, ia menangis bahkan setelah memarkirkan mobilnya di dekat paddock. Ia kembali menangis ketika dipeluk oleh ayahnya, yang selalu setia memberikan support untuk anaknya.
Hal tersebut wajar saja, karena Hamilton yang merupakan juara dunia tujuh kali telah cukup lama absen meraih podium tertinggi. Bayangkan, kemenangan terakhirnya ia dapatkan pada Saudi Arabia GP pada tahun 2021. Artinya, sudah 2,5 tahun ia tak memenangkan balapan.
Kemenangan ini terasa lebih manis karena setidaknya ada dua rekor baru yang tercipta. Pertama, Hamilton memperpanjang rekor total kemenangannya menjadi 104 kemenangan. Sebagai informasi, Verstappen saat ini telah meraih 61 kemenangan. Apakah sang meneer berhasil melewati rekor tersebut? Mari kita nantikan saja.
Rekor yang kedua adalah Hamilton berhasil menjadi pembalap dengan kemenangan terbanyak di satu sirkuit. Total, ia telah berhasil menang di sirkuit Silverstone sebanyak 9 kali. Rekor ini bisa bertambah di Hungarian GP yang akan datang, karena Hamilton sudah menang 8 kali di sana.
Penulis tidak pernah menjadi penggemar Hamilton. Namun, kemenangan yang emosional ini berhasil membuat Penulis ikut merasa senang untuk Hamilton. Tentu tak mudah bagi seorang yang terbiasa menang untuk terus melihat orang lain meraih kemenangan.
Meskipun rasanya sulit untuk melihat ada pembalap lain yang bisa menggusur Verstappen dari puncak klasemen pembalap, setidaknya balapan musim ini lebih seru dan menarik jika dibandingkan dengan musim 2023 kemarin yang terlalu didominasi oleh Red Bull.
Meskipun Verstappen telah menang 8 dari 12 balapan yang sudah digelar, hingga British GP sudah ada lima pembalap berbeda yang telah meraih kemenangan musim ini. Selain Verstappen, ada Lelcrec, Norris, Russel, dan terbaru Hamilton. Semoga saja setelah Hamilton, akan ada pembalap lain yang berhasil menjadi juara.
Lawang, 7 Juni 2024, terinspirasi setelah menonton British GP yang seru dan tidak membosankan
You must be logged in to post a comment Login