Connect with us

Olahraga

Merindukan Sentuhan Sir Alex

Published

on

Beberapa tahun terakhir ini, menjadi seorang penggemar Manchester United (MU) terasa sangat berat. Semenjak kepergian Sir Alex, rasanya tidak ada pelatih yang mampu menggantikan sentuhan midasnya.

Akibatnya, banyak fans (termasuk penulis) berusaha mengobati luka tersebut dengan mengingat kembali prestasi-prestasi yang pernah diraih di masa lalu, terutama ketika Sir Alex masih menukangi Setan Merah.

Kenapa Suka dengan Manchester United?

Penulis menyukai sepakbola sejak Piala Dunia 2002. Kalau tidak salah, pertandingan pertama yang penulis tonton adalah Brazil melawan Kosta Rika yang berakhir dengan skor 5-2.

Gara-gara itu, penulis mulai mencari klub sepakbola yang akan disukai. Untungnya, adalah tabloid Bola dan Soccer sebagai referensi. Apalagi, terkadang ayah membawakan majalah Bolavaganza bekas.

Penulis pun melihat masing-masing liga dan memilih klub yang sedang bertengger di posisi pertama. Ketika melihat klasemen Liga Inggris, Manchester United sedang menjadi pemuncak klasemen. Karena itulah penulis menjadikan klub tersebut sebagai klub favorit.

Cara yang sama penulis gunakan untuk menjadi pendukung Real Madrid (Spanyol) dan Inter Milan (Italia), walau yang disebut pertama sudah tidak terlalu didukung karena kejadian pengusiran Iker Casillas secara kurang ajar.

Mengamati sepak terjang MU selama belasan tahun tentu membuat penulis jadi ikut memperhatikan sang pelatih, Sir Alex Ferguson.

Awal Kelam Sir Alex

Awal Bergabung (Bleach Reporter)

Sir Alexander Chapman “Alex” Ferguson menukangi Manchester United sejak tahun 1986. Debut pertandingannya tidak mulus karena harus mengalami kekalahan 0-2 dari klub Oxford United.

Salah satu tudingan kekalahan tersebut adalah kondisi klub yang sedang tidak sehat. Banyak pemain andalannya mengalami masalah kebugaran karena kegemarannya menenggak minuman keras.

Sir Alex pun langsung menerapkan disiplin ketat yang akan ia pertahankan di tahun-tahun berikutnya. Walaupun begitu, ia tak mampu mengangkat klubnya dan hanya berhasil finish di posisi 11 pada tahun tersebut.

Sempat menjadi runner-up di bawah Liverpool pada musim berikutnya, MU kembali harus berada di peringkat 11 pada musim 1988-1989.

Bahkan di musim 1989-1990, klub ini terancam degradasi hingga muncul tuntutan untuk memecat sang pelatih. Untungnya pada musim tersebut, MU berhasil mendapatkan trofi Piala FA, trofi pertama yang berhasil didapatkan oleh Sir Alex.

Sir Alex pun menyadari bahwa ia harus membeli pemain yang tepat. Beberapa legenda pun direkrut seperti Mark Hughes, Paul Ince, hingga Peter Schmeichel. Perlahan tapi pasti, Sir Alex sedang membawa MU menuju era keemasannya.

Era Premier League dan Class of ’92

Class of ’92 (Irish Times)

Mulai musim 1992-1993, format liga Inggris berubah menjadi Premier League. Manchester United dan Sir Alex berhasil menjadi pemenang di edisi perdana setelah musim-musim buruk yang sudah mereka lalui.

Musim inilah Manchester United mulai menunjukkan dominasinya di Liga Inggris. Trofi perdana di bawah asuhan Sir Alex adalah trofi Liga Inggris kedelapan yang berhasil didapatkan. Ketika Sir Alex pensiun, jumlahnya sudah berubah menjadi 20!

Salah satu penyebab kebangkitan MU adalah munculnya Class of ’92 yang diisi oleh pemain akademi berbakat seperti Paul ScholesGary NevilleNicky Butt, dan David Beckham setelah sebelumnya Ryan Giggs melakukan debut terlebih dahulu.

Mereka inilah yang menjadi tulang punggung klub bersama dengan pemain-pemain senior seperti Eric Cantona, Roy Keane, hingga Bryan Robson. Pada saat yang sama, mereka juga mulai melepas pemain-pemain senior lainnya seperti Mark Hughes dan Paul Ince.

Kedalaman klub di tahun 90-an juga cukup menjanjikan, di mana Sir Alex merekrut beberapa pemain seperti Ole Gunnar Solskjaer, Teddy Sheringham, Jaap Stam, hingga Dwight Yorke.

Puncak keberhasilan MU adalah ketika berhasil meraih treble winners pada musim 1998-1999, setelah kemenangan dramatis melawan Bayern Munich di mana mereka mencetak dua gol saat injury time.

Treble winners inilah yang membuat Alex Ferguson mendapatkan gelar Sir sekaligus menjadi penanda MU akan menjadi salah satu kekuatan sepakbola terbesar yang pernah ada.

Dominasi Premier League dan Pensiunnya Sir Alex

Salah Satu Skuad Terbaik (Pinterest)

Karena baru mengenal sepakbola sejak tahun 2002, baru pada periode 2000-an lah penulis benar-benar mengetahui pemain-pemain Manchester United.

Setelah mendapatkan treble, MU mendatangkan sejumlah pemain seperti Ruud van Nisterlooy dan Fabien Barthez. Sempat mengalami musim buruk karena kepergian Jaap Stam, Sir Alex mendapatkan Rio Ferdinand dari Leeds United.

Sir Alex juga sempat dikabarkan akan pensiun karena klub mengalami penurunan prestasi. Untungnya, niat tersebut dibatalkan dan Sir Alex masih menjadi pelatih MU hingga musim 2012/2013.

Banyak kontroversi yang terjadi pada tahun 2000-an. Yang paling heboh tentu tendangan sepatu Sir Alex yang mengenai pelipis Beckham. Insiden ini yang ditenggarai sebagai penyebab kepergian sang legenda ke Real Madrid.

Untuk menggantikan peran Beckham, Sir Alex merekrut pemain muda yang bermain untuk Sporting Lisbon, Christiano Ronaldo. Sir Alex juga mendatangkan pemain muda berbakat dari Everton, Wayne Rooney.

Bisa dibilang, tahun 2003 hingga 2006 merupakan musim yang sulit bagi MU karena gagal mendapatkan gelar Premier League. Salah satu alasannya adalah tahun-tahun tersebut merupakan tahun-tahun transisi dari generasi emas ke generasi baru.

Sir Alex berusaha mencari pemain-pemain pengganti yang tepat. Oleh karena itu, ia mendatangkan Edwin van der Saar, Patrick Evra, Park Ji SungNemanja Vidic, hingga Michael Carrick.

Setelah itu, MU berhasil memenangkan beberapa trofi Premier League lagi dan trofi Liga Champion yang kedua. Pada musim 2012/2013, Sir Alex mengumumkan keputusan pensiunnya.

Manchester United Pasca Sir Alex

David Moyes (Premier League)

Pengganti pertama Sir Alex adalah David Moyes yang mendapat julukan The Choosen One karena Sir Alex sendiri yang memberikan rekomendasi.

Sayang, ia gagal menunjukkan penampilan yang impresif sehingga diganti pada tengah musim dan digantikan oleh Ryan Giggs untuk sementara waktu.

Selanjutnya MU merekrut Louis van Gaal dan Ryan Giggs menjadi asisten pelatih. Sekali lagi, van Gaal gagal menunjukkan MU seperti zaman Sir Alex sehingga posisinya digantikan oleh Jose Mourinho.

Nama besar Mourinho tidak cukup membawa MU meraih masa kejayaannya kembali sehingga ia pada akhirnya juga diberhentikan di tengah musim dan digantikan oleh Ole Gunnar Solkjaer hingga sekarang.

Setelah Sir Alex pensiun, MU hanya berhasil meraih 2 Piala Community Shield (David Moyes dan Jose Mourinho), 1 Piala FA (Louis van Gaal), 1 Piala Europe League (Jose Mourinho), dan 1 League Cup (Jose Mourinho). Belum ada trofi Premier League lagi hingga sekarang.

Penutup

Jika ditanya pemain favorit, mungkin penulis akan menyebutkan nama David Beckham, Ruud van Nisterlooy, Park Ji Sung, hingga Edwin van der Saar.

Pemain-pemain tersebut menjadi bukti kejeniusan Sir Alex dalam menemukan pemain yang tepat untuk klubnya, sesuatu yang rasanya sukar dilakukan sekarang.

MU juga kerap menjadi bahan bully akibat performanya yang jeblok sehingga dianggap sebagai klub dagelan. Menjadi fans MU merupakan sesuatu yang berat di masa-masa sulit ini.

Salah satu penyebab utama dari kejatuhan ini adalah belum adanya pengganti Sir Alex yang tepat. Tidak ada lagi Fergie Time ataupun teriakan yang begitu keras hingga seperti hair dryer.

Entah sampai kapan MU akan seperti ini. Penulis, sebagai penggemar MU, berharap akan datang pelatih yang setidaknya mampu mendekati sentuhan ajaib Sir Alex dalam membawa timnya menuju kejayaan.

 

 

Kebayoran Lama, 10 November 2019, terinpsirasi dari performa MU yang makin lama makin mengecewakan.

Foto: Bleacher Report

Olahraga

Tergelincirnya Para Rookie F1 di Balapan Debut Mereka

Published

on

By

Formula 1 (F1) akhirnya mulai kembali, di mana Australia menjadi venue pertama seperti yang sudah sering terjadi. Menariknya, entah ingatan Penulis yang salah atau gimana, balapan di Australia tahun ini terjadi lebih awal, yakni pukul 11:00 WIB.

Musim 2025 ini memang sering dianggap “nanggung” karena ini adalah musim terakhir sebelum peralihan ke musim 2026 dengan regulasi baru. Namun, dari balapan pertama ini, rasanya musim ini cukup seru untuk dinikmati.

Di tengah guyuran hujan yang labil (bahkan sinar matahari sempat terlihat di tengah-tengah hujan), Lando Norris berhasil meraih kemenangan kelima sepanjang kariernya. Kemenangan ini terasa istimewa, mengingat banyaknya “drama” yang terjadi sepanjang balapan.

Beda Nasib Para Rookie di Balapan Debut

Kayaknya Gara-gara Nervous (The Letbridge Herald)

Salah satu hal yang membuat musim 2025 terasa seru adalah banyaknya kehadiran para rookie baru. Meskipun beberapa sudah pernah mencicipi kursi F1, baru di musim inilah mereka hadir dengan status pembalap utama untuk satu musim penuh.

Daftar para pembalap rookie musim ini adalah:

  • Andrea Kimi Antonelli – Mercedes
  • Jack Doohan – Alpine
  • Isack Hadjar – Racing Bulls
  • Liam Lawson – Red Bull
  • Gabriel Bortoleto – Sauber
  • Oliver Bearman – Haas

Dari nama-nama di atas, ada beberapa nama yang tidak asing seperti Lawson yang menggantikan Daniel Ricciardo di tengah musim 2024 dan Bearman yang sempat menggantikan Carlos Sainz di Ferrari ketika ia harus menjalani operasi usus buntu.

Lantas, bagaimana debut para pembalap rookie di atas? Sayangnya berjalan kurang baik karena mayoritas dari mereka gagal finis! Sirkuit yang basah tampaknya memang menjadi momok yang menakutkan bagi mereka.

Dimulai dari Hadjar yang harus selip ketika Formation Lap. Iya, bahkan ketika balapan belum mulai, ia sudah harus tersingkir dari balapan! Hal tersebut tampaknya sangat melukainya, karena beberapa kali ia tertangkap kamera sedang menangis setelah insiden tersebut.

Ketika balapan akhirnya diulangi, di lap pertama Doohan juga menyusul! Menariknya, ketika Safety Car keluar, Sainz yang kini membela William juga terpelintir. Ini menunjukkan bahwa pembalap senior pun kesulitan untuk balapan di Albert Park siang tadi.

Menjelang balapan, ada dua nama yang menyusul, yakni Bortoleto dan Lawson, yang sama-sama tergelincir. Artinya, hanya ada dua nama rookie yang berhasil finis, yakni Bearman dan Antonelli. Bearman pun hanya bisa finis di peringkat terakhir (14).

Untuk kasus Antonelli bisa dibilang sedikit unik. Ia menjalani kualifikasi yang tidak begitu baik, sehingga harus tercecer di peringkat 16. Walaupun ia berhasil naik perlahan, tapi ia terlihat kesulitan untuk bisa sekadar menembus 10 besar.

Nah, entah bagaimana, ketika terjadi chaos yang mengakibatkan keluarnya Safety Car untuk ketiga kalinya, si Antonelli ini tiba-tiba bisa merangkak naik ke peringkat empat! Sempat terkena penalti lima detik, pada akhirnya penalti tersebut dicabut oleh FIA.

Tentu mendapatkan 12 poin di debut merupakan prestasi yang bisa dibanggakan oleh Antonelli, apalagi jika melihat para rekan sejawatnya yang banyak tergelincir. Namun, ini masih balapan pertama, jadi rasanya kita belum bisa nge-judge mereka.

Performa Super dari Lando Norris

Layak Jadi Juara (The Age)

Selain membicarakan para rookie, yang tak kalah seru adalah balapan itu sendiri. Apresiasi harus diberikan kepada Lando Norris yang, walau mengaku sering melakukan kesalahan, berhasil mempertahankan posisinya hingga akhir balapan.

Selama ini, Norris kerap dicap kurang tenang dan tak bisa menghadapi tekanan. Apalagi di cuaca hujan seperti tadi siang, tentu kita ingat bagaimana “tragisnya” ia ketika menolak untuk masuk pit dan akibatnya mobilnya tergelincir keluar arena.

Namun, ia berhasil membuktikan bahwa ia telah berkembang dan menjadi lebih dewasa. Performanya patut diacungi jempol, apalagi jika melihat rekan setimnya Oscar Piastri yang juga sempat terpeleset walaupun berhasil kembali dan finis di peringkat ke-9.

Sejujurnya, Penulis menjagokan Piastri untuk menang di balapan kali ini. Apalagi, ini adalah balapan kandangnya, sehingga kemenangan di sana pasti akan menjadi kado manis untuk para penggemar F1 di sana. Tak apa, masih ada musim depan, mengingat kontraknya di McLaren juga baru diperpanjang.

Hilangnya Dominasi Red Bull

Kayaknya Bakal Jadi Penggendong Handal (Total Motorsport)

Nah, di belakang Norris ada Max Verstappen sang juara bertahan. Sejak pra-musim, kita sudah mendapatkan feeling kalau ia dan Red Bull tak akan segahar musim-musim sebelumnya. Namun, yang namanya Verstappen, meskipun mobilnya bobrok sekalipun masih bisa minimal podium.

Kebobrokan mobil Red Bull bisa dilihat dari performa Lawson, yang di babak kualifikasi hanya bisa berhasil mendapatkan posisi ke-18. Bahkan, banyak jokes yang beredar kalau Lawson hanya second account dari Sergio Perez! Namun, ini kan baru balapan pertama.

Banyak yang menuding kalau ini terjadi karena sejak dulu, Red Bull terlalu Verstappen-sentris. Jadi, kecuali Red Bull menemukan pembalap yang memiliki gaya balap seperti Verstappen, maka hasilnya akan selalu njomplang seperti ini.

Memang, Verstappen adalah salah satu talenta terbaik yang pernah ada di F1. Tak ada yang meragukan kemampuannya, sehingga keputusan Red Bull untuk menganakemaskannya bisa dimaklumi. Namun, jika Red Bull ingin juara konstruktor, mereka butuh dua pembalap yang mampu konsisten menyumbang poin.

Ferrari yang Masih Lawak

Masih Jadi Korban Lawak (Scuderia Fans)

Selain banyaknya rookie, salah satu yang membuat musim 2025 menjadi menarik adalah kehadiran Sir Lewis Hamilton yang berpindah tim ke Ferrari. Tentu banyak fans Ferrari dan Hamilton yang ingin melihat mereka menjadi juara musim ini.

Namun, kenyataannya ternyata tak seindah harapan. Di balapan pertamanya saja, mereka kembali melawak. Yang paling lucu tentu saja interaksi antara Charles Leclerc dan timnya di radio, ketika ia mengeluhkan adanya genangan air di dalam cockpit-nya.

Untuk memahami konteksnya, bisa dilihat di bawah ini:

  • Charles Leclerc: “Ini ada bocor nggak, ya?”
  • Engineer: “Bocor apaan?”
  • Charles: “Lah, kokpit gue penuh air, bro!”
  • Engineer: “Hmm… mungkin aja air.”
  • Charles: “Mantap. Tambahin deh yang ini ke daftar kata-kata bijak.”

Kita bisa merasakan bagaimana sarkasme dilontarkan oleh Leclerc kepada timnya. Mengingat ia sudah cukup lama bersama Ferrari, tampaknya kesabarannya sudah benar-benar terlatih untk menghadapi hal lucu yang dilakukan oleh timnya.

Hamilton pun menjalani debutnya bersama Ferrari dengan kurang baik. Ia stuck di barisan tengah dan beberapa kali menyampaikan keluhan terhadap mobilnya. Bahkan di akhir balapan, ia disalip oleh Piastri dan harus puas finis di peringkat ke-10.

Mari Kita Komentari Juga yang Lain

Berpotensi Jadi Kuda Hitam (PlanetF1)

Selain yang telah disebutkan di atas, masih ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas. Pertama, Mercedes yang berpotensi untuk menjadi kuda hitam di musim ini. Selain debut Antonelli yang cemerlang, performa George Russel sepanjang balapan juga konsisten sehingga bisa meraih podium.

Sainz harus menjalani debut yang buruk bersama tim barunya setelah ia harus mengakhiri balapan lebih cepat. Untungnya, Alexander Albon berhasil meraih poin krusial dengan finis di peringkat ke-5.

Nasib sial harus diterima oleh Yuki Tsunoda dari Racing Bulls. Setelah berhasil menjaga posisinya di peringkat 5-6, ia harus mengakhiri balapan tanpa poin setelah chaos yang terjadi menjelang akhir balapan.

Selain itu, Nico Hulkenberg dari Kick Sauber juga perlu diapresiasi karena dengan menggunakan mobil yang katanya paling buruk di sirkuit, ia berhasil meraih 6 poin setelah finis di posisi ke-7.

***

Dengan hasil ini, untuk sementara McLaren berada di peringkat pertama dengan 27 poin. Mercedes berada di bawahnya dengan poin yang sama, disusul oleh Red Bull, William, Aston Martin, Kick Sauber, Ferrari, Alpine, Racing Bulls, dan Haas.

Minggu depan, balapan akan berlangsung di China jam 2 siang. Tentu menarik untuk melihat persaingan para rookie dan pembalap lainnya. Musim 2025 masih panjang, dan tampaknya tidak akan menjadi musim yang membosankan.


Lawang, 16 Maret 2025, terinspirasi setelah menonton GP Australia tadi siang

Foto Featured Image: PlanetF1

Continue Reading

Olahraga

Saya Memutuskan Puasa Nonton MU di Bulan Puasa

Published

on

By

Tak lagi menjadi korban bully, kini penggemar Manchester United (MU) sudah ditahap dikasihani oleh penggemar tim lain. Tanpa dihujat pun, tim ini memang terlihat sedang dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.

Terbaru, MU tersingkir dari kompetisi FA Cup setelah kalah adu penalti melawan Fulham. Tentu ini menambah derita tim yang sedang terseok-seok di liga, di mana mereka sedang berjuang keras untuk menghindari zona degradasi.

Iya, Pembaca tidak salah baca: MU sedang berjuang agar tidak terdegradasi. Saat tulisan ini dibuat, MU masih tertahan di peringkat 14 dengan 33 poin. Memang saat ini masih berjarak 16 poin dari Ipswich Town di peringkat 18, tapi kekhawatiran itu benar-benar ada.

Performa Hancur Lebur, Degradasi Mengintai

Salah Satu Faktor Utama Kacau Balaunya MU (Al-Jazeera)

Di akhir tahun, MU terlihat menjanjikan saat berhasil menang atas rival sekota, Manchester City, dengan skor 2-1. Dari sana muncul optimisme, yang dengan segera dihancurkan oleh para pemain MU sendiri.

Di tiga pertandingan selanjutnya, MU takhluk dari semua lawannya, mulai dari Bournemouth (0-3), Wolverhampton (0-2), hingga Newcastle (0-2). Bisa dilihat, bagaimana MU seolah lupa cara mencetak gol ke gawang lawan.

Sempat berhasil menahan imbang calon juara Premier League musim ini dan menang 3-1 atas Southampton, MU kembali kalah saat berjumpa dengan Brighton & Hove Albion (1-3). Setelah itu MU kembali kalah saat berjumpa dengan Crystal Palace (1-2) dan Tottenham (0-1).

Di sela-sela rentetan kekalahan tersebut, MU hanya berhasil menang saat berjumpa dengan Fulham, bahkan nyaris kalah saat menang melawan Ipswich Town (3-2) dan imbang melawan Everton (2-2).

Statistik menunjukkan bahwa MU tidak pernah bisa meraih kemenangan secara beruntun! Selain itu, paling lama MU unbeaten hanya empat laga. Sebagai perbandingan, Liverpool telah unbeaten tanpa putus hingga 24 laga yang masih berlanjut hingga sekarang!

Dengan telah tersingkirnya MU di FA Cup, maka harapan gelar MU yang tersisa musim ini hanyalah Europe League. Namun, dengan performa yang ditunjukkan belakangan ini, Penulis merasa pesimis tim ini bisa meraih gelar. Tidak degradasi di liga pun sudah syukur.

Salah Amorim yang Memaksakan Filosofinya?

Jadi Pelatih MU Memang Stressful (Sky Sports)

Dalam 27 laga yang telah dilakoni oleh MU musim ini di liga, mereka baru bisa meraih 9 kemenangan dan harus menelan 12 kekalahan. Iya, jumlah kekalahan MU lebih banyak dari kemenangannya di musim ini, yang menjadi salah satu alasan rendahnya peringkat mereka di klasemen.

Kedatangan Ruben Amorim yang menggantikan Erik Ten Hag sempat membawa harapan baru, tapi dengan cepat harapan tersebut pudar. Ia bahkan menjadi pelatih dengan raihan poin terendah setelah era Sir Alex Ferguson, di mana 13 pertandingan pertamanya ia hanya berhasil mendapatkan 14 poin.

Sebagai perbandingan, Ole Gunnar Solkjaer di 13 pertandingan pertamanya berhasil meraih 32 poin. Jose Mourinho, yang sebelumnya menjadi yang terburuk, masih bisa meraih 20 poin. Bahkan Erik Ten Hag berhasil mendapatkan 23 poin.

Banyak yang berpendapat kalau Amorim terlalu memaksakan filosofinya ke skuad MU, yang mungkin tidak cocok dengan pemain yang ada sekarang. Ini beda dengan Arne Slot di Liverpool, yang berusaha meramu strategi sesuai kondisi tim pasca-ditinggal Jurgen Klopp.

Amorim memang membawa filosofi 3-4-2-1 yang ia gunakan sejak melatih Sporting Lisbon. Di atas kertas, strategi tersebut memang membawa pendekatan yang menarik. Akan tetapi, mungkin para pemain MU terlalu lama bermain dengan formasi empat bek, sehingga penyesuaiannya pun sangat lama.

Namun, menurut Penulis, kesalahan tidak semata-mata di tangan pelatih. Para pemain MU juga kerap terlihat kurang bersemangat dan kurang motivasi ketika bermain. Apalagi, lini penyerangan MU benar-benar buruk, terutama jika melihat statistik dari dua strikernya.

Lini Penyerangan yang Mandul

Duo Striker Mandul (Manchester Evening News)

Lebih parahnya lagi, MU mengalami defisit gol karena baru mencetak 33 gol dan telah kebobolan 39 kali. Tak hanya pertahanan yang kerap melakukan blunder tak perlu (di mana Andre Onana sering disorot), lini penyerangan pun mandul tak karuan.

MU punya dua striker utama, Rasmus Hojlund dan Joshua Zirkzee. Tahu berapa jumlah gol yang telah mereka cetak musim ini di liga? Zirkzee baru mencetak tiga gol, sedangkan Hojlund bahkan baru dua gol.

Top scorer MU justru diraih oleh Bruno Fernandes, yang notabene berposisi sebagai gelandang, dengan enam gol. Amad Diallo sejatinya juga menjadi andalan karena sama-sama mencetak enam gol, tapi sayangnya ia sedang cedera.

Dua pemain tersebut memang jadi motor utama serangan MU, karena juga mencatatkan jumlah assist yang tinggi. Fernandes menyumbang tujuh assist, sedangkan Diallo mencatatkan enam assist. Tidak ada pemain lain yang mendekati statistik mereka berdua.

Tentu ini data yang bisa dibilang cukup memalukan. Ambil contoh Mohamed Salah dari Liverpool. Bayangkan, ia sudah mencetak 25 gol dan 17 assist di musim ini! Tak heran kalau banyak yang menjagokan ia menang Ballon d’Or musim ini, apalagi jika sampai berhasil membawa Liverpool juara Premier League dan Champions League.

Bahkan Erling Haaland, di mana klubnya sempat mengalami puasa kemenangan yang cukup panjang, masih berhasil mencetak 20 gol musim ini ditambah 3 assist. Bahkan bek City, Josko Gvardiol, telah mencetak lebih banyak gol dari Hojlund dan Zirkzee dengan lima gol!

Entah mengapa berapa lama kedua striker ini puasa gol. Yang jelas, Penulis juga memutuskan untuk puasa menonton MU selama bulan puasa. Takutnya, Penulis jadi sering marah-marah gara-gara nonton MU yang mainnya enggak karuan seperti sekarang.

Apalagi, setelah ini MU akan berhadapan dengan Arsenal, sehingga Penulis harus bersiap-siap dikirimi chat berisikan “WKWKWKWKWKWKWK” dari teman Penulis yang merupakan fans Arsenal.


Lawang, 4 Maret 2025, terinspirasi setelah memutuskan berhenti berlangganan Vidio untuk sementara waktu

Foto Featured Image: Goal.com

Sumber Artikel:

Continue Reading

Olahraga

Apakah Manchester United Benar-Benar Telah Menjadi Klub Terkutuk?

Published

on

By

Minggu kemarin benar-benar minggu yang melelahkan bagi penggemar Manchester United (MU). Setelah berhasil mengalahkan Manchester City dengan skor 2-1, MU justru kembali melawak di dua pertandingan selanjutnya.

Selain kalah dengan skor 3-4 dari Tottenham Hotspurs (sekaligus mengakhir laju MU di EFL Cup), MU juga baru saja dihabisi 0-3 oleh Bournemouth. Yang lebih menyakitkan, kekalahan telak ini terjadi di kandang MU, Old Trafford.

Sejak pergantian pelatih dari Erik Ten Hag ke Ruben Amorim, banyak optimisme yang muncul di penggemar. Ungkapan “tsunami trofi” pun mulai berdatangan lagi. Sayangnya, terbukti kalau MU tetaplah MU yang dulu, mau siapa pun pelatihnya.

Ada Perubahan Pola Permainan, tapi ya Begitulah

Salah Satu Pemain yang Bersinar di Bawah Amorim (Eurosport)

Jika melihat permainan MU di bawah Amorim, sebenarnya asa itu memang ada. Setelah lama melihat permainan MU yang tak berpola, akhirnya Amorim perlahan bisa menerapkan filosofi 3-4-2-1 yang ia terapkan di klub sebelumnya.

Meskipun hasilnya tak selalu positif, setidaknya ada progres dalam permainan MU. Para pemain lebih sering melakukan pressing, berusaha menjaga area dengan baik, melakukan ancaman-ancaman ke gawang lawan, dan lain sebagainya. Permainan MU (akhirnya) bisa dinikmati.

Selain itu, Amorim tak ragu untuk melakukan rotasi pemain, sesuatu yang jarang dilakukan di era Ten Hag. Walau hasilnya kadang mengecewakan (seperti performa Altay Bayindir ketika melawan Tottenham), setidaknya ini menunjukkan keberanian Amorim.

Amorim juga tak segan-segan untuk mencoret pemainnya jika dianggap tidak mampu perform. Marcus Rashford, yang pada era Ten Hag seolah menjadi anak emas, sudah tiga pertandingan beruntun tidak dimasukkan ke dalam line up.

Dari banyak poin plus tersebut, sayangnya hasil yang diperoleh MU sejak ditangani oleh Amorim tidak terlalu baik. Dalam sembilan laga yang telah dijalani di seluruh kompetisi, MU hanya berhasil meraih hasil 4 menang, 1 seri, dan 4 kekalahan.

Di kala lini penyerangan sudah mulai membaik (terutama berkat performa Amad Diallo), lini pertahanan perlu disorot karena sudah kebobolan 17 kali. Entah formasi Amorim yang memang rentan diserang, atau pemain MU saja yang tak bisa melakukan intruksi pelatih.

Tentu hal ini sangat disayangkan, apalagi ketika Manchester City tengah terpuruk dengan hanya meraih satu kemenangan dalam 12 laga terakhirnya (di mana 9 di antaranya berakhir dengan kekalahan). Alhasil, istilah “Manchester is clown” pun mulai bermunculan.

Apa yang Salah dengan Manchester United?

Entah Apa yang Harus Dilakukan Amorim (ESPN)

Sampai di titik ini, Penulis (dan rasanya mayoritas pendukung lainnya) sudah berada di titik bingung apa yang salah dengan klub ini. Apakah karena julukannya setan merah, sehingga membuat klub ini menjadi terkutuk?

Sejak perginya Sir Alex Ferguson, sudah banyak sekali pelatih yang mencoba menangani MU. Polanya selalu sama, di mana ada fase bulan madu dan fase kehancuran. Entah bagaimana dengan Amorim nanti, tapi sejauh ini tanda-tandanya kurang baik.

Memang, formasi dan gaya permainan MU yang diterapkan oleh Amorim benar-benar berbeda dari pelatih-pelatih sebelumnya, sehingga membutuhkan adaptasi. Namun, rasanya para penggemar sudah terlalu lama “menderita” hingga lebih dari satu dekade.

Apalagi, kita bisa melihat kalau Arne Slot bersama Liverpool dan Enzo Maresca bersama Chelsea bisa langsung nyetel. Bahkan di klasemen Liga Inggris saat ini, kedua tim berada di posisi kedua berkat penampilan konsisten mereka.

Penulis memberikan apresiasi kepada Liverpool yang harus diakui berhasil tampil luar biasa. Meskipun tak mendapatkan tambahan banyak pemain, Slot mampu meracik skuadnya menjadi skuad pemenang. Korban terakhir mereka adalah Tottenham, yang dibantai 6-3.

Mengapa mereka bisa langsung nyetel dengan klub barunya? Penulis juga tidak tahu. Secara kualitas skuad, harusnya tidak berbeda jauh. Namun, secara hasil dan peringkat di liga hasilnya benar-benar jauh.

Entah apa yang akan terjadi di masa depan. Tentu Penulis berharap Amorim berhasil menemukan solusi dari permasalahan yang sudah terlalu mengakar di klub ini. Akan tetapi, di sisi lain, rasanya Penulis sudah pesimis dan menganggap kalau klub ini memang sudah terkutuk.


Foto Featured Image: Rayo

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan