Connect with us

Olahraga

Polemik European Super League (ESL)

Published

on

Bagi penggemar sepakbola seperti Penulis, beberapa hari terakhir merupakan hari yang gila. Bagaimana tidak, adanya wacana European Super League (ESL) menggegerkan publik dan menimbulkan polemik yang pelik.

ESL resmi ketuk palu setelah 12 klub besar di Eropa menyepakatinya. Mereka adalah:

  • Manchester United
  • Manchester City
  • Liverpool
  • Chelsea
  • Arsenal
  • Tottenham Hotspurs
  • Real Madrid
  • Barcelona
  • Atletico Madrid
  • Inter Milan
  • AC Milan
  • Juventus

Sebenarnya Bayern Munich, Borussia Dortmund, dan Paris St. Germany juga direncanakan turut serta. Hanya saja, mereka memutuskan untuk tidak ikut bagian dalam ajang pesaing Liga Champion tersebut.

Di sini Penulis tidak akan terlalu menjelaskan apa itu ESL dan bagaimana formatnya. Penulis fokus memberikan opininya sebagai penggemar sepakbola atas polemik yang terjadi.

Berawal dari Permasalahan Ekonomi

Inti Masalahnya: Duit (Thinking Heads)

Bisa dibilang, pandemi Corona adalah penyebab utama dari masalah ini. Meski sudah diprediksi oleh Arsene Wenger 10 tahun yang lalu, kemunculan Corona membuat wacana yang terlihat impossible itu menjadi possible.

Klub-klub besar tersebut rata-rata mengalami kerugian yang cukup signifikan. Tidak hadirnya penonton di lapangan jelas memberikan dampak yang tidak sedikit. Belum lagi dari sektor lain seperti menurunnya penjualan merchandise dan lain-lain.

Neraca keuangan klub besar semakin timpang karena tingginya gaji pemain bintang yang harus dibayarkan. Inflasi harga pemain yang makin tidak masuk akal membuat klub juga kesulitan untuk membeli pemain baru.

Di tengah kekeringan pemasukan seperti itu, muncul sebuah oase bernama ESL. Tidak tanggung-tanggung, kompetisi ini menjanjikan nominal hadiah yang berkali-kali lipat dibandingkan hadiah juara Liga Champion yang jumlahnya tidak bisa digunakan untuk membeli Lord Martin Braithwaite.

Belum lagi pemasukan dari hak siar. Penggemar jelas tergoda dengan konsep pertandingan big match setiap minggu tanpa perlu menunggu babak semifinal seperti di Liga Champion. Manchester United vs Barcelona jelas lebih menarik daripada Manchester United vs Burnley.

Florentino Perez (Football Espana)

Secara komersil, ESL memang sangat menggiurkan. Potensi uang yang masuk sangat besar, jauh melebih apa yang bisa diberikan oleh kompetisi di bawah naungan UEFA.

Klub elit yang tengah melempem seperti Arsenal dan AC Milan bisa bersantai. Tak masalah tidak masuk Liga Champion, mereka akan menjadi peserta tetap setiap tahun sehingga pemasukan pun akan terus mengalir tanpa perlu upaya lebih.

Mereka tidak berpikir, jika klub-klub besar tersebut bisa mendapatkan dana besar, bukankah ketimpangan antar klub akan semakin besar? Mereka bisa belanja sesuka hati, tidak seperti klub kecil yang harus memutar otak ketika membelanjakan uangnya.

Kehadiran ESL jelas mengusik zona nyaman yang dimiliki oleh UEFA. Mereka langsung mengecam dan mengeluarkan berbagai ancaman yang mengerikan, mulai dikeluarkan dari liga hingga pemain tidak memiliki hak untuk membela tim nasional mereka.

Gertakan tersebut hanya ditertawakan oleh Florentino Perez dan kawan-kawan. Mereka punya power bargaining yang kuat. Coba saja adakan liga atau turnamen tanpa mereka, niscaya akan sepi penonton karena tidak adanya pemain bintang yang menjadi idola banyak orang.

Tanggapan Para Fans (dan Penulis)

Para Fans Tersakiti (Football365)

Ketika memantau kolom komentar akun-akun sepakbola di Instagram, mayoritas sangat menentang kehadiran ESL. Mereka merasa kalau pemilik klub sangat tamak dan hanya berusaha mengumpulkan pundi-pundi uang sebanyak mungkin.

Ada beberapa yang mendukung ESL karena membayangkan adanya big match setiap pekan. Selain itu, UEFA dan FIFA sendiri terkenal sebagai organisasi yang korup dan cukup memonopoli pertandingan sepakbola Eropa.

Beberapa pemain sepakbola sudah mulai mengeluarkan suara pertentangannya terhadap ESL, walaupun nampaknya belum ada suara dari pemain yang bermain di dua belas klub penggagas ESL. Mungkin, mereka masih takut dipecat dan kehilangan pemasukan.

Penulis sendiri tidak menyetujui kehadiran ESL karena akan merusak tradisi sepakbola yang sudah terbentuk selama puluhan tahun. Pertandingan seperti Real Madrid vs Juventus menjadi seru karena hanya terjadi beberapa kali dalam setahun, bukan setiap minggu.

Selain itu, Liga Champion menjadi ajang di mana klub kecil bisa berhadapan dengan klub besar. Bisa saja pemain di klub kecil tersebut mengidolakan bintang yang bermain di klub besar. Liga Champion bisa mewujudkan impian bertanding melawan idola mereka.

Kejutan Liga Champion (Twitter)

Dengan format tertutup yang dimiliki ESL, tidak akan ada lagi kejutan seperti FC Porto yang berhasil menjuarai Liga Champion edisi 2004, Ajax Amsterdam yang mengalahkan banyak klub besar sebelum takluk di tangan Tottenham Hotspurs, dan lain sebagainya.

Para pemilik klub besar ini kok kesannya tidak ingin bertemu dengan tim-tim kecil. Hal ini dibuktikan dari ucapan presiden klub Juventus, Andrea Agnelli, yang menyepelekan keikutsertaan Atalanta di Liga Champion.

Seolah yang ada di pikiran mereka hanya bagaimana meraup keuntungan sebesar-besarnya. Melawan tim besar otomatis akan menghasilkan uang lebih banyak dibandingkan ketika mereka melawan klub kecil.

Lebih dari itu, korban sebenarnya dari polemik ini adalah para fans.

When the Rich Wage War It’s the Poor Who Die

Football is for the Fans (Express & Star)

Quote yang Penulis jadikan header di atas merupakan penggalan lirik dari lagu Linkin Park yang berjudul Hands Held High, sebelum mengetahui kalau kalimat ini ternyata diucapkan oleh filsuf Jean-Paul Sartre.

Di mana-mana ketika terjadi perang antara orang yang memiliki kekuasaan (dan harta), yang menjadi korban sesungguhnya adalah masyarakat sipil yang tak berdosa. Ternyata, kalimat ini juga berlaku pada polemik ESL.

Para pemilik klub besar dan UEFA sedang adu kekuatan. Mereka sama-sama merasa punya power tanpa peduli kalau para fans sepakbola di dunia sedang cemas tak karuan. Mereka khawatir, sepakbola akan menuju kematiannya.

Padahal jika menilik sejarah, sepakbola dipopulerkan oleh orang-orang miskin yang butuh hiburan. Manchester United misalnya, didirikan oleh para buruh Manchester. Sekarang, seolah-olah sepakbola telah dicuri oleh mereka yang berduit.

Created by the poor, stolen by the rich

ANONIM

Jika para pemilik klub memang peduli terhadap fans, seharusnya mereka mau mendengarkan suara mereka. Sangat bullshit ketika Perez mengatakan ingin menyelamatkan sepakbola, itu hanya kata pemanis.

Mungkin sepakbola memang butuh diselamatkan. Mungkin UEFA dan FIFA memang sama-sama brengseknya. Akan tetapi, bukan dengan cara seperti ini menyelesaikan masalahnya. Jangan jadikan fans sebagai korban dari pertikaian antara pemilik kekuasaan.

Penutup

Seandainya ESL yang dijadwalkan akan dimulai pada bulan Agustus tahun ini benar-benar terlaksana, mungkin Penulis akan benar-benar berhenti menonton sepakbola. Biarlah mereka mengeruk kekayaan sampai mampus, Penulis tidak akan peduli lagi dengan sepakbola.

Penulis yakin banyak fans yang berpikiran sama. Mereka tidak ingin menjadi komoditas bagi para pemilik klub yang ingin menggembungkan rekening klub dan mungkin kantong mereka sendiri.

Ancaman UEFA juga bisa benar-benar terjadi. Kedua belas klub yang menyepakati ESL terancam dicoret dari liga, sehingga kemungkinan kita akan melihat persaingan juara Premier League antara Everton, West Ham, atau Leicester City saja.

Sangat disayangkan olahraga favorit sejuta umat dikuasai oleh segelintir orang yang lebih mengedepankan bisnis dibandingkan keinginan fans. Pembicaraan tentang ESL juga hanya dilakukan antar pemilik klub tanpa melibatkan pemain dan pihak lain.

Walaupun begitu, Penulis masih berharap kalau pada akhirnya penggagas ESL dan UEFA menemukan titik terang dari polemik ini. Entah bagaimana caranya, yang jelas Penulis tidak ingin para pecinta sepakbola menjadi korban dari peperangan ini.

Lawang, 20 April 2021, terinspirasi setelah membaca berbagai berita seputar ESL

Foto: Twitter

Sumber Artikel: The Flanker di Twitter

Olahraga

Sepertinya Erik Ten Hag Memang Perlu Keluar dari Manchester United

Published

on

By

Musim ini telah menjadi musim yang buruk bagi penggemar Manchester United (MU). Bagaimana tidak, dalam enam laga yang telah dijalani di liga, MU hanya berhasil meraih dua kemenangan, satu seri, dan tiga kekalahan.

Parahnya lagi, dua dari tiga kekalahan MU terjadi dengan skor yang cukup memalukan, yakni 0-3. Lebih memalukannya lagi, kekalahan atas Liverpool dan Tottenham Hotspurs tersebut terjadi di kandang MU, Old Trafford.

Di Europe League pun tidak lebih baik. Pada pertandingan pertama, MU hanya berhasil bermain imbang melawan FC Twente. Mau tidak mau, kursi kepelatihan Erik Ten Hag pun mulai digoyang lagi. Banyak penggemar yang ingin ia keluar dari tim.

Apakah Erik Ten Hag Memang Pelatih yang Buruk?

Padahal Skuad Sudah Cukup Oke (DetikSport)

Ketika banyak netizen yang sudah lama menginginkan Ten Hag keluar dari MU, Penulis masih berusaha untuk mendukungnya. Alasannya, mau siapapun pelatihnya, MU sedang berada dalam kondisi yang sulit karena banyak hal.

Apalagi, Ten Hag berhasil mengakhiri paceklik gelar MU yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Di musim pertamanya, ia berhasil meraih Carabao Cup, sedangkan di musim keduanya ia berhasil mendapatkan FA Cup setelah mengalahkan Manchester City di final.

Namun, makin ke sini, Penulis makin setuju untuk mendepak Ten Hag. Salah satu alasannya adalah karena sang pelatih kerap menunjukkan sikap keras kepala dan tidak ingin disalahkan atas hasil buruk yang didapatkan oleh timnya.

Sebagai seorang pelatih, tentu saja ia menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas buruknya performa tim. Akan tetapi, Ten Hag kerap menolak kritik yang dilayangkan kepadanya dan memberikan berbagai bantahan yang sering membuat jengkel.

Selain itu, permainan MU belakangan ini benar-benar amburadul. Jujur saja, melihat permainan timnas Indonesia di bawah arahan Shin Tae-yong jauh lebih enak dibandingkan melihat permainan MU.

Contoh dalam laga melawan Spurs kemarin, distribusi MU benar-benar buruk. Pemain MU jelas terlihat kesulitan untuk lepas dari high pressing yang dilakukan oleh pemain Spurs. Tak hanya itu, kemampuan individunya pun terlihat kalah telak.

Ten Hag selalu berkoar-koar ingin menjadikan MU sebagai tim penyerangan transisi terbaik. Masalahnya, finishing dan pola penyerangan MU benar-benar buruk. Buktinya dalam enam laga, MU hanya berhasil mencetak 5 gol, ketika Erling Haaland telah mencetak dua kali lipatnya.

Lini depan MU memang benar-benar terlihat tumpul. Joshua Zirkzee sebagai striker rekrutan terbaru kurang memiliki finishing touch yang akurat. Rasmus Hojlund pun masih belum bisa menemukan performa terbaiknya pascacedera.

Pemain-pemain sayapnya pun terlihat kurang bisa menusuk. Pemain tengah kurang bisa mendistribusikan bola ke depan. Pemain belakang kerap melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Mungkin hanya Andre Onana yang benar-benar bisa melakukan tugasnya dengan cukup baik.

Terakhir, satu alasan yang membuat Penulis ilfeel terhadap Ten Hag adalah nepotisme yang ia lakukan. Mungkin Pembaca juga sudah tahu bagaimana ia kerap merekrut mantan anak buahnya di Ajax Amsterdam. Hasilnya? Lihat saja berapa yang benar-benar berhasil.

Lantas, Siapa yang Lebih Layak dari Erik Ten Hag?

Kandidat Pengganti Favorit Penulis (Goal)

Penulis sadar kalau pergantian pelatih tidak akan serta-merta akan mengubah MU menjadi lebih baik dalam waktu singkat. Sejak ditinggal Sir Alex Ferguson, sudah banyak pelatih yang mencoba dan hasilnya tak pernah memuaskan.

Namun, melihat progres Ten Hag yang seolah mandek, Penulis merasa penyegaran memang perlu dilakukan. Penulis bahkan sudah kehabisan argumen untuk membela sang pelatih, sehingga akhirnya ikut bergabung dengan kubu yang menginginkan ia untuk cabut.

Momen ini membuat kita teringat pada masa-masa ketika para pendukung MU banyak yang menyuarakan agar Ole Gunnar Solkjaer dipecat dari tim. Penggemar sudah capek dengan narasi “percaya dengan proses” karena ini sudah memasuki tahun ketiganya di MU.

Sebagai perbandingan, kita bisa melihat bagaimana Arne Slot bisa langsung menyatu dengan timnya di musim perdananya. Tak hanya itu, Enzo Maresca juga terlihat langsung nyetel dengan Chelsea yang kerap melawak bersama MU dalam beberapa tahun terakhir.

Jika melihat mereka berdua, tentu narasi “percaya dengan proses” menjadi basi. Bisa jadi, bukan progres MU yang memang membutuhkan waktu lama, tapi memang kemampuan Ten Hag hanya sebatas ini. Ia tak akan mampu membawa MU ke masa kejayaannya lagi.

Lantas jika diganti, diganti oleh siapa? Kursi kepelatihan MU memang terlihat menakutkan dengan berbagai tuntutan yang ada. Belum lagi masalah-masalah di luar lapangan yang pernah dibocorkan oleh Cristiano Ronaldo beberapa tahun lalu.

Oleh karena itu, menurut Penulis nama yang paling cocok untuk menggantikan Ten Hag adalah Ruud Van Nisterlooy yang kini sedang menjadi asisten pelatih di MU. Ada banyak alasan mengapa Penulis menjagokan mantan striker tajam tersebut.

Pertama, Nisterlooy merupakan salah satu legenda MU. Ia tentu sudah mengenal tim dengan baik. Walau tak semua, ada beberapa pemain legenda yang berhasil menjadi pelatih di tim yang dulu ia bela, seperti Zinedine Zidane di Real Madrid, Pep Guardiola di Barcelona, atau Mikel Arteta di Arsenal sekarang.

Karier kepelatihannya memang belum cukup panjang untuk di tim senior. Namun, saat melatih PSV Eindhoven pada musim 2022-2023, ia berhasil mempersembahkan dua trofi, Johan Cruyff Shield dan KNVB Cup, sebelum memutuskan untuk meninggalkan tim karena suatu alasan.

Meskipun Nisterlooy belum tentu bisa membawa tim menjadi lebih baik, setidaknya akan ada penyegaran di dala m tim jika Ten Hag meninggalkan tim. Para pemain MU pun harusnya lebih hormat kepada Nisterlooy yang berstatus sebagai legenda tim.


Lawang, 30 September 2024, terinspirasi setelah kesabarannya habis melihat MU yang makin tidak karuan

Foto Featured Image: Daily Post Nigeria

Continue Reading

Olahraga

Rasanya Oscar Piastri Suatu Saat akan Jadi Juara Dunia

Published

on

By

Setelah GP Inggris yang berhasil dimenangkan oleh Lewis Hamilton, Penulis tidak berekspektasi banyak dengan balapan-balapan selanjutnya. Ternyata, Penulis salah, karena GP Azerbaijan juga tak kalah seru dan banyak drama!

GP Azerbaijan sendiri berhasil dimenangkan oleh Oscar Piastri dari Mclaren. Ini merupakan kemenangan keduanya sepanjang kariernya, setelah kemenangan awkward yang ia dapatkan pada GP Hungaria.

Melalui balapan yang dilalui oleh Piastri kemarin malam, entah mengapa Penulis semakin yakin kalau pembalap asal Australia tersebut berpotensi untuk menjadi juara dunia di masa depan. Ada banyak champion factors yang Penulis rasa ia miliki.

Jalannya GP Azerbaijan

Sebelumnya, mari kita bahas sedikit tentang GP Azerbaijan kemarin. Penulis sendiri tidak bisa menontonnya secara live karena kebetulan balapannya yang berlangsung pada pukul 18:00 WIB bersamaan dengan acara masjid di tempat tinggal Penulis.

Pole position sendiri berhasil diraih oleh Charles Leclerc. Ini adalah pole keempat secara beruntun yang berhasil ia raih di Azerbaijan. Namun, tiga edisi sebelumnya ia selalu gagal mengonversinya menjadi kemenangan.

Lantas, apakah kali ini ia berhasil mematahkan kutukannya seperti yang ia lakukan pada GP Monaco silam? Ternyata tidak, karena sekali lagi gelar juara luput dari tangannya setelah direbut oleh Piastri.

Piastri yang memang berada di belakang Leclerc hampir di setiap lap berhasil melakukan manuver dive bomb secara mulus dan tanpa kesalahan. Setelah itu, ia mampu bertahan dari manuver-manuver Leclerc hingga garis finis, apalagi degradasi ban Leclerc juga lebih parah.

Omong-omong soal finis, ada plot twist yang melibatkan Sergio Perez dan Carlos Sainz. Dua lap sebelum finis, Leclerc yang sudah tak mampu mengejar Piastri justru dikejar oleh Perez. Saat keduanya beradu, Sainz tiba-tiba menyalip Perez.

Nah, saat keduanya beradu di lintasan lurus, mereka justru bersenggolan dan mengakibatkan keduanya DNF. Dalam video tayangan ulang, kita bisa melihat kalau memang Sainz agak ke kiri, tapi Perez pun sebenarnya masih punya banyak ruang kosong di sisi kirinya.

Perez sangat marah dengan kecelakaan tersebut karena ini bisa dibilang salah satu performa terbaiknya setelah sekian balapan tampil underperform. Apalagi, hasil ini membuat Red Bull akhirnya berhasil dilewati oleh Mclaren di klasemen konstruktor dengan keunggulan 20 poin.

Max Verstappen yang selama ini menggendong Red Bull pun tampaknya tak mampu berbuat banyak. Dengan berbagai masalah yang ia temui di mobilnya, ia finis di belakang Lando Norris yang membuat jarak mereka berdua kembali terpangkas.

Hal menarik lain yang perlu dibahas adalah bagaimana George Russel kembali mendapatkan “giveaway” podium setelah kecelakaan yang menimpa Perez dan Sainz. Memang, terkadang hoki itu menentukan prestasi.

Oh, satu lagi, dua pembalap rookie, Franco Colapinto (William) dan Oliver Bearman (Haas) juga sama-sama berhasil mendulang poin pada balapan ini. Bearman sendiri dipastikan akan menjadi pembalap Haas musim depan, sedangkan nasib Colapinto belum diketahui.

Colapinto, yang menggantikan Logan Sargeant, seolah membuktikan kalau dirinya memang pantas untuk mendapatkan kursi F1. Di sisi lain, Bearman juga mencatatkan rekor menarik sebagai pembalap pertama yang meraih poin di dua balapan perdananya dengan dua tim yang berbeda.

Apa yang Membuat Piastri Layak Menjadi Juara Dunia

Kemenangan Solid dari Piastri (The Peninsula Qatar)

Sekarang mari kita bicara tentang Piastri. Menurut Penulis, balapan kemarin merupakan salah satu performa terbaiknya sepanjang kariernya di F1. Manuvernya dalam menyalip Leclerc, manajemen bannya, hingga aksi bertahannya perlu diacungi jempol.

Mungkin dalam beberapa balapan ia terlihat kurang memiliki pace seperti yang terlihat pada GP Hungaria. Namun, sebenarnya kualitas yang ia miliki bisa dibilang cukup luar biasa, apalagi jika mengingat ini baru musim keduanya di F1.

Banyak orang berpendapat kalau Piastri adalah Kimi Raikkonen versi baik. Ketenangannya luar biasa di usianya yang sangat muda (Piastri kelahiran tahun 2001). Mau dalam keadaan tertekan sekalipun seperti balapan kemarin, ia tetap bisa mengendalikan emosinya.

Ia juga bukan tipe yang meledak-ledak bahkan setelah meraih kemenangan sekalipun. Ia juga rasanya tak pernah terdengar marah-marah di radio, bahkan dalam kondisi yang merugikan dirinya sekalipun.

Walau tenang, di arena balapan, ia bisa berubah menjadi monster yang menakutkan. Pada GP Azerbaijan kemarin, ia mengabaikan instruksi tim untuk “bermain aman” dan memilih untuk mengikuti intusinya sebagai seorang juara. Hasilnya, ia terbukti benar.

Selama beberapa tahun terakhir, terutama di era dominasi Hamilton dan Verstappen, ada banyak nama pembalap muda yang dianggap layak untuk menjadi juara dunia. Contohnya adalah Leclerc dan Norris.

Namun, keduanya dianggap tak mampu balapan di bawah tekanan dan kerap melakukan blunder tak perlu. Alhasil, potensi mereka kerap dianggap sia-sia karena dianggap kurang punya mentalitas juara.

Nah, Piastri berbeda. Banyak penggemar yang menganggap kalau ia lebih memiliki mental juara dibandingkan para seniornya tersebut. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh dramanya ketika akan masuk ke dalam F1.

Seperti yang kita tahu, waktu Sebastian Vettel memutuskan untuk pensiun pada tahun 2022, terjadi efek domino. Fernando Alonso memutuskan untuk pindah dari Alpine ke Aston Martin untuk mengisi kekosongan tersebut.

Setelah itu, Alpine langsung mengumumkan Piastri akan menjadi pembalap mereka musim depan. Hal ini langsung dibantah oleh Piastri dengan mengatakan kalau ia belum menandatangani kontrak apapun. Plot twist-nya, ia justru bergabung dengan Mclaren.

Dengan beberapa faktor tersebut, entah mengapa Penulis meyakini kalau suatu hari Piastri bisa menjadi seorang juara dunia, baik dengan Mclaren maupun dengan tim lain. Mari kita nantikan saja apakah prediksi ini akan benar-benar terjadi atau tidak.


Lawang, 16 September 2024, terinspirasi setelah menonton GP Azerbaijan

Foto Featured Image: CNN

Continue Reading

Olahraga

Asa Mclaren Rebut Gelar Juara dari Red Bull Terhadang Papaya Rules

Published

on

By

Ketika Formula 1 memasuki awal musim 2024, banyak penggemar yang menginginkan musim ini di-skip saja dan langsung masuk ke musim 2025. Alasannya jelas, karena Max Verstappen dan Red Bull begitu mendominasi.

Bayangkan, dalam 10 balapan pertama, Verstappen berhasil memenangkan tujuh di antaranya. Kemenangan Verstappen hanya berhasil direbut oleh Carlos Sainz (GP Australia), Lando Norris (GP Miami), dan Charles Leclerc (GP Monaco).

Namun, dalam enam balapan terakhir, Verstappen dan Red Bull terlihat mengalami penurunan yang cukup signifikan. Bahkan, pesaing terdekat mereka, Lando Norris dan Mclaren, terlihat mulai mendekat dengan sangat cepat.

Penurunan Performa Red Bull dan Potensi Kehilangan Gelar Juara

Verstappen dan Red Bull Pusing (GPblog)

Dalam enam balapan terakhir, pemenangnya cukup bervariasi. Mercedez berhasil mendapatkan tiga kemenangan, mulai dari “rezeki tak ke mana” George Russel di GP Austria, kemenangan emosional Hamilton di GP Inggris dan giveaway di GP Belgia

Selain Mercedes, Mclaren juga sering berhasil merebut kemenangan di GP Belanda melalui Norris dan kemenangan awkward Oscar Piastri di GP Hungaria. Terbaru, Leclerc berhasil mendapatkan kemenangan keduanya musim ini di GP Italia dengan gemilang.

Puasa kemenangan hingga enam balapan membuat posisi Verstappen di puncak klasemen mulai goyang. Meskipun dalam enam balapan tersebut ia konsisten masuk setidaknya enam besar, selisih poinnya dengan Norris menipis hingga tinggal 62 poin saja.

Norris sendiri cukup kompetitif dan mobil Mclaren memang sedang kencang-kencangnya. Setelah insiden di GP Austria yang membuatnya DNF, ia berhasil naik podium empat kali dari lima kesempatan. Tiga di antaranya berhasil di atas Verstappen.

Klasemen konstraktor malah lebih tipis lagi. Saat ini, selisih antara Red Bull dan Mclaren hanya tersisa 8 poin! Salah satu faktor pendukungnya adalah performa Sergio Perez yang benar-benar anjlok, di saat duo Mclaren sama-sama konsisten di papan atas.

Yups, Piastri sendiri cukup mampu mengimbangi performa Norris. Dalam enam balapan terakhir, ia selalu konsisten masuk ke empat besar. Di klasemen, ia sekarang berada di posisi empat, selisih 44 poin dengan Norris di peringkat dua.

Nah, normalnya dalam Formula 1, tim akan memiliki pembalap prioritas yang (biasanya) dipilih berdasarkan siapa yang di klasemen lebih berpeluang untuk juara. Kita sudah sering melihat hal ini, seperti Ferrari di era Michael Schumacher atau Red Bull di era Sebastian Vettel.

Masalahnya, tampaknya Mclaren tidak menyukai team order seperti itu dan memutuskan untuk menerapkan Papaya Rules, yang intinya mempersilakan kedua pembalapnya untuk bersaing secara sehat selama tidak merugikan tim.

Mclaren yang Ogah Terapkan Team Order

Mclaren Harusnya Prioritaskan Norris (F1)

Lho, bukannya bagus karena menjunjung tinggi sportivitas? Jawabannya bisa benar, bisa salah. Bagi Mclaren yang terakhir kali juara pembalap pada tahun 2008 melalui Lewis Hamilton, bisa jadi itu keputusan yang salah.

Mclaren seolah sudah terlalu lama menjadi tim papan tengah, sehingga terkesan tidak siap ketika mereka memiliki kesempatan untuk menjadi juara baik dari segi pembalap maupun konstraktor. Padahal, saat ini mereka telah memiliki mobil yang sangat mumpuni.

Norris sendiri telah lama “mengabdi” untuk Mclaren sejak musim 2016, sehingga sangat masuk akal jika ia menjadi pembalap prioritas. Piastri yang baru bergabung musim lalu pun pasti bisa menerima keputusan tim, apalagi statusnya sebagai rookie.

Jika Mclaren tidak bisa memberi ketegasan kepada kedua pembalapnya, bisa-bisa justru akan merusak keharmonisan tim yang bisa berakibat lepasnya gelar juara. Norris bisa saja merasa kesal karena tidak diprioritaskan dan tidak mendapatkan bantuan dari Piastri.

Di sisi lain, Norris pun harus bisa meningkatkan performanya. Musim ini ia berhasil mendapatkan empat Pole Position, tapi tiga kali ia gagal mengonversinya menjadi kemenangan akibat buruknya start yang ia lakukan.

Idealisme yang dimiliki oleh Mclaren memang bagus, tapi rasanya kurang cocok diterapkan jika risikonya adalah membuat Norris harus mengubur mimpinya untuk menjadi juara dunia. Selisih poinnya dengan Verstappen benar-benar tipis, dengan delapan sirkuit tersisa.

Untuk gelar juara konstruktor mungkin relatif bisa direbut, mengingat bagaimana anjloknya Perez dan penurunan performa yang dialami oleh Red Bull. Sungguh, tak salah apabila Mclaren melakukan Asa Mclaren Rebut Gelar Juara dari
Red Bull Terhadang Papaya Rules

untuk memastikan gelar juara dunia pembalap diraih oleh Norris.


Sumber Featured Image: F1

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan