Olahraga
Sepertinya Erik Ten Hag Memang Perlu Keluar dari Manchester United
Musim ini telah menjadi musim yang buruk bagi penggemar Manchester United (MU). Bagaimana tidak, dalam enam laga yang telah dijalani di liga, MU hanya berhasil meraih dua kemenangan, satu seri, dan tiga kekalahan.
Parahnya lagi, dua dari tiga kekalahan MU terjadi dengan skor yang cukup memalukan, yakni 0-3. Lebih memalukannya lagi, kekalahan atas Liverpool dan Tottenham Hotspurs tersebut terjadi di kandang MU, Old Trafford.
Di Europe League pun tidak lebih baik. Pada pertandingan pertama, MU hanya berhasil bermain imbang melawan FC Twente. Mau tidak mau, kursi kepelatihan Erik Ten Hag pun mulai digoyang lagi. Banyak penggemar yang ingin ia keluar dari tim.
Apakah Erik Ten Hag Memang Pelatih yang Buruk?
Ketika banyak netizen yang sudah lama menginginkan Ten Hag keluar dari MU, Penulis masih berusaha untuk mendukungnya. Alasannya, mau siapapun pelatihnya, MU sedang berada dalam kondisi yang sulit karena banyak hal.
Apalagi, Ten Hag berhasil mengakhiri paceklik gelar MU yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Di musim pertamanya, ia berhasil meraih Carabao Cup, sedangkan di musim keduanya ia berhasil mendapatkan FA Cup setelah mengalahkan Manchester City di final.
Namun, makin ke sini, Penulis makin setuju untuk mendepak Ten Hag. Salah satu alasannya adalah karena sang pelatih kerap menunjukkan sikap keras kepala dan tidak ingin disalahkan atas hasil buruk yang didapatkan oleh timnya.
Sebagai seorang pelatih, tentu saja ia menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas buruknya performa tim. Akan tetapi, Ten Hag kerap menolak kritik yang dilayangkan kepadanya dan memberikan berbagai bantahan yang sering membuat jengkel.
Selain itu, permainan MU belakangan ini benar-benar amburadul. Jujur saja, melihat permainan timnas Indonesia di bawah arahan Shin Tae-yong jauh lebih enak dibandingkan melihat permainan MU.
Contoh dalam laga melawan Spurs kemarin, distribusi MU benar-benar buruk. Pemain MU jelas terlihat kesulitan untuk lepas dari high pressing yang dilakukan oleh pemain Spurs. Tak hanya itu, kemampuan individunya pun terlihat kalah telak.
Ten Hag selalu berkoar-koar ingin menjadikan MU sebagai tim penyerangan transisi terbaik. Masalahnya, finishing dan pola penyerangan MU benar-benar buruk. Buktinya dalam enam laga, MU hanya berhasil mencetak 5 gol, ketika Erling Haaland telah mencetak dua kali lipatnya.
Lini depan MU memang benar-benar terlihat tumpul. Joshua Zirkzee sebagai striker rekrutan terbaru kurang memiliki finishing touch yang akurat. Rasmus Hojlund pun masih belum bisa menemukan performa terbaiknya pascacedera.
Pemain-pemain sayapnya pun terlihat kurang bisa menusuk. Pemain tengah kurang bisa mendistribusikan bola ke depan. Pemain belakang kerap melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Mungkin hanya Andre Onana yang benar-benar bisa melakukan tugasnya dengan cukup baik.
Terakhir, satu alasan yang membuat Penulis ilfeel terhadap Ten Hag adalah nepotisme yang ia lakukan. Mungkin Pembaca juga sudah tahu bagaimana ia kerap merekrut mantan anak buahnya di Ajax Amsterdam. Hasilnya? Lihat saja berapa yang benar-benar berhasil.
Lantas, Siapa yang Lebih Layak dari Erik Ten Hag?
Penulis sadar kalau pergantian pelatih tidak akan serta-merta akan mengubah MU menjadi lebih baik dalam waktu singkat. Sejak ditinggal Sir Alex Ferguson, sudah banyak pelatih yang mencoba dan hasilnya tak pernah memuaskan.
Namun, melihat progres Ten Hag yang seolah mandek, Penulis merasa penyegaran memang perlu dilakukan. Penulis bahkan sudah kehabisan argumen untuk membela sang pelatih, sehingga akhirnya ikut bergabung dengan kubu yang menginginkan ia untuk cabut.
Momen ini membuat kita teringat pada masa-masa ketika para pendukung MU banyak yang menyuarakan agar Ole Gunnar Solkjaer dipecat dari tim. Penggemar sudah capek dengan narasi “percaya dengan proses” karena ini sudah memasuki tahun ketiganya di MU.
Sebagai perbandingan, kita bisa melihat bagaimana Arne Slot bisa langsung menyatu dengan timnya di musim perdananya. Tak hanya itu, Enzo Maresca juga terlihat langsung nyetel dengan Chelsea yang kerap melawak bersama MU dalam beberapa tahun terakhir.
Jika melihat mereka berdua, tentu narasi “percaya dengan proses” menjadi basi. Bisa jadi, bukan progres MU yang memang membutuhkan waktu lama, tapi memang kemampuan Ten Hag hanya sebatas ini. Ia tak akan mampu membawa MU ke masa kejayaannya lagi.
Lantas jika diganti, diganti oleh siapa? Kursi kepelatihan MU memang terlihat menakutkan dengan berbagai tuntutan yang ada. Belum lagi masalah-masalah di luar lapangan yang pernah dibocorkan oleh Cristiano Ronaldo beberapa tahun lalu.
Oleh karena itu, menurut Penulis nama yang paling cocok untuk menggantikan Ten Hag adalah Ruud Van Nisterlooy yang kini sedang menjadi asisten pelatih di MU. Ada banyak alasan mengapa Penulis menjagokan mantan striker tajam tersebut.
Pertama, Nisterlooy merupakan salah satu legenda MU. Ia tentu sudah mengenal tim dengan baik. Walau tak semua, ada beberapa pemain legenda yang berhasil menjadi pelatih di tim yang dulu ia bela, seperti Zinedine Zidane di Real Madrid, Pep Guardiola di Barcelona, atau Mikel Arteta di Arsenal sekarang.
Karier kepelatihannya memang belum cukup panjang untuk di tim senior. Namun, saat melatih PSV Eindhoven pada musim 2022-2023, ia berhasil mempersembahkan dua trofi, Johan Cruyff Shield dan KNVB Cup, sebelum memutuskan untuk meninggalkan tim karena suatu alasan.
Meskipun Nisterlooy belum tentu bisa membawa tim menjadi lebih baik, setidaknya akan ada penyegaran di dala m tim jika Ten Hag meninggalkan tim. Para pemain MU pun harusnya lebih hormat kepada Nisterlooy yang berstatus sebagai legenda tim.
Lawang, 30 September 2024, terinspirasi setelah kesabarannya habis melihat MU yang makin tidak karuan
Foto Featured Image: Daily Post Nigeria
Olahraga
Kok Bisa, ya, Ada Klub Enggak Pernah Menang Sampai 7 Kali
Penulis mengawali minggu ini dengan indah. Selain Manchester United (MU) berhasil menang secara meyakinkan dengan skor 4-0 atas Everton, klub tetangga harus mengalami kekalahan 0-2 atas Liverpool.
Ini menjadi kekalahan empat kali beruntun bagi Manchester City di Premier League, setelah sebelumnya kalah atas Bournemouth (1-2), Brightin and Hove Albion (1-2), dan Tottenham Hotspurs (0-4).
Catatan ini makin diperparah dari hasil pertandingan di kompetisi lain, seperti kekalahan 1-2 atas Spurs di EFL Cup dan 1-4 atas Sporting CP di Liga Champion. Selain itu, mereka juga hanya bisa imbang 3-3 saat berhadapan dengan Feyenoord, walau sempat unggul 3-0.
“Rekor” Impresif Pep dan Manchester City
Kalah Maning Kalah Maning (Caught Offside)
Rentetan hasil buruk tersebut membuat City mencatatkan rekor yang impresif, yakni 6 kali kalah dan 1 kali seri dalam tujuh pertandingan terakhir. Kemenangan terakhir yang mereka dapatkan adalah ketika berhadapan dengan Southampton dengan skor tipis 1-0.
Menariknya, pertandingan tersebut berlangsung pada tanggal 26 Oktober 2024. Artinya, selama bulan November kemarin City gagal meraih satu kemenangan pun. Tak hanya itu, mereka juga kebobolan 15 gol dalam bulan yang sama dan hanya mencetak tujuh gol.
Melansir dari 90Min, pencapaian lima lose streak ini adalah yang pertama bagi Pep Guardiola sepanjang kariernya. Selama menangani City, lose streak paling panjang yang pernah dialami oleh Pep adalah tiga kali beruntun, yakni pada tahun 2018 dan 2021.
Pep juga pernah menderita tiga kekalahan beruntun ketika masih menangani Bayern Munich pada tahun 2015. Selama menangani Barcelona, rekornya lebih fenomenal lagi, di mana ia tidak pernah kalah beruntun lebih dari dua kali.
Selain itu, melansir dari Goal, City menjadi klub pemenang Liga Inggris pertama yang menderita lima kekalahan beruntun sejak tahun 1956. Sebelum City, Chelsea juga pernah mengalami hal yang sama pada bulan Maret 1956.
Rekor menarik lainnya? Ini adalah pertama kalinya City menderita kekalahan lima kali secara beruntun dalam 18 tahun terakhir. Erling Haaland juga ikut mencetak rekor, di mana akhirnya ia mengalami kekalahan ketika berhasil mencetak gol di Premier League.
Mari Kita Bandingkan dengan MU
Lagi Unbeaten nih, Bos (The Seattle Times)
Sebagai perbandingan, MU justru tak terkalahkan sejak Erik Ten Hag dipecat. Dalam empat pertandingan di bawah asuhan Ruud van Nisterlooy, MU mencatatkan tiga kemenangan dan satu kali seri (5-2 vs Leicester City, 1-2 vs Chelsea, 2-0 vs Paok, 3-0 vs Leicester City.
Di bawah pelatih baru Ruben Amorim pun MU masih belum terkalahkan dengan dua kemenangan dan satu kali hasil imbang (1-1 vs Ipswich Town, 3-2 vs Bodo/Glimt, 4-0 vs Everton).
Kekalahan terakhir MU terjadi saat bertamu ke West Ham akhir Oktober. Artinya, di saat City harus terus menderita kekalahan, MU justru tak terkalahkan. Sebagai penggemar MU, kebahagiannya jadi double.
Walau fans MU memang terkenal karena kesombongannya ketika berada di atas angin, menurut Penulis ujian sebenarnya MU akan terlihat ketika berhadapan dengan Arsenal beberapa hari lagi. Jika berhasil menang, artinya MU berada di jalur yang benar.
Menariknya, meskipun menderita hasil buruk secara bertubi-tubi, kok rasanya media sosial sepi-sepi saja seolah tidak ada yang peduli. Coba bayangkan hal yang sama terjadi pada MU, pasti sudah menjadi gorengan media dan content creator selama berbulan-bulan.
Apa yang Terjadi dengan Manchester City?
Jadi Penyebab Utama? (Reuters)
Sebagai klub yang mendominasi Premier League beberapa tahun terakhir, tentu kejatuhan City menimbulkan banyak pertanyaan bagi penggemar sepak bola. Apa yang menyebabkan City seolah lupa dengan caranya menang?
Banyak yang mengatakan kalau cederanya Rodri menjadi biang keroknya. Pep tidak memiliki pengganti sepadan yang bisa mengisi posisi tersebut, sehingga strategi yang ia terapkan tak bisa berjalan dengan optimal.
Namun, alasan cedera rasanya terlalu klise. MU pernah mengalami badai cedera yang lebih parah musim kemarin, dengan total kasus cedera lebih dari 60. Namun, MU tak sampai mengalami apa yang dialami City sekarang.
Alasan lain yang lebih masuk akal adalah kedalaman skuad City yang seolah hilang begitu saja. Cederanya Rodri menjadi bukti nyata bagaimana tidak ada pemain pelapis yang setidaknya memiliki kualitas mendekatinya.
Lucunya, jika membuka situs resmi City bagian daftar pemain, bagian Forwards hanya memiliki Erling Haaland seorang. Amit-amit seandainya Haaland cedera, siapa yang akan mengisi posisinya?
Tak hanya itu, pemain-pemain inti City banyak yang sudah berusia di atas kepala tiga, seperti Ilkay Gundogan (34), Kyle Walker (34), Kevin De Bruyne (33), Ederson (31), Mateo Kovacic (30), John Stones (30), hingga Bernardo Silva (30).
Sebagai perbandingan (lagi), pemain inti MU yang berkepala tiga hanya Bruno Fernandes (30) dan Casemiro (32). MU bahkan tak segan untuk mengorbitkan pemain muda, seperti Alejandro Garnacho (20), Amad Diallo (22), hingga Kobbie Mainoo (19).
Ini seolah menunjukkan bahwa Pep tidak melakukan regenerasi kepada skuad City. Masa jaya City sudah mulai habis dan Pep tidak melakukan tindakan antisipasi. Memang sesekali ia memainkan pemain akademi, tapi tak ada yang benar-benar bersinar.
Tentu menarik untuk melihat apakah akhirnya Pep dan City berhasil bangkit dan memutus rentetan hasil buruk yang diderita. Penulis sebagai penggemar MU tentu berharap kalau hasil buruk ini akan terus berlanjut selama mungkin.
Lawang, 2 Desember 2024, terinspirasi setelah menonton kekalahan Manchester City atas Liverpool
Foto Featured Image: Bitter and Blue
Sumber Artikel:
Fixtures & Results | Man Utd Men’s First Team | Manchester United
Pep Guardiola’s worst losing streaks
Olahraga
Menatap Masa Depan Manchester United Bersama Ruben Amorim
Setelah jeda internasional, akhirnya para penggemar Manchester United (MU) bisa menyaksikan pertandingan perdana timnya di bawah asuhan pelatih baru, Ruben Amorim. Ia menggantikan Erik Ten Hag yang dipecat beberapa minggu lalu.
Hasilnya, sayang sekali tidak terlalu menyenangkan. Bertandang ke Portman Road yang menjadi kandang Ipswich Town, setan merah hanya berhasil meraih imbang 1-1. Bahkan, seandainya Andre Onana tidak tampil super, MU sangat berpeluang untuk kalah.
Penulis paham jika semua butuh proses. Tidak mungkin dalam satu laga Amorim langsung bisa mengubah MU kembali ke masa jayanya, apalagi dengan komposisi pemain yang sama. Oleh karena itu, mari kita menatap masa depam MU bersamanya.
Bagaimana Amorim Menerjemahkan Filosofinya ke MU
Selama Penulis menjadi penggemar MU, tim ini hampir selalu menggunakan formasi empat bek, dari zaman Sir Alex Ferguson hingga Erik Ten Hag. Nah, Amorim ini beda, karena dia terbiasa menggunakan formasi tiga bek, tepatnya 3-4-2-1.
Hal ini pun langsung ia terapkan pada pertandingan kemarin, meskipun waktu latihan yang ia lakukan bersama tim bisa terbilang cukup singkat. Selain itu, karena ada banyak pemain bertahan yang cedera, ia sedikit melakukan eksperimen.
Pada line-up, awalnya ia memasang Matthijs de Ligt, Johnny Evans, dan Noussair Mazraoui yang notabene merupakan bek sayap. Di babak kedua, ia bahkan mengganti Evans dengan Luke Shaw yang juga merupakan bek sayap dan baru sembuh dari cederanya.
Menggeser posisi sayap menjadi bek tengah sebenarnya bukan hal baru, apalagi pemain MU seperti Shaw juga pernah melakukannya. Tak jarang bek sayap akhirnya malah jadi bek tengah tetap, seperti yang terjadi pada Benjamin Pavard di Inter Milan.
Selain itu, ada yang menarik di babak kedua, di mana Amorim memasukkan Rasmus Hojlund dan Joshua Zirkzee sekaligus, menggantikan Christian Eriksen dan Marcus Rashford. Waktu melihat ini, Penulis benar-benar bingung dengan strategi sang pelatih.
Jika melihat polanya, Bruno Fernandes tampaknya ditarik agak mundur untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Eriksen dan salah satu dari Hojlund atau Zirkzee menempati posisi Bruno di belakang striker bersala Alejandro Garnacho.
Hal menarik lainnya di pertandingan kemarin adalah penempatan Amad Diallo di posisi bek kanan, yang ternyata cukup cocok untuknya. Pada pertandingan kemarin, Diallo berhasil memberikan assist untuk gol yang dicetak oleh Rashford.
Berdasarkan pertandingan kemarin, Penulis menilai kalau Amorim adalah tipikal pelatih yang tidak ragu untuk melakukan banyak eksperimen untuk menyesuaikan para pemainnya dengan sistem yang ia buat. Para pemain tampaknya harus keluar dari zona nyamannya.
Jangan Menaruh Terlalu Banyak Ekspetasi kepada Amorim
“Pertandingan yang sulit. Saya melihat para pemain saya terlalu banyak berpikir. Hal-hal baru, dan mereka memikirkan apa yang harus mereka lakukan. Itu tidak normal pada tahap musim ini, tetapi sejak awal sulit bagi mereka untuk mengatasinya. Ini seri dan itu bukan perasaan yang baik ketika Anda berada di Manchester United.”
Pernyataan di atas terlontar dari mulut Amorim seusai laga. Menurutnya, pemainnya masih ragu-ragu di lapangan, hal yang sebenarnya masih bisa dimaklumi karena strategi yang dibawa Amorim benar-benar baru dan para pemain butuh waktu untuk beradaptasi.
Amorim juga merupakan tipe pelatih yang memperhatikan ball possesion, dan menurutnya pertandingan kemarin MU kurang memegang kendali. Hal ini memang sangat terlihat, terutama di babak pertama di mana MU justru sering tertekan oleh Ipswich Town.
Dengan demikian, dapat disimpulkan kalau para penggemar mau tidak mau harus bersabar (lagi) sembari terus memantau progres yang diperlihatkan oleh Amorim dan pemainnya di lapangan.
Kita para penggemar juga harusnya melakukan interopeksi diri, jangan terlalu berekspetasi kepada pelatih baru. Entah sudah ada berapa pelatih top yang gagal menangani MU. Tim ini sakit bukan hanya di lapangan, tapi sudah menyebar ke berbagai sektor.
Apalagi, Amorim merupakan pelatih muda. Walau ia berhasil mencatatkan prestasi fenomenal, jangan langsung berharap kalau ia akan menjadi The Next Alex Ferguson. Ia hanya lebih tua beberapa hari dari Cristiano Ronaldo, jelas ia masih butuh banyak tambahan jam terbang.
Jadi, untuk sekarang lebih baik kita nikmati saja proses berubahnya MU di bawah arahan Amorim.
Lawang, 25 November 2024, terinspirasi setelah menonton pertandingan perdana Manchester United di bawah asuhan Ruben Amorim
Foto Featured Image: France24
Olahraga
Siapa yang Menyangka Kalau F1 Musim 2024 akan Seseru Ini?
Ketika baru memasuki musim 2024, banyak penggemar Formula 1 (F1) yang langsung ingin lompat ke musim 2025. Alasannya, Red Bull dan Max Verstappen tampaknya akan mengulangi dominasinya seperti yang terjadi di tahun 2023.
Hal tersebut dapat dimaklumi, mengingat dari 10 balapan pertama, Verstappen berhasil memenangkan tujuh di antaranya. Walau tak sedominan musim 2023, jelas hal tersebut membuat penggemar skeptis kalau musim ini akan terasa seru.
Namun, semua berubah setelah GP Spanyol. Verstappen secara tiba-tiba kehilangan dominasinya dan tak pernah lagi menang balapan. Bahkan, secara bercanda banyak yang mengatakan kalau mereka merindukan lagu kebangsaan Belanda dikumandangkan!
Apa yang Terjadi Setelah GP Spanyol?
Dalam 10 balapan pertama, hanya ada tiga pembalap yang berhasil mencuri kemenangan dari Verstappen. Mereka adalah Carlos Sainz (GP Australia), Lando Norris (GP Miami), dan Charles Leclerc (GP Monaco).
Nah, setelah itu, ada banyak pembalap lain yang ikut meraih kemenangan. Total, musim ini sudah ada tujuh pembalap yang berhasil menjadi juara, salah satu yang terbanyak di era F1 modern. Berikut adalah daftar pemenang balapan selain Verstappen di musim ini:
- Lando Norris (McLaren) – 3 | GP Miami, GP Belanda, GP Singapura
- Charles Leclerc (Ferrari) – 3 | GP Monaco, GP Italia, GP Amerika Serikat
- Carlos Sainz (Ferrari) – 2 | GP Australia, GP Meksiko
- Lewis Hamilton (Mercedes) – 2 | GP Inggris, GP Belgia
- Oscar Piastri (McLaren) – 2 | GP Hungaria, GP Azerbaijan
- George Russel (Mercedes) – 1 | GP Austria
“Kejatuhan” Verstappen setelah awal musim ini tentu menarik untuk dipelajari. Di mata orang awam, jelas ada masalah di dalam kubu Red Bull, baik itu dari sisi teknis maupun non-teknis. Seperti yang kita tahu, banyak rumor tak sedap yang datang dari internal tim Red Bull.
Di sisi lain, tim-tim lain pun terus memperbaiki diri untuk bisa mengejar gelar juara. McLaren sempat konsisten menempatkan dua pembalapnya di podium, tapi belakangan justru Ferrari yang melakukannya. Mercedes sendiri cukup stagnan dan seolah mengekor di belakang mereka.
Dari sisi Verstappen, kita bisa melihat betapa ia mulai frustasi dengan timnya dan mulai tak kuat lagi menggendong tim jika melihat Sergio Perez yang seolah AFK sepanjang musim ini. Penampilannya yang ugal-ugalan di GP Meksiko menjadi buktinya.
Namun, inilah yang dirindukan oleh penggemar F1: persaingan ketat hingga akhir musim untuk menentukan siapa juaranya. Hingga empat balapan tersisa, kita belum tahu siapa saja yang bisa menjadi juara dunia, entah itu klasemen pembalap maupun konstruktor.
Posisi Perebutan Gelar Juara Saat Ini
Dengan empat balapan tersisa (GP Brazil, GP Las Vegas, GP Qatar, dan GP Abu Dhabi), tentu menarik melihat bagaimana peluang pembalap dan tim untuk bisa mengunci gelar juara di akhir musim. Seperti yang sudah disinggung, pemenang belum terlihat.
Mari kita mulai dari sisi pembalap. Untuk saat ini, Verstappen memang masih menduduki puncak klasemen dengan raihan 362 poin. Walau lama tak menang, Verstappen merupakan salah satu pembalap paling konsisten dalam urusan mencetak poin.
Di belakangnya ada Norris dengan selisih 47 poin. Angka ini bisa dibilang sudah sangat tipis. Apabila Norris berhasil menang balapan di saat Verstappen gagal finis, maka gelar juara bisa ia kunci jika di balapan selanjutnya berhasil selalu finis di depan Verstappen.
Leclerc menyusul di belakangnya, dengan selisih 24 poin dengan Norris. Walau peluangnya masih ada, rasanya kemungkinannya sangat kecil. Begitu pula dengan kans Piastri (251 poin) dan Sainz (240 poin) yang ada di belakangnya.
Dari sisi tim justru terlihat lebih menarik dan tak tertebak. Red Bull yang sempat lama berada di posisi pertama telah digusur oleh McLaren. Alasannya jelas, Verstappen seorang diri harus bertarung melawan dua pembalap McLaren yang langganan podium.
Saat ini, McLaren tengah nyaman berada di puncak klasemen dengan koleksi 566 poin. Namun, mereka tak bisa bersantai karena Ferrari secara mengejutkan mampu menggusur Red Bull di posisi kedua. Saat ini, Ferrari hanya selisih 29 poin dengan McLaren.
Jika Ferrari bisa mempertahankan dominasinya seperti di dua balapan terakhir, bukan tak mungkin beberapa minggu ke depan mereka berhasil mengudeta Mclaren. Apalagi, performa Piastri justru mengalami penurunan belakangan ini.
Lantas, apakah peluang Red Bull telah tertutup rapat? Secara matematika, sebenarnya masih sangat mungkin karena selisih mereka dengan McLaren hanya 54 poin. Namun, mengingat Perez sangat tidak bisa diharapkan untuk menyumbang poin, rasanya akan sangat berat.
Prediksi Penulis, musim 2024 ini akan dimenangkan oleh Max Verstappen untuk pembalap dan McLaren untuk konstruktor. Walau secara matematis masih bisa disalip oleh yang lain, rasanya mereka masih terlalu kuat untuk digusur. Mari kita lihat hingga musim ini berakhir.
Lawang, 29 Oktober 2024, terinspirasi setelah menyaksikan betapa serunya musim F1 tahun ini
Foto Featured Image: F1
-
Film & Serial5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Menonton Deadpool & Wolverine
-
Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Teruslah Bodoh Jangan Pintar
-
Film & Serial3 bulan ago
Gara-Gara Black Myth: Wukong, Saya Jadi Rewatch Kera Sakti
-
Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #22: Chinatown
-
Non-Fiksi3 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Ngomongin Uang
-
Politik & Negara4 bulan ago
Peringatan Darurat: Apa Memang Sedarurat Itu Situasi Politik Saat Ini?
-
Musik4 bulan ago
Menatap Era Baru Linkin Park Bersama Emily Armstrong
-
Tokoh & Sejarah3 bulan ago
Mengapa iPhone Tetap Laris Manis Walau Gitu-Gitu Aja?
You must be logged in to post a comment Login