Connect with us

Pengalaman

Pengalaman Menjadi Tour Guide di Malang

Published

on

Pernah merantau ke Jakarta membuat Penulis memiliki banyak teman yang berasal dari sana. Tak sedikit dari mereka yang pernah mengutarakan keinginan mereka untuk berlibur ke Malang, yang tentu membuat Penulis merasa senang.

Pada akhirnya kesempatan untuk menjadi “tour guide” pun akhirnya kesampaian setelah mantan teman-teman sekantor membulatkan tekad untuk berlibur ke Malang, bukan hanya sekadar menjadi wacana.

Total ada empat orang yang akan berangkat dari Jakarta. Mereka adalah Naufal, Pandu, Dini, dan Tania. Pada tulisan kali ini, Penulis akan berbagi pengalamannya menjadi seorang “tour guide” untuk pertama kalinya.

Hari Kedatangan dan Hari Pertama

Kedatangan di Stasiun Malang

Rencana ini dimulai setelah lebaran, di mana Pandu dan Naufal sama-sama menghubungi Penulis dan mengatakan ingin main ke Malang. Lantas, mereka berdua saling menghubungi dan pada akhirnya akan ada 4 orang yang berangkat.

Setelah melewati berbagai diskusi, akhirnya diputuskan mereka akan liburan pada tanggal 13-17 Mei 2022. Mereka berempat akan berangkat dari Jakarta pada hari Jumat, 13 Mei 2022 malam, yang artinya akan sampai di Stasiun Malang pada Sabtu, 14 Mei 2022 pagi.

Penulis sempat salah melihat jam kedatangan mereka, di mana mengira kereta akan sampai pukul 8 pagi. Padahal, yang benar adalah jam 7 pagi. Untunglah Penulis sudah berangkat dari rumah lebih pagi, sehingga masih ada spare time dan bisa menjemput tepat waktu.

Setelah itu, kami berenam (beserta adik Penulis yang menyetir) berangkat ke rumah Penulis untuk istirahat sejenak sembari menunggu waktu check-in penginapan. Tentu di rumah ibu Penulis sudah menyiapkan sarapan untuk menjamu mereka.

Tragedi Masalah Penginapan

Penginapan yang Tidak Jadi

Selepas sarapan, istirahat, dan sedikit “ghibah”, kami pun segera berangkat ke penginapan yang berlokasi di Perumahan Ijen Nirwana. Berdasarkan foto dan deskripsi yang ada di aplikasi, penginapan tersebut berubah rumah yang memiliki tiga kamar.

(Yang menginap di penginapan ini hanya Naufal, Dini, dan Tania, sedangkan Pandu sudah memesan penginapan sendiri yang terletak di Jalan Semeru)

Hanya saja, setelah sampai di sana, ternyata tidak ada AC atau kipas angin di sana. Bagi (beberapa) teman-teman Penulis, tentu itu menjadi masalah yang besar. Apalagi, Malang sedang berada di suhu yang cukup panas.

Untuk itu, kami pun mulai mencari alternatif penginapan lain yang masih tersedia. Pencarian tersebut cukup sulit, mengingat saat itu memang sedang long weekend sehingga banyak yang berlibur. Untunglah, adik Penulis berhasil menemukan kamar kosong di Hotel Tychi yang dulunya bernama Hotel Kartika Graha.

Bakso Cak Man dan Lafayette

Di Lafayette

Sesampainya check-in dan bersih diri, kami pun langsung meluncur ke kuliner pertama yang harus dicoba ketika di Malang: Bakso. Pilihan kami jatuh di Bakso Cak Man yang terletak di dekat Rumah Sakit Lavalette.

Setelah itu, kami mampir ke Lafayette Coffee & Eatery. Respons mereka di kedua tempat tersebut kurang lebih sama: Murah dan Rasanya Enak. Jika dibandingkan dengan standar Jakarta, memang makanan di Malang masih relatif murah dan terjangkau.

Penulis dan adiknya tidak sampai malam mengantar mereka berkeliling karena kesehatan adik Penulis yang agak kurang fit. Akhirnya, pada sisa malam tersebut mereka berkeliling sendiri ke daerah Soekarno-Hatta dan menikmati street food yang ada di sana.

Hari Kedua

Berdasarkan agenda yang telah dibuat sebelumnya, hari kedua Penulis akan mengantar teman-temannya untuk pergi ke salah satu tempat wisata yang ada di Kota Batu. Di antara banyaknya pilihan, Jatim Park 3 menjadi tujuannya.

Berhubung adik Penulis sakit, maka perjalanan kali ini ditemani oleh adik Penulis yang pertama. Sekitar pukul 10 pagi, kami berdua menjemput teman-teman Penulis yang telah menanti di lobi hotel.

Masalah sudah muncul sejak awal karena dengan sembrononya Penulis lupa membawa STNK. Untungnya, tidak ada masalah yang terjadi gara-gara itu. Kami berenam pun masuk ke dalam Jatim Park 3 hanya beberapa menit setelah tempat itu buka.

Berhubung lagi musim liburan, jumlah pengunjung di sana pun cukup membeludak. Setelah berdiskusi, kami memilih untuk masuk ke The Legend Stars Park dan Dino Park. Dengan baik hati, tiket Penulis dan adiknya dibelikan oleh teman-teman.

The Legend Stars Park

Ceritanya di White House

Setelah beli susu Cimory, kami pun masuk ke The Legend Stars Park terlebih dahulu. Ternyata, tempat ini ala-ala Museum Madame Tussauds, di mana ada banyak figur penting yang dibuatkan patung lilinnya. Tentunya, kualitasnya tidak bisa dibandingkan.

Ada beberapa tema yang dimiliki oleh wahana ini, seperti Istana Presiden, kantor Presiden Amerika, beberapa tema negara seperti Korea dan Jepang, hingga tema yang general seperti olahraga dan film. Kesannya, tempat ini memang cukup campur aduk.

Ada beberapa memorabilia dari tokoh olahraga dan film terkenal, lengkap dengan tanda tangannya (entah asli atau tiruan). Ketika bertanya kepada salah satu staf di sana, ternyata beberapa barang yang ada di museum ini adalah koleksi pribadi dari pemilik Jatim Park 3.

Setelah puas berfoto di wahana ini (Naufal bahkan sampai menyewa kimono Jepang), kami melanjutkan wisata ke Dino Park. Sepengetahuan Penulis, ini adalah salah satu wahana yang kerap menjadi pembicaraan.

Dino Park

Wahana yang Sedikit Absurd

Sewaktu masuk ke dalam museum yang ada di dalam Dino Park, Penulis merasa masuk ke film Night at the Museum karena adanya fosil dinosaurus dengan skala 1:1. Tidak hanya satu, ada beberapa fosil dinosaurus yang cukup menarik untuk diamati.

Sayangnya, wahana Kereta 5 Zaman yang tampaknya menjadi salah satu ikon tempat tersebut sedang mengalami perbaikan, sehingga kami pun meneruskan perjalanan. Bisa dibilang, inti dari tempat ini adalah replika dinosaurus dengan beberapa tema, walau tidak terlalu banyak.

Ketika mencoba untuk memasuki wahana yang ramai antriannya seperti 3D Aquarium, ada perasaan menyesal karena pengalaman yang didapatkan tidak sebanding dengan lamanya waktu mengantre. Untuk itu, kami pun akhirnya menghindari wahana yang ramai lainnya.

Alhasil, kami pun hanya berjalan-jalan di sekitar taman dan mencoba beberapa wahana mainstream seperti yang ada di Jatim Park 1. Setelah merasa cukup lelah, kami pun keluar dari Dino Park dan beristirahat sejenak di luar.

Tragedi Bioskop 6D

Ada kejadian yang lucu ketika kami beristirahat di The Coffee Bean & Tea Leaf yang juga berlokasi di dalam Jatim Park 3. Waktu itu, Pandu ingin berkeliling sedikit dan mencoba beberapa mini wahana yang lain.

Rencanan awalnya, ia ingin mengunjungi Museum Musik. Namun, keinginan itu gagal terwujudkan karena tidak adanya penjaga walaupun ia sudah menunggu beberapa lama. Akhirnya, ia mengubah tujuan dengan mengunjungi Bioskop 6D.

Setelah selesai menonton di sana dan menghampiri kami, terlihat raut kusut di wajahnya. Ternyata, ia baru saja menyaksikan film paling buruk sepanjang hidupnya. Cerita dan animasi film di Bioskop 6D itu sungguh buruk. Kami pun hanya bisa tertawa mendengarnya.

Tragedi Mencari Tempat Makan

Niatnya Makan di Sini… (Suwatu)

Setelah seharian berkeliling Jatim Park 3, tentu perut kosong protes minta diisi. Destinasi utama kami adalah Kanvill Outdoor Grill & Coffee yang terletak di kecamatan Dau. Konsep grill di tempat outdoor jelas sangat menarik bagi teman-teman Penulis.

Sayangnya, setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang disertai macet, ternyata tempatnya sudah penuh. Kalau mau menunggu, butuh waktu sekitar 2-3 jam. Berhubung sudah malam, kami pun memutuskan untuk pindah tempat.

Pilihan selanjutnya adalah Tahu Campur Pak Kumis yang terletak di Jalan Dinoyo. Ketika sampai di lokasi, parkirannya sudah penuh. Penulis pun mulai merasa panik, apalagi beberapa teman sudah diserang oleh asam lambung.

Tempat makan yang muncul di pikiran Penulis adalah Rawon Nguling yang cukup legendaris. Apesnya lagi, tempat tutup tersebut tutup. Siapa yang menyangka kalau tempat makan sebesar itu malah harus tutup di saat banyak turis datang ke Malang.

…Akhirnya Makan di Kamar Hotel

Saking frustasinya, akhirnya kami memilih McDonalds atau KFC Sarinah saja. Masalahnya, begitu mau masuk ke tempat parkirnya, lagi-lagi parkirannya penuh! Sepanjang Penulis tinggal di Malang, rasanya baru kali ini Penulis ditolak masuk ketika mau masuk ke Sarinah.

Bingung, Penulis terpikirkan untuk makan di Ayam Bakar Mbak Sri yang dekat Mal Olympic Garden. Naasnya, Gedung Kartini yang biasanya dibuka untuk parkir malah tutup. Mau cari tempat parkir yang kosong, lokasinya cukup jauh dari tempat makan.

Kami coba pindah ke Rumah Makan Meneer yang ada di Jalan Semeru. Apesnya lagi, ternyata tempat makan itu tutup dan diganti dengan angkringan yang pilihan menunya tinggal sedikit. Coba geser ke Ayam Goreng Pemuda, katanya sudah penuh.

Alhasil, kami pun memutuskan untuk makan McDonalds yang ada di pertigaan Kayutangan. Karena tempatnya yang ramai, kami memutuskan untuk takeaway dan makan di hotel. Bahkan masih saja ada kejadian buruk, di mana pesanan Pandu tidak dibuatkan.

Tragedi 47 Botol Air Mineral Vit

Ilustrasi Botol Vit (Twitter)

Sebelum menikmati McD di hotel, ada satu peristiwa unik lagi ketika sedang menanti pesanan. Penulis bersama Naufal, Tania, dan Dini pergi berbelanja di Avia untuk membeli beberapa makanan dan minuman.

Ketika di kasir, cicicici yang berjaga di kasir terlihat sedang asyik mengobrol dengan temannya. Naufal sedikit menguping pembicaraan tersebut, dan katanya tema yang sedang diobrolkan adalah masalah guna-guna.

Setelah selesai membayar, Naufal memanggil Penulis karena di kuintasi tertulis ada 47 botol air mineral Vit. Padahal, Naufal hanya membeli 4 botol. Penulis pun menghampiri cici-cici tadi dan mengonfir masih hal ini.

Sambil minta maaf, cici-cici tersebut meminta maaf kepada kami dan mengembalikan uang yang sudah dibayarkan secara tunai. Sepintas kami mendengar, kalau kejadian ini semakin mempertegas kekhawatiran guna-guna yang ditakuti oleh cici-cici tersebut.

Hari kedua liburan teman-teman Penulis di Jakarta ini memang penuh dengan tragedi dan kejadian-kejadian unik.

Hari Ketiga

Di Latar Ijen

Di hari ketiga, Pandu sudah perjalanan balik ke Jakarta karena dia tidak mengambil cuti di hari Selasanya. Lantas, sisanya kembali berwisata kuliner sendirian di siangnya karena Penulis baru bisa ke Malang sore hari. Untungnya, tidak ada tragedi lagi yang menimpa mereka.

Penulis menyusul mereka bertiga di Latar Ijen dan nongkrong sebentar di sana. Setelah itu, kami nyemil sebentar di Bakso Bakar Pahlawan Trip yang rasanya sudah jauh berkurang drastis dibandingkan terakhir kali Penulis ke sana.

Terakhir, Penulis mengantar mereka untuk membeli oleh-oleh di daerah Sanan. Makanan yang dibeli pun seputar keripik-keripik yang sudah menjadi ciri khas. Setelah itu, Penulis kembali mengantar mereka ke hotel sekaligus berpamitan karena besok Penulis tidak bisa mengantar mereka ke bandara.

Penutup

Bisa dibilang, perasaan Penulis cukup campur aduk dengan pengalamannya menjadi tour guide untuk pertama kalinya. Senang karena ada teman yang jauh-jauh datang berlibur dari Jakarta, sedih karena merasa belum bisa memberikan “service” yang optimal.

Pengalaman pertama ini jelas sangat berharga untuk Penulis agar bisa menjadi tour guide yang lebih baik jika nanti ada teman-temannya yang lain memilih Malang sebagai destinasi liburannya.

Semoga saja teman-teman Penulis tidak kapok ke Malang hanya karena kekurangan Penulis sebagai tour guide.


Lawang, 26 Juni 2022, terinspirasi setelah menjadi tour guide untuk pertama kalinya

Pengalaman

Pada Akhirnya Hidup Kita Harus Tetap Berjalan

Published

on

By

Dalam empat bulan terakhir, atau sejak masuk tahun 2025, Penulis mengakui kalau sedang banyak masalah, yang kebanyakan hanya ada di pikiran. Hal tersebut membuat produktivitas menulis blog ini terasa mandek, dengan jumlah produksi artikel berkurang drastis.

Pada bulan Desember, masih lumayan ada tujuh tulisan yang terbit, sebelum di bulan Januari benar-benar tidak ada tulisan yang tayang. Februari ada satu tulisan, yang mirisnya merupakan tulisan pertama di tahun 2025. Di Maret setidaknya ada empat tulisan.

Blog ini, yang harusnya menjadi tempat menyalurkan hobi, justru belakangan terasa menjadi beban. Ada puluhan ide artikel yang tertumpuk begitu saja tanpa pernah dieksekusi. Ada belasan buku yang menanti untuk diulas, hingga lupa apa yang harus diulas.

Berhenti Menulis karena Rasa Malas?

Setiap merasa harus memutus lingkaran ini dan mulai kembali rutin menulis, keinginan tersebut terputus hanya setelah maksimal dua tulisan. Setelah itu kembali menghilang hingga waktu yang tidak ditentukan.

Apakah permasalahan yang Penulis sebutkan di atas hanya merupakan alibi untuk menutupi alasan sebenarnya dari berhentinya Penulis menulis, yaitu rasa malas? Bisa jadi. Namun, rasa malas bisa muncul dengan sebab, seperti kepala yang rasanya penuh sekali.

Ketika pikiran suntuk dan dengan “liarnya” mengembara ke sana kemari, itu sangat memengaruhi mood. Sekali lagi, menulis yang harusnya jadi aktivitas menyenangkan justru menjadi momok yang menakutkan.

Apakah rasa malas ini muncul karena di tempat kerja Penulis juga menulis? Bisa jadi, karena tentu itu memunculkan rasa jenuh. Mau sebagus apapun idenya, butuh tekad yang kuat untuk bisa mengeksekusinya, dan tekad itu bisa luntur karena rasa jenuh.

Apakah rasa malas ini muncul karena Penulis kesulitan mengatur waktunya? Bisa jadi, karena waktu yang dimiliki dalam 24 jam digunakan untuk aktivitas lainnya. Jujur, kebanyakan bukan aktivitas produktif sebagai pelarian dari masalah yang ada di kepala.

Lantas, apakah rasa malas ini bisa jadi pembenaran untuk berhentinya produksi blog ini? Entahlah, Penulis merasa dirinya terbagi menjadi dua. Satu menjustifikasi rasa malas tersebut karena memang sedang banyak pikiran, yang satu merutuk diri karena kontrol diri yang lemah.

Apakah produksi artikel di blog ini bisa kembali normal jika masalah-masalah yang ada di pikiran itu terselesaikan? Sekali lagi, entahlah. Bisa jadi berhentinya produksi artikel tersebut memang murni karena rasa malas saja, lalu mencari-cari justifikasi yang paling terlihat elegan.

Menyadari Kita Harus Tetap Berjalan

Saat menulis artikel ini, justru masalah-masalah di kepala tengah berada di klimaksnya. Tentu aneh, mengapa ketika berada di puncak permasalahannya Penulis justru akhirnya memutuskan untuk menulis lagi setelah sekian lama.

Mungkin, karena sudah berada di klimaksnya, Penulis menyadari bahwa setelah ini jalannya akan melandai, menurun. Permasalahan, apapun bentuknya, pasti akan selesai. Semua itu hanya sementara, tidak akan terjadi selamanya.

Mungkin, karena pada akhirnya Penulis menyadari bahwa hidup harus tetap berjalan. Yang namanya berjalan, tentu tak pernah selalu mulus. Pasti beberapa kali kita akan menemukan jalan yang rusak, gronjalan, kubangan lumpur, dan masih banyak lagi lainnya.

Namun, pada akhirnya kita tetap melanjutkan perjalanan. Memang kita jadi kotor, mungkin ada luka juga, tapi itu adalah “harga” yang harus dibayar untuk mencapai tujuan. Demi tujuan itulah kita terus berjalan.

Lantas, apa tujuan yang sedang Penulis tuju sekarang? Penulis tidak akan menuliskannya di sini, tapi yang jelas, untuk mencapai tujuan tersebut, bisa mendisiplinkan diri untuk konsisten menulis artikel di blog ini adalah salah satu jalan yang harus Penulis tempuh.

Untuk itulah, Penulis akhirnya memutuskan untuk menulis artikel ini, yang mungkin secara bobot tidak ada bobotnya, lebih sekadar gerutuan karena insomnia datang menyerang. Setidaknya, ini adalah upaya nyata Penulis untuk kembali ke jalan yang benar.

Entah cara apa yang akan Penulis lakukan agar aktivitas menulis blog ini menjadi kembali menyenangkan dan membuat Penulis bersemangat, bahkan ketika isi pikirannya penuh dengan masalah. Sambil berjalan, Penulis akan berusaha menemukan jawabannya.


Lawang, 8 April 2025, terinspirasi karena insomnia karena berbagai masalah yang ada di pikirannya

Foto Featured Image: Tobi via Pexels

Continue Reading

Pengalaman

Ini adalah Tulisan Pertama Whathefan di 2025

Published

on

By

Memulai tulisan pertama tahun 2025 di bulan Februari memang sangat terlambat. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir Penulis bisa dibilang cukup rajin dalam menulis di hari pertama pergantian tahun, walau setelah itu juga kurang bisa konsisten.

Ada beberapa alasan yang membuat Penulis “menghilang” hampir dua bulan di blog ini, tapi pada tulisan kali ini Penulis hanya akan menyebutkan satu alasan: kehilangan gairah untuk menulis, atau singkatnya bisa dibilang malas.

Tentu rasa malas itu tidak datang begitu saja, ada banyak alasan yang menyertainya. Namun, rasanya alasan-alasan tersebut tidak perlu diungkapkan. Pada tulisan kali ini, Penulis ingin melakukan beberapa refleksi saja mengenai apa yang sudah terjadi di tahun 2024 ini.

Dompet Menangis karena Membeli Banyak Perangkat

Impian yang Tercapai di 2024

Tahun 2024 adalah tahun yang berat untuk dompet Penulis. Ada banyak sekali pengeluaran, entah itu untuk kebutuhan maupun keinginan. Saking banyaknya, arus kas Penulis sepanjang 2024 jadi minus, pertama sejak terakhir kali minus pada tahun 2020.

Kalau tahun 2020 minus wajar, karena Penulis resign pada bulan September 2020, sehingga ada beberapa bulan Penulis tidak mendapatkan gaji rutin. Pemasukan dari pekerjaan sebagai freelancer tentu tidak menutup kebutuhan sehari-hari.

Nah, kalau di 2024 kemarin, minus yang terjadi murni terjadi karena banyaknya pengeluaran. Mungkin ini akan terdengar sebagai flexing, tapi Penulis di tahun yang sama membeli smartphone dan laptop baru, serta build PC dengan alasan awal “untuk bantu skripsi adik.”

Penulis memang sudah berencana untuk membeli smartphone baru di awal tahun karena merasa tidak nyaman dengan Xiaomi POCO F4, yang akhirnya Penulis berikan kepada ibu. Awalnya mengincar Samsung S24, tapi karena pakai Exynos, Penulis beralih ke iPhone 13.

Lalu ketika bulan puasa, di kala uang THR sudah masuk ke rekening, adik Penulis mengatakan bahwa dirinya butuh PC untuk menunjang skripsinya. Sebagai kakak, tentu Penulis berusaha memenuhi hal tersebut, hitung-hitung mewujudkan cita-cita untuk punya PC.

Kampretnya, setelah selesai build PC, PC tersebut justru jarang dipakai adik Penulis untuk skripsian! Pada akhirnya PC tersebut jadi perangkat utama Penulis untuk bekerja dan bermain game. Yah, setidaknya dengan demikian tidak ada penyesalan.

Menjelang akhir tahun, tepatnya di bulan Oktober, Penulis sempat iseng mampir ke Digimap. Sialnya, sedang ada promo pelajar yang memberikan potongan 500 ribu. Ditambah voucher MAP 300 ribu, Penulis akhirnya memutuskan untuk membeli laptop MacBook Air M1.

Setelah membeli laptop tersebut, laptop lama Penulis akhirnya dibeli adik Penulis (yang tadi minta di-build-kan PC!) dengan harga miring karena memang butuh laptop dengak spek yang lumayan tinggi untuk menunjang kerjaan dan skripsinya.

Memang nyesek rasanya jika mengingat berapa uang yang dikeluarkan untuk perangkat-perangkat tersebut. Memang Penulis memanfaatkan cicilan 0% dari kartu kredit, tapi tetap saja pembelian-pembelian tersebut membuat dompet Penulis menangis.

Namun, jika melihat dari sisi lain, memiliki kombo PC + MacBook merupakan cita-cita Penulis sejak zaman kuliah. Jadi, anggap saja kalau ini memang sudah saatnya untuk menuntaskan impian tersebut.

Ke Jakarta dan Semarang Dua Kali, ke Solo Satu Kali

Liburan Keluarga ke Semarang

Pengeluaran lain yang membuat arus kas Penulis minus adalah seringnya Penulis berpergian. Dalam satu tahun, Penulis dua kali pergi ke Jakarta dan Semarang, serta satu kali pergi ke Solo karena berbagai urusan.

Penulis ke Jakarta pertama kali di awal tahun 2024, karena kebetulan kantor Penulis mengadakan staycation. Setelah itu, Penulis tinggal di Jakarta kurang lebih satu bulan karena ada banyak teman yang ingin Penulis temui.

Sepulang dari Jakarta, Penulis berlibur satu keluarga ke Solo dan Semarang. Sebagai anak pertama, tentu Penulis berusaha untuk menjadi “sponsor” untuk acara liburan ini, walau tentu tidak semua pengeluaran Penulis yang menanggung.

Lantas di pertengahan tahun, Penulis harus kembali ke Jakarta. Kali ini sekeluarga, karena adik Penulis (bukan yang minta di-build-kan PC) lamaran. Karena satu keluarga, kunjungan ke Jakarta kali ini hanya sebentar.

Sepulang dari Jakarta (kami menggunakan mobil pribadi, pulang-pergi Malang-Jakarta), kami sempat mampir ke Semarang satu malam untuk istirahat sekaligus curi-curi liburan. Bisa dibilang, tahun 2024 kemarin merupakan tahun di mana Penulis keluar kota terbanyak.

Produksi Artikel Whathefan yang Meningkat

Salah satu achievement yang Penulis dapatkan di tahun 2024 adalah naiknya jumlah produksi artikel Whathefan jika dibandingkan dengan tahun 2023. Sejak pertama kali menulis di tahun 2018, jumlah artikel di blog ini memang cenderung menurun terus.

Tahun 2022 adalah penulisan blog paling sedikit sepanjang sejarah dengan 91 artikel, yang lalu meningkat sedikit menjadi 98 artikel di tahun 2023. Nah, di tahun 2024 jumlah tersebut melonjak menjadi 127 artikel.

Salah satu penyebab peningkatan ini adalah Penulis yang cukup rutin menulis, terutama di bulan Juni ketika Penulis berhasil menulis penuh satu bulan tanpa putus. Walau setelah itu kembali fluktuatif, setidaknya raihan tersebut bisa membuktikan kalau Penulis sebenarnya bisa konsisten menulis.

Biasanya, di awal tahun Penulis punya target untuk memproduksi artikel hingga 200 dalam satu tahun. Namun, mengingat artikel pertama blog ini saja baru ditulis bulan Februari, rasanya target yang realistis adalah jangan sampai produksi tahun ini lebih kecil dari tahun kemarin.

Untuk itu, mungkin akan ada penyesuaian juga agar Penulis tidak malas-malas amat dalam Penulis. Contohnya adalah penyesuaian Notion, yang entah sudah berapa bulan terbengkalai dan berisi schedule yang tak pernah dituntaskan.

Penutup

Jika dibandingkan dengan tahun 2023, tahun 2024 memang lebih dinamis (dan lebih banyak pengeluaran tentunya!). Setidaknya, satu impian Penulis akhirnya bisa dicapai, walau efeknya ke dompet juga lumayan terasa.

Di awal tahun 2025 ini, tentu Penulis berharap bisa melakukan pengetatan pengeluaran. Namun, dengan adik Penulis yang akan segera menikah pada bulan Februari, rasanya pengetatan pengeluaran ini baru bisa dilakukan ketika bulan puasa nanti.

Selain itu, sekali lagi Penulis berharap untuk bisa menjaga konsistensi dalam menulis artikel untuk blog ini. Semoga tahun ini Penulis lebih bisa mengendalikan emosi dan mood-nya, sehingga bisa sebanyak mungkin memproduksi artikel di blog ini.

Saat menulis artikel ini, Penulis sudah berada di Jakarta, menginap di kos adik yang juga merupakan kos lama Penulis. Rencananya, Penulis akan di Jakarta sekitar tiga minggu hingga acara pernikahan selesai. Semoga saja tabungan Penulis yang sudah menipis ini cukup.


Kebayoran Lama, 10 Februari 2025, terinspirasi setelah ingin mulai lebih rutin menulis di blog ini di tahun 2025

Continue Reading

Pengalaman

Ini Pengalaman Saya Menonton Video Klip “The Catalyst”

Published

on

By

Sensasi menantikan sebuah album musik akan rilis sudah lama tidak Penulis rasakan. Terakhir kali itu terjadi adalah tujuh tahun yang lalu, ketika album One More Light mengumumkan akan rilis pada 19 Mei 2017.

Setelah itu, meskipun musisi lain akan mengumumkan akan merilis album (katakanlah, One Ok Rock), Penulis tidak akan terlalu antusias menunggunya. Ketika rilis memang langsung mendengarkan, tapi tak memberikan sensasi yang sama dengan Linkin Park.

Nah, pada tanggal 15 November mendatang, Linkin Park dengan formasi baru akan merilis album pertamanya yang berjudul From Zero. Sensasi ini pun datang lagi dan membuat Penulis merasa tidak sabar ingin segera mendengarkan semua lagu dalam albumnya.

Jelang rilisnya album tersebut, Linkin Park secara bertahap telah merilis tiga single di waktu yang berbeda: “The Emptiness Machine”, “Heavy Is The Crown”, dan “Over Each Other”. Penulis berharap lagu-lagu lainnya di album ini akan mirip dengan dua single pertama.

Berbicara tentang sensasi menunggu tanggal rilis album Linkin Park, Penulis mau tidak mau jadi teringat bagaimana dulu dirinya menantikan single pertama dari album A Thousand Suns, “The Catalyst”. Itulah yang ingin Penulis bagikan pada tulisan kali ini.

Menonton Video Klip “The Catalyst” dari Televisi

Ketika Penulis menjadi penggemar Linkin Park saat SMP, band ini telah memiliki tiga album: Hybrid Theory, Meteora, dan Minutes to Midnight. Oleh karena itu, begitu mengetahui Linkin Park akan merilis album baru pada tanggal 13 September 2010, Penulis begitu bersemangat.

Waktu itu, internet belum semudah sekarang. Minimal, kita harus pergi ke warnet untuk bisa terkoneksi dengan internet, termasuk YouTube. Bahkan, untuk berita terbaru seputar musik, Penulis masih mengandalkan televisi.

Nah, melalui acara Breakout di NET TV yang dipandu oleh Boy William, Penulis jadi mengetahui kalau Linkin Park akan merilis single terbaru mereka berjudul “The Catalyst” dan mereka akan menayangkan video klipnya secara perdana.

Penulis masih ingat betul acara tersebut mulai jam tiga sore. Boy bercerita sedikit tentang perjalanan Linkin Park sebagai band sebagai selingan video-video klip lama Linkin Park. Barulah menjelang akhir acara, video klip “The Catalyst” ditayangkan.

Kesan pertama ketika menonton video klip, keren, baik dari sisi lagu maupun sinematografinya. Memang lagu ini sekarang tidak lagi masuk tier atas bagi Penulis, tapi pada waktu itu, Penulis sangat menyukainya.

Penulis juga ingat ketika itu langsung mengirim SMS ke sohibnya yang juga menonton acara tersebut, dan ia mengatakan sentuhan dari Mr. Han sebagai sutradaralah yang membuat video klip “The Catalyst” menjadi begitu keren.

Bagaimana Pengalaman Tersebut akan Sulit Terulang

Mungkin bagi sebagian orang, pengalaman menantikan album atau lagu dari musisi favoritnya masih bisa dirasakan sekarang. Namun, pengalaman menonton video klip dari single terbaru di televisi rasanya tidak akan pernah dirasakan lagi.

Dengan adanya platform YouTube dan media sosial, semua bisa menontonnya tanpa kesulitan di detik ketika video klipnya rilis. Tak perlu lagi mendengarkan Boy William menjelaskan perjalanan musisi yang sedang merilis single terbaru.

Bahkan, kita tak perlu takut lagi ketinggalan karena kita bisa mengaktifkan notifikasi apabila video klip tersebut telah rilis. Apalagi, di YouTube biasanya para musisi akan memasang countdown untuk meningkatkan hype.

Sensasi ini rasanya tidak akan pernah terjadi di era instan seperti sekarang. Lantas, apakah hal tersebut buruk? Penulis tidak tahu. Namun, karena pernah mengalami era yang tidak serba instan, Penulis jadi belajar tentang kesabaran dan menikmati proses.

Semoga generasi kini bisa mempelajari itu di era yang serba instan seperti sekarang


Lawang, 31 Oktober 2024, terinspirasi setelah teringat bagaimana dulu dirinya menonton video klip “The Catalyst”

Foto Featured Image:

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan