Politik & Negara
Berusaha Memahami Situasi Politik yang Sedang Terjadi Saat Ini

Selama beberapa minggu terakhir, drama perpolitikan di Indonesia benar-benar dinamis sekaligus panas. Penyebab utamanya tentu saja Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta yang entah mengapa penuh dengan drama.
Tidak hanya drama di Jakarta, banyak peristiwa politik lain yang juga terjadi bersamaan. Salah satu yang mencuri perhatian Penulis adalah banyaknya calon kepala daerah yang hanya berhadapan dengan kotak kosong karena terlalu gemuknya koalisi.
Oleh karena itu, ada banyak hal yang terbesit di pikiran Penulis setelah mengamati dunia politik pada masa-masa ini, sehingga merasa perlu untuk menuangkan pikiran dan opininya melalui tulisan ini.
Gagal Paham Netizen (atau Buzzer?) Menyikapi Peringatan Darurat

Penulis sudah merangkum kejadian Peringatan Darurat pada tulisan sebelumnya. Intinya, pada akhirnya keinginan DPR untuk membuat RUU Pilkada demi membatalkan putusan MK dibatalkan karena desakan dari masyarakat.
Seperti yang kita tahu, menjelang rapat untuk membahas RUU Pilkada tersebut, masyarakat berkumpul di beberapa kota besar Indonesia untuk melakukan aksi protes. Bahkan, banyak public figure yang turun seperti Reza Rahadian, Andovi, serta banyak komika.
Nah, dengan dikabulkannya permintaan tersebut, tentu kita sebagai masyarakat merasa senang karena berhasil menahan pemerintah untuk berbuat sewenang-wenang dengan mengubah peraturan demi kepentingan tertentu. Iya, kan?
Ternyata, tidak semua berpikiran seperti itu. Ada pihak (kemungkinan buzzer) yang menuduh kalau gerakan Peringatan Darurat tersebut merupakan gerakan terstruktur yang dikomandoi oleh pihak tertentu untuk tujuan lain. Siapa? Mereka tidak menyebutkannya.
Lantas, tujuan lainnya itu apa? Nah, di sini Penulis tidak paham. Mayoritas pos yang kontra dengan Peringatan Darurat tidak menjelaskan secara spesifik apa maksud lain dari gerakan tersebut. Kalau yang pro kan jelas, kami tidak ingin peraturan diubah seenak udel-nya.
Anehnya, mereka justru melempar isu lain untuk memperkeruh keadaan. Contoh, mereka menyinggung masalah politik dinasti di Banten. “Kenapa kalian diam ketika ada dinasti di Banten,” kurang lebih begitu narasi dari mereka.
Bagi Penulis, mereka yang bernarasi seperti itu tidak paham substansi. Peringatan Darurat bukan muncul semata-mata untuk menolak dinasti, tapi (sekali lagi) mencegah agar jangan sampai peraturan bisa diubah semena-mena demi kepentingan tertentu.
Politik dinasti sudah banyak terjadi selama ini, bukan dipelopori oleh keluarga Joko Widodo selaku presiden kita. Tidak ada perarturan yang melarang kalau kita kerabat dari pejabat publik, kita dilarang untuk menjadi pejabat publik juga.
Yang dipermasalahkan adalah kalau dinasti itu dibangun dengan mengubah peraturan yang sudah ada. Kedua anak Jokowi, Gibran dan Kaesang, sama-sama terganjal umur. Gibran berhasil diloloskan pamannya, tapi Kaesang tidak.
Nah, waktu meloloskan Gibran, tidak ada yang berdaya untuk mengubah keputusan MK tersebut, bukan? Lantas, mengapa saat MK memutuskan yang terakhir kemarin, tiba-tiba DPR bergerak cepat untuk menganulir keputusan tersebut? Ini kan anomali yang sangat aneh.
Isu lain yang dilempar ke publik adalah mempertanyakan mengapa para orang pro Peringatan Darurat tidak sevokal ini saat membahas RUU Perampasan Aset. Ini kesalahan logika lainnya karena sudah berbeda substansi. Buzzer memang selalu punya caranya sendiri, walau sering tak masuk akal.
Negara Tanpa Oposisi, tapi Lebih Parah

Salah satu poin yang diputuskan oleh MK adalah menurunkan batas threshold partai politik untuk bisa mencalonkan orang, dari 20% menjadi 7.5% saja. Tentu ini keputusan yang bagus sekali, karena threshold yang terlalu tinggi menimbulkan sedikitnya calon yang bisa dipilih.
Penulis pernah membahas mengenai bagaimana Jokowi berhasil mengalahkan lawan-lawannya tanpa berperang, yakni dengan cara mengajak koalisi lawan-lawannya. Hal ini tampaknya akan dilanjutkan oleh presiden terpilih Prabowo Subianto.
Dalam satu pernyataan, Prabowo pernah mengatakan kalau oposisi bukanlah budaya Indonesia, karena budaya Indonesia adalah gotong royong. Bagi Penulis, dalam negara yang mengusung demokrasi, ini adalah hal yang cukup berbahaya.
Hal ini bisa dilihat dari peta Pilkada saat ini, di mana ada begitu banyak satu calon diusung oleh hampir semua partai yang ada untuk melawan kotak kosong, atau minimal melawan calon independen. Ada puluhan kasus seperti ini di seluruh Indonesia.
Penulis ambil contoh di Jakarta, di mana Ridwan Kamil diusung oleh 15 partai. Partai Nasdem, PKB, dan PKS, yang awalnya ingin mengusung Anies Baswedan, berbalik arah dan ikut mendukung Ridwan Kamil karena gagal mencapai threshold.
Setelah keputusan MK, PDIP akhirnya maju sendirian dengan mengusung pasangan Pramono Anung dan Rano Karno. Ada pasangan ketiga dari jalur independen, yang juga kontroversial karena mencatut banyak KTP orang dan tetap diloloskan untuk berlaga di Pilkada.
Di Jawa Timur pun begitu, di mana partai-partai yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus mengusung Khofifah. Yang berbeda adalah PDIP yang mengusuk Risma dan PKB yang mengusung Luluk.
Bayangkan, satu orang diusung oleh belasan partai. Jika pun mereka kalah, suara mereka di dewan akan sangat dominan. Lantas, bagaimana pihak Eksekutif dan Legislatif bisa bekerja dengan baik jika tidak seimbang seperti ini?
Negara butuh kontrol, karena itulah kita menganut trias politika. Tidak boleh ada satu pihak yang terlalu dominan. Kalau Eksekutif dan Legislatif-nya sejalan terus, lantas siapa yang bisa menjamin kalau semua keputusan yang dibuat akan menguntungkan untuk rakyat?
Kita seolah semakin bertransformasi menjadi negara tanpa oposisi yang makin parah. Siapa yang tidak mau ikut, entah baik atau buruk, akan ditinggal. Memang benar kalau tidak semua orang tahan untuk menjadi oposisi dan berada di luar kekuasaan.
Penutup
Situasi politik di Indonesia saat ini, setidaknya bagi Penulis, sudah berada di tahap yang membuat geleng-geleng kepala. Konsep bernegara yang kita kenal selama ini perlahan digeser, sehingga tak terasa kita akan dibawa kembali ke era otoriter seperti dulu.
Mungkin kita masih bisa bersuara, mungkin kita masih bisa melempar kritik. Akan tetapi, negara ini seolah sedang diatur oleh sekelompok orang dengan kepentingannya masing-masing alias oligarki. Negara ini mau maju mau mundur, suka-suka mereka.
Kalau mau sarkas, sudah tidak perlu adakan Pemilu saja sekalian. Silakan pilih suka-suka kalian. Apakah namanya masih bebas, jika pilihan yang ada diatur-atur oleh pemilik kekuasaan, baik dengan cara halus maupun kasar?
Penulis yang ilmunya rendah ini berusaha memahami situasi politik saat ini, dan kesimpulannya, ini hanya tentang bagaimana meraih kekuasaan dan mempertahankannya selama mungkin. Nasib kita sebagai rakyat tak menjadi pertimbangan sama sekali.
Lawang, 4 September, terinspirasi setelah melihat komentar-komentar netizen (atau buzzer?) terkait peringatan darurat yang ramai beberapa minggu lalu
Foto Featured Image: Merdeka
Politik & Negara
Mau Sampai Kapan Kita Dibuat Pusing oleh Negara?

Terkuaknya kasus korupsi Pertamina dan “bensin oplosan” akhir-akhir ini seolah menjadi gong dari berbagai isu yang sedang melanda Indonesia. Bayangkan saja, potensi kerugian negara bisa mencapai 1.000 triliun sehingga layak menyandang sebagai “juara” korupsi.
Selain itu, masyarakat juga benar-benar dirugikan karena mereka yang selama ini menggunakan Pertamax ternyata sama saja dengan menggunakan Pertalite. Bayar lebih untuk barang yang lebih murah, kan menjengkelkan, ya?
Entah mengapa rasanya 100 hari kerja pemerintahan Prabowo-Gibran benar-benar penuh dengan permasalahan. Saking banyaknya, masyarakat pun dibuat pusing olehnya. Narasi “Indonesia Gelap” dan tagar #KaburAjaDulu pun mencuat.
Pada tulisan kali ini, Penulis ingin mengeluarkan semua unek-uneknya tentang berbagai isu yang sempat dan sedang panas dibicarakan. Siapkan obat sakit kepala, karena tulisan ini berpotensi mendatangkan sakit kepala kepada Pembaca!
Berbagai Isu yang Membuat Sakit Kepala

Mari kita bicarakan isu-isu yang relatif lebih “ringan” terlebih dahulu, yang sebenarnya juga kurang pas disebut “ringan” karena efek sakit kepalanya juga tidak main-main. Awal tahun ini, kita dipusingkan dengan masalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.
Meskipun pada akhirnya hanya diterapkan kepada barang-barang tertentu, buruknya komunikasi pemerintah menimbulkan gejolak di masyarakat, seolah pemerintah memang sengaja melakukan tes ombak dulu sebelum membuat keputusan.
Selanjutnya ada kasus situs web Coretax, yang menghabiskan anggaran hingga Rp1,2 triliun dengan hasil yang sangat mengecewakan. Entah sudah berapa kali keluhan yang disematkan kepada situs tersebut karena tidak bisa menjalankan fungsi dasar.
Masalah LPG 3 kg yang sempat dilarang untuk dijual ke agen-agen sempat ramai dan mendapatkan banyak kecaman, sebelum Presiden Prabowo tampil sebagai pahlawan untuk membatalkan kebijakan tersebut.
Kalau Penulis pribadi merasa paling jengkel dengan pernyataan dari Presiden Prabowo yang mengatakan kalau pohon sawit ‘kan sama-sama pohon, sehingga kita tidak perlu takut dengan deforestasi. Penulis tak menyangka ucapan tersebut muncul dari mulut seorang presiden yang Penulis anggap pintar.
Belakangan ini, PHK besar-besaran juga marak terjadi di banyak tempat, termasuk PT Sritex yang tutup. Jangan lupa, saat artikel ini ditulis, rupiah sudah tembus ke angka Rp16.580, lebih buruk dibandingkan saat Krisis Moneter 1998.
Belum lagi masalah yang masih diliputi oleh banyak misteri seperti Pagar Laut. Entah mengapa semua isu-isu ini datang dalam waktu yang berdekatan, seolah tidak memberi kita jeda untuk sekadar bernapas.
Makan Bergizi Gratis dan Efisiensi Anggaran

Salah satu program kerja Presiden Prabowo yang paling sering disorot belakangan ini tentu saja Makan Bergizi Gratis (MBG), yang memang sejak masa kampanye menjadi program andalan Prabowo-Gibran.
Ada yang melaporkan makanan yang disajikan basi dan kurang bermutu, meski Penulis pribadi mendapatkan testimoni yang positif dari anak-anak Karang Taruna yang duduk di bangku SMP. Penulis juga mendapat laporan ada sekolah yang belum kebagian jatah.
Terlepas dari kualitasnya, sejak awal banyak yang menganggap kalau program ini sangat boros anggaran dan dikhawatirkan tidak tepat sasaran. Bukti nyata borosnya program ini adalah ditetapkannya efisiensi anggaran dari semua lini, termasuk pendidikan itu sendiri.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dihemat hingga Rp22,54 triliun, sedangkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dihemat hingga Rp8 triliun. Total target dana yang akan didapatkan setelah melakukan efisiensi ini adalah RP750 triliun.
Namun, entah mengapa Penulis merasa efisiensi yang diterapkan ini rasanya kok cuma gimmick semata. Alasannya, kalau memang mau efisiensi yang ketat, kurangi gaji pejabat publik dan cabut fasilitas-fasilitas yang kurang perlu. Penulis yakin, anggaran yang dihemat akan lumayan besar.
Selain itu, RUU Perampasan Aset untuk para koruptor juga tak kunjung disahkan. Jika koruptor berhasil dimiskinkan, tentu itu akan mengembalikan kerugian negara yang telah dicuri.
Sayangnya, tampaknya pemerintah kita belum seberani itu dan lebih memilih untuk mengorbankan banyak hal lewat efisiensi. Korbannya? Tentu masyarakat, di mana tak sedikit pegawai pemerintah yang terancam atau bahkan sudah di-PHK.
Untuk apa efisiensi yang dilakukan ini? Selain untuk membiayai MBG, dana yang ada akan dijadikan modal awal untuk Danantara.
Skeptisme Mengelilingi Danantara

Dengan semua isu yang terjadi hanya dalam beberapa bulan terakhir ini, tentu banyak masyarakat (termasuk Penulis) jadi merasa skeptis dengan Badan Pengelolaan Investasi (BPI) Danantara, yang akan mengelola dana hingga 14 ribu triliun.
Dana tersebut didapatkan dari aset tujuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni Pertamina, PLN, Mind ID, BRI, BNI, Bank Mandiri, dan Telkom Indonesia. Nantinya aset-aset tersebut akan digunakan untuk membiayai banyak proyek strategis, termasuk hilirisasi.
Secara konsep, proyek Danantara memang potensial, tapi kekhawatiran mengenai potensi korupsinya lebih menakutkan. Sentimen publik makin negatif karena diketuai oleh mantan napi koruptor, Burhanuddin Abdullah.
Apalagi, berdasarkan undang-undang yang telah disahkan oleh DPR membuat Danantara tidak bisa diaudit oleh KPK dan BPK, kecuali atas permintaan dari DPR. Masalah transparasi menjadi isu utama yang membuat masyarakat menjadi skeptis.
Kasus korupsi Pertamina yang baru saja terungkap seolah menegaskan kalau para elite politik kita sulit untuk diberikan amanah dalam mengelola uang dengan nominal yang fantastis. Jangan sampai Danantara akan menjadi mega korupsi selanjutnya mengalahkan kasus Pertamina.
Selain itu, jika Danantara ini memang program kerja yang bagus, mengapa tidak dikampanyekan oleh Presiden Prabowo saat masa kampanye? Ini seolah mengulang Ibu Kota Negara (IKN) yang juga tidak dikampanyekan oleh Joko Widodo di tahun 2019.
Indonesia Gelap dan #KaburAjaDulu

Itulah beberapa isu yang cukup membuat masyarakat merasa pusing dengan kondisi negara saat ini. Beberapa isu lain yang tidak Penulis singgung adalah revisi UU Minerba dan kembalinya multifungsi TNI/Polri seperti zaman Orde Baru.
Ini semua pada akhirnya membuat banyak orang menyuarakan Indonesia Gelap (yang dibantah oleh pemerintah) dan memicu gerakan #KaburAjaDulu. Sudah banyak yang turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi.
Parahnya, respons pemerintah cenderung defensif dan justru melakukan serangan balik, mulai dari tidak terima dengan Indonesia Gelap hingga menyematkan status “tidak nasionalis” kepada masyarakat yang memilih kabur ke luar negeri dan “jangan balik lagi”.
Padahal, seharusnya pemerintah intropeksi diri mengapa gerakan ini sampai muncul dan memikirkan solusinya. Kan masalahnya banyak yang timbul dari sisi pemerintah, ya masa solusinya masyarakat yang harus memikirkannya?
Teman Penulis bahkan sampai berpendapat bahwa bisa bertahan hidup hari ini saja sudah luar biasa. Masih bisa napas pun sudah alhamdulillah, walau ia bercelutuk bernapas pun susah di Jakarta karena polusinya yang luar biasa.
Pertanyaan besarnya adalah, mau sampai kapan kita dibuat pusing oleh negara ini? Kita sudah berusaha menjalankan kewajiban kita sebagai warga negara dengan taat membayar pajak, tapi justru terus dizalimi seperti ini.
Mungkin memang sudah saatnya doa “ampunilah dosa para pemimpin kami” diganti dengan “berikanlah balasan yang setimpal kepada para pemimpin kami”. Yang jelas di bulan puasa yang sedang berlangsung saat ini, rasanya kita perlu banyak beristigfar dalam menghadapi berbagai masalah negara ini.
Lawang, 3 Maret 2025, terinspirasi setelah merasa pusing dengan kondisi negara saat ini
Sumber Featured Image:
Sumber Artikel:
Politik & Negara
Menatap Masa Depan IKN di Bawah Kepemimpinan Prabowo

Belakangan ini, berita seputar Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara relatif sepi. Tak banyak hal baru yang diulas oleh media, seolah tak ada update menarik. Pengerjaan proyek di sana tetap berlanjut dalam senyap.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengingat sudah lama digembar-gemborkan kalau ibu kota akan segera pindah dalam waktu dekat. Namun, Joko Widodo (Jokowi) hingga masa akhir jabatannya belum menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) untuk hal tersebut.
Dengan demikian, presiden terpilih Prabowo Subianto-lah yang mendapatkan tanggung jawab untuk membuat Keppres tersebut. Mengingat beliau telah menyatakan akan melanjutkan pembangunan IKN, rasanya hal tersebut tinggal menunggu waktu saja.
Menyorot IKN yang Problematik

Sudah Bermasalah Sejak Awal (Kompas)
Pada dasarnya, Penulis menyetujui ide untuk memindahkan ibu kota Indonesia keluar pulau Jawa, agar negara ini bisa mengurangi Jawasentrisnya. Selain itu, menghindari bencana alam seperti banjir dan pemerataan ekonomi menjadi alasan lainnya.
Namun, pada pelaksanaannya, ada banyak masalah yang disorot oleh berbagai pihak. Sejak hari pertama pengumumannya, menurut Penulis IKN ini sudah cukup bermasalah dan masalah tersebut terus bertambah setiap harinya.
Jokowi “meminta izin” untuk memindahkan ibu kota pada tanggal 16 Agustus 2019, setelah ia memastikan akan melanjutkan kepemimpinannya untuk periode kedua. Anehnya, agenda pemindahan ibu kota tidak ada dalam agenda kampanyenya.
Mega project ini pun tiba-tiba dimulai begitu saja. Logikanya, jika ini memang hal yang begitu penting dan dibutuhkan oleh masyarakat, mengapa tidak pernah disebutkan sekalipun dalam kampanyenya?
IKN pun mendapat stigma negatif sebagai ambisi Jokowi untuk menorehkan namanya dalam sejarah, sebagai presiden yang berhasil memindahkan ibu kota negara. Dalam kondisi ekonomi yang tidak sepenuhnya sehat, Jokowi seolah memaksakan keinginannya tersebut.
Setelah itu, masalah pun muncul satu demi satu. Yang paling Penulis sorot adalah tingginya konflik agraria dan perusakan lingkungan dalam pembangunan IKN. Entah sudah berapa yang sudah menjadi korban. Bahkan, untuk sekadar mendapatkan air bersih pun kesulitan.
Ironinya, pemerintah mengeluarkan peraturan untuk menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) hingga 190 tahun untuk menarik investor. Kebijakan ini sempat mendapatkan sorotan karena durasinya yang sangat panjang, bahkan lebih lama dari perjanjian zaman kolonial yang “hanya” mendapatkan jatah 75 tahun.
Sudah mengeluarkan kebijakan seperti itu, investor pun tetap sulit didapatkan. Hingga tulisan ini diterbitkan, masih belum jelas seberapa banyak investor, terutama dari asing, yang benar-benar telah mengeluarkan uang untuk pembangunan di IKN.
Selain itu, alasan pemerataan ekonomi kerap dianggap kurang masuk akal. Apalagi, muncul kesan elitisme karena adanya aturan yang membatasi masyarakat yang bisa tinggal di dalam IKN. Analoginya, masyarakat biasa tidak boleh tinggal di daerah Jakarta Pusat.
Sudah dibuat seperti itu pun, para elit politik yang memegang jabatan di pemerintahan berkali-kali menunjukkan keengganan untuk pindah ke IKN. Jika mereka enggan pindah, lantas buat apa membangun ibu kota baru yang sudah menghabiskan anggaran negara sekitar Rp72,1 triliun?
Penjabaran di atas rasanya sudah cukup untuk menjelaskan bahwa harus diakui pembangunan IKN ini cukup problematik. Jika Prabowo ingin meneruskan pembangunan IKN, tentu harus ada gebrakan-gebrakan agar bisa terus dilanjutkan.
Menatap Masa Depan IKN di Bawah Kepemimpinan Prabowo

Prabowo Ketika Mengumumkan Kenaikan Gaji Guru (Jawa Pos)
Sejak masa-masa pemilihan presiden (pilpres), Prabowo sudah mengampanyekan berbagai program yang cukup menguras anggaran. Yang paling terlihat tentu saja program makan siang gratis, yang tampaknya sedang serius direalisasikan.
Selain itu, belum lama ini Prabowo juga meneken keputusan untuk menaikkan gaji guru-guru se-Indonesia, yang tentu juga membutuhkan anggaran. Lantas, apakah masih ada anggaran untuk membangun IKN, terlebih jika investor belum ada yang masuk?
Masalahnya, jika negara kekurangan uang, maka yang akan menjadi korban adalah rakyat. Meskipun kenaikan PPN 12% diumumkan akan ditunda sementara waktu, bukan berarti kita akan terbebas dari berbagai jenis tarikan yang jelas merugikan kita.
Dalam tulisan “Malangnya Jadi Masyarakat Kelas Menengah yang Terus Digencet”, Penulis pernah menjelaskan bahwa ke depannya masyarakat kelas menengah akan terus diperas melalui berbagai jalur. Tentu sulit untuk tidak berpikir hal ini dilakukan karena pemerintah sedang membutuhkan uang.
Sedihnya, ketika masyrakat kelas menengah terus diperas, masyarakat kelas atas justru bisa menikmati Tax Amnesty. Bagi Penulis, hal ini terasa sangat tidak adil. Pemerintah harus hati-hati dengan permainan pajak ini, karena banyak kasus revolusi di suatu negara terjadi karena rakyatnya merasa tertekan dengan pajak yang tak masuk akal.
Semoga saja Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo bisa lebih bijak dalam mengelola keuangan negara. Jika memang tidak memungkinkan, menunda pembangunan IKN bukanlah hal yang memalukan, apalagi jika memang ada kebutuhan lain yang lebih urgent.
Melanjutkan pembangunan pun silakan saja, asal uangnya ada dan bukan berasal dari hasil memeras rakyat kecil. Kalau mau galak, silakan palak saja orang-orang kaya yang abai dalam membayar pajak, bukannya justru diberi Tax Amnesty.
Penulis yakin jika IKN memang dibangun untuk kemakmuran rakyat, pasti banyak masyarakat yang akan mendukung. Namun, jika dalam proses pembangunannya saja sudah banyak masalah dan ketidakadilan, tentu akan menimbulkan banyak kekhawatiran.
Lawang, 30 November 2024, terinspirasi setelah ingin menyelesaikan draft artikel ini yang tak selesai-selesai
Sumber Featured Image: Jawa Pos
Politik & Negara
Menatap 5 Tahun ke Depan Bersama Kabinet Merah Putih

Setelah dinanti-nanti, akhirnya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia untuk periode 2024 – 2029 pada hari Minggu (20/10) kemarin, mengakhiri era Joko Widodo yang menjadi presiden periode 2014 – 2024.
Jelang pelantikannya, isu-isu mengenai siapa saja yang ditunjuk untuk menjadi menteri di kabinet Prabowo-Gibran sudah banyak bermunculan. Ada yang terdengar ngawur (seperti Rocky Gerung dan Anies Baswedan yang katanya akan gabung), ada yang akurat.
Pengumuman daftar menteri ini pun datang di hari yang sama dengan pelantikan Prabowo-Gibran. Bernama Kabinet Merah Putih, ini akan menjadi salah satu kabinet paling gemuk dalam sejarah Indonesia.
Kabinet Merah Putih yang Gemuk

Alasan mengapa Kabinet Merah Putih bisa gemuk adalah karena disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 61 Tahun 2024 tentang Kementerian Negara oleh Joko Widodo hanya beberapa hari sebelum ia lengser.
Sebelum UU ini disahkan, memang telah santer terdengar kalau Prabowo akan memiliki 100 menteri seperti pada era Sukarno dulu. Untungnya, jumlah kementerian yang dibuat oleh Prabowo pada akhirnya tidak mencapai 100, tapi tetap bertambah secara signifikan.
Tentu ada banyak alasan normatif yang melatarbelakangi keputusan tersebut, seperti memang adanya pos-pos kementerian yang terlalu luas scope-nya hingga masalah fleksibilitas yang dimiliki oleh presiden.
Namun, tentu ada suara miring yang mengiringi keputusan ini, seperti agar pembagian “kue” bisa dilakukan lebih merata di antara elit politik. Apalagi, terbukti bahwa jumlah menteri yang dimiliki Prabowo mencapai 48 kementerian, bertambah 14 pos dari era Joko Widodo.
Perlu diingat kalau itu baru jumlah menterinya saja, karena masih ada banyak posisi-posisi yang hampir selevel dengan menteri seperti wakil menteri. Melansir dari Bisnis.com, total ada 136 orang dengan rincian sebagai berikut:
- 48 menteri (terdiri dari 7 menteri koordinator dan 41 menteri teknis)
- 5 orang kepala lembaga
- 56 orang wakil menteri (satu kementerian bisa memiliki lebih dari satu wakil menteri, seperti Kementerian Keuangan dengan tiga wakil menteri)
- 1 orang kepala dewan
- 26 orang lainnya, termasuk Staf Khusus Presiden, Utusan Khusus Presiden, dan Ketua Mahkamah Agung
Penulis tidak akan merinci siapa saja yang masuk ke dalam daftar tersebut, Pembaca bisa langsung mengaksesnya di situs Sekretariat Negara. Penulis hanya akan sedikit membahas beberapa orang yang ada di dalam kabinet ini.
Berbincang Mengenai Beberapa Menteri di Kabinet Merah Putih

Dalam kabinet yang disusun oleh Prabowo dan Gibran, ada beberapa pola yang bisa kita temukan. Ada nama lama yang tetap pada posisinya, ada nama lama yang bergeser posisinya, ada nama yang benar-benar baru.
Melansir dari Kompas, ada 12 menteri Jokowi yang tetap menempati pos yang sama dengan periode sebelumnya. Contohnya adalah Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan dan Erick Thohir sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Lalu, ada empat nama menteri lama yang digeser untuk menempati posisi lain. Contoh paling terlihat adalah Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi, yang selama menjabat kerap mengundang kontroversi, kini akan menjadi Menteri Koperasi.
Tentu Prabowo-Gibran memiliki pertimbangannya sendiri untuk memilih mereka tetap bertahan di kabinet. Mungkin karena dianggap mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, mungkin karena ingin melanjutkan program-program dari periode sebelumnya, mungkin karena “titipan”, ada banyak kemungkinannya.
Nah, selain 16 nama tersebut, bisa dibilang mereka semua adalah orang baru yang pada periode sebelumnya tidak menjabat sebagai menteri, seperti Fadli Zon (Menteri Kebudayaan) dan Maruarar Sirait (Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman).
Bahkan, ada juga mantan lawan Prabowo-Gibran di pemilu presiden (pilpres) 2024, yakni Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin sebagai Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat. Ini memperpanjang “rekor” Cak Imin (dan PKB) yang selalu berada di pihak pemerintah selama 20 tahun terakhir.
Sebagai catatan, ada juga yang dulu sekali pernah menjadi menteri, dan kini kembali menjadi menteri, seperti Yusril Ihza Mahendra. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara ketika zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hal menarik lainnya adalah banyaknya nama public figure yang berhasil masuk ke dalam lingkaran istana. Contohnya adalah Giring Ganesha (Wakil Menteri Kebudayaan) dan Taufik Hidayat (Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga).
Tak hanya itu, ada juga Raffi Ahmad (Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni), Gus Miftah (Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan), hingga Yovie Widianto (Staf Khusus Presiden).
Menatap Lima Tahun ke Depan Bersama Kabinet Merah Putih

Tentu terlalu dini untuk menghakimi kinerja para menteri Kabinet Merah Putih. Lha mong mereka saja masih mendapatkan “pembekalan” dari Prabowo dan dikirim ke Magelang. Perlu diakui kalau langkah tersebut cukup menarik karena rasanya belum pernah dilakukan sebelumnya.
Namun, sebagai masyarakat Indonesia, baik yang kemarin waktu pilpres memilih Prabowo-Gibran maupun tidak, tentu kita menaruh harap kepada nama-nama yang masuk ke dalam kabinet Prabowo-Gibran agar bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik lagi.
Penulis pribadi memberikan perhatian khusus kepada pemecahan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi tiga kementerian, yakni menjadi:
- Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), dipimpin oleh Abdul Mu’ti
- Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek), dipimpin oleh Satryo Soemantri Brojonegoro
- Kementerian Kebudayaan, dipimpin oleh Fadli Zon
Seperti yang kita tahu, pendidikan Indonesia selama era Joko Widodo kerap mendapat kritikan, mulai dari masalah zonasi hingga kurikulum Merdeka. Belum lagi masalah viralnya pelajar Indonesia yang tidak bisa menjawab pertanyaan seputar pengetahuan dasar.
Penulis sedikit optimis dengan penunjukkan Abdul Mu’ti sebagai Kemendikdasmen, mengingat latar belakang beliau yang memang dari dunia pendidikan. Semoga saja para menteri yang baru bisa memperbaiki berbagai masalah pendidikan bangsa kita.
Untuk pos-pos kementerian yang lain, Penulis belum mau berkomentar banyak. Memang ada beberapa nama yang cukup bikin was-was, tapi tak sedikit yang bisa menumbuhkan optimisme. Sekali lagi, sekarang masih terlalu dini untuk menilai mereka.
Yang jelas, terlepas dari perbedaan kita di pilpres 2024 kemarin, marilah kita sama-sama berdoa dan berhadap kalau Prabowo-Gibran bersama kabinetnya bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik.
Lawang, 24 Oktober 2024, terinspirasi setelah melihat pengumuman daftar menteri yang bergabung ke dalam Kabinet Merah Putih
Foto Featured Image: Detik
Sumber Artikel:
- Presiden Joko Widodo Sahkan UU 61/2024 tentang Perubahan UU 39/2008 tentang Kementerian Negara – setkab.co.id
- Terlengkap! Daftar 136 Menteri hingga Utusan Khusus Kabinet Prabowo: Sri Mulyani, AHY, Raffi Ahmad – bisnis.com
- Daftar Menteri era Jokowi yang Masuk Kabinet Merah Putih Prabowo – Kompas
- Kemendikbudristek Dipecah Jadi 3, Para Menteri Baru Akan Berkantor Di Mana? – Detik
-
Non-Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca The Book of Everyday Things
-
Non-Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan
-
Renungan4 bulan ago
Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri
-
Musik4 bulan ago
Tier List Lagu-Lagu di Album “From Zero” Versi Saya
-
Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #28: Point City
-
Olahraga3 bulan ago
Apakah Manchester United Benar-Benar Telah Menjadi Klub Terkutuk?
-
Anime & Komik4 bulan ago
Ai Haibara adalah Karakter Favorit Saya di Detective Conan
-
Sosial Budaya4 bulan ago
Mengapa Tidak Pernah Ada Istilah “Laki-Laki Independen”?
You must be logged in to post a comment Login