Renungan
Manusia Dalam Tiga Babak
Penulis sekarang sedang membaca buku berjudul Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia karya Dr. P. A. Van der Weij. Belinya sudah lama, tapi beberapa bulan terletak begitu saja di rak.
Meskipun tidak bisa memahami semua isinya, buku tersebut mendorong Penulis untuk lebih merenungi tentang kehidupan kita sebagai manusia.
Salah satunya adalah tiga babak yang dialami oleh semua manusia: Lahir, Hidup, Mati.
Babak 1: Lahir
Kita tak pernah ingat ketika dilahirkan ke dunia. Tahu-tahu, kita sudah berada di suatu lingkungan keluarga atau lainnya. Itupun dibatasi oleh kemampuan daya ingat kita.
Kita dilahirkan ke dunia adalah suratan takdir yang tak bisa kita tolak. Kita berasal dari sesuatu yang hina (air mani), lantas ditiupkan roh ke dalam jasad kita.
Kita tak bisa memilih ingin dilahirkan dari rahim siapa. Ada yang terlahir dengan banjiran privilege, ada yang terlahir kurang sempurna, macam-macam.
Seandainya diberi pilihan antara dilahirkan atau tidak pernah dilahirkan sama sekali, mana yang akan kita pilih?
Babak 2: Hidup
Di antara tiga babak kehidupan manusia, hanya hidup yang bisa kita kendalikan. Itupun mendapat banyak pengaruh dari internal maupun eksternal.
Kehidupan yang dijalani oleh masing-masing manusia pasti berbeda. Ada yang hanya berusia beberapa menit, ada yang harus menjalani hidup panjang hingga ratusan tahun.
Terlepas dari itu, secara umum kehidupan manusia selalu berada di tahapan bayi, anak-anak, remaja, dewasa, dan akhirnya menjadi tua.
Ketika masih bayi, segala kebutuhan kita dipenuhi oleh orangtua atau orang yang merawat kita. Ketergantungan kita terhadap orang lain masih sangat besar.
Memasuki usia anak-anak, kita mulai belajar banyak hal dan mengenal orang lain di luar lingkungan kita tinggal. Masa remaja adalah masa peralihan sebelum menjajaki usia dewasa.
Setelah menjadi dewasa, kita mulai mengendalikan kehidupan kita sendiri, mengemudikan bahtera diri di gelombang laut kehidupan yang penuh gejolak, sembari menanti masa tua datang.
Masing-masing manusia akan menjalani kehidupan yang berbeda-beda dengan warnanya sendiri. Semua dijalani hingga ajal akhirnya menjemput.
Babak 3: Mati
Kematian kerap dianggap sebagai sesuatu yang mengerikan dan menyedihkan. Perpisahan dengan orang tercinta tentu akan menggoreskan luka yang dalam.
Bagi sebagian orang, kematian hanyalah awal dari sebuah kehidupan lain yang telah menanti di akhirat. Yang lain berpendapat setelah mati ya mati, tidak ada kehidupan lain.
Berbeda dengan kelahiran yang hampir pasti berasal dari rahim seorang wanita, kematian bisa bervariasi bentuknya. Ada yang tenang, ada yang tragis, dan lain sebagainya.
Mati adalah bagian terakhir dari tiga babak manusia. Mati adalah pengingat, kalau hidup yang kita jalani pasti akan memiliki garis akhir yang telah menanti di ujung sana.
Penutup
Sebenarnya istilah tiga babak ini sudah Penulis ketahui sejak lama melalui video klip grup band 30 Second to Mars yang berjudul Hurricane. Di sana, tertulis kalau manusia memiliki tiga babak yang sudah Penulis bahas di atas.
Biasanya, Penulis merenungi hal semacam ini menjelang tidur. Oleh karena itu, jangan heran kalau Penulis sering menderita insomnia yang cukup parah.
Jika ditarik kesimpulan, kita hanya bisa mengendalikan babak kedua, yakni hidup. Itupun ada banyak faktor internal maupun eksternal yang akan memengaruhi.
Artinya, selama kita masih hidup, sebisa mungkin kita memanfaatkannya untuk hal-hal yang baik. Jangan sampai waktu kita habis untuk hal yang kurang ada maknanya.
Kebayoran Lama, 1 Juni 2020, terinspirasi setelah membaca buku filsafat dan menonton video di YouTube
Foto: Mike Szczepanski
Renungan
Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri
Saat ini, Penulis sedang membaca buku Filsafat Moral karya Fahruddin Faiz, setelah sebelumnya menyelesaikan buku Filsafat Kebahagiaan (ulasan menyusul). Nah, ketika membaca bagian Hans Jonas, Penulis menemukan sesuatu yang menarik.
Dalam salah satu subbabnya, Faiz menjabarkan “Situasi Apokaliptik Teknologi” yang pernah disinggung oleh Jonas. Intinya, teknologi-teknologi yang diciptakan oleh manusia berpotensi mengakibatkan kiamat bagi peradaban manusia.
Menurut Jonas, semakin manusia mengembangkan teknologi, mereka semakin tidak mampu menguasai teknologi yang mereka ciptakan (hal. 79). Tanda-tandanya makin ke sini makin terlihat, di mana manusia semakin diperbudak oleh teknologi buatannya sendiri.
Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri
Diperbudak oleh Ciptaan Sendiri (cottonbro studio)
Ketika menuliskan opening di atas, teknologi apa yang pertama kali terlintas di pikiran? Mungkin mayoritas jawabannya adalah smartphone, internet, hingga media sosial. Jawaban itu benar, tapi yang memperbudak kita jauh lebih banyak dari itu.
Ketiga hal yang Penulis sebut di atas jelas telah menjadi keseharian kita. Pernah terbayang satu hari tanpa ketiganya? Rasanya kita sudah begitu tergantung kepadanya sehingga rasanya tak mungkin hidup tanpa ketiganya.
Sekarang bayangkan seandainya dunia tiba-tiba mengalami Internet Apocalypse, di mana tiba-tiba tidak ada lagi internet di dunia. Selain smarpthone kita menjadi nottoosmartphone, media sosial pun tak bakal bisa akses.
Lebih gawatnya lagi, kalau yang bekerja remote seperti Penulis, jelas kehilangan pekerjaan akan terjadi. Semua harus kembali manual seperti puluhan tahun yang lalu, dunia di mana belum ada internet.
Namun, sebenarnya ciptaan kita yang memperbudak tak hanya sebatas itu. Internet hanyalah sebagian kecil saja. Contoh lain yang tak kalah menyusahkan seandainya tiba-tiba lenyap adalah listrik. Seandainya internet tak hilang pun, akan percuma jika tidak ada listrik.
Bayangkan, tak ada tempat untuk menyimpan makan seperti kulkas, tak ada lampu untuk penerangan di malam hari, tak ada mesin cuci untuk membersihkan pakaian, tak ada komputer untuk bekerja, dan masih banyak lagi hal yang tak akan bisa kita lakukan.
Contoh lain, bayangkan dunia tanpa bensin. Kendaraan semewah Ferrari atau Lamborghini pun akan menjadi mesin yang tidak bisa melakukan apa-apa. Manusia diberi pilihan mau mengendarai kuda atau sepeda untuk bisa mencapai tujuan dengan cepat.
Jangan lupa, uang yang merupakan alat ciptaan manusia untuk mempermudah transaksi pun juga telah memperbudak kita sejak lama. Tentu Pembaca sudah bosan mendengar berita tentang bagaimana serakahnya manusia demi mendapatkan uang.
Manusia rela melakukan banyak hal tercela untuk bisa mendapatkan uang, yang ia gunakan untuk memenuhi hawa nafsunya yang tak berbatas. Kalau perlu menyengsarakan manusia satu negara, mereka akan melakukannya tanpa peduli sama sekali.
Contoh-contoh di atas rasanya sudah cukup memberikan gambaran bagaimana kita manusia sudah diperbudak dan dibuat ketergantungan dengan ciptaan kita sendiri. Apalagi, kita baru akan memasuki era AI yang tampaknya akan dengan mudah membuat kita ketergantungan.
Lantas, Apa yang Harus Kita Lakukan?
Apa Kita Siap Hidup Tanpa Internet? (YouTube)
Kita sekarang mengetahui bahwa manusia diperbudak oleh ciptaannya sendiri? Lantas, apa yang harus kita lakukan sebagai manusia agar tidak diperbudak oleh ciptaannya sendiri? Apakah kita harus kembali hidup ala zaman batu ketika kita belum menemukan apa-apa?
Kalau Penulis, rasanya sekarang kita berada di situasi yang hampir tidak memungkinkan untuk lepas seutuhnya segala hal yang telah kita ciptakan. Tak mungkin juga kita mengambil langkah ekstrem dan meninggalkan semua teknologi yang ada.
Menurut Penulis, apa yang dimaksud dari peringatan Hans adalah bagaimana kita sebagai manusia harus selalu ingat kalau teknologi yang kita buat adalah alat yang harus kita kendalikan, bukan kita yang justru oleh dikendalikan.
Sesederhana contoh media sosial, jangan mau kita terus diperbudak dengan terus melakukan scrolling tanpa batas dan membuat diri kita menjadi komoditas platform untuk dijual ke pengiklan. Kita harus bisa mengontrol durasi penggunaan media sosial kita.
Penggunaan listrik pun ada baiknya kita kontrol dengan bijaksana. Jangan di siang hari kita menyalakan semua lampu padahal ruangan cukup terang. Jangan mentang-mentang kita bisa bayar, lantas membuang-buang energi seperti itu.
Para ilmuwan atau siapapun itu yang telah menciptakan berbagai hal memang membuatnya untuk mempermudah kehidupan kita sebagai manusia. Kita harus berterima kasih kepada mereka karena hidup kita menjadi lebih mudah karena ciptaan-ciptaan mereka.
Selain itu, jangan sampai kita sebagai manusia justru akan dimusnahkan oleh ciptaan kita sendiri. Kepandaian manusia justru digunakan untuk membuat senjata pemusnah massal. Namun, itulah realita yang sedang terjadi saat ini.
Kutipan yang diucapkan oleh Jonas juga bisa diartikan bahwa ada masanya manusia akan membuat senjata yang ternyata tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Contoh mudahnya, lihat saja Ultron yang dihadapi oleh para Avengers.
Semoga saja hal tersebut tidak pernah terjadi, baik di masa kini maupun di masa depan. Semoga manusia cukup bijak untuk memanfaatkan ciptaan-ciptaannya. Jangan sampai kehidupan di bumi ini rusak hanya karena kita tidak mampu mengendalikan apa yang kita ciptakan.
***
Lawang, 29 November 2024, terinspirasi ketika membaca buku Filsafat Moral karya Fahruddin Faiz
Renungan
Bagaimana Jika Air Bersih di Bumi Habis?
Dalam beberapa hari terakhir, di daerah Penulis terjadi “krisis air” yang cukup menyusahkan, walau belum sampai tahap berbahaya. Penulis tidak mengetahui apa penyebabnya, tapi yang jelas tandon Penulis yang terletak di atas hampir tidak pernah terisi.
Untungnya, keran depan masih bisa mengalirkan air dengan lancar, sehingga setidaknya Penulis sekeluarga tinggal memasang selang hingga ke kamar mandi. Walau sedikit merepotkan, setidaknya “krisis air” ini masih bisa teratasi dengan baik.
Mengalami hal seperti ini membuat Penulis kembali merenungkan satu hal yang sebelumnya sudah sering direnungkan: bagaimana jika air bersih di bumi sampai habis? Mumpung momennya pas, Penulis ingin membahas tentang hal ini.
Pengalaman Krisis Air Paling Parah
Ilustrasi Krisis Air (AllianzGI)
Krisis air yang Penulis alami saat ini bukanlah yang paling parah yang pernah Penulis hadapi. Sewaktu magang di Tangerang, rumah teman Penulis sempat mengalami mati air sama sekali hingga kami harus pergi ke rumah saudaranya untuk meminta air.
Waktu itu, kami harus memasukkan air ke dalam tangki berwarna biru, lalu harus mengangkatnya ke mobil dan menurunkannya di rumah. Karena waktu itu magang, tentu tidak mungkin Penulis tidak mandi sebelum berangkat ke kantor.
Untuk menghemat, Penulis harus pandai-pandai mengelola air ketika mandi. Penulis ingat pernah memanfaatkan tidak sampai sepuluh guyuran gayung lengkap untuk sikat gigi, keramas, dan menyabuni badan. Segitunya untuk menghemat air yang berhenti mengalir.
Tentu saja pengalaman krisis tersebut tidak ada apa-apanya dengan orang lain, katakanlah di Afrika. Penulis ingat di salah satu video pesulap David Blaine, ada orang Afrika yang melatih kemampuan menyimpan air bersih di perutnya karena di negaranya, air bersih sangat sulit untuk didapatkan.
Jika mengingat hal-hal seperti ini, Penulis sering termenung ketika air bersih sedang melimpah. Misal ketika berwudhu, Penulis menyadari ada banyak sekali air bersih yang terbuang ketika transisi dari satu gerakan ke gerakan lain.
Saat krisis air seperti yang terjadi seperti sekarang, Penulis jadi harus benar-benar berhemat ketika berwudhu dengan tetap memastikan kalau semua bagian tubuh yang diwajibkan harus terkena air. Kira-kira butuh sekitar 10 gayung.
Dengan keterbatasan air seperti sekarang, Penulis jadi merasa bersyukur selama ini masih bisa menikmati air bersih yang sangat melimpah. Pertanyaan besarnya, sampai kapankah kita bisa menikmati air bersih seperti saat ini?
Kerusakan Alam yang Makin Parah
Pencemaran Air karena Hilirisasi (WALHI Sulsel)
Ada banyak sekali alasan mengapa Penulis berpendapat bahwa air bersih di bumi bisa saja akan sulit untuk diakses oleh manusia, bahkan yang tinggal di peradaban paling modern sekalipun. Satu alasan paling kuat adalah perusakan alam yang makin menggila.
Contoh yang paling dekat adalah bagaimana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang memengaruhi air bersih yang bisa dinikmati oleh warga sekitar. Dalam video dokumentasi yang dibuat oleh tim Narasi, bisa dilihat bagaimana perjuangan mereka untuk mendapatkan air bersih, termasuk harus mengeluarkan uang yang cukup besar.
Selain itu, proyek hilirisasi yang terjadi di berbagai tempat juga bisa mengakibatkan buruknya kualitas air penduduk sekitar. Hilirisasi yang ugal-ugalan membuat sumber air mereka menjadi tercemar dan tidak bisa dimanfaatkan seperti dulu lagi.
Belum lagi kebiasaan buruk kita untuk membuang sampah ke sungai. Kualitas air pun menjadi sangat tercemar seperti yang terjadi di banyak perkotaan, di mana kualitas airnya kalah jauh dari kualitas air di pedesaan.
Selain itu, jangan lupa kalau dalam peperangan, terkadang ada cara-cara jahat dengan meracuni sumber air. Tentu ini strategi yang tidak manusiawi dan dampaknya pun bisa mengakibatkan butterfly effect yang tidak sepele.
Tentu banyak manusia yang menyadari potensi hilangnya air bersih dari permukaan bumi. Para ilmuwan ataupun akademisi banyak yang berupaya untuk membuat teknologi untuk mengelola air-air yang awalnya tidak bisa digunakan menjadi bisa digunakan.
Namun, seberapa banyak orang yang dapat merasakan manfaat tersebut? Teknologi-teknologi semaju itu biasanya membutuhkan biaya yang tinggi. Jika teknologi tersebut memang bisa digunakan secara murah dan massal, tentu krisis air di dunia sudah bisa teratasi.
***
Perlu diingat bahwa meskipun planet bumi didominasi oleh air, hanya sekitar 2-3% air bersih yang bisa digunakan oleh manusia untuk berbagai kebutuhan. Sisanya merupakan air laut yang sangat sulit untuk dimanfaatkan karena tingginya kandungan garam yang dimiliki.
Jika air bersih di bumi sampai benar-benar habis, maka rasanya krisis akan terjadi di mana-mana. Perang untuk memperebutkan sumber air yang masih bersih sangat mungkin terjadi. Manusia yang bisa bermutasi dengan meminum air kotor akan menjadi spesies yang bertahan.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya kita lebih menghargai dan mensyukuri air bersih yang bisa kita nikmati dengan melimpah saat ini. Jangan membuang-buang air bersih untuk hal yang mubazir, gunakan dengan sebijak mungkin.
Lawang, 7 Oktober 2024, terinspirasi setelah air di rumah mengalami pengurangan volume
Foto Featured Image: illustrate Digital Ug
Renungan
Manusia adalah Makhluk Paling Berbahaya di Dunia Ini
Manusia, atau Homo sapiens, kerap dianggap sebagai makhluk paling sempurna yang ada di dunia ini. Dari sisi agama pun, manusia yang ditunjuk sebagai pemimpin di Bumi, bukan makhluk lain seperti singa, gajah, paus, ataupun kaktus.
Dibandingkan spesies lainnya, kita memang memiliki banyak kelebihan. Jika spesies lain menggunakan akalnya untuk sekadar bertahan hidup, maka manusia bisa menggunakannya untuk mendominasi dunia dan menguras segala isinya tanpa pernah merasa puas.
Hal terebut membuat manusia, bagi Penulis, adalah makhluk paling berbahaya yang ada di dunia ini. Tidak hanya berbahaya untuk spesies lainnya hingga menyebabkan kepunahan, manusia juga berbahaya untuk sesamanya dengan melakukan genosida.
Berbahayanya Manusia terhadap Spesies Lainnya
Penulis sedang membaca buku Sapiens Grafis Vol. 1 karya Yuval Noah Harari. Pada salah satu babnya, diceritakan bahwa sedang ada pengadilan terhadap nenek moyang Homo sapiens yang hidup di era awal-awal peradaban manusia.
Singkat cerita, intinya ketika manusia pertama kali melakukan migrasi ke Australia, tak lama setelah itu banyak spesies Australia yang mengalami kepunahan. Memang ada faktor lain yang menyebabkan hal tersebut, seperti perubahan iklim yang terjadi.
Ada banyak contoh kepunahan spesies yang disebutkan pada buku tersebut, seperti kanguru setinggi dua meter, singa berkantung, koala raksasa, burung tuna yang lebih besar dari burung unta modern, kadal sepanjang lima meter, hingga diprotodon raksasa.
Ini hanya salah satu contoh yang terjadi puluhan ribu tahun yang lalu. Kalau di era modern, kepunahan burung dodo di Mauritius menjadi contoh yang paling terkenal. Mereka merupakan jenis burung yang tak bisa terbang, sehingga spesies mereka hanya ada di pulau tersebut.
Karena burung dodo belum pernah melihat manusia sebelumnya, mereka santai-santai saja dan tidak merasa terancam. Hasilnya, hanya dalam waktu singkat mereka punah karena diburu oleh manusia sebagai bahan pangan. Tak tersisa satu ekor pun yang masih hidup saat ini.
Bahkan hingga hari ini, ada banyak sekali spesies yang terancam kepunahannya. Beberapa contohnya adalah badak jawa, eastern lowland gorilla, orangutan tapanuli, dan masih banyak lagi lainnya.
Namun, ternyata manusia tidak hanya berbahaya bagi spesies lain. Manusia juga sangat berbahaya kepada sesama manusia lainnya.
Berbahayanya Manusia terhadap Manusia Lainnya
Tak hanya memusnahkan spesies hewan, manusia pun dalam sejarahnya kerap memusnahkan sesama manusia lainnya, terutama kepada ras lain. Alasannya pun bervariasi, tapi kebanyakan karena ingin menguasai wilayah lain yang sebenarnya bukan miliknya.
Penulis baru saja menonton sebuah video dokumenter di YouTube dari kanal RealLifeLore yang membahas tentang apa yang tersembunyi di balik hutan Amazon yang misterius. Menurut video tersebut, hutan Amazon adalah salah satu wilayah di permukaan bumi yang masih diliputi banyak misteri.
Salah satu poin dari video tersebut adalah tentang banyaknya suku asli Amerika yang masih hidup di sana. Mereka adalah penduduk asli benua Amerika yang terpinggirkan sejak penjajahan bangsa Eropa ratusan tahun yang lalu.
Melalui video tersebut, diketahui bahwa ketika bangsa Eropa datang pertama kali, diperkirakan ada sekitar 8 juta penduduk asli Amerika yang hidup di sekitar Amazon. Dalam 4 abad saja, jumlah tersebut berkurang drastis hingga tersisa 1 juta penduduk. Pada tahun 1980-an, jumlahnya kembali menyusut hingga tersisa 200 ribu saja.
Data lain menunjukkan bahwa ketika bangsa Eropa datang, diperkirakan ada sekitar 145 juta manusia yang telah menempati benua Eropa. Dua abad kemudian (awal abad 17), jumlah tersebut habis sekitar 90-95% karena hanya tersisa 7 hingga 15 juta orang saja atau setara 130 juta orang telah tewas.
Ada juga data yang mengatakan bahwa dari bangsa Spanyol saja telah membunuh sekitar 8 juta penduduk asli Amerika. Ada juga yang menyebutkan sekitar ada 56 juta orang yang tewas hanya dalam waktu 100 tahun. Namun, ada data lain yang menyebutkan “hanya” 4,7 juta orang dari awal penjelajahan bangsa Eropa hingga awal abad 19.
Intinya, ada banyak sekali penduduk asli benua Amerika yang terbunuh oleh bangsa Eropa. Tanpa membenarkan perbuatannya, jumlah tersebut membuat genosida yang dilakukan oleh Adolf Hitler ke bangsa Yahudi jadi terlihat sangat kecil.
Mayoritas pengurangan tersebut tentu saja terjadi karena penjajahan dan perebutan wilayah yang dilakukan oleh bangsa barat, mulai dari Amerika Serikat, Spanyol, Portugal, dan bangsa-bangsa lainnya. Tak hanya itu, mereka pun membawa virus yang bagi masyarakat asli Amerika begitu mematikan karena mereka belum memiliki imunnya.
Kejadian seperti ini tak hanya terjadi di Amerika, tapi juga terjadi di banyak wilayah lainnya. Contohnya adalah suku Aborigin di Australia dan suku Maori yang kini menjadi minoritas di wilayahnya sendiri.
Mari Kita Renungkan…
Kita sebagai manusia ternyata telah menjadi makhluk yang paling berbahaya di muka bumi ini. Tak hanya memusnahkan spesien lain hingga punah, kita juga saling berperang satu sama lain demi memuaskan nafsu yang tak pernah bisa dipuaskan.
Jutaan penduduk asli Amerika yang mati karena penjajahan bangsa barat hanya salah satu contoh bagaimana kita sebagai manusia tak bisa menghargai sebuah nyawa. Peristiwa tersebut menjadi contoh bagaimana kita bisa dengan gampangnya melakukan genosida ke bangsa lain.
Coba kira renungkan kembali posisi kita di bumi ini: sebagai pemimpin di dunia, pantaskah manusia berbuat kerusakan sedemikian besarnya? Malaikat telah memprediksi hal ini dan mengutarakannya ke Tuhan, tapi Tuhan tetap percaya kepada kita.
Namun, kepercayaan tersebut telah kita rusak sepanjang sejarah. Keserakahan, ambisi, hingga nafsu telah menguasai manusia hingga rela berbuat apa saja tanpa memperhatikan hal lain. Kita seharusnya harus bisa hidup saling berdampingan dengan damai, entah dengan spesies lain maupun dengan sesama manusia.
Memang benar kalau semua kerusakan dan pembantaian yang telah terjadi pasti memiliki hikmahnya. Namun, itu tak bisa dijadikan sebagai pembenaran untuk melakukan perusakan demi perusakan, seolah tak tahu kapan harus berhenti merusak.
Bahkan hingga hari ini, ketika era kolonolialisme dan imperialisme (katanya) telah berakhir, peperangan masih terjadi di mana-mana. Perusakan alam dan pengerukan sumber daya secara tamak masih dilakukan. Ketidakpedulian terhadap lingkungan masih dilakukan.
Mari kita renungkan kembali bersama-sama apa peran kita sebenarnya sebagai manusia di dunia ini: apakah kita memang ditakdirkan untuk menjadi makhluk paling berbahaya di dunia dan melawan takdirnya sebagai pemimpin yang harusnya membawa kebaikan untuk dunia?
Lawang, 19 September 2024, terinspirasi setelah menonton video dokumenter tentang hutan Amazon yang menjadi rumah bagi penduduk asli Amerika
Foto Featured Image: History
Sumber Artikel:
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Musik5 bulan ago
I AM: IVE
-
Anime & Komik5 bulan ago
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang
-
Film & Serial4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Menonton Deadpool & Wolverine
-
Tokoh & Sejarah5 bulan ago
Bagaimana Amerika Serikat Mendapatkan Wilayahnya (Bagian 1)
-
Olahraga5 bulan ago
Dua Drama di Dua Pertandingan Euro 2024 yang Membosankan
-
Permainan3 bulan ago
Koleksi Board Game #22: Chinatown
You must be logged in to post a comment Login