Connect with us

Sosial Budaya

Yang Salah dari Privilege

Published

on

Permasalahan mengenai privilege yang sedang ramai beberapa waktu lalu benar-benar mengusik rasa ingin tahu penulis. Saking besarnya rasa penasaran tersebut, penulis sampai ingin menuliskan sekuel dari tulisan Apa yang Salah dari Privilege?

Pada tulisan kali ini, penulis ingin mengulas beberapa hal yang belum sempat diulas pada tulisan sebelumnya. Penulis ingin menekankan apa yang salah dengan privilege yang dimiliki oleh seseorang dan mengapa privilege bukan satu-satunya faktor penentu.

Yang Salah dengan Privilege

Putri Tanjung dan Ayahnya (Asianet.id)

Semua orang memiliki taraf privilege yang berbeda-beda, tergantung bagaimana mereka memandang kehidupan mereka sendiri. Yang sering disorot adalah privilege kekayaan dan jabatan.

Contoh yang cukup menghebohkan adalah ketika Putri Tanjung diangkat sebagai Staf Khusus Presiden. Banyak yang menuding bahwa ia bisa meraih jabatan tersebut karena ayahnya merupakan pebisnis terkenal, Chairil Tanjung.

Banyak yang mengkritik perempuan tersebut karena ia terlihat seolah mengingkari privilege yang dimiliki. Mengingkari privilege yang dimiliki adalah hal yang salah menurut penulis.

Jika mau terlihat sarkas, sikap tersebut seolah ingin menertawakan usaha orang-orang yang tidak memiliki privilege. Coba bayangkan mereka berkata seperti ini di media sosial:

“Kalau aku bisa, kamu pasti bisa.”

Kalau kata-kata seperti itu keluar, dijamin SJW di Twitter akan langsung muncul dan memberi hujatan kepadanya. Tak jarang ada yang akan membandingkan kehidupannya dengan kehidupan sang pemilik privilege.

Menurut teman kantor penulis, orang-orang yang memiliki privilege lebih seharusnya lebih memikirkan kesejahteraan bersama. Contohnya adalah Cinta Laura yang memanfaatkan kekayaan yang dimiliki dengan membangun sekolah,

Penulis sangat sepakat di sini. Sudah sewajarnya orang-orang dengan privilege membantu orang-orang yang tidak seberuntung mereka.

Lanjutnya, peran pemerintah dibutuhkan di sini untuk memangkas jarak antara yang memiliki privilege dengan yang tidak. Masalah sehari-hari seperti akses sekolah saja sudah sangat membantu.

Akan tetapi, mungkin kita melupakan sesuatu di sini.

Orang dengan Privilege Juga Butuh Kerja Keras

Kenapa Angela Bisa Jadi Wamen? (Finroll.com)

Penulis sepakat bahwa privilege memberikan keuntungan yang sangat besar. Sebuah jurnal berjudul Effect of Growing up Poor on Labor Market Outcomes: Evidence from Indonesia menunjukkan hal tersebut.

Singkat kata, penelitian tersebut telah melakukan penelitian  kepada 22 ribu orang yang berasal dari 13 provinsi di Indonesia (83% populasi).

Hasilnya, mereka yang berasal dari keluarga miskin memiliki pendapatan 87% lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang lahir dari keluarga berkecukupan.

Walaupun begitu, penulis percaya orang-orang dengan privilege juga berusaha keras demi bisa mencapai sesuatu. Lebih mudah, sudah pasti. Tapi tetap ada usaha yang mereka keluarkan dan ini yang seringkali diabaikan.

Putri Tanjung mungkin bisa bikin usaha yang membuatnya dilirik presiden karena minta modal dan bantuan koneksi ke bapaknya. Tapi kalau ia tidak mampu mengaturnya dengan baik, hasilnya pasti jelek.

Maudy Ayunda sudah menempuh pendidikan di sekolah internasional sejak kecil. Tapi kalau ia tidak rajin belajar, pasti tidak akan dilema memilih universitas dunia.

Kalau anaknya Hary Tanoe yang jadi wakil menteri, penulis juga kurang tahu dia ngapain sampai bisa masuk ke dalam kabinet. Kalau ada yang tahu, mungkin bisa kasih tahu penulis.

Kita hanya melihat sisi yang terlihat dari mereka. Padahal, penulis yakin banyak sekali sisi-sisi yang tidak terlihat dan luput dari pengamatan kita.

Anak-anak pengusaha sukses misalnya. Mereka pasti menanggung beban nama besar orangtuanya. Sedikit-sedikit pasti dibandingkan, seolah tidak bisa lepas dan menjadi individu yang mandiri.

Banyak contoh anak-anak orang kaya dan terkenal, gagal memaksimalkan privilege yang dimiliki. Mereka hanya sekadar memanfaatkan privilege yang dimiliki untuk kepentingannya sendiri dan berfoya-foya. Inilah yang salah.

Yang penulis khawatirkan, orang-orang akan menjadi rendah diri dan merasa dirinya tidak akan sukses karena merasa tidak miliki privilege.

Bisakah Sukses Tanpa Privilege?

Raeni, Sekolah Sampai S3 di Inggris (Beritagar)

Masalahnya, manusia cenderung menyukai bad news dibandingkan dengan good news. Sukses karena privilege termasuk bad news, sedangkan sukses tanpa privilege termasuk good news.

Banyak kisah sukses orang-orang tanpa privilege (walaupun kebanyakan dari kita punya privilege dalam bentuk yang berbeda) yang hanya muncul sebentar, lantas dilupakan oleh orang.

Penulis mencoba mencari berita tentang Raeni, anak tukang becak yang berhasil mendapatkan gelar sarjana. Ternyata, ia sedang melanjutkan studi di Inggris. Sedihnya, berita ini kurang terekspos ke publik.

Beberapa hari yang lalu, ibu penulis mengirimkan sebuah video melalui Instagram. Video tersebut benar-benar menampar penulis.

Bagaimana tidak, ada seorang pemain biola yang tidak memiliki tangan. Walaupun begitu, ia masih bisa mengalunkan musik dengan indahnya.

Lihat, memiliki anggota tubuh yang lengkap pun bisa menjadi sebuah privilege bagi kita. Oleh karena itu, jangan sampai menggunakan privilege orang lain sebagai kambing hitam atas ketidaksuksesan kita.

Kalau mau jujur, kita pun sekarang bekerja keras agar keturunan kita bisa mendapatkan privilege yang lebih baik dari kita. Kecuali, kalau kita tidak memiliki keinginan untuk menikah dan memiliki anak.

Penutup

Privilege penulis akui memberikan keuntungan yang sangat besar. Ibarat lomba lari, ia sudah berada 1 kilometer di depan orang yang tidak memiliki privilege. Tapi penulis percaya ada variabel-variabel lain yang akan memengaruhi hasil pertandingan.

Bisa saja, yang mendapatkan privilege mendapatkan cedera sehingga bisa disalip. Atau mungkin yang punya privilege terlalu sombong hingga memutuskan untuk tidur dulu, sehingga ia pada akhirnya kalah.

Kita tidak bisa memilih untuk mendapatkan privilege atau tidak ketika lahir. Akan tetapi, kita bisa memilih untuk menggunakan privilege tersebut secara bijak.

Bagaimana dengan yang tidak memiliki privilege? Karena “jaraknya” dengan yang punya privilege cukup jauh, usaha yang dikerahkan pun harus lebih besar.

Berarti tidak adil? Kalau melihat dengan kacamata manusia mungkin iya. Tapi penulis yakin Tuhan punya takaran keadilan-Nya sendiri yang kadang tidak bisa dipahami manusia.

Toh, semua yang terjadi di dunia ini karena kehendak-Nya. Memang terdengar klise, tapi penulis benar-benar meyakini hal tersebut.

 

 

Kebayoran Lama, 8 Desember 2019, terinspirasi dengan segala topik terkait privilege

Foto: Mommies Daily

Sumber Artikel: Kompas, DNK

Sosial Budaya

Artikel pada Tulisan Ini Dibuat Menggunakan AI (ChatGPT)

Published

on

By

Dalam era digital yang semakin maju, kehadiran kecerdasan buatan (AI) telah mengubah banyak aspek kehidupan kita, termasuk dalam dunia penulisan. Tulisan ini bukanlah hasil dari pikiran manusia, melainkan buatan dari salah satu kecerdasan buatan terkemuka, yaitu GPT-3.5, yang dikembangkan oleh OpenAI.

Mari kita menjelajahi keunikan dan kemampuan luar biasa teknologi ini dalam menciptakan konten tulisan sepanjang 500 kata ini!

Kelebihan yang Dimiliki oleh AI dalam Penulisan

Penting untuk dicatat bahwa kecerdasan buatan bukanlah pengganti kreativitas manusia, melainkan alat yang dapat memperluas dan meningkatkan kapabilitas penulisan. GPT-3.5 menggunakan teknologi deep learning yang memungkinkannya memahami dan merespons teks dengan cara yang menyerupai cara manusia berpikir.

Dengan memanfaatkan model bahasa yang sangat besar, AI dapat menghasilkan tulisan yang nyaris tak terkalahkan dalam segi gramatika dan sintaksis.

Salah satu keunggulan utama kecerdasan buatan dalam penulisan adalah kecepatan. Manusia membutuhkan waktu dan usaha yang cukup untuk menghasilkan tulisan sepanjang 500 kata, sementara GPT-3.5 dapat menciptakan konten serupa dalam hitungan detik.

Ini dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam menghasilkan berbagai jenis konten, mulai dari artikel blog hingga ulasan produk.

Selain itu, kecerdasan buatan juga memiliki kemampuan untuk mengakses dan memproses informasi dalam jumlah besar dengan cepat.

GPT-3.5 dapat menyusun tulisan dengan merujuk pada basis data besar yang dimilikinya, mencakup berbagai topik dari sumber-sumber terkemuka. Ini membantu memastikan bahwa tulisan yang dihasilkan tidak hanya informatif, tetapi juga akurat.

Artikel Ini Dibuat Menggunakan ChatGPT Versi Gratis (Analytics Insight)

Dilema Penggunaan AI dalam Penulisan

Namun, seiring dengan segala keunggulan, ada juga tantangan dan pertimbangan etika terkait penggunaan kecerdasan buatan dalam penulisan. Seberapa jauh kita boleh mengandalkan AI dalam menyampaikan informasi dan gagasan? Apakah kecerdasan buatan dapat menggantikan nilai-nilai manusiawi seperti kreativitas, empati, dan pengalaman pribadi?

Tentu saja, AI seperti GPT-3.5 tidak memiliki pengalaman pribadi, perasaan, atau pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman langsung. Ini hanya sebuah algoritma yang memproses dan memahami pola dari data yang telah diolah sebelumnya.

Oleh karena itu, sementara kecerdasan buatan dapat menghasilkan tulisan yang mengesankan, mereka tidak dapat memberikan wawasan mendalam yang hanya dapat diperoleh melalui pengalaman manusia.

Penutup

Dalam mengakhiri tulisan ini, kita perlu mengakui bahwa teknologi kecerdasan buatan adalah alat yang kuat yang dapat memberikan kontribusi besar dalam berbagai bidang, termasuk penulisan.

Namun, kita juga harus menyadari keterbatasannya dan menjaga keseimbangan antara kecepatan dan efisiensi yang ditawarkan oleh AI dengan nilai-nilai kemanusiaan yang tidak dapat diabaikan.

Sementara AI dapat membantu dalam banyak hal, daya kreasi dan kedalaman emosi tetap menjadi ciri khas khusus manusia dalam dunia penulisan.


Lawang, 23 April 2024, terinspirasi setelah semakin menyadari kalau kita harus hidup berdampingan dengan AI, bukan merasa terancam

Foto Featured Image: Aberdeen

Continue Reading

Sosial Budaya

Dear Gen Z, Saingan Kerja Kalian Nanti Bukan Manusia, tapi AI

Published

on

By

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan Artificial Intelligence (AI) begitu masif hingga ke tahap yang menakutkan. Banyak orang menyuarakan ketakutan bagaimana AI bisa menggantikan peran manusia di berbagai bidang pekerjaan.

Salah satu contohnya adalah bagaimana Writers Guild of America (WGA) dan The Screen Actors Guild-American Federation of Television and Radio Artists (SAG-AFTRA) melakukan aksi mogok karena, salah satu alasannya, menentang adanya AI ini di tempat kerja mereka.

Jika menengok ke situs https://www.insidr.ai/, ada begitu banyak tools AI yang bisa digunakan untuk mempermudah dan mempercepat pekerjaan, sehingga kebutuhan manpower di sebuah perusahaan bisa dikurangi untuk memangkas biaya.

Pertanyaannya, sebagai generasi yang akan langsung berhadapan dengan AI, apakah para Gen Z sudah siap untuk bersaing?

Baru Mau Kerja, Langsung Lawan AI

Gen Z Sedang Berpacu Melawan AI (Pearson Accelerated Pathways)

Jika mengacu pada pendapat Jean Twenge, Gen Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1995 hingga 2012. Sedangkan menurut Pew Research Center, range tahun lahir Gen Z adalah antara tahun 1997 hingga 2012.

Berdasarkan tahun lahir tersebut, tentu Gen Z yang lahir di tahun 90-an kemungkinan besar sudah merasakan bagaimana persaingan di dunia kerja. Untuk yang lahir di tahun 2000 ke atas, mayoritas baru kerja atau baru lulus dari bangku kuliah.

Nah, apesnya, mereka masuk ke dunia kerja di saat AI sedang booming. Pekerjaan yang dulunya terlihat aman dan tak akan tergantikan oleh mesin nyatanya bisa saja digantikan. Dari bidang Penulis saja, pekerjaan menulis dan mendesain sudah bisa dikerjakan oleh AI.

Artinya, para Gen Z terutama yang lahir di tahun 2000 ke atas harus menghadapi kenyataan kalau saingan mereka di dunia kerja bukan hanya manusia, tapi juga harus melawan AI. Persaingan kerja yang aslinya sudah ketat menjadi jauh lebih ketat lagi.

Para bos perusahaan tentu mempertimbangkan untuk menggunakan AI jika memang terbukti lebih cepat dan murah. Bayangkan jika manusia membutuhkan 1 jam untuk menulis satu artikel pendek, mungkin AI hanya butuh sekian menit atau bahkan detik saja.

Untuk urusan akting saja sudah ada wacana untuk menggunakan AI, sehingga SAG-AFTRA melakukan aksi mogok yang dampaknya begitu luar biasa. Menurut World Economic Forum, tahun 2025 diprediksi akan ada 85 juta pekerjaan yang akan berpotensi diganti oleh AI.

Bahkan sebelum AI ini ramai seperti sekarang, banyak bidang pekerjaan yang telah digantikan oleh mesin. Contoh yang paling mudah adalah pegawai gerbang tol yang diganti Gardu Tol Otomatis (GTO) dan mesin order otomatis di restoran cepat saji.

Penulis belum mendalami secara menyeluruh bidang apa saja yang sangat berpotensi untuk digantikan AI. Namun, contoh yang Penulis sebutkan membuktikan kalau tidak ada bidang yang benar-benar aman untuk digantikan.

Lawan AI, Kita Harus Apa?

Bagaimana Cara Melawan AI? (CU Management)

Pada tulisan Mario Savio dan Pidatonya akan Bahaya Mesin (AI), Penulis sudah menuliskan bahwa salah satu cara untuk bisa survive dari persaingan kerja melawan AI ini adalah dengan terus mengasah skill kita, terutama yang sekiranya tidak tergantikan oleh AI.

Bisa dibilang, hingga saat ini manusia masih unggul untuk masalah kreativitas dan imajinasi. AI masih terasa terbatas untuk kedua hal tersebut, meskipun tidak menutup kemungkinan beberapa tahun lagi mereka bisa menyusul kemampuan kita.

Perlu dicatat kalau AI yang ada sekarang baru permulaan saja. Di masa depan, akan terus hadir AI-AI yang lebih canggih. Bahkan, sudah ada istilah Artificial General Intellegence (AGI) yang berusaha meniru konsep berpikir manusia serealistis mungkin. Terdengar seram, bukan?

Kabar baiknya, kemunculan AI kemungkinan besar juga akan melahirkan ladang pekerjaan baru. Masih menurut World Economic Forum, diproyeksikan akan ada 93 juta lapangan pekerjaan baru yang tercipta karena kemunculan AI.

Lho, bukannya tadi katanya kita harus bersaing dengan AI? Iya, itu benar, untuk pekerjaan-pekerjaan yang bisa diotomatisasi dengan AI. Namun, jangan lupa kalau AI masih membutuhkan orang untuk mengoperasikannya.

Iya, AI Masih Butuh Manusia untuk Dioperasikan.

Ilustrasi Pekerjaan Seorang AI Prompter (Generative AI)

Secanggih-canggihnya tools AI, mereka belum bisa mengoperasikan dirinya sendiri. Bahkan, autoblogging.ai yang mampu menghasilkan artikel berkualitas saja masih butuh manusia untuk memasukkan prompt atau perintah agar bisa generate tulisan.

Secanggih-canggihnya tools untuk membuat gambar tertentu, mereka belum bisa membuat gambar berdasarkan imajinasinya sendiri. Mereka membutuhkan imajinasi manusia untuk bisa menghasilkan gambar yang telah diperintahkan.

Oleh karena itu, selain terus melakukan upgrade diri dengan mempelajari skill-skill tertentu, kita juga harus bisa beradaptasi dengan cara belajar untuk menguasai tools-tools AI tersebut. Istilah kerennya adalah AI Prompter.

Secara sederhananya, AI Prompter bertanggung jawab untuk menuliskan sebuah perintah AI agar bisa memberikan hasil terbaik secara spesifik. Untuk bisa menguasainya, dibutuhkan beberapa basic skill seperti kemampuan menulis dan analitikal.

Selain AI Prompter tentu masih banyak ladang pekerjaan di seputar AI. Hanya saja, Penulis belum benar-benar memahaminya, sehingga tidak memasukkannya di tulisan ini. Yang jelas, AI bisa menjadi ancaman sekaligus peluang untuk kita.

Penutup

Bisa menguasai AI, termasuk menjadi seorang AI Prompter, adalah bentuk adaptasi kita sebagai manusia atas perubahan zaman. Kita harus bisa menerima kenyataan untuk hidup berdampingan dengan AI.

Menolak kehadiran AI sama dengan bagaimana pedagang di Tanah Abang menolak TikTok Shop dan ojek pangkalan menolak kemunculan ojek online. Kemunculan AI adalah disrupsi di berbagai bidang industri yang tak terhindarkan.

Maka dari itu, pilihan yang kita miliki sekarang adalah menyerah dengan keberadaan AI atau justru membalikkan keadaan dengan berusaha menguasai AI. Kita harus bisa memanfaatkan AI agar tidak terlindas zaman begitu saja.


Foto Featured Image: LinkedIn

Sumber Artikel:

Continue Reading

Sosial Budaya

Pro dan Kontra Boikot Produk (Pendukung) Israel

Published

on

By

Semenjak serangan Hamas yang terjadi pada tanggal 7 Oktober 2023 silam, tensi dunia terhadap konflik yang berkepanjangan antara Palestina dan Israel pun meninggi. Banyaknya korban yang berjatuhan membuat aksi protes terjadi di mana-mana.

Salah satu gerakan yang paling masif dilakukan adalah BDS Movement, yang merupakan singkatan dari Boycott, Divestment, Sanction. Ini sudah terjadi di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia sendiri yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak.

Namun, boikot yang dilakukan terhadap produk-produk pendukung Israel menuai pro dan kontra. Ada yang menganggap ini sebagai bentuk keberpihakan, ada yang menganggap ini tidak berpengaruh dan hanya menyusahkan tenaga kerja kita sendiri

Dalam tulisan kali ini, Penulis akan memberikan berbagai perspektif yang sudah dirinya pelajari dalam beberapa waktu terakhir ini. Disclaimer, tulisan ini tidak bertujuan untuk menggiring opini para Pembaca sekalian.

Selain itu, Penulis juga tidak akan membahas mengenai penyebab konflik Palestina dan Israel karena sudah pernah menuliskannya di tulisan lain. Untuk Pembaca yang belum sempat membacanya, tautannya Penulis letakkan di bawah ini:

Apa Itu Boikot dan Mengapa Dilakukan?

Aksi Seruan Boikot (The Intercept)

Secara sederhana, boikot adalah sebuah aksi yang dilancarkan oleh sejumlah massa untuk tidak membeli sebuah produk buatan atau yang berafiliasi dengan pihak yang diboikot. Dalam kasus ini, boikot ditargetkan kepada produk-produk buatan Israel dan yang mendukung Israel.

Boikot bisa dikatakan sebagai langkah untuk menekan Israel dari segi ekonomi atas tindakannya yang semakin menekan Gaza setelah serangan Hamas, dengan dalih ingin memberantas pasukan Hamas sampai ke akarnya.

Alhasil, sejumlah produk yang secara terang-terangan mendukung Israel pun mulai terkena dampaknya. Beberapa gerai makanan cepat saji di negara mayoritas muslim seperti Timur Tengah terlihat sepi, bahkan nyaris kosong.

Di Indonesia sendiri, dari yang sejauh Penulis amati baik di sekelilingnya maupun di media sosial, ajakan gerakan boikot ini juga terjadi cukup masif. Apalagi, telah beredar nama-nama produk yang masuk ke dalam daftar boikot.

Apakah Boikot Efektif?

Apakah Boikot Efektif? (Middle East Monitor)

Lantas, apakah boikot benar-benar efektif? Penulis, hingga artikel ini ditulis, belum menemukan data yang menjelaskan berapa kerugian yang diderita oleh Israel semenjak adanya boikot ini.

Namun, sebagian orang berpendapat kalau boikot ini memang sejak awal tidak menargetkan untuk melemahkan ekonomi Israel yang sejatinya cukup kuat dan mendapatkan backing-an dari negara-negara Barat. Boikot ini adalah tentang keberpihakan.

Penulis membuat analogi seperti ini. Misal Penulis memiliki dua orang tetangga, yang satu sahabat Penulis dan yang satu lagi pemilik toko kelontong. Penulis sering membeli di toko tersebut. Akan tetapi, suatu ketika si pemilik toko berkonflik dan menyerang sahabat Penulis.

Merasa tidak terima, Penulis pun memutuskan untuk tidak membeli lagi di toko tersebut. Penulis melakukan boikot karena solidaritas kepada sahabat Penulis yang disakiti. Toko tersebut kehilangan satu konsumennya atas konsekuensi yang dilakukan pemiliknya.

Lantas, apakah toko tersebut akan menjadi bangkrut begitu saja? Tentu tidak, karena masih ada banyak pembeli lainnya yang tetap membeli di sana karena berbagai alasan seperti harganya yang terjangkau. Penulis tidak lagi membeli di sana karena berpihak ke sahabatnya.

Itu pula yang terjadi saat ini di antara konflik Palestina dan Israel. Kaum Pro-Palestina melakukan boikot terhadap produk-produk yang menyatakan dukungan kepada Israel secara terang-terangan dan memberikan bantuan dalam peperangan.

Apa yang dilakukan oleh mereka adalah bentuk solidaritas kepada Palestina. “Karena kamu mendukung Israel yang merupakan musuh Palestina, maka kami tidak akan membeli lagi produk-produkmu,” kurang lebih seperti itu premisnya.

Kalaupun ada yang berniat ingin melumpuhkan ekonomi Israel, ya tidak apa-apa. Ketika Nabi Ibrahim dibakar, sekelompok semut berusaha memadamkannya dengan tenaganya yang kecil, menyiprat-nyipratkan air ke api tersebut.

Usaha mereka pun ditertawakan oleh burung gagak karena dianggap tidak akan memberikan pengaruh apa-apa. Namun, semut berkata, “Walaupun upayaku ini tidak terlalu berdampak, setidaknya Allah tahu di mana kami berpihak.”

Boikot kok Pilih-Pilih?

Beberapa Produk yang Kerap Diserukan untuk Diboikot (YouTube)

Bagi mereka yang kontra terhadap boikot, sering muncul pertanyaan, “Kalau begitu, boikot semuanya dong, jangan pilih-pilih!” Sebenarnya ekspresi ini wajar saja, di mana pihak pro-boikot dituntut untuk menunjukkan konsistensinya.

Seperti yang kita tahu, produk-produk teknologi dan digital seperti Google, Microsoft, Meta (Facebook) juga menjadi salah satu pendukung Israel yang paling vokal. Namun, produk-produk mereka masih digunakan untuk mereka yang mengklaim dirinya pro-boikot.

Mengutip dari berbagai ustaz yang Penulis lihat di media sosial (yang merupakan buatan Meta dan Google), pada dasarnya boikot yang dilakukan ini adalah meminimalisir penggunaan produk yang menjadi pendukung Israel.

Harus diakui kalau ada banyak sektor yang di mana kita sangat tergantung padanya. Contoh gampangnya adalah Instagram dan YouTube yang sudah menjadi keseharian kita. Apakah ada media lain yang sebanding dan bisa menggantikannya? Sampai saat ini belum ada.

Contoh lainnya adalah Windows buatan Microsoft atau Android buatan Google. Apakah ada sistem operasi alternatif yang bisa jadi penggantinya? Belum ada. Lantas, apakah kita bisa hidup tanpa produk tersebut? Bagi sebagian orang termasuk Penulis, jawabannya tidak.

Mengutip perkataan kawan Penulis, kita bisa menggunakan produk-produk tersebut untuk menyerukan kebaikan. Kita buat hal yang bermanfaat atau bahkan menyerukan kemerdekaan Palestina menggunakan media-media tersebut.

Nah, kalau sudah ada produk yang sebanding, maka para pro-boikot menganjurkan untuk menggantinya. Lebih baik lagi kalau menggantinya dengan produk-produk lokal, hitung-hitung mendukung produk buatan negeri sendiri.

Lantas, Bagaimana dengan Nasib Pekerja?

Pekerja di Salah Satu Perusahaan yang Sedang Diboikot (Fortune)

Salah satu dilema yang dihadapi oleh pro-boikot adalah dampak yang diterima oleh para pekerjanya, yang notabene menggantungkan hidup melalui produk-produk yang diboikot. Padahal, mereka semua belum tentu menjadi pendukung Israel.

Jika boikot berlangsung masif, bukan tidak mungkin omset perusahaan akan menurun yang akan memicu layoff besar-besaran. McDonald’s di Mesir mengatakan penjualan turun hingga 70%, sedangkan di Malaysia turun di kisaran 20%.

Harus diakui kalau boikot akan memengaruhi kehidupan banyak orang. Penulis pernah menemukan sebuah curhatan dari abang Grab yang mengatakan pendapatannya menurut drastis karena aksi boikot ini, apalagi Grab juga jadi salah satu sasaran boikot.

Namun, ini opini pribadinya, Penulis meyakini kalau rezeki itu diatur Tuhan, bukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Penulis meyakini kalau Tuhan tidak akan diam saja jika boikot ini sampai membuat banyak saudara kita kehilangan pekerjaan.

Ketika kita melakukan boikot terhadap sebuah produk, otomatis kita akan beralih ke produk lain. Jadi, secara hitung-hitungan matematis sebenarnya kebutuhan masyarakat tidak berkurang, hanya berpindah saja.

Idealnya, ketika kita beralih ke produk lain (termasuk produk lokal), maka omset mereka naik. Karena demand naik, maka mereka akan membuka lowongan-lowongan pekerjaan baru. Ini memang too good to be true dan utopis, tapi Penulis meyakini kalau hal ini bisa terjadi.

Mungkin ada yang beranggapakan kalau Penulis bisa ngomong seenteng itu karena tidak bekerja di sana, dan itu ada benarnya. Jika Penulis bekerja di sana dan terancam terkena layoff karena boikot, mungkin Penulis tidak akan berpikir setenang itu.

Namun, sejauh yang Penulis temukan lewat media sosial, justru mereka yang bekerja di sana terlihat lebih legawa. Abang Grab yang Penulis sebutkan tadi justru berkata dirinya ikhlas karena itu bagian dari perjuangannya mendukung Palestina.

Dalam kasus lain, beberapa toko kelontong dan swalayan memutuskan untuk tidak menjual (bahkan membuang) produk-produk yang masuk ke dalam daftar boikot sebagai bentuk dukungan nyata mereka ke Palestina (walau ada yang tidak setuju karena jadi mubazir).

Pasti akan ada yang mengeluh mengapa di saat pekerjaan susah didapatkan seperti sekarang, kita justru membuat mereka kehilangan pekerjaan. Tak sedikit yang menuntut kepada pendukung boikot untuk “bertanggung jawab” atas hilangnya pekerjaan mereka.

Penutup

Jika sudah membaca sampai sini, mungkin para Pembaca akan menyimpulkan Penulis pro-boikot, dan itu memang benar. Jadi Penulis minta maaf jika Pembaca merasa opininya digiring, meskipun di atas sudah ada disclaimer kalau tidak ada niatan ke sana.

Yang perlu Pembaca ketahui, awalnya Penulis pun tidak pro-boikot. Sudah dampaknya tidak seberapa, yang kena getahnya justru masyarakat kita sendiri karena mereka berpotensi kehilangan pekerjaannya.

Hanya saja, semakin Penulis mendalami masalah perboikotan ini, hati nurani Penulis semakin terdorong untuk mendukung boikot yang sebenarnya bisa dianggap sebagai aksi paling damai dibandingkan mengangkat senjata yang belum tentu kita mampu.

Memang masih banyak aksi lain yang bisa kita lakukan untuk mendukung Palestina, seperti bersuara di media sosial dan memberikan sumbangan semampunya. Namun, tidak ada salahnya juga untuk menunjukkan keberpihakan kita dengan mendukung boikot.

Penulis juga berusaha mendengar bagaimana pendapat para ahli agama yang jelas iman dan ilmunya lebih tinggi dari Penulis. Karena mayoritas mendukung boikot, maka Penulis pun semakin mantap untuk pro-boikot.

Lantas, apakah yang kontra dengan boikot itu salah? Jelas tidak sama sekali. Mereka juga punya pertimbangan masing-masing yang Penulis yakini juga didasari atas kebaikan dan kemanusiaan.

Oleh karena itu, silakan mau pro ataupun kontra terhadap gerakan boikot produk-produk Israel dan pendukungnya. Mari kita saling menghargai pilihan masing-masing tanpa menghakimi dan merasa dirinya yang paling benar.


Foto Banner: Middle East Monitor

Sumber Artikel:

Continue Reading

Facebook

Tag

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan