Connect with us

Buku

Setelah Membaca Kim Ji-yeong

Published

on

Penulis selalu mengakui bahwa dirinya tidak terlalu memahami apa itu feminisme. Apa yang diminta? Kesetaraan dalam hal apa? Hanya ingin mendobrak patriarki?

Atas dasar itulah penulis memutuskan untuk membeli novel berjudul Kim Ji-yeong: Lahir Tahun 1982 yang satu ini. Penulis mengetahui buku karya Cho Nam-joo yang satu ini karena sedang diangkat menjadi sebuah film dan hype-nya cukup tinggi.

Keputusan untuk membeli novel ini ternyata tepat, karena penulis jadi sedikit memahami apa yang diinginkan oleh kaum feminisme.

SPOILER ALERT!

Apa Isi Buku Ini?

Cerita dibuka pada musim gugur tahun 2015. Kim Ji-yeong telah menikah dengan Jeong Dae-hyeon dan memiliki seorang putri. Sang suami mulai menemukan keanehan pada istri yang terlihat (atau terdengar) seperti orang lain.

Puncaknya adalah ketika mereka sekeluarga sedang berkunjung ke orangtua Dae-hyeon. Ji-yeong terdengar seperti orangtuanya dan bertengkar dengan mertuanya.

Karena kejadian tersebut, Dae-hyeon pun memutuskan untuk membawa istrinya ke psikiater untuk mengetahui apakah istrinya sedang mengalami depresi.

Setelah itu, kita akan melihat kilas balik kehidupan Ji-yeong, mulai ketika dilahirkan hingga menjadi seorang istri, Ji-yeong lahir di sebuah keluarga sederhana dengan sepasang ayah ibu, satu kakak perempuan, satu adik laki-laki, dan seorang nenek.

Sama seperti kebanyakan keluarga Korea pada masa itu (atau hingga sekarang?), punya seorang anak-laki-laki jauh lebih membanggakan dibandingkan dengan memiliki seorang anak perempuan.

Yang mengejutkan, banyak pasangan di Korea yang memilih untuk mengaborsi anaknya jika ternyata perempuan. Jika pun pada akhirnya anak tersebut lahir, keluarga akan menganakemaskan anak laki-lakinya.

Kondisi seperti itulah yang dialami oleh Ji-yeong. Neneknya begitu membanggakan dan memanjakan adik laki-lakinya. Ia dan kakak perempuannya seolah tidak dianggap. Hal ini berlangsung hingga sang nenek meninggal dunia.

Selanjutnya, kita akan melihat perjalanan hidup Ji-yeong ketika di sekolah, masuk universitas, hingga mendapatkan pekerjaan. Kita akan melihat bagaimana ketidakadilan masyarakat Korea dalam memandang gender secara terus-menerus.

Kisah ditutup dari sudut pandang psikiater yang memeriksa Ji-yeong. Dari sana, kita akan melihat contoh langsung bagaimana kesetaraan gender memang menjadi salah satu masalah besar di Korea.

Setelah Membaca Kim Ji-yeong

Banyak penggemar Korea yang bercita-cita untuk tinggal di Korea. Penulis yakin, mereka belum pernah membaca atau menonton Kim Ji-yeong.

Selain perlakuan rasis yang kental, Korea juga terkenal sebagai negara yang ultranasionalis dan tidak ramah kepada pendatang. Tinggal di Korea jelas tidak seindah yang terlihat di dramanya.

Berbicara tentang buku ini, ada banyak sekali poin yang ingin penulis ulas. Penulis akan memulai dari gaya berceritanya terlebih dahulu.

Novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga yang berfokus pada karakter Kim Ji-yeong. Novelnya tipis, penulis bisa menghabiskannya dalam waktu kurang lebih dua jam.

Kisah hidup Ji-yeong dituturkan secara runtut dari masa kecil hingga dewasa agar kita mengetahui bagaimana ia bisa mengalami kondisi kejiwaan tertentu ketika berusia 34 tahun.

Nam-joo selaku penulis novel ini juga menyisipkan banyak data yang berkaitan tentang ketidaksamarataan gender di Korea. Tak jarang ia menunjukkan sumber-sumber literasi yang mendukung fakta novelnya.

Akibatnya, novel ini terlihat seperti sebuah laporan tentang gender yang dikemas dalam bentuk cerita. Langkah tersebut penulis anggap cemerlang, karena orang akan menjadi lebih tertarik untuk membacanya.

Kemungkinan besar, itulah tujuan Nam-joo menerbitkan novel ini: ingin menunjukkan kepada dunia bagaimana praktik patrarki masih sangat kental di Korea Selatan di saat desakan kesetaraan gender making menggema.

Jika disuruh menyebutkan kekurangan novel ini, mungkin karena nama orang Korea yang mirip-mirip membuat penulis sedikit bingung. Selain itu, tidak ada masalah berarti.

Novel ini lumayan berhasil menguras emosi penulis, seolah bisa merasakan beban yang ditanggung tokoh utama. Penulis tak pernah menyangka menjadi seorang laki-laki bisa memberikan privilege sedemikian besar.

Novel Kim Ji-yeong ini sangat penulis rekomendasikan untuk semua kalangan, terutama yang ingin lebih mendalami masalah feminisme. Banyak sekali wawasan-wawasan baru yang akan didapatkan dari novel ini.

 

Nilainya: 4.3/5.0

 

 

Kebayoran Lama, 7 Desember 2019, terinspirasi setelah membaca buku Kim Ji-yeong karya Cho Nam-joo

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Ngomongin Uang

Published

on

By

Dalam beberapa tahun terakhir, keuangan menjadi salah satu topik yang sedang banyak dipelajari mengingat usia Penulis sekarang sudah berkepala tiga. Meskipun bisa dibilang terlambat, rasanya tidak ada salahnya untuk tetap mempelajarinya.

Sumber-sumber belajar keuangan pun tentu dari banyak medium, mulai dari YouTube, media sosial, hingga buku. Salah satu buku yang pernah Penulis baca adalah The Psychology of Money karya Morgan Housel. Sayangnya, Penulis merasa buku ini kurang praktis untuk diterapkan dalam keseharian.

Nah, waktu tahu akun Instagram Ngomongin Uang akan menerbitkan sebuah buku tentang keuangan, Penulis langsung merasa tertarik karena telah mengikuti akun tersebut cukup lama dan senang dengan ulasan-ulasan yang mereka buat.

Hasilnya, timbul perasaan menyesal karena harusnya Penulis membaca buku seperti ini bertahun-tahun yang lalu.

Detail Buku Ngomongin Uang

  • Judul: Ngomongin Uang: Menjadi ‘Kaya” Versi Kamu Sendiri
  • Penulis: Glenn Ardi
  • Penerbit: Penerbit Buku Kompas
  • Cetakan:
  • Tanggal Terbit:
  • Tebal: 244 halaman
  • ISBN: 9786231606204
  • Harga: Rp125.000

Sinopsis Buku Ngomongin Uang

Kekayaan sering kali bukan hanya soal uang atau status sosial. Kekayaan yang sesungguhnya bersifat sangat personal, karena setiap orang mendefinisikan kesuksesan dan kebahagiaannya dengan cara yang berbeda.

Namun, apa pun definisi kekayaan bagi kamu, UANG adalah alat ukur dan kendaraan yang bisa membawamu mencapai tujuan. Karena itulah, memahami keuangan adalah hal yang fundamental dalam membangun kehidupan terbaik versi kamu. Buku ini hadir untuk kamu yang merasa keuangannya mandek, kamu yang overthinking dan terus membandingkan dirimu dengan kesuksesan orang lain, dan kamu yang merasa masa depan keuangan kamu suram—Yuk, kita Ngomongin Uang!

Karena ngomongin uang telah mengubah hidup saya! Membuat hidup saya lebih terencana, memberi rasa aman, kedamaian, kebebasan, sekaligus rasa kecukupan. Buku ini bukan soal motivasi sukses atau cara cepat kaya, tetapi buku ini akan membuat kamu menjadi ‘KAYA’ versi kamu sendiri.

Isi Buku Ngomongin Uang

Sesuai dengan judulnya, buku Ngomongin Uang akan membahas tentang uang dari banyak sudut pandang. Buku ini membahas banyak hal yang sebenarnya cukup generik, mulai dari sejarah uang, cara-cara mendapatkan uang, penjelasan tentang investasi, dan lain sebagainya.

Buku ini terdiri dari 13 bab yang menarik dan dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi menarik yang digambar oleh Ariawan. Masing-masing bab memiliki kedalaman yang bervariasi, tergantung seberapa panjang topik yang dibahas. Ketigabelas bab tersebut adalah:

  • Bab 1: Cerita Terbentuknya Uang
  • Bab 2: Nilai Uang yang Selalu Berubah
  • Bab 3: Tahap Prioritas Keuangan
  • Bab 4: Ciri Khas Calon Orang Kaya
  • Bab 5: Perhatikan Pengeluaran Kamu
  • Bab 6: Jalan Menuju Kekayaan
  • Bab 7: Memaknai Arti Kekayaan
  • Bab 8: Kaya Menurut Versi Kamu Sendiri
  • Bab 9: Investasi Itu untuk Apa?
  • Bab 10: Gimana Caranya Beli Rumah?
  • Bab 11: Perlukah Membeli Mobil?
  • Bab 12: Fenomena Sandwich Generation
  • Bab 13: Hidup Tanpa Bekerja Lagi
  • Penutup: Apakah Saat Ini Saya Sudah Kaya?

Secara singkat, dua bab pertama membantu kita memahami apa itu uang dan mengapa benda tersebut bisa menjadi sesuatu yang sangat penting, bahkan “dituhankan” oleh sebagian manusia. Sebagai orang yang suka sejarah, bab-bab awal ini sangat menarik.

Bab 3 hingga 9 membahas tentang kekayaan dan pengelolaan uang yang kita miliki. Kaya tidak selalu berarti punya harta yang melimpah dan tak akan habis. Masing-masing dari kita bisa memiliki definisi kayanya sendiri.

Bab 9 hingga 11 membahas mengenai topik investasi dan pertimbangan-pertimbangan apakah kita perlu membeli aset seperti rumah dan mobil. Seperti yang kita tahu, kondisi saat ini membuat banyak orang kesulitan untuk membeli aset-aset tersebut, sehingga investasi menjadi penting.

Dua bab terakhir merupakan tambahan insight menarik seputar dunia keuangan terutama pembahasan sandwich generation, sebuah fenomena yang kerap terjadi saat ini di mana seseorang harus menghidupi orang lain dan keluarganya sendiri.

Setelah Membaca Ngomongin Uang

Begitu selesai menyelesaikan buku ini (dengan waktu yang relatif singkat), Penulis merasa termenung. Seharusnya, ilmu-ilmu keuangan yang ada di buku ini sudah dibahas di sekolah, agar ketika siswa beranjak dewasa, mereka telah memiliki bekal ilmu keuangan yang cukup.

Buku Ngomongin Uang, sejujurnya memang hanya mengajarkan hal-hal fundamental tentang keuangan. Namun, dasar-dasar tersebut tidak pernah diajarkan ke kita saat masih sekolah, bahkan ketika kuliah pun tidak ilmunya kecuali kita kuliah jurusan yang berhubungan dengan keuangan.

Apalagi, bahasa yang digunakan dalam buku ini benar-benar mudah dipahami. Itu juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Penulis mampu menyelesaikan buku ini dengan cepat. Walau begitu, ilmu yang bisa kita dapatkan tidak main-main.

Buku ini tidak mengajak kita untuk mati-matian mengejar uang selama hidup di dunia ini. Sebaliknya, kita diajak untuk bisa bijaksana dalam menyikapi uang. Posisikan uang sebagai sebuah alat, bukan sebagai sebuah tujuan.

Topik-topik yang diangkat di buku ini juga related dengan kehidupan sehari-hari kita, sehingga buku ini pun terasa dekat. Isu-isu seperti harga rumah yang makin mahal dan fenomena sandwich generation dibahas di sini dengan menarik.

Selain itu, ilustrasi-ilustrasi yang terdapat pada buku ini juga mempertahankan ciri khas yang dimiliki oleh akun Instagram Ngomongin Uang. Ilustrasi yang terdapat dalam buku ini tidak hanya menjadi pemanis, karena terkadang membantu kita memahami poin yang ingin disampaikan.

Penulis berharap kalau buku ini akan memiliki sekuel yang akan lebih detail dan membahas topik-topik keuangan yang lebih berat. Seandainya ada, Penulis tanpa ragu akan langsung membelinya untuk menambah ilmu keuangannya. Mungkin itu juga yang menjadi kekurangan buku ini: isinya kurang banyak.

Intinya, buku ini sangat Penulis rekomendasikan untuk siapa saja. Keuangan adalah topik yang jarang dibahas secara umum di ruang publik. Memahami ilmu-ilmu dasarnya bisa membantu kita untuk memiliki dan mengelola keuangan kita lebih baik lagi di masa depan.

Skor: 9/10


Lawang, 28 September 2024, terinspirasi setelah membaca buku Ngomongin Uang karya Glenn Ardi

Continue Reading

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Buku Seni Menyederhanakan Hidup

Published

on

By

Sebagai orang yang mudah overthinking, wajar jika Penulis gemar membaca buku-buku yang bisa membantu dirinya mengatasi hal tersebut. Salah satu pola pikir adalah bagaimana dirinya bisa menyederhanakan pikirannya sendiri agar tidak menjadi terlalu rumit.

Dengan alasan tersebut, ketika Penulis menemukan buku berjudul Seni Menyederhanakan Hidup karya Shunmyo Masuno, Penulis langsung tertarik membelinya. Padahal, waktu itu di toko buku tidak ada sample buku yang terbuka untuk mengetahui seperti apa isinya.

Walau begitu, Penulis pada akhirnya tetap memutuskan untuk membeli buku tersebut walau kesannya seperti membeli kucing dalam karung. Alasannya, buku ini cukup tipis dan murah sehingga rasanya nothing to lose saja. Sayang, ternyata Penulis salah.

Detail Buku Seni Menyederhanakan Hidup

  • Judul: Seni Menyederhanakan Hidup
  • Penulis: Shunmyo Masuno
  • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan: Cetakan Keempat
  • Tanggal Terbit: Maret 2024
  • Tebal: 224 halaman
  • ISBN: 9786020631950
  • Harga: Rp69.000

Sinopsi Buku Seni Menyederhanakan Hidup

DENGAN PELAJARAN YANG JELAS, PRAKTIS, DAN MUDAH DITERAPKAN, SHUNMYO MASUNO MEMANFAATKAN KEBIJAKAN YANG TELAH BERUSIA BERABAD-ABAD UNTUK MENGAJARI KITA MENYEDERHANAKAN HIDUP DAN MENEMUKAN KEBAHAGIAAN DI TENGAH PUSARAN DUNIA MODERN.

Cari Tahu mengapa….

Bangun lima belas menit lebih awal di pagi hari dapat membuat kita merasa tidak terlalu sibuk

Menjejerkan sepatu dengan rapi setelah melepasnya dapat menjadikan pikiran kita teratur

Mengatupkan kedua tangan dapat meredakan rasa tersakiti dan konflik

Meletakkan sendok garpu setelah menelan makanan dapat membantu kita merasa lebih bersyukur atas apa yang kita miliki

Menanam bunga dan menyaksikannya tumbuh dapat mengajari kita untuk menerima perubahan

Menyaksikan matahari terbenam bisa membuat setiap hari terasa seperti perayaan

Dengan melakukannya setiap hari, kita akan belajar menemukan kebahagiaan bukan dengan mencari pengalaman luar biasa, tetapi dengan membuat perubahan kecil dalam hidup serta membuka diri pada perasaan damai dan ketenangan batin yang baru

Isi Buku Seni Menyederhanakan Hidup

Setelah membuka buku ini, Penulis baru menyadari bahwa penulis buku ini, Shunmyo Masuno, adalah seorang pendeta Buddhis Zen, sehingga poin-poin kebiasaan yang disampaikan pun berkaitan dengan kepercayaan yang ia anut.

Secara total, buku ini memiliki 100 kebiasaan yang disarankan untuk kita terapkan dalam keseharian. 100 kebiasaan tersebut dibagi ke dalam empat bab utama, yakni:

  1. Bagian Satu: 30 Cara untuk Membugarkan “Diri-Saat-Ini”
  2. Bagian Dua: 30 Cara untuk Mengilhami Kepercayaan-Diri dan Keberanian untuk Hidup
  3. Bagian Tiga: 20 Cara untuk Meredakan Kebingungan dan Kecemasan
  4. Bagian Empat: 20 Cara untuk Menjadikan Setiap Hari adalah Hari yang Baik

Di setiap poin kebiasaan, ada satu ilustrasi minimalis dan penjabaran poin yang sebenarnya sudah cukup jelas di bagian judul. Satu poin biasanya hanya berisi satu halaman paragraf, sehingga terlihat ada banyak bagian yang kosong.

Setelah Membaca Buku Seni Menyederhanakan Hidup

Ada sedikit kekecewaan ketika membaca buku ini. Pasalnya, tips-tips yang diberikan bisa dibilang tidak istimewa dan kerap kita temukan di media sosial. Apalagi, elaborasi setiap poinnya juga terasa kurang mendalam.

Penulis tidak mempermasalahkan ajaran Buddhis Zen yang ia gunakan, mengingat banyak ajaran-ajarannya yang sebenarnya juga diajarkan dalam Islam. Namun, isinya memang terlalu umum sehingga kurang membekas bagi Penulis

Tentu semua petuah-petuah yang dituangkan dalam buku ini bijaksana dan mudah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang kerap bermasalah dengan diri dan pikirannya sendiri. Bahasanya pun ringan dan mudah dipahami.

Namun, rasanya buku ini terasa kurang padat dan akan mudah terlupakan begitu saja. Apalagi, ilustrasinya cukup memakan ruang pada halaman buku. Jika disuruh menyebutkan kembali isi poin buku tersebut, Penulis hanya akan mengingat poin-poin yang ada di bagian sinopsis saja.

Waktu membeli buku ini, ekspektasi Penulis adalah tips-tips mengenai aktivitas sederhana apa saja yang harus kita lakukan dalam keseharian. Pada bagian sinopsis, kita bisa melihat contohnya seperti bangun lebih awal dan menanam bunga.

Sayangnya, dalam buku ini mayoritas rekomendasi kebiasaan yang diberikan justru tentang pikiran atau hati kita. Bukan bermaksud mengecilkan, tapi yang seperti itu sudah sering Penulis baca di buku-buku self-improvement lainnya.

Mungkin ini bisa menjadi pelajaran untuk Penulis agar tidak membeli buku jika tidak mengetahui seperti apa isinya. Kalau seperti ini, memang jadinya seperti membeli kucing di dalam karung. Rasa kecewa pun muncul karena isinya tidak sesuai dengan ekspektasi.

Skor: 5/10


Lawang, 14 September 2024, terinspirasi setelah membaca buku Seni Menyederhanakan Hidup karya Shunmyo Masuno

Continue Reading

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Buku Building a Second Brain

Published

on

By

Penulis merasa dirinya cukup terobsesi dengan produktivitas karena merasa dirinya selama ini masih jauh dari kata tersebut. Salah satu alasan Penulis membuat rubrik Produktivitas di blog ini adalah untuk memotivasi dirinya sendiri.

Tidak hanya itu, Penulis pun banyak membeli buku-buku seputar topik produktivitas. Salah satu yang baru saja Penulis selesaikan adalah Building a Second Brain karya Tiago Forte. Buku ini langsung menarik perhatian Penulis begitu membaca sinopsisnya.

Apalagi, di atas sinopsisnya, ada testimoni dari seorang content creator terkenal, Kevin Anggara. Ia mengatakan kalau buku ini telah memberikan pelajaran untuknya yang bisa diaplikasikan dalam keseharian untuk hidup yang lebih produktif.

Detail Buku Building a Second Brain

  • Judul: Building a Second Brain
  • Penulis: Tiago Forte
  • Penerbit: Renebook
  • Cetakan: Pertama
  • Tanggal Terbit: Februari 2024
  • Tebal: 302 halaman
  • ISBN: 9786236083772
  • Harga: Rp115.000

Sinopsis Buku Building a Second Brain

Sudah saatnya kita memaksimalkan kemampuan otak kedua. Setiap hari, kita menyerap berbagai informasi melalui media sosial, siniar, media massa, dan kanal video digital. Namun, jarang sekali kita mampu mengingat seluruh informasi itu.

Pada akhirnya, banyak hal yang telah kita dapatkan hilang begitu saja. Bahkan, sering kali kita kesulitan untuk menemukan kembali informasi tersebut saat dibutuhkan.

Oleh karena itu, melalui buku Building a Second Brain, Tiago Forte mengajak kita untuk membangun otak kedua. Sebuah kemampuan memanfaatkan perangkat digital yang terbukti ampuh untuk menyortir, mengelola, dan menyimpan semua ide kita.

Akhirnya, kita tidak akan lagi kesulitan dalam mengingat hal-hal yang diperlukan. Bersiaplah menjadi pribadi yang produktif dan kreatif ketika otak kedua telah aktif.

Isi Buku Building a Second Brain

Buku ini menekankan mengenai betapa butuhnya kita sebuah “otak kedua” karena otak yang berada di dalam kepala kita tidak akan mampu menampung semua informasi dan data yang masuk. Sering kan merasa lupa akan suatu informasi ketika dibutuhkan?

Tiago Forte hadir untuk memberikan solusi atas permasalahan tersebut melalui buku ini. Pertama, kita tentu membutuhkan sebuah platform digital yang akan dipilih untuk menjadi otak kedua kita.

Platform tersebut tentu harus mudah diakses dan bisa digunakan kapan saja dan di mana saja, jadi harus tersedia di gawai yang kita gunakan sehari-hari. Ada banyak sekali aplikasi catatan yang bisa digunakan, tapi Penulis pribadi memilih untuk menggunakan Notion.

Dalam buku ini, ada banyak tips-tips yang bisa diaplikasikan ke dalam sehari-hari, tapi poin utama dari buku ini adalah sebuah metode bernama CODE, yakni Capture (Menangkap Ide), Organize (Mengorganisir), Distrill (Menemukan Inti Sari), Express (Mengekspresikan)

Dengan adanya metode ini, ide-ide yang muncul di benak kita pun akan tersimpan dengan lebih rapi. Peluang untuk terlupakan pun menjadi lebih kecil. Namun perlu diingat, ide yang disimpan pun akan menjadi percuma jika tidak ada realisasinya.

Tidak hanya CODE, Forte juga memberikan tips menyimpan informasi dengan sistem PARA, yakni Projects, Areas, Resources, Archives. Intinya, semua data dan informasi yang kita miliki dibagi menjadi ke dalam empat folder tersebut.

Projects berisi apapun seputar proyek yang sedang kita kerjakan dalam waktu dekat. Areas berisi apapun seputar proyak yang sifatnya jangka panjang. Resources berisi apapun yang menarik bagi kita dan tidak memiliki tenggat waktu. Archives berisi apapun yang tidak masuk ke dalam kategori di atas.

Setelah Membaca Building a Second Brain

Building a Second Brain ditulis dengan tujuan membantu pembacanya untuk menciptakan sebuah otak kedua agar semua ide, informasi, data, dan sebagainya bisa terkumpul dalam satu platform yang mudah diakses. Tujuan tersebut menurut Penulis berhasil dicapai.

Meskipun belum menerapkan semua isi buku ini, Penulis sudah mulai “mencicil” untuk membuat otak kedua melalui Notion. Meskipun baru sebatas untuk kebutuhan blog, ke depannya Penulis akan mengembangkan otak keduanya tersebut untuk hal lain.

Dalam menjabarkan poin-poinnya, Forte memberikan contoh berdasarkan apa yang telah ia lakukan. Jadi, contoh-contoh yang ada benar-benar konkrit dan jelas karena sudah dilakukan oleh si penulis buku ini.

Sayangnya, bagi Penulis buku ini cukup teknis dan ribet. Forte seolah ingin mengatakan bahwa proses membuat otak kedua tidak mudah dan memiliki banyak tahapan, sehingga orang-orang malas seperti Penulis pun tak akan mengikuti semua tipsnya.

Selain itu, Penulis juga merasa setiap bab yang membahas CODE terlampau panjang, sehingga esensi poinnya jadi kurang bisa tertangkap. Jika disuruh menjelaskan dengan detail apa itu CODE, jujur Penulis tidak sanggup.

Namun, secara garis besar, buku ini berhasil memberikan insight mengenai betapa butuhnya kita akan otak kedua di era yang keberlimpahan informasi seperti sekarang ini. Meskipun beberapa isinya terlalu teknis, tetap ada banyak hal-hal yang bisa kita terapkan dalam keseharian.

Penulis merekomendasikan buku ini untuk Pembaca yang merasa selama ini sering melupakan banyak hal karena otak utamanya tidak sanggup menyimpan semuanya. Membangun otak kedua secara efektif menjadi salah satu solusi terbaiknya.

Skor: 7/10


Lawang, 7 September 2024, terinspirasi setelah membaca buku Building a Second Brain karya Tiago Forte

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan