Connect with us

Buku

Setelah Membaca Kim Ji-yeong

Published

on

Penulis selalu mengakui bahwa dirinya tidak terlalu memahami apa itu feminisme. Apa yang diminta? Kesetaraan dalam hal apa? Hanya ingin mendobrak patriarki?

Atas dasar itulah penulis memutuskan untuk membeli novel berjudul Kim Ji-yeong: Lahir Tahun 1982 yang satu ini. Penulis mengetahui buku karya Cho Nam-joo yang satu ini karena sedang diangkat menjadi sebuah film dan hype-nya cukup tinggi.

Keputusan untuk membeli novel ini ternyata tepat, karena penulis jadi sedikit memahami apa yang diinginkan oleh kaum feminisme.

SPOILER ALERT!

Apa Isi Buku Ini?

Cerita dibuka pada musim gugur tahun 2015. Kim Ji-yeong telah menikah dengan Jeong Dae-hyeon dan memiliki seorang putri. Sang suami mulai menemukan keanehan pada istri yang terlihat (atau terdengar) seperti orang lain.

Puncaknya adalah ketika mereka sekeluarga sedang berkunjung ke orangtua Dae-hyeon. Ji-yeong terdengar seperti orangtuanya dan bertengkar dengan mertuanya.

Karena kejadian tersebut, Dae-hyeon pun memutuskan untuk membawa istrinya ke psikiater untuk mengetahui apakah istrinya sedang mengalami depresi.

Setelah itu, kita akan melihat kilas balik kehidupan Ji-yeong, mulai ketika dilahirkan hingga menjadi seorang istri, Ji-yeong lahir di sebuah keluarga sederhana dengan sepasang ayah ibu, satu kakak perempuan, satu adik laki-laki, dan seorang nenek.

Sama seperti kebanyakan keluarga Korea pada masa itu (atau hingga sekarang?), punya seorang anak-laki-laki jauh lebih membanggakan dibandingkan dengan memiliki seorang anak perempuan.

Yang mengejutkan, banyak pasangan di Korea yang memilih untuk mengaborsi anaknya jika ternyata perempuan. Jika pun pada akhirnya anak tersebut lahir, keluarga akan menganakemaskan anak laki-lakinya.

Kondisi seperti itulah yang dialami oleh Ji-yeong. Neneknya begitu membanggakan dan memanjakan adik laki-lakinya. Ia dan kakak perempuannya seolah tidak dianggap. Hal ini berlangsung hingga sang nenek meninggal dunia.

Selanjutnya, kita akan melihat perjalanan hidup Ji-yeong ketika di sekolah, masuk universitas, hingga mendapatkan pekerjaan. Kita akan melihat bagaimana ketidakadilan masyarakat Korea dalam memandang gender secara terus-menerus.

Kisah ditutup dari sudut pandang psikiater yang memeriksa Ji-yeong. Dari sana, kita akan melihat contoh langsung bagaimana kesetaraan gender memang menjadi salah satu masalah besar di Korea.

Setelah Membaca Kim Ji-yeong

Banyak penggemar Korea yang bercita-cita untuk tinggal di Korea. Penulis yakin, mereka belum pernah membaca atau menonton Kim Ji-yeong.

Selain perlakuan rasis yang kental, Korea juga terkenal sebagai negara yang ultranasionalis dan tidak ramah kepada pendatang. Tinggal di Korea jelas tidak seindah yang terlihat di dramanya.

Berbicara tentang buku ini, ada banyak sekali poin yang ingin penulis ulas. Penulis akan memulai dari gaya berceritanya terlebih dahulu.

Novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga yang berfokus pada karakter Kim Ji-yeong. Novelnya tipis, penulis bisa menghabiskannya dalam waktu kurang lebih dua jam.

Kisah hidup Ji-yeong dituturkan secara runtut dari masa kecil hingga dewasa agar kita mengetahui bagaimana ia bisa mengalami kondisi kejiwaan tertentu ketika berusia 34 tahun.

Nam-joo selaku penulis novel ini juga menyisipkan banyak data yang berkaitan tentang ketidaksamarataan gender di Korea. Tak jarang ia menunjukkan sumber-sumber literasi yang mendukung fakta novelnya.

Akibatnya, novel ini terlihat seperti sebuah laporan tentang gender yang dikemas dalam bentuk cerita. Langkah tersebut penulis anggap cemerlang, karena orang akan menjadi lebih tertarik untuk membacanya.

Kemungkinan besar, itulah tujuan Nam-joo menerbitkan novel ini: ingin menunjukkan kepada dunia bagaimana praktik patrarki masih sangat kental di Korea Selatan di saat desakan kesetaraan gender making menggema.

Jika disuruh menyebutkan kekurangan novel ini, mungkin karena nama orang Korea yang mirip-mirip membuat penulis sedikit bingung. Selain itu, tidak ada masalah berarti.

Novel ini lumayan berhasil menguras emosi penulis, seolah bisa merasakan beban yang ditanggung tokoh utama. Penulis tak pernah menyangka menjadi seorang laki-laki bisa memberikan privilege sedemikian besar.

Novel Kim Ji-yeong ini sangat penulis rekomendasikan untuk semua kalangan, terutama yang ingin lebih mendalami masalah feminisme. Banyak sekali wawasan-wawasan baru yang akan didapatkan dari novel ini.

 

Nilainya: 4.3/5.0

 

 

Kebayoran Lama, 7 Desember 2019, terinspirasi setelah membaca buku Kim Ji-yeong karya Cho Nam-joo

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang

Published

on

By

Jika disuruh menyebutkan salah satu penulis favoritnya, maka Penulis akan menyebutkan nama Seno Gumira Ajidarma. Tidak hanya karya sastranya yang ada banyak, Penulis juga membaca beberapa kumpulan tulisan esainya.

Beberapa buku non-fiksi dari Seno yang sudah Penulis baca adalah Jokowi, Sengkuni, Machiaveli, Obrolan Sukab, Tiada Ojek di Paris, dan Affair (yang sebenarnya belum selesai dibaca). Nah, buku terbaru dari Seno yang baru Penulis tamatkan adalah Orang Makan Orang.

Sebagaimana yang tertulis di bagian Catatan Penulis, buku ini bersifat “sekuel” dari buku Jokowi, Sengkuni, Machiavelii. Oleh karena itu, buku ini menjadi kumpulan tulisannya dari berbagai media yang tayang dari tahun 2017 hingga 2023.

Detail Buku Orang Makan Orang

  • Judul: Orang Makan Orang
  • Penulis: Seno Gumira Ajidarma
  • Penerbit: Penerbit Mizan
  • Cetakan: Pertama
  • Tanggal Terbit: Januari 2024
  • Tebal: 277 halaman
  • ISBN: 9786024413347
  • Harga: Rp89.000

Sinopsis Buku Orang Makan Orang

“Tiada apa pun yang dengan sendirinya benar—perjuangan makna, dengan segala kibulnyalah, yang meng-ada-kannya.”

Karena selalu dimaknai secara sempit sebagai pertarungan antarpartai politik demi memperebutkan kekuasaan, politik sering kali dianggap sebagai dunia kibul-kibul. Bahkan, dianggap sebagai tempat yang buruk untuk hidup.

Padahal, perebutan untuk menang dan berkuasa, dalam segala arti dan dengan segala cara, juga berlangsung di luar dunia politik. Dari sidang pengadilan sampai bencana pandemi, dari sinema sampai agama, dari wayang sampai sejarah, dari ekonomi sampai susastra, dari dunia militer sampai kriminal, dari humor sampai sepak bola, dari panggung politik itu sendiri sampai di dalam rumah tangga.

Dalam buku Orang Makan Orang ini, Seno Gumira Ajidarma mencoba menunjukkan siasat, konsep, dan ideologi dari berbagai manuver dalam kehidupan politik sehari-hari—sekadar agar manipulasi itu terbongkar. Manipulasi demi tujuan politik mana pun perlu diketahui, sebab manipulasi itu tentu tersembunyi—sehingga tiada kesetaraan antara yang tahu dan tidak tahu.

Isi Buku Orang Makan Orang

Sebagai kumpulan esai, buku ini terdiri dari 57 tulisan yang tayang dalam rentang tahun 2017 hingga 2023. Sesuai dengan subjudulnya (Kibul-Kibul Budaya Politik), mayoritas isinya membahas tentang isu politik yang sedang hangat ketika esai tersebut dibuat.

Salah satu yang paling Penulis ingat (dan menjadi bahan tulisan Bagaimana Jokowi Mengalahkan Lawan-Lawannya Tanpa Berperang) adalah “Arogansi (Politik) Jawa” di halaman yang dimuat pada Koran Tempo tahun 2019.

Dalam tulisan tersebu, Seno menyorot bagaimana Jokowi sebagai orang Jawa berusaha menerapkan filsafat Jawa yang ingin merangkul lawan-lawannya demi menjaga kekuasaannya. Hal tersebut bisa kita lihat pada peta politik Indonesia saat ini.

Namun, bisa dibilang kalau buku ini tak sepenuhnya membahas politik. Bahkan, bisa dibilang kalau 2/5 isinya justru menyorot sosial budaya dan tak memiliki keterkaitan dengan dunia politik.

Contohnya adalah beberapa kali Seno membahas mengenai karya-karya sastra klasik, yang mungkin tidak diketahui banyak orang. Di bagian akhir, Seno bahkan membahas banyak tentang sebuah karya berjudul Domba-Domba Revolusi.

Salah satu topik sosial budaya yang menarik perhatian Penulis adalah “Wayang, Agama, dan Paimo.” Pada tulisan yang di KumparanPlus tahun 2022 tersebut, Seno menjelaskan kalau goresan yang terdapat pada wayang merupakan yang kaligrafi Islam.

Hal ini masuk akal, mengingat wayang merupakan salah satu media yang digunakan para wali untuk menyebarkan agama Islam. Namun, Penulis tak menyangka kalau para wali sampai sedetail itu.

Setelah Membaca Orang Makan Orang

Jika boleh jujur, sebenarnya tak semua penulisannya Seno bisa Penulis pahami. Terkadang, struktur bahasa atau kalimatnya sulit untuk dimengerti seolah menggunakan bahasa sastra. Anehnya, Penulis tetap menyukai tulisan-tulisannya.

Begitu juga dengan buku Orang Makan Orang yang satu ini. Tidak semua tulisan esainya Penulis paham, terutama yang membahas tentang karya sastra klasik. Sudah tidak mengerti buku apa yang dibahas, poin yang ingin disampaikan pun sulit Penulis cerna.

Namun, Penulis tidak menyalahkan Seno sebagai penulis buku ini. Penulis saja yang kemampuan memahaminya tidak cukup tinggi untuk mencapai levelnya Seno. Apalagi, pengetahuan Penulis tentang sastra klasik juga sangat cetek.

Dari 57 topik yang dibahas di buku ini, mungkin yang bisa Penulis pahami hanya setengahnya. Namun, tetap saja Penulis bisa menikmati buku ini yang dibuktikan dengan tamatnya buku ini dan rilisnya artikel ini.

Salah satu hal yang membuat tulisan Seno menarik adalah banyaknya fakta menarik yang ia sajikan dalam tulisannya. Jadi, meskipun tidak benar-benar memahami keseluruhan tulisannya, setidaknya ada insight menarik yang berhasil Penulis dapatkan.

Fakta yang disajikan bukan fakta sembarangan yang bisa ditemukan di Google. Kalau masalah riset, Seno memang tak perlu diragukan lagi. Penulis pernah membahas mengenai hal ini pada artikel ulasan novel Jazz, Parfum, dan Insiden yang ditulis oleh Seno.

Namun, sebenarnya Penulis berharap isinya berisi tulisan politik semua, tanpa ada campuran tulisan sosial budaya. Apalagi, di subjudulnya tertulis “Kibul-Kibul Budaya Politik” yang membuat Penulis berpikir kalau buku ini benar-benar akan total membahs politik.

Terlepas dari hal tersebut, buku ini Penulis rekomendasikan untuk Pembaca yang gemar membaca tulisan-tulisan esai yang tayang di surat kabar. Buku ini akan terasa berat bagi Pembaca yang tidak terbiasa membaca buku.

Skor: 7/10


Lawang, 8 Juli 2024, terinspirasi setelah membaca Orang Makan Orang karya Seno Gumira Ajidarma

Continue Reading

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan

Published

on

By

Mungkin sudah banyak yang mengetahui kalau polisi yang tak bisa disuap di Indonesia, menurut Gus Dur, hanya ada tiga: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng. Karena muncul dari mulut mantan presiden Republik Indonesia, tentu nama Hoegeng berhasil menarik perhatian banyak orang, termasuk Penulis.

Oleh karena itu, Penulis pun akhirnya ingin mengetahui lebih dalam tentang sosok Hoegeng dan membeli buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan yang ditulis oleh Suhartono. Buku ini disusun berdasarkan dari kisah yang diceritakan mantan sekretaris Hoegeng, yaitu Soedharto.

Mengingat bukunya yang cukup tipis, Penulis tidak terlalu berharap kalau isinya akan menceritakan kisah hidup Hoegeng secara rinci dan lengkap. Namun, mengingat buku ini diterbitkan oleh Kompas yang terkenal akan kualitasnya, Penulis pun memutuskan untuk membacanya.

Detail Buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan

  • Judul: Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan
  • Penulis: Suhartono
  • Penerbit: Penerbit Buku Kompas
  • Cetakan: Ketujuh (Edisi Revisi)
  • Tanggal Terbit: September 2022
  • Tebal: 182 halaman
  • ISBN: 9789797097691
  • Harga: Rp75.000

Sinopsis Buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan

“Di Indonesia hanya ada tiga polisi yang tak bisa disuap: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng” — KH Abdurrahman Wahid

Generasi muda kini mungkin tak lagi tahu, Hoegeng yang dimaksud Presiden Abdurrahman Wahid dalam kata katanya di atas adalah almarhum Jenderal (Pol.) Hoegeng Iman Santoso, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) di zaman transisi Orde Lama menuju Orde Baru. Sebagai polisi, Hoegeng dikenal jujur, sederhana, dan tak kenal kompromi. Karenanya, seperti polisi tidur, ia tak bisa disuap.

Namun, bagaimana kiprah Hoegeng ketika ia dipercaya Presiden Soekarno menjadi Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet dan Menteri Iuran Negara, serta Kepala Jawatan Imigrasi Indonesia pada periode tahun 1961-1966?

Buku ini tak hanya menuturkan keteladanan Hoegeng sebagai polisi dan birokrat. Juga ada kisah hubungan Hoegeng dan Soedharto Martopoespito yang berakhir tragis. Cengkeraman kekuasaan Orde Baru memutuskan hubungan akrab di antara keduanya. Setelah Hoegeng bergabung dengan kelompok Petisi 50, sebagai PNS di kantor Menko Polkam, Dharto tak pernah berani lagi berhubungan secara pribadi dengan mantan atasannya itu.

Ditulis oleh Suhartono, wartawan harian Kompas berdasarkan kisah Soedharto Martopoespito, mantan sekretaris Hoegeng.

Isi Buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan

Berbeda dengan kebanyakan buku biografi pada umumnya yang menjelaskan kisah biografi secara kronologis, buku ini tidak menceritakan kisah hidup Hoegeng seperti itu. Bisa dibilang, format yang digunakan mirip dengan Seri Tokoh Tempo.

Edisi revisi ini menambahkan tiga bab yang diletakkan di depan lima bab sebelumnya. Ketiga bab tersebut berfungsi sebagai pelengkap, karena lima bab asli buku ini benar-benar murni dari hasil wawancara dengan mantan sekretaris Hoegeng.

Tiga bab tambahan tersebut berjudul 1) Antara Hoegeng dan Bung Karno 2) Legenda versus Realitas 3) Diusulkan Pahlawan Nasional. Sedangkan lima bab aslinya sendiri berjudul 4) Mengenal Hoegeng 5) Kesederhanaan Tanpa Pamrih 6) Kenangan Tugas Masa Lalu 7) Pegangan Hidup 8) Hari-Hari Bersama Keluarga 9) Silahturami yang Terputus.

Bisa dilihat dari judul bab-bab tersebut jika format buku ini bukan kronologis seperti kebanyakan buku biografi. Sebagian besar buku ini menyorot sepak terjang Hoegeng ketika memiliki sekretaris Soedarto. Di luar itu, tidak banyak hal yang dibahas.

Tentu ada bagian-bagian yang menjelaskan bagaimana Hoegeng sebagai polisi, menteri, bahkan anggota Petisi 50 bersama Ali Sadikin dan lainnya. Namun, sekali lagi, buku ini lebih banyak menyorot hubungan personal antara Hoegeng dan Soedharto.

Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan

Setelah membaca buku ini, jujur saja Penulis merasa kecewa karena isinya yang kurang mendalam dan justru terlalu fokus dengan hubungan Hoegeng dan mantan sekretarisnya. Memang hal tersebut disebutkan dalam sinopsis, tapi Penulis tidak menyangka itu justru mendominasi isi buku ini.

Kalau boleh jujur, buku ini lebih cocok berjudul Hoegeng di Mata Mantan Anak Buahnya. Judul tersebut terasa lebih menggambarkan isi buku ini, seperti buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya. Pembaca jadi mendapatkan gambaran kalau isi bukunya ya memang menurut perspektif orang lain.

Kalau buku ini, dari judulnya tentu pembaca akan berekspektasi kalau isinya akan banyak mengulas kiprah Hoegeng sebagai polisi dan menteri. Memang dibahas, tapi sangat basic seperti informasi yang bisa ditemukan di Wikipedia.

Fakta-fakta menarik yang menunjukkan kesederhanaan Hoegeng pun rasanya sudah banyak dibahas entah di situs web maupun media sosial. Tidak ada yang spesial dengan isi buku ini, kecuali jika pembacanya mungkin belum pernah mendengar nama Hoegeng sama sekali.

Di sisi lain, mungkin hal tersebut membuat buku ini mudah dipahami karena isinya ya memang sederhana. Kalau untuk sekadar sebagai penambah insight tentang sosok Hoegeng yang luar biasa, buku ini bisa melakukannya.

Setidaknya, setelah membaca buku Hoegeng ini, kita bisa mendapatkan gambaran bagaimana sosok polisi jujur yang satu ini seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi kita semua. Hoegeng sudah seharusnya menjadi standar bagi para pejabat publik di Indonesia.

Untuk kisah hidup Hoegeng, Penulis jelas akan memberikan skor 10/10 untuk beliau. Akan tetapi, untuk kualitas bukunya sendiri, Penulis akan memberikan skor yang cukup rendah untuk ukuran buku terbitan Kompas.

Skor: 4/10


Lawang, 29 Juni 2024, terinspirasi setelah membaca buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan karya Suhartono

Continue Reading

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Ali Sadikin

Published

on

By

Jika disuruh menyebutkan satu saja gubernur Jawa Timur yang melegenda, Penulis tidak akan bisa menyebutkan satu nama pun. Namun, kalau pertanyaannya diganti gubernur Jakarta, Penulis akan langsung menjawab Ali Sadikin.

Penulis tidak benar-benar ingat dari mana nama Ali Sadikin muncul di kehidupan Penulis. Yang Penulis tahu, beliau adalah sosok gubernur yang sangat terkenal dan banyak prestasinya. Seperti apa kebijakan yang ia buat hingga bisa menjadi sosok populis tidak Penulis ketahui.

Nah, kebetulan Tim TEMPO merilis buku biografi singkatnya, yang menyadi edisti terbaru Seri Buku Tempo setelah sekian lama. Mengingat Penulis mengoleksi serinya, tentu saja Penulis membaca buku ini, sekalian belajar apa saja terobosan yang pernah dilakukan oleh Ali Sadikin.

Detail Buku Ali Sadikin

  • Judul: Ali Sadikin: Gubernur Jakarta yang Melampaui Zaman
  • Penulis: Tim TEMPO
  • Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
  • Cetakan: Pertama
  • Tanggal Terbit: November 2023
  • Tebal: 130 halaman
  • ISBN: 9786231341167
  • Harga: Rp75.000

Sinopsis Ali Sadikin

Sejarah Jakarta tak bisa dilepaskan dari sosok Ali Sadikin. Ditunjuk langsung sebagai Gubernur DKI Jakarta (menjabat 1966-1977) oleh Presiden Sukarno, Bang Ali-begitu dia biasa disapa-dinilai mampu mengatasi berbagai problem yang melanda ibu kota. Selama 11 tahun menjabat gubernur, Bang Ali tidak hanya meletakkan fondasi perkembangan Jakarta, tetapi juga menunjukkan bagaimana seharusnya kota yang bermartabat sekaligus hijau dibangun.

Bagi Bang Ali, Jakarta harus menjadi ibu kota yang mencerminkan kebanggaan nasional, sesuai cita-cita Bung Karno. Untuk itu, dia berupaya mewujudkan Jakarta yang manusiawi, berbudaya, nyaman, dan tertib. Dia membangun berbagai fasilitas publik dan memperbaiki kampung kumuh, berupaya mengatasi banjir dengan menyiapkan kawasan hijau yang mengelilingi ibu kota, membangun tempat berkumpul bagi para seniman, dan ikut mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.

Namun, kepemimpinan Bang Ali bukan tanpa kontroversi. Dia, misalnya, melegalkan perjudian dan memungut pajaknya untuk mengubah wajah kota yang suram menjadi metropolis. Bang Ali tidak peduli meski dicaci maki dan dijuluki-gubernur maksiat-. Setelah tidak menjabat gubernur, dia bergabung dengan kelompok Petisi 50 dan tak ragu menunjukkan sikap politik yang berseberangan dengan Presiden Soeharto.

Apa Isi Buku Ali Sadikin?

Seperti biasa, Seri Buku Tempo tidak menjabarkan kisah sosok yang diangkat secara kronologis. Hanya beberapa kejadian penting saja yang diulas, atau dalam konteks Ali Sadikin, lebih banyak menyorot kebijakan yang pernah ia buat.

Ada dua bab utama dalam buku ini, yakni “Nahkoda Koppig Ibu Kota” yang menjabarkan sepak terjang Ali selama menjadi gubernur, dan “Oposan Setelah Jabatan” yang menceritakan kisah Ali yang menjadi oposisi dari Presiden Soeharto.

Hampir semua daftar kebijakan yang dibuat oleh Ali sebenarnya sudah disebutkan di bagian sinopsis di atas. Isi bukunya mengelaborasi kebijakan-kebijakan tersebut secara lebih detail, baik yang positif maupun yang kontroversial.

Salah satu raihan positif yang pernah Ali selama menjabat sebagai seorang gubernur adalah melakukan revitalisasi kota Jakarta menjadi lebih modern, mirip dengan yang dilakukan oleh Napoleon III ke Paris.

Kebijakan yang paling kontroversial tentu saja bagaimana ia melegalkan perjudian untuk menambah anggaran daerah. Uang pemasukan dari sektor tersebut ia gunakan untuk membangun Jakarta menjadi kota modern.

Untuk bagian kedua, sebenarnya lebih menjelaskan posisi Ali yang memutuskan untuk berseberangan dengan Soeharto. Waktu itu, bahkan ada yang menyebut kalau Ali dan Soeharto seolah menjadi matahari kembar.

Ali juga bergabung dengan kelompok Petisi 50 yang berisi beberapa tokoh, termasuk Hoegeng yang buku biografinya juga baru saja Penulis tamatkan (artikel review-nya akan menyusul minggu depan).

Setelah Membaca Buku Ali Sadikin

Penulis selalu suka dengan buku-buku Seri Buku Tempo yang menyorot banyak tokoh nasional secara singkat, tapi penuh dengan fakta menarik yang disusun secara cermat dan berkualitas. Bahasanya pun menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.

Buku Ali Sadikin ini pun juga masih mempertahankan hal tersebut. Namun, Penulis merasa kalau edisi yang kali ini agak repetitif hingga terkesan dipanjang-panjangkan agar memenuhi syarat untuk diterbitkan menjadi sebuah buku.

Info yang disampaikan cuma itu-itu saja, seolah baca sinopsisnya saja sudah cukup. Entah mengapa Penulis merasa elaborasi di setiap bagiannya terasa kurang mendalam. Ini sangat berbeda dengan beberapa Seri Buku Tempo lain yang pernah Penulis baca.

Apakah itu karena kisah hidup Ali Sadikin memang kurang memiliki banyak cerita menarik? Rasanya tidak. Keputusan Tempo untuk mengangkat kisah Ali Sadikin sudah cukup menjadi bukti bagaimana ia memang seorang tokoh nasional yang layak dipelajari kisah hidupnya.

Setidaknya, Penulis jadi mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengapa Ali Sadikin dianggap sebagai seorang mantan gubernur Jakarta yang legendaris. Kiprahnya selama menjabat telah menjadi standar untuk gubernur-gubernur selanjutnya.

Skor: 7/10


Lawang, 22 Juni 2024, terinspirasi setelah membaca buku Ali Sadikin dari Tim Tempo

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan