Connect with us

Distopia Bagi Kia

Bagian 1 Distopia Bagi Kia

Published

on

Rintik hujan menyapa pagi pada hari Minggu, ketika Kia genap berusia 17 tahun. Gadis yang sedang beranjak dewasa itu sama sekali tidak antusias dengan peringatan hari lahirnya. Ia mengintip keluar dari jendela kamarnya yang terletak di lantai tiga, memandangi suasana kelabu. Langit seolah memahami isi hatinya.

Sarapan telah tersedia di samping tempat tidurnya. Tak jarang Kia hanya meliriknya dengan acuh. Tidak dimakan pun tak ada yang peduli. Para pembantunya kadang mengingatkannya untuk makan, namun Kia yakin itu karena perintah orangtuanya, bukan karena murni perhatian.

Setelah puas memandangi jalanan yang semakin basah, Kia duduk di depan meja riasnya yang penuh dengan berbagai peralatan kosmetik. Kia jarang merias dirinya, kosmetik tersebut kebanyakan hanya oleh-oleh dari mamanya setelah berkeliling dunia. Ia bukannya merasa dirinya sudah cantik, ia hanya tidak peduli dengan penampilannya. Lebih tepatnya, ia seringkali tidak peduli dengan apapun yang ada di sekitarnya.

Kia mengamat pinggiran kaca, yang terbuat dengan ukiran kayu mahoni dengan motif yang melingkar-lingkar. Ia sebenarnya sama sekali tidak menyukai perabotan dengan bentuk yang demikian. Ia menyukai benda yang lurus dan minimalis. Kia tak pernah memberitahukan hal tersebut kepada orangtuanya karena ia merasa hal tersebut tidak penting. Toh orangtuanya juga jarang di rumah karena sibuk mengurusi kerajaan bisnisnya. Tak akan ada waktu untuk membicarakan hal remeh temeh seperti itu.

Ketukan pintu membuat lamunan Kia terpecah. Dengan bergumam masuk, salah seorang pembantunya masuk sambil membawa setumpuk pakaian.

“Non, ini baju-baju punya non yang kemarin saya cuci, saya taruh lemari ya.”

Kia tidak mengiyakan maupun mengucap tidak. Tanpa direspon pun si pembantu akan tetap masuk ke dalam kamarnya yang luas dan menyusun pakaiannya di lemari. Tidak ada yang beda antara menjawab dan tidak menjawab. Semua akan tetap berjalan sebagimana mestinya. Bumi akan tetap berotasi pada porosnya sembari berevolusi mengelilingi Matahari.

Setelah pembantunya selesai dan pamit, Kia kembali melihat pantulan dirinya di cermin. Sebenarnya ia cantik, apalagi ditambah poni yang menutupi dahinya. Hanya saja, ia tak pernah tersenyum. Ia selalu menampilkan wajah murung seolah dilanda duka tiada akhir. Garis di bibirnya menunjukkan konsistensi garis lurus. Sangat jarang berubah bentuk menjadi sebuah garis lengkung, baik ke atas maupun ke bawah.

Banyak yang beranggapan menjadi anak seorang konglomerat merupakan impian dari setiap orang. Dengan melimpahnya harta, apapun dapat dilakukan. Kia tidak merasakan itu. Justru, kehidupan bak putri dalam dongeng dengan belasan pembantu yang ia jalani sangat menyiksa dirinya. Ia tidak lagi memiliki keinginan karena semua yang inginkan dapat terkabul dengan mudah.

“Seandainya aku tidak ada pun, tidak akan ada yang berubah dengan dunia ini.”

Keyakinan itu terus ia ulang-ulang setiap hari. Kia tidak punya tujuan khusus melakukan rutinitas itu. Pikiran-pikiran itu muncul begitu saja, menggambarkan apa yang dirasakan oleh Kia setiap saat. Ia hidup tanpa tahu untuk apa ia hidup. Ia tidak memiliki ambisi apapun, apalagi mimpi. Ia hanya mengerjakan apa yang diperintahkan kepadanya untuk dikerjakan. Ia sekolah bukan karena ia ingin sekolah. Ia belajar bukan karena ia ingin belajar. Ia meraih prestasi bukan karena ia ingin meraihnya.

Terkadang Kia merasa dirinya sudah selayaknya robot, hanya bisa bergerak jika diberi program tertentu. Orangtuanya, terutama papa, selalu menuntut Kia menjadi juara sekolah karena ia adalah calon penerus kerajaan bisnisnya, Labdajaya Group. Perusahaan ini bergerak di berbagai bidang termasuk properti dan masuk lima besar perusahaan yang paling berpengaruh di Indonesia.

Sayang, semua kekayaan itu sama sekali tidak memiliki pengaruh terhadap Kia. Ia selalu tidak bahagia dengan keadaannya. Kia anak yang pendiam, hampir tak pernah bersuara, sehingga segala keluhannya hanya ia dengungkan dalam hati. Atau mungkin sebaliknya, karena ia terbiasa memendam segala sesuatu, membuat ia menjadi orang yang pendiam.

Terkadang Kia masih menyimpan asa untuk kebahagiannya. Ia pernah berandai-andai untuk memiliki saudara, tidak masalah laki-laki maupun perempuan. Seandainya itu benar-benar terjadi, setidaknya ia akan memiliki teman bermain sehingga ia tidak punya waktu untuk bermuram durja. Ia tidak akan terlalu kesepian dengan tidak hadirnya orangtuanya. Seiring berjalannya waktu dan bertambah usianya, Kia mengubur dalam-dalam bayangan memiliki saudara. Orangtuanya terlalu sibuk untuk bisa memberikannya adik.

Yang lebih menyedihkan, Kia tidak bisa bergaul dengan teman-teman sekolahnya. Semenjak tingkat dasar hingga akan melanjutkan ke bangku kuliah, ia tidak memiliki seorangpun kawan untuk sekedar diajak mengobrol. Kia selalu merasa kesulitan untuk memulai percakapan. Lama-kelamaan, kesulitan tersebut membuatnya semakin menutup diri. Teman-teman sekolahnya pun tidak ada yang berusaha mendekati Kia. Ketika berada di dalam kelas, ia seolah berada di dalam kotak kaca yang menghalanginya berinteraksi dengan orang lain.

Kia sering dipuji oleh guru karena ia selalu menjadi juara di sekolahnya, walaupun Kia tak terlalu mempedulikan hal tersebut. Baginya, segala sanjungan tersebut kosong tanpa makna berarti. Sama seperti kekayaan yang ia miliki, prestasi yang ia dapatkan juga tidak bisa memberikan kebahagiaan. Ia merasa prestasinya ia raih karena orangtuanya menuntut seperti itu, bukan karena keinginan Kia sendiri.

Kia mengalihkan pandangannya dari cermin dan kembali menatap jendela. Dunia yang ia tinggali sekarang adalah distopia bagi Kia, tempat yang menakutkan untuk ditinggali. Ia memiliki harapan kosong untuk keluar dari semua ini. Sering ia berharap seperti itu, terkadang tercetus pikiran untuk mengakhiri hidupnya. Toh, kalaupun ia mati dengan cara paling mengenaskan sekalipun, tak akan ada satu orang pun yang peduli.

***

Setelah selesai mandi dan memasukkan beberapa sendok sarapan ke mulutnya, Kia berjalan menuju teater mini yang ada di lantai dua. Hiburannya di kala libur hanya menonton film, terkadang juga membaca buku di perpustakaan. Ia bisa berjam-jam menonton serial-serial televisi yang tersedia secara online. Tema favoritnya adalah berbagai macam hal yang berbau kerajaan, apalagi jika dibumbui perang. Melihat pembantaian sesama manusia.

Di ruangan seluas enam kali delapan meter tersebut, tersimpan rapi koleksi film orangtuanya. Jika sedang malas streaming, Kia suka menelusuri daftar film tersebut. Kia melihat-lihat film apa yang belum pernah ia lihat dan terlihat menarik. Setengah jam ia habiskan untuk melihat-lihat. Pada akhirnya, Kia memutuskan untuk membatalkan niatnya untuk menonton film. Mood-nya benar-benar tak karuan hari itu.

Kia beralih menuju perpustakaan yang terletak di lantai satu. Beberapa pembantu -atau pelayan, sebutan yang lebih disukai oleh Kia- menyapanya ketika ia lewat, yang hanya dibalas dengan anggukan samar. Matanya senantiasa memancarkan kekosongan, merepresentasikan kekosongan pada hatinya yang membutuhkan kasih sayang yang tulus.

Orangtuanya menyerahkan tanggungjawab mengasuh dan mendidik Kia ke tangan orang lain. Mereka menyediakan guru privat, guru piano, koki, sopir, hingga tukang cuci untuk menjamin kehidupan yang layak untuk Kia. Sayang, mereka tidak menyadari bukan itu yang dibutuhkan oleh Kia. Ia hanya butuh perhatian dari orangtua kandungnya, secara langsung. Dari hati ke hati tanpa perantara pihak ketiga.

Kia menyusuri rak bagian sejarah. Sama seperti film, Kia sangat suka membaca buku-buku yang berhubungan dengan kerajaan. Tentu buku sejarah banyak menyediakan hal tersebut. Kerajaan-kerajaan di Eropa, Timur Tengah, hingga peradaban kuno seperti Mesir dapat memuaskan hasrat Kia terhadap minatnya. Kali ini ia memilih buku sejarah Prancis di era kepemimpinan Napoleon Bonaparte dan memutuskan untuk membacanya di kamar.

Baru beberapa lembar ia jelajahi ketika terdengar suara ketukan pintu. Kia menjadi sedikit gusar karena aktivitas di hari liburnya terganggu. Ia ingin sekali saja bebas dari orang-orang dan bebas melakukan apa yang ia inginkan. Dengan terpaksa, ia menyuruh masuk orang yang mengetuk pintunya. Ternyata guru piano pribadinya.

“Nona, jangan lupa nanti setelah makan siang kita ada latihan ya. Tuan kemarin pesan jangan sampai nona tidak latihan karena dua bulan lagi nona akan tampil.”

“Iya.” jawab Kia dengan datar.

Kia tak pernah ingin dipanggil sebagai nona. Baginya, panggilan tersebut terlalu berlebihan. Ia lebih senang jika dipanggil nama, atau setidaknya mbak. Nona jelas terlalu berbau asing. Tapi, sekali lagi, Kia merasa tidak perlu untuk memberitahukan hal tersebut kepada orang lain. Terserah ia mau dipanggil apa, toh ia juga tidak terlalu mempedulikan hal tersebut.

Kia merasa semakin kesal. Papanya ingat acara keluarga besar yang masih akan dilaksanakan beberapa bulan ke depan, sedangkan ulang tahun anaknya sendiri tak ingat. Ia merasa hanya dijadikan sebagai alat untuk membanggakan papanya. Kia ingin menangis, tapi ia tahu hal tersebut tak akan berguna. Tidak ada yang akan peduli walaupun tangisnya tumpah hingga membanjiri Jakarta.

Kia bukannya tidak suka bermain piano. Ia suka dengan musik dan memiliki jiwa seni yang cukup tinggi. Jari-jari tangannya begitu lentik ketika Kia memainkan Piano Stems Dresden yang dibeli oleh mamanya duabelas tahun lalu. Asli Jerman, kalau Kia tak salah mengingat. Ketika merasa sedih, Kia akan bermain piano untuk menenangkan dirinya. Bisa berjam-jam ia habiskan untuk memainkan beberapa lagu klasik favoritnya.

Akan tetapi, sesuka apapun Kia terhadap piano, ia tidak suka jika hobinya tersebut hanya digunakan sebagai ajang pamer. Ia bermain musik bukan untuk menunjukkan dirinya hebat. Ia bermain musik karena ia menikmati tiap nada yang ia ciptakan. Ia menyukai piano karena suara yang dihasilkan olehnya begitu indah. Papanya tidak akan pernah paham tentang ini.

Buku tentang kekaisaran yang dipimpin oleh Napoleon ia tutup. Nafsu membacanya surut seketika. Ia memutuskan untuk berbaring di tempat tidurnya sembari melamun. Terkurung di dunia yang tidak ia inginkan membuat Kia sering berimajinasi, membayangkan seandainya ia terlahir bukan sebagai bagian dari keluarga Labdajaya. Akankah hidupnya lebih bahagia walaupun hidup serba kekurangan? Akankah sifat pemurungnya akan hilang? Akankah ia bisa memiliki teman seperti orang lain?

Pertanyaan demi pertanyaan saling menimpa di dalam pikiran Kia, hingga akhirnya ia terlelap.

***

Kia tidak begitu menyukai Beethoven. Ia lebih menyukai lagu-lagu Mozart yang cenderung lebih menenangkan. Tapi papanya memaksa ia memainkan moonlight sonata yang dibuat Beethoven untuk kekasihnya, walaupun setelah itu kekasihnya meninggalkannya. Papanya tak tahu kisah pedih tersebut. Papanya hanya tahu bahwa musik itu enak dan terkenal. Baginya, perasaan komposer sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan ketika memilih lagu. Berbeda dengan Kia.

Guru piano Kia berkali-kali menegur kesalahan yang dibuat oleh Kia. Tentu ia tidak berani terlalu galak, karena mau tidak mau Kia adalah anak dari majikan yang membayarnya. Ia merasa bahwa pada latihan kali ini, Kia dengan jelas menunjukkan keengganan untuk latihan. Daripada terus mengoreksi kesalahan yang dilakukan Kia, guru piano yang bernama Thomas tersebut mencoba untuk berbicara dengannya.

“Nona, apa nona ada masalah? Permainan nona hari ini tidak seperti biasa.”

“Enggak pak.”

Menghadapi gadis berusia belasan tahun jelas bukan keahlian Thomas, seorang laki-laki berusia 34 tahun. Istrinya menjadi guru kesenian di salah satu sekolah dasar negeri dekat rumahnya. Ia memiliki dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Semua anaknya selalu nampak bahagia meskipun fasilitas yang dimiliki tak selengkap yang dimiliki oleh Kia. Thomas sering heran, apa yang menyebabkan anak majikannya tersebut selalu terlihat murung dengan segala yang dimilikinya.

“Ya udah, kita lanjutkan latihannya. Kesalahan yang tadi jangan sampai terulang ya. Nanti saya dimarahi papamu.”

Kia berharap ada orang yang bisa memahaminya, bukan sekedar takut dimarahi oleh papanya. Memang, papanya terkenal galak dan tak segan mengeluarkan amarahnya jika suasana hatinya sedang buruk. Akan tetapi, Kia merasa dirinya tidak ada sangkut pautnya dengan amarah papanya. Hampir setiap kali ketika Kia terlihat enggan melakukan sesuatu yang diinginkan oleh papanya, orang-orangnya di rumah selalu berkata “nanti saya dimarahi papa lo”.

Mau siapapun yang dimarahi, sebenarnya Kia merasa bodo amat. Toh yang dimarahi bukan dirinya, walaupun ujung-ujungnya juga dirinya pasti kena semprot. Jika sudah seperti itu, papanya akan menceramahi panjang lebar tentang “demi kebaikanmu” atau “masa depan yang lebih baik”. Papanya merasa ia adalah orang yang paling tahu tentang Kia dan paling paham apa yang dibutuhkan Kia, tanpa bertanya langsung kepada sang anak.

Sedangkan mama, walaupun sebenarnya ia adalah wanita yang baik, merupakan wanita yang gila kerja. Dulu keluarga papa dan mama merupakan saingan bisnis di bidang retail pakaian, hingga akhirnya mereka menikah dan terjadilah merger perusahaan. Labdajaya Group membeli semua saham perusahaan milik keluarga mama dan menjadikannya anak perusahaan. Banyak yang beranggapan bahwa pernikahan tersebut hanya berlandaskan bisnis semata tanpa adanya cinta, sehingga setelah menikah pun mereka sibuk kerja sendiri-sendiri.

Kia kembali meletakkan jemarinya di atas tuts piano. Ia berharap, ada seseorang yang bisa memahami perasaannya. Seseorang yang cukup peka bahwa ia tidak menginginkan fasilitas lengkap dan harta melimpah. Ia hanya menginginkan perhatian dan kasih sayang yang tulus dari orang-orang yang seharusnya menyayanginya.

Distopia Bagi Kia

Epilog: Sebuah Novel Untuknya

Published

on

By

“Selamat ya, akhirnya novel perdanamu selesai.” kata Voni, salah seorang kenalan Rika di penerbit.

“Iya, terima kasih banyak ya buat bantuannya.” jawab Rika sambil tersenyum puas seolah sedang melihat anak pertamanya.

Rika menerima salah satu sampel novel yang sudah ditulisnya selama bertahun-tahun tersebut. Novel tersebut sudah ia tulis sejak ia duduk di kelas akselerasi dan mulai tinggal bersama Sarah. Karena berbagai hal, barulah novel ini jadi sekarang. Ia masih tak percaya bahwa akhirnya ia bisa mewujudkan impiannya sejak kecil, menulis sebuah novel dan menerbitkannya. Dulu ia sering diejek karena sering mencampuradukkan fantasi dan dunia nyata, namun lihatlah sekarang. Ia memberi judul novelnya Distopia Bagi Kia.

“Omong-omong, kenapa judulnya seperti itu? Jarang loh ada orang yang tahu apa arti distopia.” tanya Voni dengan penasaran.

“Hehehe, panjang deh ceritanya Von.”

Novel ini memang terinspirasi dari kisahnya sendiri yang memiliki masa lalu suram. Ia harus tinggal bersama orang yang sangat sering menyiksanya. Hal itu membuatnya merasa berada di sebuah distopia, di neraka dunia. Untunglah, ia bertemu dengan teman-teman yang baik, yang mau membantunya keluar dari permasalahan tersebut. Novel ini ia dedikasikan untuk teman-temannya.

Rika jadi teringat dengan Sarah. Awalnya, ia berniat untuk menggunakan kehidupannya sendiri sebagai latar belakang cerita. Akan tetapi setelah ditimbang-timbang, novelnya akan menjadi sangat suram. Ia pun mendapatkan ilham ketika mendengarkan cerita Sarah mengenai perasaan kesepiannya karena kesibukan orangtuanya. Maka, ia meminta izin ke saudara angkatnya tersebut untuk mengangkat kisahnya tersebut ke dalam novelnya. Sarah mengiyakannya tanpa perlu berpikir panjang. Setelah itu, imajinasi Rika lah yang menciptakan karakter-karakter lain, termasuk dunia cermin yang sangat berbau fantasi.

“Jadi, novel terbitan pertama ini mau kamu simpan sendiri atau mau kamu kasih ke seseorang spesial nih?” lagi-lagi Voni melontarkan pertanyaan.

“Aku udah janji ke seseorang buat ngasih buku perdanaku ke seseorang, jadi rasanya bakal aku kasih ke dia.”

“Cie, pacarmu ya?”

Rika hanya bisa tersenyum canggung. Tidak, ia tak pernah pacaran seumur hidupnya. Setidaknya, ia tak pernah peduli dengan hal tersebut. Baginya, ada orang yang mencintainya dengan sepenuh hati saja sudah lebih dari cukup. Kalau memang berjodoh, toh nantinya mereka akan berakhir di pelaminan. Rika sudah sering membayangkan hal tersebut, mengingat usianya sudah menginjak kepala dua. Akan tetapi, ia tak ingin terburu-buru. Biarlah ia menunggu sampai laki-laki tersebut melamarnya setelah menyelesaikan segala urusannya.

“Ya udah, aku balik dulu ya Von, sekali lagi terima kasih.” Rika memeluk temannya tersebut, lantas berbalik dan melangkah ke luar gedung.

Di luar sedikit gerimis, namun Rika membawa sebuah payung. Maka dengan perasaan riang gembira, ia melangkahkan kaki dengan ringan. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Selalu tampak ceria memang sudah menjadi sifatnya. Bedanya, ia tak pernah berpura-pura ceria untuk menutupi lukanya sekarang. Keceriaan yang ia tampakkan sekarang adalah keceriaan yang jujur.

“Leon, terima kasih untuk semuanya ya, novel pertamaku ini buat kamu.” gumam Rika kepada dirinya sendiri, sambil menatap langit yang kelabu.

 

TAMAT


Catatan dari Penulis

 

Penulis tersenyum lega setelah berhasil menyelesaikan novel Distopia Bagi Kia yang satu ini. Dibandingkan dengan novel Leon dan Kenji yang butuh bertahun-tahun, novel ini termasuk cepat proses penulisannya. Penulis memulai menggarap novel ini pada bulan Oktober tahun 2018, sehingga pengerjaan novel ini membutuhkan waktu satu tahun. Seperti yang sudah penulis sebutkan dulu sekali, novel ini terinspirasi dari imajinasi Ayu. Novel ini tidak akan lahir tanpa fantasinya yang luar biasa. Jadi, novel ini penulis dedikasikan untuknya.

Awalnya, penulis ingin rutin menulis setiap minggu satu bagian Distopia Bagi Kia dan satu bagian Leon dan Kenji (Buku 2). Setelah dijalani, ternyata berat sekali. Akhirnya, blog pun terpengaruh dan sering absen menulis. Akhirnya, penulis memutuskan untuk menunda dulu novel Leon dan Kenji dan berfokus untuk menamatkan novel ini terlebih dahulu.

Yang menyenangkan dari menulis novel ini adalah penggunaan sudut pandang ketiga yang membebaskan penulis. Alur cerita tidak terpatok hanya dari tokoh utama, kita juga bisa tahu bagaimana cerita berjalan dari karakter-karakter lain. Berbagai ide cerita juga muncul begitu saja ketika sedang mengetik di depan laptop.

Penulis juga belajar membangun karakter-karakter baru. Yang paling penulis dalami tentu saja karakter sang tokoh utama, Kia, yang sering menganggap dirinya merasa tidak berharga. Bisa jadi, ini merupakan jeritan hati penulis yang terkadang juga merasa seperti itu, hahaha.

Di dalam perjalanannya, penulis menonton beberapa anime yang karakternya seperti Kia. Sebut saja Sawako dari anime Kimi Ni Todoke atau Chiziru dari anime ReLife. Bayangan penulis tentang karakter Kia benar-benar tergambarkan oleh mereka. Bahkan, fisiknya yang berambut hitam panjang juga mirip. Padahal, penulis membuat karakter Kia jauh sebelum menonton anime-anime tersebut.

Karena bukan anak orang super kaya, penulis hanya bermodalkan ingatan kepada rumah-rumah orang kaya yang pernah muncul di televisi ataupun reality show. Bahkan, penulis menonton ulasan YouTube tentang mobil Mercedes yang ditumpangi oleh Kia untuk bisa benar-benar merasakan seperti apa berada di dalam mobil tersebut.

Ketika masuk ke dalam dunia cermin, penulis membayangkan lingkungan tempat Pak Kusno tinggal adalah desa tempat rewang penulis tinggal. Tentu, ada penambahan-penambahan tertentu seperti balai RW yang bisa menampung banyak orang dan kamar mandi umum yang digunakan bersama.

Pengalaman di Karang Taruna juga sedikit penulis sisipkan di sini. Alasannya, organisasi pemuda tersebut menjadi jalan termudah untuk Kia agar bisa merasakan yang namanya memiliki teman. Ketika berada di dunia tersebut, sangat sulit untuk membuat Kia bersekolah karena kondisi ekonomi Pak Kusno. Oleh karena itu, dibutuhkan wadah lain agar Kia bisa berinteraksi dengan orang lain. Apalagi, di sana ia menemukan bakatnya: mengajar.

Klimaks dari novel ini adalah ketika ada pihak-pihak yang ingin menyingkirkan Kia. Berbagai motif tersedia untuk mengusir Kia dari kampung dan mereka berhasil. Kia harus mengalami pengalaman pahit ketika harga dirinya hendak dijual, sebelum mengetahui bahwa itu semua merupakan rencana sang kakek untuk menyelamatkannya. Awalnya, penulis ingin mengakhiri novel ini di sini, namun penulis rasa apa yang Kia alami belum banyak membuatnya berubah.

Alhasil, ketika Kia kembali ke dunianya, ia menyadari bahwa hilangnya dirinya membawa dampak yang buruk. Mamanya meninggal dunia dan papanya kehilangan kewarasan. Ia yang tak tahu arah pun harus berakhir di panti asuhan. Di sana, ia baru menemukan betapa berharganya memiliki orangtua yang lengkap. Kia merenungi segala hal yang terjadi padanya dan berharap diberikan kesempatan kedua. Penulis mengabulkan keinginannya tersebut.

Dua bagian terakhir novel ini merupakan bagian yang membuat penulis sangat bersemangat. Kia memiliki kesempatan untuk memperbaiki segala kesalahan yang telah ia buat. Ia telah banyak berubah dan menjadi pribadi yang lebih hangat, berani mengungkapkan perasaan, dan menyadari apa yang ada di pikirannya selama ini tidak benar. Banyak orang yang menyayanginya.

Lantas, timejump pun terjadi dan Kia telah menjadi wanita dewasa. Melihat karakter yang dibuat sendiri telah berkembang sedemikian rupa bisa menimbulkan efek haru kepada penulis. Lucu memang, penulis akui hal tersebut.

Penulis membuat novel ini seolah-olah merupakan novel buatan Rika, salah satu karakter dari novel Leon dan Kenji. Alasannya, penulis ingin membuat semacam universe sendiri. Salah satu cara yang bisa penulis lakukan untuk menghubungkan novel ini dengan novel Leon dan Kenji adalah menjadikannya sebagai novel ciptaan Rika yang memang gemar menulis novel.

Setelah nanti novel Leon dan Kenji tamat, penulis sudah merencanakan untuk menulis dua atau tiga novel yang juga masih berkaitan dengan novel-novel yang sudah penulis tulis. Yang sudah ada konsep idenya adalah sebuah novel dengan Rika sebagai karakter utamanya. Sebelum itu, penulis harus segera menyelesaikan novel Leon dan Kenji (Buku 2). Jika tidak ada halangan dan tetap berisikan 50 chapter sesuai rencana, maka kemungkinan novel ini akan tamat pada lebaran tahun depan. Masih panjang memang, tapi penulis yakin bisa menyelesaikannya.

Terakhir, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang sudah menyempatkan diri untuk membaca novel buatan penulis yang satu ini. Tak peduli seberapa sedikitpun yang membaca, hal tersebut sudah cukup untuk penulis jadikan energi dalam menulis novel ini.

Continue Reading

Distopia Bagi Kia

Bagian 30 10 Tahun Kemudian

Published

on

By

“Aqila, tolong bantu ambilkan handphone kakak di kasur, dong.” ujar Kia yang sedang sibuk merias diri di depan cermin. Posisinya yang sedang menggambar alis membuatnya tak bisa beranjak dari tempat duduknya. Untunglah, adik angkatnya Aqila sedang berada di kamarnya.

“Ini kak, mau ke mana sih?” tanya Aqila sambil menyerakan ponsel kakaknya. Ia jarang melihat kakaknya merias diri di depan cermin. Artinya, kakaknya ini akan menghadiri sebuah acara penting bagi hidupnya.

“Mau meresmikan impian kakak semenjak sekolah. Mumpung sudah lulus kuliah, kakak punya sedikit waktu senggang sebelum masuk ke perusahaan papa. Kamu sih diajakin enggak mau.”

“Ih, Aqila kan ada les main biola. Bulan depan papa mau ada acara keluarga di sini, dan kakak tahu sendiri gimana papa. Selalu ingin membanggakan anak-anaknya.”

“Hehehe, gantian, dulu kakak juga sering banget les piano sampai jari-jarinya kakak keriting. Untung kamu punya bakat main biola, kalau enggak mungkin kamu disuruh mainin gendang!”

“Ih, kakak nakal!” kata Aqila sambil mencubit-cubit lengan Kia.

Kia tertawa ketika melihat ekspresi kesal yang ada di wajah Aqila. Adiknya ini telah menjadi gadis remaja cantik berusia 15 tahun. Dirinya sendiri telah berusia 27 tahun, telah menyandang gelar PHD bidang manajemen bisnis di salah satu kampus terbaik dunia untuk bidang tersebut. Dengan kemampuan otaknya yang cerdas, Kia bisa menembus ketatnya persaingan di sana, melawan mahasiswa-mahasiswa dari seluruh dunia yang juga mengincar gelar serupa.

Setelah lulus dengan waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan teman-teman kuliahnya, ia memutuskan untuk pulang agar bisa membantu papanya yang sudah menunjukkan isyarat akan segera pensiun. Dulu, tak pernah terbayang ia akan masuk ke dalam perusahaan papanya. Di dalam benaknya, hal tersebut merupakan neraka tambahan baginya. Namun sekarang pikirang tersebut sudah bisa ia enyahkan. Dengan senang hati ia akan meneruskan pekerjaan papanya, dimulai dari tingkat bawah dan mempelajari semua yang bisa dipelajari.

Meskipun begitu, Kia memiliki impian yang sudah lama ingin ia realisasikan. Baru sekarang lah ia memiliki kesempatan untuk mewujudkan impian tersebut. Ia begitu bahagia dengan semua yang ia alami ini.

Kia mengecek ponselnya dan memeriksa pesan yang masuk. Lima belas menit lagi ia akan datang menjemput dan mengantarnya pergi ke acara penting tersebut.

***

Selesai berdandan, ia segera mencari mamanya yang biasanya sibuk di dapur. Semenjak pensiun dari dunia kerja, Bu Labdajaya sering melakukan eksperimen makanan dan banyak berhasil. Malah, Bu Labdajaya membuka sebuah restoran baru dan laris manis hingga membuka cabang di luar negeri. Bu Labdajaya hanya berperan sebagai pemilik, sehingga tidak terlalu sering meninggalkan rumah. Memang kalau otaknya sudah otak bisnis, apapun bisa menjadi lahan pemasukan.

“Ma, Kia berangkat dulu, ya.” kata Kia ketika menemukan mamanya sedang memegang senampan kue yang baru dikeluarkan dari oven.

“Sarapan dulu, nanti asam lambungmu naik lagi, loh.”

“Udah kok tadi, tenang aja aku bawa obat maag.”

“Dasar kamu, ya. Tapi kamu keliatan cantik banget hari ini.”

“Kan Kia mau ada acara penting.”

“Ada acara penting apa karena mau dijemput sama calon suami?”

Mendengar ucapan mamanya tersebut, Kia langsung tersipu malu. Dirinya belum pernah membicarakan masalah tersebut dengan laki-laki itu, walaupun beberapa kali sudah membayangkan. Di usianya yang sekarang ini, menikah adalah hal yang lumrah. Apalagi, mereka berdua berasal dari keluarga yang mapan sehingga tidak alasan untuk menunda pernikahan.

“Ih mama selalu gitu, Kia kan jadi malu.”

“Ya udah kamu hati-hati. Bilang sama Yoga, jangan mentang-mentang mobilnya canggih terus jadi seenaknya sendiri.”

“Tenang ma, Yoga kalau nyetir pelaaaaaan banget. Kalau ada semut lewat aja dia pasti berhenti dulu, nunggu semutnya lewat.”

“Kamu sayang ya sama Yoga?”

Sekali lagi pertanyaan mendadak dari mamanya membuat Kia merasa serba salah. Meskipun dirinya telah bisa bergaul dengan orang secara lebih baik, ia merasa tetap malu jika ditanya masalah cinta. Ia tak terlalu mengerti hal tersebut dan tak terlalu pandai mengekspresikannya. Wajar jika mamanya sering menggoda Kia.

“Ih mama, Kia enggak suka digoda kayak gitu.”

“Aduh, mama udah ingin gendong cucu nih, Aqila masih 15 tahun lagi, gimana ya caranya biar bisa dapat cucu.” Bu Labdajaya justru semakin menjadi-jadi dalam menggoda Kia.

Tidak ingin digoda lebih lanjut, Kia segera menyalami tangan mamanya yang masih menggunakan sarung tangan masak. Meskipun teknologi dapur sudah semakin canggih, Bu Labdajaya masih lebih suka menggunakan cara-cara tradisional. Katanya, kue dan masakan lebih enak jika prosesnya seperti ini.

Ketika Kia sudah berada di beranda rumah, terlihat Yoga dengan mobil elektriknya telah tiba, nyaris tanpa suara. Yoga memang seseorang yang sangat peduli dengan lingkungan. Ia sering melakukan aksi-aksi sosial untuk mengurangi polusi dan penggunakan bahan bakar fosil. Bahkan, ia sudah memiliki perusahaan yang bergerak di bidang tersebut.

“Pagi Kia, cantik banget hari ini.” sapa Yoga ketika ia keluar dari mobilnya. Semenjak hubungan mereka makin dekat, Yoga tak pernah lagi menggunakan lo gue ketika berbicara dengan Kia.

“Pagi-pagi udah gombal kamu, ya. Ayo deh kita langsung berangkat.”

“Cie cie, pagi-pagi udah pacaran aja.” teriak Aqila dari jendela lantai atas. Seruannya tersebut membuat beberapa orang yang kebetulan sedang berada di dekat sana tertawa kecil.

“Aqilaaa!!!!” Kia berteriak untuk membuat adiknya bungkam, yang justru semakin membuat Aqila tertawa terbahak-bahak.

“Adikmu yang satu itu memang sangat jahil, ya.” celoteh Yoga, sedikit tersipu mendengar teriakan tadi.

“Ya begitulah, padahal waktu pertama kali kenal dulu pendiam.”

“Iya, aku kan kenal lebih dulu dari kamu, pasti tahulah. Syukurlah, nampaknya ia bahagia semenjak tinggal di sini.”

“Iya. Omong-omong, bagaimana kabar Lia?” Kia menanyakan tentang mantan teman sekamarnya di panti asuhan tersebut, meskipun Lia tak ingat pernah tinggal sekamar dengan dirinya.

“Baik kok, dia sudah jadi pengajar di panti, walaupun cara ngajarnya agak nyeleneh.”

“Yah, dari dulu ia memang begitu kok. Tapi Lia baik dan cerdas kok.”

“Kalau enggak gitu ya mana mungkin ia diangkat jadi pengajar. Ya udah, berangkat yuk, takut keburu macet.”

Maka mereka berdua pun melintasi jalanan Jakarta yang sebenarnya sudah tidak terlalu ramai. Selain karena ibu kota telah dipindah, jenis transportasi umum yang tersedia pun makin beragam. Kesadaran masyarakat juga semakin tinggi. Kota ini, kota yang dulu tidak disukai oleh Kia, telah bertransformasi menjadi kota yang begitu ramah lingkungan.

“Pulangnya, mampir ke Kota Tua ya.” kata Kia tiba-tiba.

“Ada apa emangnya?”

“Enggak apa-apa, pengen aja. Emang enggak boleh?”

“Boleh kok, iya nanti kita ke sana.”

Setelah 30 menit perjalanan, Kia dan Yoga telah sampai di tempat tujuan. Sebuah gedung berlantai tiga terlihat baru saja diselesaikan pembangunannya. Kia akan memberikan nama tempat ini Ruang Belajar, sama seperti nama kegiatan mengajarnya ketika berada di dunia cermin tersebut. Bangunan ini akan menyediakan fasilitas gratis bagi siapapun yang ingin belajar, selama menunjukkan keinginan yang kuat. Harta keluarganya lebih dari cukup untuk membuat tempat ini, dan hari inilah peresmiannya.

Kia menjalani beberapa prosesi acara dengan baik, hingga puncak acaranya pemotongan pita. Beberapa orang sejak pagi telah mengantri untuk melakukan pendaftaran. Kia melihat orang-orang yang melakukan pendaftaran tidak sebatas anak-anak usia sekolah. Banyak orang dewasa yang juga ikut mendaftarkan diri untuk mengikuti kegiatan ini.

Kia yang sedang mengamati para calon peserta tiba-tiba terdiam ketika melihat sepasang suami istri sedang ikut berbaris. Kia segera menghampiri mereka untuk memastikan ia tidak salah melihat.

“Pak Kusno dan Bu Imah?” tanya Kia dengan suara yang sedikit bergetar.

“Iya, mbak kok tahu nama kami?” jawab Pak Kusno dengan perasaan sedikit takut karena takut dirinya sudah melakukan hal yang salah.

Kia tak bisa membendung air matanya ketika melihat mereka berdua, meskipun ia tahu Pak Kusno dan Bu Imah tak pernah melihat dirinya. Ia tiba-tiba memeluk mereka berdua dan membuatnya menjadi tontonan orang-orang. Yang dipeluk bingung harus berbuat apa.

“Maaf maaf, bapak dan ibu mirip dengan kenalan saya, kebetulan namanya sama. Bapak dan ibu mau mendaftar di sini, kan? Silakan, semoga kami bisa membantu bapak dan ibu.”

Setelah berkata seperti itu, Kia meninggalkan mereka berdua yang nampak kebingungan. Yoga melihat hal ini dan bertanya kepada Kia apa yang terjadi.

“Enggak apa-apa kok, aku cuma kaget aja waktu lihat mereka. Aku harus pastikan mereka berdua mendapatkan apa yang dibutuhkan selama belajar di sini.” jawab Kia dengan mata yang masih berkaca-kaca.

***

Yoga menepati janjinya dengan mengantar Kia pergi ke Kota Tua seusai acara. Kia sendiri tidak tahu mengapa dirinya ingin pergi ke sana. Perasaannya yang menuntun dirinya pergi ke tempat yang sudah memberikannya banyak hal ketika ia masih gadis berusia 17 tahun. Mungkin, ia ingin berterima kasih kepada tempat tersebut, terutama cermin yang ada di museum tersebut.

Setelah menemukan tempat parkir, Yoga dan Kia berjalan bersama untuk masuk ke dalam Museum Sejarah Jakarta. Ketika berada di lantai dua, Kia segera mencari cermin raksasa yang membuat dirinya bisa masuk ke dunia lain. Anehnya, ia tidak berhasil menemukan cermin tersebut, bahkan setelah mengitari tempat tersebut berkali-kali.

“Yoga, kamu pernah tahu ada cermin antik yang ukurannya besar di museum ini, enggak?” tanya Kia kepada Yoga yang sudah memasang wajah kebingungan.

“Cermin? Seingatku enggak ada deh. Emang kapan kamu terakhir lihat?”

“Sepuluh tahun lalu, sewaktu kita masih SMA. Dulu ada cermin besar gitu, yang bikin…” Kia tak melanjutkan kalimatnya. Hingga hari ini, belum ada yang tahu kisahnya di dunia cermin. Mamanya pernah mendengar cerita tersebut, namun Kia mengatakannya sebagai mimpi.

“Mungkin sudah dipindah? Coba aku tanyain ke petugas museum.”

Yoga pun segera menghampiri salah satu petugas museum yang ada di dekat mereka. Sang petugas segera menjawab pertanyaan tersebut.

“Selama dua puluh tahun kerja di sini, enggak pernah ada cermin neng di sini. Yang ada paling ya lemari, meja, kursi, tapi enggak ada cermin.”

“Tuh Kia, enggak pernah ada cermin di sini.” ujar Yoga menambahkan.

Kia merasa bingung dengan kejadian ini, tapi memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih lanjut. Mungkin, sang kakek tua itulah yang telah membawa cermin itu ke mari, dan sang kakek pula yang membawa cermin itu keluar. Kia pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Sebelum beranjak pergi, ia berkata lirih yang ditujukan kepada museum.

“Terima kasih, karena telah mengeluarkanku dari distopia.”

***

Di belahan dunia lain yang tak seorang pun tahu di mana berada, seorang kakek tua sedang memegang tongkat pancingnya dengan sabar. Tak ada tanda-tanda ikan mau menggigit umpannya. Di sebelahnya, terdapat sebuah cermin ajaib yang mampu berubah wujud dan mengabulkan keinginan pemiliknya. Hanya aja, cermin tersebut hanya bisa digunakan oleh orang-orang yang berhati tulus dan tidak memiliki niatan jahat sama sekali. Tugas sang kakek adalah mencari orang yang membutuhkan bantuannya.

Untuk kasus Kia, perjalanan yang ia lalui memang harus panjang. Keinginannya sederhana, namun Kia tidak menyadari bahwa semuanya bergantung pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia harus mengalami berbagai peristiwa agar dirinya sadar dan permintaannya untuk hidup dengan penuh kasih sayang terkabulkan.

Tali pancing sang kakek tiba-tiba bergetar. Itu merupakan tanda bahwa ada seseorang yang sedang membutuhkannya.

“Ah, kali ini siapa yang akan membutuhkan bantuan cermin ini?”

Continue Reading

Distopia Bagi Kia

Bagian 29 Awal yang Baru

Published

on

By

Kia terbangun pada pagi hari itu dengan kepala yang sedikit sakit. Tidurnya terasa sama sekali tidak nyenyak. Ia tidak begitu ingat mimpi apa ia semalam, kecuali dirinya seolah sedang tersedot lubang hitam dan menyeretnya dengan kecepatan cahaya. Anehnya, tubuhnya tidak hancur meskipun mendapatkan tekanan yang secara logika akan dengan mudah meluluhlantakkan tubuhnya.

Ketika kesadarannya mulai pulih dan matanya mulai menangkap cahaya yang masuk, Kia baru menyadari keanehan yang terjadi. Ia tidak sedang berada di dalam kamar panti bersama Lia, melainkan di sebuah kamar mewah dengan perabotan yang lengkap. Sepiring makanan lengkap dengan segelas air putih telah tersaji di samping tempat tidurnya.

“I…ini di mana?” tanya Kia kebingungan sembari menoleh ke kanan dan ke kiri.

Beberapa detik kemudian, barulah Kia sadar bahwa dirinya tengah berada di kamarnya sendiri, di rumah keluarga Labdajaya. Kia terkena serangan panik ringan sehingga berusaha mencari pegangan untuk menjaga agar tubuhnya tetap tenang. Tak ada kalimat yang meluncur dari mulutnya. Ia benar-benar bingung dengan apa yang tengah terjadi pada dirinya.

“Apa aku sudah mati?” tanya Kia dalam hati.

Setahu Kia ketika seseorang mati, ia akan mengalami masa penghakiman terlebih dahulu sebelum Tuhan menentukan dirinya masuk neraka atau surga. Akan tetapi, semua ini terasa begitu nyata. Apakah ini mimpi dalam bentuk lain? Apakah sebenarnya masih belum terbangun dari tidurnya?

Kia mencoba untuk mencubit pipinya keras-keras, dan ia sedikit mengaduh karena kesakitan. Ternyata ini bukan mimpi, ini semua kenyataan. Tapi, bagaimana bisa? Jelas-jelas semalam setelah berbicara dengan Aqila, dirinya beranjak ke tempat tidur dan merenungkan banyak hal. Ia bahkan berharap bahwa dirinya diberikan kesempatan ulang untuk memulai semuanya dari awal.

Ataukah harapannya tersebut benar-benar terkabul?

Hal pertama yang melintas di pikiran Kia adalah mencari orang-orang rumah, para pelayan rumah yang selama ini telah setia mengabdi untuk keluarga Labdajaya. Setelah menenggak air putih yang ada di sebelahnya, ia segera keluar dari kamar tersebut dan mencari orang yang bisa ditanya.

“Halo, apakah ada orang di sini? Halooo!” jerit Kia ke sana ke mari, mencari siapapun yang mendengar suaranya. Tak lama kemudian, muncullah pak Budi, kepala rumah tangga keluarga Labdajaya.

“Non Kia? Ada apa pagi-pagi teriak-teriak? Nona sakit?” tanya Pak Budi dengan khawatir. Bagaimana tidak, jika sampai Kia sakit, ia yang harus bertanggung jawab.

“Pak Budi, sekarang tanggal berapa?” tanya Kia kepada Pak Budi dengan tergesa-gesa. Sejak dulu, Kia tidak pernah dekat dengan Pak Budi sehingga pertemuannya ini terasa biasa saja.

Pak Budi pun menyebutkan sebuah tanggal yang ternyata persis hari ulang tahun Kia satu tahun yang lalu, sebelum Kia memutuskan untuk pergi ke dunia cermin. Kia terkejut mendengar hal ini hingga ia terjatuh dalam posisi duduk.

“Non Kia! Pusing, ya? Saya antar ke kamar, ya. Setelah ini, saya panggilkan dokter Andreas langganan kita.” kata Pak Budi sembari berusaha membantu Kia berdiri kembali.

“Enggak apa-apa pak, saya enggak apa-apa. Saya cuma kaget.”

Kia menyadari bahwa dirinya telah kembali ke masa lalu, ke masa ketika semua masih baik-baik saja, ke masa ketika dirinya belum bertemu dengan kakek tua dan masuk ke dalam dunia cermin. Apakah ia bisa kembali ke sini karena bantuan sang kakek? Di mana ia bisa bertemu dengan kakek tersebut sekarang untuk menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi? Sebelum menemukan jawaban tersebut, Kia tahu harus berbuat apa sekarang.

“Maaf Pak Budi, saya kembali ke kamar dulu, ya. Terima kasih.”

Dengan sedikit berlari, Kia segera masuk ke kamar dan mencari ponselnya. Setelah itu, ia mencari nomor mamanya dan segera menghubunginya. Mamanya bisa aja sedang berada di luar negeri atau sedang rapat penting, sehingga ia tidak berharap telepon darinya langsung diangkat.

Namun Kia keliru. Mamanya menjawab telepon tersebut.

“Halo sayang, ada apa? Tumben telepon jam segini? Di sana masih pagi, kan?”

Mendengar suara mamanya, Kia langsung menangis keras-keras. Mamanya pun terdengar kebingungan karena tidak bisa melihat wajah Kia secara langsung.

“Kia sayang, kamu kenapa? Mama video call, ya.”

Jantung Kia berdebar dengan begitu kencangnya. Ia belum siap bertatap muka dengan mamanya. Akan tetapi, ia tidak bisa mengabaikan panggilan video call yang sedang berdering. Ketika ia mengangkat panggilan tersebut, terlihat wajah mamanya yang terlihat khawatir.

“Kenapa sayang, kamu ada masalah? Mama masih di California nemenin papamu, tapi besok lusa mampir Jakarta, kok.”

Kia belum bisa berhenti menangis. Bu Labdajaya juga nampak sabar menunggu Kia bisa bicara dengan baik. Beberapa orang rumah sedang berdiri di ambang kamar pintu, mengamati Kia dari kejauhan. Mereka tidak pernah melihat Kia seemosional ini. Selama ini, kapan pun dalam peristiwa apapun, Kia selalu terlihat memasang wajah datar tanpa ekspresi.

“Ki…Kia kangen sama mama, Kia ingin ketemu sama mama.” ujar Kia setelah bisa menghentikan tangisnya untuk sesaat.

“Iya, mama juga kangen, besok lusa kita ketemu, ya.”

“Kia mau tinggal sama mama, Kia enggak mau ditinggal lagi sama mama.”

Bu Labdajaya tercenung mendengar perkataan Kia ini. Selama ini, Kia tidak pernah protes walaupun harus selalu ditinggal oleh kedua orangtuanya sehingga tidak pernah menyadari perasaan Kia yang seperti ini. Melihat anak semata wayangnya berada dalam kondisi merana, ia pun meneteskan air mata karena merasa bersalah.

“Maaf ya Kia, maafin mama udah terlalu sibuk buat kamu. Nanti mama bicarakan sama papa dulu, ya. Enggak mungkin mama tiba-tiba pensiun dari dunia kerja. Kamu yang sabar, ya. Mama usahakan untuk pulang duluan.”

Kia menganggukkan kepala, lantas mematikan video call tersebut. Setelah itu, ia naik ke atas tempat tidurnya dan kembali menangis. Dari percakapan barusan, Kia bisa melihat apa yang selama ini tidak terlihat: kasih sayang mamanya. Selama ini ia dibutakan oleh pikirannya sendiri sehingga tidak bisa melihat hal tersebut. Jika keajaiban ini tidak pernah terjadi, mungkin untuk selamanya Kia tidak akan mengerti.

***

Keesokan harinya, Kia memutuskan untuk tidak masuk sekolah terlebih dahulu. Ia masih berada dalam kondisi yang belum stabil. Selain itu, ia juga belum tahu harus berbuat apa ketika bertemu dengan teman-teman kelasnya nanti. Ia harus bertemu dengan orangtuanya terlebih dahulu agar bisa merasa lebih tenang. Mamanya kemarin malam sempat menelepon bahwa ia telah membeli tiket pulang ke Jakarta, sedangkan papa masih harus tinggal sebentar di Amerika. Sesuai jadwal, harusnya sore ini Bu Labdajaya sudah tiba di Jakarta.

Kia gelisah seharian menanti kedatangan orangtuanya. Apa yang ada di dalam hati Kia sekarang adalah perpaduan antara rasa rindu dan bersalah. Ia tidak tahu harus berbuat apa ketika bertemu dengan mereka. Bagi dirinya, ia telah satu tahun lebih tidak bertemu dengan orangtuanya. Walaupun begitu, seharusnya dirinya di masa ini tidak pernah menghilang, sehingga orangtuanya juga tidak pernah merasa kehilangan dirinya.

Detik demi detik rasanya sangat lama bagi Kia. Tidak pernah rasanya ia menantikan sesuatu seperti sekarang. Sejak pagi, ia sudah berada di beranda rumah dengan cemas. Pak Tejo, supir Kia, melihat anak majikannya tersebut dan berinisiatif untuk mendekatinya.

“Non enggak sabar buat ketemu mama, ya?” tanya pak Tejo dengan nada yang hangat.

“Iya pak, rasanya kayak udah enggak ketemu setahun.”

Kemarin, Kia sempat bertemu dengan Pak Tejo dan kembali menangis. Ia teringat kesalahannya dulu yang membuat pak Tejo dipecat oleh papanya. Kia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dirinya tidak akan pernah berbuat hal-hal yang aneh dan membuat Pak Tejo diberhentikan dari pekerjaannya.

“Non mulai kemarin agak beda dari biasanya. Ada apa?” tanya Pak Tejo mencoba membuka pembicaraan.

“Enggak ada apa-apa kok, pak. Kia cuma baru menyadari betapa besar cinta orangtua Kia selama ini, meskipun mereka enggak punya waktu untuk Kia.”

“Begitu, ya sudah non sabar ya, sebentar lagi mama datang kok.” kata Pak Tejo sembari meninggalkankan Kia duduk sendirian.

Kia tersenyum manis ke Pak Tejo. Seharusnya, ia dari dulu harus lebih banyak bersyukur karena telah dikelilingi oleh orang-orang yang peduli kepadanya.

***

Apa yang dinanti oleh Kia akhirnya datang juga. Sebuah mobil Mercedez-Benz masuk ke dalam pekarangan. Kia tahu, ada mamanya di dalam. Begitu berhenti di depan rumah, keluarlah Bu Labdajaya dengan anggunnya. Kia yang melihat mamanya langsung berlari dan memeluknya dengan erat sambil menangis. Bu Labdajaya hampir saja terhuyung jatuh jika tidak berhasil menjaga keseimbangan.

“Sudah sudah, yuk kita masuk dulu, kita ngobrol di dalam.” kata Bu Labdajaya sembari mengelus rambut Kia yang terurai panjang.

Mereka pun masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang keluarga. Bu Labdajaya dengan sabar berusaha menenangkan Kia yang terus memegangi mamanya sambil menangis. Butuh waktu yang cukup lama hingga Kia mampu bersuara dengan normal.

“Sebenarnya kamu kenapa, nak? Baru kali ini mama lihat kamu seperti ini.” tanya Bu Labdajaya sambil menghapus air mata yang masih mengalir di pipi Kia.

“Kia kangen sama mama, Kia mau minta maaf sama mama karena udah jadi anak yang buruk.” tangis Kia kembali tumpah.

“Kata siapa kamu anak yang buruk? Mama sama papa itu bangga sama kamu. Mungkin papa kalau di depan kamu terlihat tegas dan galak, padahal kalau sedang ngobrol sama teman-temannya, pasti yang dibicarakan itu kamu. Papa kayak gitu itu karena enggak bisa berekspresi aja, apalagi orangnya agak jaim.”

“Kia kemarin malam mimpi buruk, ma. Itu yang bikin Kia kangen sama mama.”

“Memang mimpi apa?”

Maka Kia pun menceritakan kisahnya dari awal hingga akhir, mulai dari masuk ke dunia cermin hingga kembali lagi ke dunia ini dan menemukan mamanya telah meninggal. Ketika bercerita bagian ini, Kia kembali menangis lagi.

“Mimpimu panjang juga ya, sayang. Pantas kamu sampai khawatir gini.”

“Mama jangan tinggalin Kia lagi, Kia ingin mama ada di rumah.”

“Omong-omong soal itu, sebenarnya mama juga udah lama kepikiran buat pensiun dini. Kemarin juga udah ngobrol sama papa, dan papa setuju. Hanya saja, mungkin mama baru bisa berhenti total dua bulan lagi. Kia mau kan menunggu mama sampai saat itu?”

Kia menganggukkan kepala. Asalkan ia bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan orangtuanya, itu sudah lebih dari cukup. Ia tidak akan merasa kesepian lagi. Tiba-tiba, Kia teringat sesuatu.

“Ma, Kia boleh adopsi adik dari panti asuhan?”

Bu Labdajaya terkejut mendengar perkataan Kia. Ia sama sekali tak menyangka pertanyaan tersebut akan keluar dari anaknya.

“Boleh saja, tapi harus izin papa dulu ya. Selain itu, harus dari panti asuhan yang mama kelola, ya.”

“Mama punya panti asuhan?”

“Bukan punya, cuma mama sering bantu ngurus. Nama panti asuhannya…”

“Harapan Bunda.” potong Kia secara mendadak.

“Kok kamu tahu? Padahal selama ini mama merahasiakannya, loh.”

“Aku tahu aja ma, lupa dari mana.”

“Mama juga punya teman yang sama-sama jadi pengelola. Dia juga punya anak yang satu sekolah sama kamu, nama anaknya siapa ya, laki-laki gitu.”

“Yoga.”

“Iya, kalau enggak salah, kamu kenal?”

“Belum.”

“Belum?”

“Kia belum kenal sama dia, tapi Kia satu kelas kok sama dia.” kata Kia sambil tersenyum manis kepada mamanya. Berkat percakapan ini, ia ingin segera masuk sekolah keesokan harinya.

***

Setelah diantar oleh Pak Tejo seperti biasa, Kia merasa bersemangat ketika melihat pintu depan sekolahnya. Ia tak pernah merasa sesemangat ini ketika datang ke sekolah. Kiia bertekad, untuk memulai kehidupan baru di sekolahnya dan mencari lebih banyak teman, sesulit apapun. Ia bisa memulainya dengan Yoga.

Sebelum memasuki kelas, Kia menarik napas dalam-dalam. Ia mengumpulkan keberanian untuk bisa tampil lebih hangat dan bersemangat. Pengalamannya di dunia cermin menumbuhkan keberanian di dalam dirinya.

“Selamat pagi semua!” kata Kia dengan berusaha seceria mungkin ketika masuk ke dalam kelas. Teman-teman kelasnya pada terkejut ketika melihat Kia yang selama ini selalu murung bisa menyapa mereka dengan penuh energi.

“Pagi, Yoga.” sapa Kia kepada teman sebangkunya itu.

“Eh, pagi Kia. Tumben banget lo sesemangat ini? Baru kali ini lo nyapa gue. Gara-gara sakit kemarin, ya?” tanya Yoga dengan tatapan penuh selidik.

“Enggak kok, lagi seneng aja. Maaf ya, setelah ini aku bakal lebih baik lagi dalam berteman kok!”

Ketika guru telah datang memanggil nama murid satu per satu, Kia berusaha menghafal nama mereka semua. Setidaknya, Kia harus bisa menjalin hubungan baik dengan teman-temannya yang ada di kelas ini. Mungkin, kecuali dengan Melissa dan gerombolannya.

“Yoga, besok ada tugas kelompok sejarah, aku satu kelompok dengan kamu, ya.” kata Kia ketika jam istirahat telah masuk.

“Kok lo tahu besok bakalan ada tugas sejarah?”

“Emmm, feeling aja mungkin? Boleh, ya?”

“Boleh aja sih, tapi biasanya lo sama golongannya Melissa, ya?”

“Iya sih, tapi mereka enggak pernah mau kerja tugas. Aku doang yang kerja.”

“Lagi ngomongin gue, nih?” tiba-tiba Melissa datang ke bangku Kia dan Yoga. Ternyata, dari tadi ia menguping pembicaraan mereka berdua. Anehnya, Kia sama sekali tidak merasa gentar.

“Iya.” kata Kia dengan tersenyum.

“Maksud lo ngomong gitu apaan? Lo merasa kepinteran gitu?”

“Aku enggak mau lagi jadi budak kalian, yang cuma nunggu tugas selesai tanpa pernah mau membantu.”

“Sok banget sih lo, mau gue gampar?”

“Eh Mel, sekali lo berani ngapain-ngapain Kia, gue yang ngadepin lo.” kata Yoga dengan nada tinggi, membuat teman-teman kelas lain ikut menoleh.

Melissa yang terkejut melihat hal ini memutuskan untuk mundur dan pergi keluar kelas. Kia merasa senang karena Yoga membelanya dengan begitu gagah.

“Makasi Yoga.”

“Sama-sama. Gue paling gak suka sama cewek kayak gitu.”

“Tapi Kia tadi berani banget, gue sampai kaget.” Tessa, teman Kia yang duduk di depannya, memberikan apresiasi tinggi kepada Kia.

“Makasi Tessa, aku cuma berusaha membela diri.”

“Tapi enggak nyangka ya Kia yang selama ini terkenal pendiam bisa kayak gitu. Gue salut sama lo.” kali ini Ryan, teman sekelas yang duduk di depan Yoga, yang berbicara.

“Tenang Kia, kita semua pada enggak suka kok sama Melissa karena kesombongannya. Kalau sampai lo kenapa-napa, pasti kita belain.” ujar Tessa lagi.

Kia, yang melihat teman-temannya berbicara dengan dirinya, merasa begitu senang hingga dirinya menitikan air mata. Ternyata, semua masalah yang terjadi selama ini adalah karena dirinya sendiri yang tertutup. Teman-teman kelasnya ternyata baik-baik dan terbuka. Hanya satu perubahan kecil saja, ia telah berhasil mengobrol dengan mereka secara alami. Kia benar-benar bersyukur telah diberikan kesempatan untuk memulai lagi semuanya dari awal.

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan