Sudah seminggu kami bersekolah satu kelas. Meskipun wajahku tetap muram, tingkat kemuramannya sudah jauh berkurang dibandingkan hari pertama aku di sini. Pandangan teman-teman yang lain sudah tidak begitu sinis, walaupun aku sangat jarang berdialog dengan mereka. Tiga tahun tanpa seorang pun teman telah membuatku terbiasa hidup sendiri dan melakukan apapun sendiri. Tapi Kenji, anak ini selalu berusaha berteman dekat denganku. Dia selalu berusaha berbicang-bincang denganku dengan berbagai macam topik seolah-olah dia tak pernah kehabisan ide untuk dijadikan bahan pembicaraan. Sayangnya, sering kali aku menjawabnya hanya dengan tiga atau lima huruf. Iya atau tidak. Seperti hari ini, di saat bel istirahat baru saja berdering.
“Leon, apa kamu tahu tentang Rose Park?” tanyanya dengan dihiasi senyum yang lebar seperti biasa.
“Tidak.”
“Ia adalah wanita berkulit hitam yang menjadi terkenal karena penolakannya memberikan tempat duduk di bus untuk warga berkulit putih. Kamu tahu kan Amerika pernah perang saudara untuk masalah perbudakan?”
“Tidak.”
“Sewaktu Abraham Lincoln menjadi presiden, ia memerintahkan untuk menghapus perbudakan, mengakibatkan pihak selatan yang pro-perbudakan ingin melepaskan diri dari Amerika. Setelah perang, perbudakan berhasil dihilangkan, namun diskriminasi terhadap kaum berwarna tetap ada hingga akhir abad 20 .”
“Ya.”
“Padahal kalau kita ke belakang lebih jauh, bukankah kaum kulit putih datang ke tanah Amerika dengan cara mengusir penduduk aslinya, kaum Indian? Tapi mereka bertindak seolah mereka penduduk asli Amerika.”
Aku mendengarkan ceritanya sampai habis, hampir tidak mengeluarkan komentar yang berarti. Aku merasakan perasaan yang aneh, bukan perasaan jengkel karena dia berbicara sesuatu yang tidak penting. Kenapa ia ingin begitu dekat denganku? Apa alasannya? Karena kami sama-sama tidak memiliki orang tua? Padahal masih banyak teman-teman lain yang lebih ceria dan lebih baik dibandingkan aku, tapi kenapa ia ingin dekat denganku? Apakah karena aku selalu berwajah suram? Berbagai macam pertanyaan terus bermunculan di benakku sampai bel berbunyi tanda waktu istirahat telah berakhir.
***
Seperti hari-hari biasanya, aku selalu melangkah pulang terakhir. Aku menghindari pulang bersama teman-temanku karena aku lebih senang sendiri. Begitu aku keluar dari kelas, tampak oleh kedua mataku, Kenji berdiri di hadapanku.
“Hei Leon, rumah kita kan satu arah, kenapa kita tidak pulang bersama-sama saja?”
“Aku lebih senang sendiri.” jawabku sembari meninggalkannya.
“Kalau begitu aku hanya akan berjalan di belakangmu, ok?”
Entah apa yang terjadi pada diriku ini. Dia sudah begitu baik pada diriku, mengapa aku tetap dingin terhadapnya? Bahkan dengan teganya aku membiarkan dia berjalan mengekor dibelakangku, padahal yang ia minta hanya pulang bersama denganku.
“Wah, sudah sampai di rumahmu. Salam buat adikmu ya.” katanya dengan melambaikan tangannya kepadaku.
“Tunggu.” kataku tiba-tiba.
“Ada apa Leon?”
“Kau, ee . . tidak mau mampir?” tawarku dengan tidak melihat matanya secara langsung. Nyaliku terlalu kecil untuk melakukan kebaikan sekecil ini.
“Benarkah? Baiklah kalau begitu.” jawabnya dengan senyum seolah-olah dia memang berharap diajak masuk kedalam rumahku.
Kupersilahkan ia duduk di ruang tamu, lalu aku pergi menuju dapur untuk membuatkan minuman. Yang kupunya hanyalah kopi capucinno, karena hanya minuman itulah yang aku suka. Apakah Kenji senang kopi? Ragu, aku keluar melalui pintu belakang untuk membeli minuman yang memiliki rasa. Beberapa saat kemudian, satu gelas minuman rasa jeruk telah terhidang diatas nampan berwarna hitam, satu-satunya nampan yang kumiliki.
“Wah Leon, tak perlu repot-repot.” Kata Kenji ketika melihatku membawakannya minuman.
“Tidak.”
“Omong-omong kemana adikmu?”
“Tidur.” jawabku asal-asalan karena sebetulnya aku belum melihat adikku. Begitu meletakkan gelas untuk Kenji, aku segera menuju kamar adikku untuk memastikan bahwa ia benar-benar tidur. Untunglah, dia memang sedang tertidur.
“Kenapa adikmu tidak sekolah?”
“Karena dia selalu ditolak sekolah manapun.”
“Mengapa?”
“Karena ia sering melamun dan selalu bertanya di luar konteks pelajaran.”
“Jadi dia dianggap, maaf, tidak bisa menangkap pelajaran begitu?”
“Iya.”
“Menurutku itu bukan idiot. Adikmu terlalu cerdas untuk anak seusianya. Waktu kecil aku juga seperti itu. Tapi untunglah kepala sekolahku sangat mengerti diriku, jadi aku tidak perlu sampai berhenti sekolah.”
“Di mana kau bersekolah dulu?” tanyaku bersemangat, karena ada harapan untuk menyekolahkan adikku.
“Di kota Leon, aku pindah kemari mulai tahun 2006, ketika masuk SMP.”
“Oh begitu.”
“Aku bisa mengajari adikmu sepulang sekolah Leon.”
“Tidak, tidak perlu, aku bisa mengajarinya sendiri.”
“Manusia tidak bisa hidup sendiri Leon.”
“Apa maksudmu?”
“Manusia adalah makhluk sosial. Manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Selama ini kuperhatikan, kamu selalu melakukan segala sesuatu sendiri dan tidak pernah meminta bantuan orang lain. Aku percaya kalau kamu adalah orang yang mandiri, namun ada kalanya kita memerlukan orang lain Leon. Semua orang membutuhkan pertolongan, bahkan seorang Alexander Napoleon Caesar pun membutuhkan pertolongan.”
Topik yang ia bicarakan serius, namun mimik wajahnya tetap sama seperti biasanya. Ekspresi wajah yang lembut, namun menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Aku hanya terdiam mendengar penuturannya ini, tak pernah kubayangkan anak ini bisa jadi seserius ini.
“Kenapa kau begitu perhatian terhadapku?” tanyaku dengan bergetar. Aku menanyakan pertanyaan ini lagi, karena dulu belum puas dengan jawaban yang ia berikan.
“Karena kita senasib Leon. Aku tahu perasaanmu, aku tahu lukamu, aku bisa merasakan penderitaanmu. Itulah mengapa aku selalu ingin menumbuhkan senyum di wajahmu Leon.” dia semakin tersenyum lebar ketika mengatakan itu
“Senasib? Ayahmu meninggal, bukan menelantarkan anaknya.” balasku sengit.
“Tapi kita sama-sama kehilangan orang tua Le. Ayahmu masih hidup, sedangkan ayahku . . .” Kenji tidak melanjutkan kata-katanya.
“Adikmu juga masih hidup, sedangkan aku hanya tinggal sebatang kara. Kamu harus bersyukur Leon, kamu masih lebih beruntung daripada aku.”
Kulihat mata Kenji sudah berkaca-kaca. Tampaknya ia telah mengeluarkan apa yang mengganjal di hatinya. Aku jadi merasa tidak enak dengannya, dengan menundukkan kepalaku, aku meminta maaf.
“Haha, aku tidak apa-apa kok Le. Mungkin kamu membutuhkan seorang guru yang mengajarimu tentang bagaimana caranya menjadi orang baik-baik, meskipun kamu sebenarnya sudah baik.” katanya panjang lebar, namun karena yang berbicara Kenji, aku berusaha untuk mendengarkan dan memahaminya.
“Ya.” jawabku tetap dingin seperti biasa.
“Aku pulang dulu ya. Besok pulang sekolah aku akan membantu mengajari adikmu. Kita berdua pasti bisa mentransfer ilmu kita kepadanya. Kita bagi saja Le, aku kebagian pelajaran apa, kamu kebagian pelajaran apa. Semua terserah kamu, aku ikut saja. Aku yakin Gisel akan senang mendapatkan dua guru baru, haha.”
Tempo hari aku bertanya pada diri sendiri, bagaimana cara memulai perubahan? Hari ini, pertanyaan itu terjawab. Kenji akan membantuku berubah, untuk menjadi orang baik-baik. Hanya dalam waktu beberapa hari, pertanyaanku langsung dijawab Tuhan melalui bocah Jepang ini.
Kulihat Kenji berjalan menjauhi rumahku, makin lama punggungnya makin terlihat kecil, sampai pada akhirnya menghilang di belokan jalan. Jadi itulah jawaban pertanyaanku tentang perhatian Kenji kepadaku. Aku dan Kenji senasib, bahkan aku masih lebih beruntung. Entah mengapa, ia selalu bisa menyihirku dengan kata-katanya. Dia sungguh pintar dalam mengolah kata dan mengaplikasikannya pada sebuah percakapan. Bagiku, dia adalah sang inspirator, orang yang bisa memberikan inspirasi baik karena perkataan maupun perbuatannya. Maaf Kenji, kuharap diriku bisa menjadi teman yang lebih baik untukmu di hari esok, entah kapan hari itu akan tiba.
You must be logged in to post a comment Login