Hari Sabtu adalah hari di mana kami bisa dengan bebas mengikuti kegiatan ekstrakulikuler sesuai dengan minat dan bakat kami. Dari Kenji, dan selalu dari Kenji, aku mengerti kegiatan tambahan apa yang diikuti oleh teman-teman.
Bejo bergabung dengan tim sepakbola, Pierre bertemu dengan kawanan penggemar elektornik, dan Juna bergabung dengan Paskibraka. Si kembar memutuskan untuk bergabung dengan band. Para wanita tersebar, dimana Sica dengan suara emasnya masuk paduan suara, Rika dengan imajinasinya masuk teater, Gita mendalami bakatnya dengan ikut klub lukis, Yuri yang pemalu masuk klub tata boga, Nita yang ahli bahasa ingin mengasah kemampuan menulisnya dengan bergabung tim jurnalistik, Rena yang sholehah ikut tartil Quran, dan Ve ikut klub debat Bahasa Inggris. Kenji tidak tahu Sarah bergabung dengan ekskul mana, tapi menurutnya wanita angkuh itu kemungkinan ikut modern dance. Kenji sendiri memutuskan untuk bergabung dengan klub bahasa Jepang, karena ingin mendalami bahasa keluarga ayahnya lebih dalam.
Lalu bagaimana dengan aku? Karena mendapatkan skors di minggu pertama, aku belum menentukan akan bergabung dengan ekskul manapun, sehingga selama enam minggu aku selalu belajar mandiri ketika jam ekskul dimulai. Selain merasa kegiatan tersebut kurang penting, aku juga belum menentukan ekskul mana yang mau kuikuti.
“Leon?” Bejo menghampiriku ketika teman-teman satu kelas hendak berangkat menuju ruangan ekskul mereka masing-masing.
“Iya Bejo?”
“Bu Rima ingin bertemu denganmu di ruangannya sekarang.” katanya sambil lalu begitu saja. Sudah hampir dua bulan sejak peristiwa itu, ia tetap saja tidak ramah kepadaku.
Setelah membereskan buku-buku di atas meja, aku melangkah menuju ruang guru. Bisa dibilang ini pertama kali aku keluar ruangan ketika jam ekstrakulikuler. Aku menengok ruang guru, dan menemukan bu Rima sedang duduk di mejanya, nampaknya sedang mengerjakan sesuatu.
“Selamat pagi bu, Ibu mencari saya?” tanyaku berusaha sesopan mungkin.
“Ah Leon, duduk.” kebetulan kursi guru di sebelahnya sedang kosong.
Bu Rima masih melanjutkan pekerjaannya sebentar, baru memulai pembicarannya denganku.
“Ibu mendapatkan laporan kalau kamu belum mengikuti kegiatan ekstra apapun, kenapa?” tanyanya dengan memancarkan kegarangan yang luar biasa. Jika siswa lain, pasti sudah ketakutan setengah mati.
“Iya bu, saya mohon maaf, waktu pengumuman kegiatan ekstra apa saja yang ada di sekolah, saya sedang diskors. Selain itu, saya juga belum tahu di bidang apa saya tertarik.”
“Meskipun nilaimu bagus, kamu bisa diturunkan dari kelas akselerasi nak. Coba kamu pikirkan, mana kegiatan yang paling cocok untukmu. Ini kebetulan ibu ada daftarnya.”
Aku mengambil kertas yang disodorkan oleh bu Rima. Kubaca satu persatu secara berurutan hingga selesai, namun tetap tidak ada satupun. Apakah aku bergabung dengan kelas bahasa Jepang saja? Toh di sana ada Kenji. Tapi aku kurang tertarik dengan pelajaran bahasa. Seandainya saja ada kegiatan ekstra yang berhubungan dengan labotarium, pasti aku sudah memilih hal tersebut.
“Kamu dulu suka berkelahi bukan? Kenapa tidak ikut karate?”
Kata-katanya menusuk meskipun benar. Tapi aku tidak suka gaya berkelahi yang memiliki pola-pola teratur. Aku tipe petarung gaya bebas yang tidak membutuhkan metode. Oleh karena itu, aku menggelengkan kepala.
“Sebenarnya, apa hobimu?” tanya bu Rima mulai kehilangan kesabaran.
“Saya tidak punya hobi bu, jika tidak ada hal yang dilakukan, saya biasanya belajar.” jawabku dengan jujur, meskipun mungkin tidak serajin Kenji.
“Kalau begitu kenapa tidak bergabung dengan Kelompok Ilmiah Remaja? Di sana kamu akan meneliti banyak hal, sepertinya cocok untukmu.”
Meskipun aku belum tahu seperti apa yang akan dilakukan di sana, aku tidak melihat ada kemungkinan ekskul lain yang cocok denganku. Maka, aku menyetujui saran bu Rima tersebut.
***
Aku langsung diantar ke labotarium Biologi, tempat di mana kelas ilmiah remaja dilakukan. Pembimbing kami disana adalah pak Arief, seorang guru Biologi. Setelah perkenalan singkat, aku dipersilahkan duduk di samping seorang laki-laki berambut keriting. Belum ada sedetik aku duduk, laki-laki tersebut langsung menyodorkan pertanyaan kepadaku.
“Kamu Leon kan? Leon yang tinggal di dekat sekolah?”
Aku menatapnya pelan-pelan, berusaha menganalisa hal yang terjadi. Seorang asing tiba-tiba memastikan nama seseorang, artinya orang tersebut merasa pernah mengenal kita. Aku mengamatinya lebih dalam, berusaha mengingat siapa dirinya. Setelah lima detik berlalu, aku masih sulit untuk mengetahui identitas dirinya.
“Ini aku, Rudi.”
Ah! Ternyata teman bermainku di masa kecil yang singkat. Tentu saja, siapa lagi yang bisa punya rambut sekeriting itu. Hanya saja karena lama tak bertemu, aku lupa siapa dirinya.
“Rudi kan? Apa kabar? Aku baru tau kau sekolah disini.”
“Aku juga, kupikir kamu akan sekolah di tempat lain yang lebih bergengsi. Dulu waktu kamu SMP kan selalu rangking satu.”
Aku baru tau jika aku satu SMP dengannya, bahkan bisa di bilang aku tidak tahu sama sekali siapa-siapa di SMP. Entah berapa kali aku tidak menghiraukan sapaan hingga akhirnya tidak ada satupun yang menyapaku. Tapi akan menyakitkan perasaan Rudi jika aku mengatakan bahwa aku tidak mengingatnya sebagai teman satu almamater SMP.
“Kamu rasanya sedikit berubah ya, rasanya menjadi, emmm, lebih ramah.”
“Banyak yang terjadi Rud, setidaknya aku bisa memastikan bahwa aku yang sekarang bukan Leon ketika SMP.”
“Leon, meskipun kamu anggota baru disini, tolong jangan lama-lama ya perkenalan dirinya. Kalau mau bicara panjang lebar, lakukan ketika kelas selesai ya.” pak Arief menegurku karena sama sekali tidak menghiraukan instruksinya.
Kami pun memutuskan untuk diam dan akan melanjutkannya nanti ketika kegiatan ekstra ini selesai.
***
Kegiatan ekstra berakhir bertepatan dengan jam istirahat. Rudi mengajakku ke kantin, dan ia tidak percaya ketika aku bilang ini pertama kali aku ke kantin sekolah. Setelah ia membeli beberapa makanan ringan, kami mencari tempat duduk untuk mengobrol.
“Aku sempat mendengar isu ada anak akselerasi yang dikeroyok karena sok, aku tidak menyangka ternyata itu kamu.” Rudi membuka percakapan kami.
“Iya benar, tapi bukan peristiwa itu yang membuatku seperti ini.”
“Lalu apa?”
Maka dengan singkat aku menceritakan tentang Kenji dan bagaimana ia bisa mengeluarkan diriku dari kesengsaraan. Rudi mendengarkan dengan serius, berusaha memahami setiap kata yang meluncur dari bibirku. Wajahnya menunjukkan simpati, atau mungkin lebih karena ia berusaha memahami ceritaku yang menurutku sendiri kurang terstruktur dengan baik.
“Wah, luar biasa sekali, baru kali ini aku mendengar yang seperti itu.”
“Ya begitulah Rud.”
“Aku bukannya tidak peduli denganmu Le waktu itu, hanya saja memang kamu seolah-olah memberi tembok untuk orang yang ingin mendekatimu.”
Aku tidak menyangkal pernyataannya tersebut karena memang hal itulah yang terjadi. Segala perlakuan buruk orang lain terhadapku membuatku ingin memutus semua bentuk hubungan yang mungkin bisa tercipta, hingga aku bertemu dengan Kenji. Ia membuatku membongkar tembok yang selama ini susah payah kubangun.
“Jadi, kamu yang sekarang sudah punya pacar?”
Aku tertawa ringan mendengar pertanyaan yang asal bunyi ini. Tentu saja tidak bisa secepat itu aku bisa mendapatkan seorang pasangan. Meskipun begitu, entah mengapa tiba-tiba terbayang seorang wajah seorang wanita dipikiranku, wanita cantik bersuara emas…
“Kalau cari yang seperti itu lo Le.” Rudi membuat otakku yang sedang bekerja membuat gambar seorang wanita berhenti. Aku menolehkan kepala untuk melihat seperti apa wanita yang ditunjuk oleh Rudi. Memang, ada seorang wanita cantik dengan rambut sebahu, sedang berjalan bersama teman-temannya. Ia nampak ceria, dan keceriaannya itu terasa tidak asing. Paras itu juga tidak terasa asing. Karena terus memandangi wanita tersebut, akhirnya mata kami saling bertatapan dari kejauhan. Sekitar sepuluh detik berlalu dalam diam, ia yang mengeluarkan suara terlebih dahulu.
“Leon?”
***
Ternyata wanita yang dianggap ideal oleh Rudi tersebut adalah Sinta, teman SDku yang pernah mengundangku untuk datang ke acara ulang tahunnya. Begitu aku merespon panggilannya, ia langsung menghampiriku. Kami bersalaman dan saling bertukar kabar. Tak lupa aku mengenalkan Rudi yang terperangah, tak menyangka aku mengenal Sinta.
Sinta satu SMP dengan Kenji, dan kenal baik dengan Nita karena mereka teman sebangku. Kami bernostalgia sebentar ketika masa-masa SD, dan untunglah ia sama sekali tidak menyinggung tentang kejadian pengusiran ayahku waktu itu. Sinta memang sudah baik dari dulu, dan nampaknya ia masih tetap seperti dulu. Ketika aku bertanya dimana teman-teman yang lain, ia menjawab bahwa hanya beberapa yang bersekolah di sini, dan dari beberapa itu tidak ada yang aku ingat.
Yang aneh adalah Rudi. Ia yang talkactive tiba-tiba mengkerut bagaikan pewangi ruangan batangan yang sudah satu bulan digunakan. Meskipun aku sudah berusaha untuk memasukkannya ke dalam percakapan, ia hanya memberikan respon dengan mengangguk-angguk. Aku baru mengetahui alasannya ketika Sinta berbalik menuju kelasnya.
“Leon, bisa kamu kenalkan aku dengan temanmu itu?”
Astaga, bukankah aku sudah mengenalkannya dengan Sinta tadi?
***
“Pasti menyenangkan ya Le bertemu dengan teman-teman lama.” Kenji memberi tanggapan ketika aku menceritakan kejadian siang ini.
“Lumayan, terutama ketika tahu bahwa sebenarnya mereka peduli kepadaku. Aku saja yang menutup mata terhadap kebaikan orang lain.”
“Ya baguslah kalau begitu, itulah pentingnya menghargai orang lain. Nampaknya hari ini kamu sudah mendapatkan pelajaran hidup yang berharga, sehingga aku tidak perlu memberimu pelajaran kehidupan hari ini. Aku akan fokus untuk mengajari Gisel hari ini.” katanya dengan senyum khasnya.
Ia memanggil Gisel yang sedang di dapur, sehingga aku duduk sendiri di ruang tamuku. Aku menghayati kejadian yang terjadi hari ini, dan heran dengan diriku sendiri. Bukankah aku dendam dengan semua orang yang sudah membuatku merasa sendiri? Tapi mengapa aku menikmati pertemuan dengan kawan lama ini? Mungkin saja sifat pemaaf Kenji sudah mulai merasuk ke dalam diriku.
You must be logged in to post a comment Login