Connect with us

Musik

Linkin Park dan A Thousand Suns

Published

on

Ketika SMA, Penulis sudah menjadi fans berat Linkin Park dan hafal semua lagunya. Penulis pun menantikan kapan band ini akan merilis album terbarunya.

Harapan Penulis terwujud ketika mereka merilis album A Thousand Suns pada tahun 2010. Di hari perilisan album ini, Penulis langsung mendownload albumnya.

Sebelum albumnya rilis, Penulis sudah melihat single pertamanya yang berjudul The Catalyst yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta.

Secara konsep, Penulis sangat menyukai album ini!

Mengambil Pidato Tokoh Terkenal

Apa yang membuat unik dari album ini adalah banyaknya pidato tokoh terkenal yang dikombinasikan dengan berbagai instrumen modern.

Ada tiga tokoh yang pidatonya digunakan, yakni Robert Oppenheimer (The Radiance), Mario Savio (Wretches and Kings), dan Martin Luther King Jr. (Wisdom, Justice, and Love).

Dari Kiri: Oppenheimer, Savio, King

Judul albumnya diambil dari kutipan Oppenheimer yang bersumber dari sastra HinduIa mengatakan bahwa bom atom terlihat sangat terang seperti seribu matahari.

Oppenheimer sendiri merupakan tokoh proyek Manhattan selama Perang Dunia 2 yang bertanggung jawab dalam produksi bom atom pertama. Ketakutan manusia terhadap perang nuklir menjadi konsep album ini.

Tidak hanya itu, album ini juga memiliki beberapa lagu yang berfungsi sebagai bridging atau transisi dari satu lagu ke lagu lainnya. Jika dihitung, hanya ada sembilan lagu utuh (dari 15 lagu) di dalam album ini.

Selain itu, untuk pertama kalinya mereka tidak mencantumkan nama band ataupun judul album pada covernya. Hal ini dipertahankan pada album The Hunting Party dan One More Light.

Lagu-Lagu A Thousand Suns

Lagu ini dibuka dengan intro yang berjudul The Requiem. Liriknya sendiri diambil dari lirik lagu The Catalyst dengan suara vokal Mike yang diubah menggunakan vocoder.

Ketika membaca sumber lain, ternyata lagu ini juga menggabungkan beberapa komponen dari lagu lain. Untuk pertama kali, Penulis menyukai intro album Linkin Park.

Lagu ini terdengar menyatu dengan lagu The Radiance yang berisikan pidato dari Robert Oppenheimer diriingi dengan electronic beat sederhana.

Ketika iTunes Festival di London pada tahun 2011, Mr. Han memainkan pidato ini dengan epic, walaupun bagi kebanyakan fans mungkin akan terdengar aneh.

Baru di lagu ketiga lah, Burning in the Skieskita bisa mendengarkan sebuah lagu utuh. Di sini, Chester hanya bernyanyi di bagian reff di mana Mike menyanyikan sisanya.

Di dalam video klipnya, kita bisa melihat beberapa aktivitas random yang sedang dalam kondisi slow motion sebelum terkena efek ledakan bom nuklir. Genrenya sendiri menurut Penulis masuk ke dalam pop-rock.

Selanjutnya ada lagu Empty Space di mana kita bisa mendengarkan suara jangkrik dan semacam suara pertempuran. Lagu ini berfungsi sebagai interlude untuk lagu selanjutnya, When They Come for Me.

Lagu tersebut diawali dengan distorted synth stabs yang unik. Mike mendominasi lagu ini dengan rap-nya sehingga lagu ini terkesan bergenre hip-hop.

Semua personel menjadi backing vocal, sementara Chester hanya memiliki sedikit bagian di bagian akhir lagu. Ada juga suara yang dihasilkan toa, yang kalau di dalam konser berasal dari suara Brad.

Beat drum juga terdengar sepanjang lagu. Ketika konser, Chester dan Brad menjadi penabuhnya. Yang jelas, lagu ini benar-benar terdengar seperti hasil eksperimen yang ekstrem.

Track nomor enam adalah Robot Boy yang kurang Penulis sukai. Lagu ini diawali dengan dentingan piano dan vokal Chester yang lembut. Ketika lagu berakhir, terdengar sedikit intro dari lagu selanjutnya, Jornada Del Muerto.

Lagu ini menggunakan Bahasa Spanyol sebagai judul, namun liriknya menggunakan Bahasa Jepang. Hal tersebut membuat lagu ini menjadi satu-satunya lagu Linkin Park yang menggunakan judul dan lirik bahasa asing selain Bahasa Inggris.

Jornada Del Muerto merupakan lagu transisi untuk lagu selanjutnya, Waiting for the Endyang menjadi lagu favorit Penulis dari album ini.

Apa yang membuat Penulis suka dari lagu ini adalah banyaknya permainan synth, rap dari Mike, serta vokal tinggi Chester di bagian akhir lagu. Klimaksnya sangat terasa.

Bagi Penulis, lagu ini terdengar seperti versi modern lagu Papercut. Selain itu, Penulis juga sangat menyukai konsep video klipnya yang sangat keren.

Lagu Blackout menjadi satu-satunya lagu di dalam album ini di mana Chester melakukan screaming. Bisa dibilang, ini merupakan salah satu lagu terunik selain lagu When They Come for Me.

Selanjutnya ada lagu Wretches and Kings yang diawali dengan pidato dari Mario Savio mengenai betapa menjijikkannya perkembangan teknologi.

Lagu ini juga memiliki banyak efek yang unik. Mike juga melakukan rap di lagu ini. Yang menyenangkan dari lagu ini, Penulis bisa mendengar gesekan turntables Mr. Han sekali lagi.

Kita juga akan mendengarkan pidato dari Martin Luther King Jr. pada lagu Wisdom, Justice, and Love, di mana suara Martin makin lama makin terdengar seperti suara robot menjelang akhir lagu.

Pesan tersirat dari efek tersebut masyarakat kita yang semakin lama semakin kehilangan empatinya seperti robot. Lagu ini merupakan transisi untuk lagu selanjutnya, Iridescent.

Lagu ini merupakan soundtrack dari film Transformers: Dark of the Moon. Lagu ini terdengar sangat ballad jika dibandingkan dengan lagu Linkin Park yang lain. Selain itu, liriknya juga masih terkait dengan ancaman bom nuklir.

Kemudian ada lagu The Fallout yang liriknya diambil dari lirik lagu Burning in the Skies. Sekali lagi, Mike menyanyikannya dengan menggunakan vocoder sehingga suaranya berubah.

Lagu tersebut merupakan transisi untuk lagu selanjutnya, The Catalyst. Lagu ini diawali dengan gesekan turntable yang sangat asyik untuk didengarkan, lantas disambung dengan suara vokal Mike dan Chester.

Sebagai single pertama dari album, lagu ini dianggap sebagai representasi sempurna untuk menggambarkan perubahan band. Durasinya cukup panjang, lima setengah menit.

Album ditutup dengan album The Messenger yang menjadi satu-satunya lagu akustik di semua album Linkin Park. Penulis kurang menyukai lagu ini.

Penutup

Jika didengarkan, mungkin album ini terasa aneh karena banyaknya perbedaan yang dimiliki dengan album-album sebelumnya. Sekali lagi Linkin Park memutuskan untuk keluar dari zona nyaman.

Lebih banyak eksperimen musik yang dilakukan para personelnya di dalam album ini. Banyak instrumental yang terdengar, membuat album ini tidak bisa disamakan dengan album lain.

Selain itu, album ini memiliki transisi terbanyak dari lagu ke lagu, membuat album ini seolah-olah tersambung dari lagu pertama hingga lagu terakhir. Itu menjadi poin plus lainnya untuk album ini.

Setelah album ini, Penulis mulai mendengarkan musik-musik Korea hingga tak sadar kalau Linkin mengeluarkan album baru lagi dua tahun kemudian.

Album selanjutnya, Living Things. Stay tuned!

Kebayoran Lama, 22 Maret 2020, terinspirasi karena ingin menulis serial artikel tentang Linkin Park

Foto: Amazon

Musik

Tier List Lagu-Lagu di Album “From Zero” Versi Saya

Published

on

By

Awalnya, Penulis ingin menggabungkan tier list lagu-lagu di album From Zero di artikel “Mari Kita Bicarakan Album Baru Linkin Park, From Zero”. Akan tetapi, ternyata banyak yang ingin Penulis dari album tersebut, sehingga rasanya akan menjadi terlalu panjang jika disatukan.

Dalam tulisan ini, Penulis akan mengulas setiap lagu yang ada di From Zero yang total memiliki 11 lagu. Karena sempat mengatakan bahwa lagu-lagu di album ini bisa masuk ke album lama Linkin Park, Penulis juga akan memberi opininya lagu ini layak masuk ke album mana.

Setelah mengulas semua lagunya, Penulis akan membuat tier list dari album ini lalu membandingkannya dengan album lain yang pernah Penulis bahas di artikel “Tier List Lagu Linkin Park Versi Saya”.

Mari Kita Bahas Setiap Lagu di Album From Zero

1. From Zero (Intro) – Ini menjadi pembuka album yang berdurasi singkat, seperti lagu “Foreword” di album Meteora dan “Wake” di album Minutes to Midnight. Detail kecil ini sangat menarik bagi Penulis karena mengembalikan lagi “tradisi”lama yang hilang.

Ada semacam choir yang disambung dialog yang sepertinya terjadi antara Mike dan Emily. Inti dari percakapan tersebut adalah Emily yang menanyakan makna dari judul album ini, yang diakhiri dengan “oh, wait, your fir—

Pemotongan ini menjadi semacam easter egg yang menarik, karena dipotong begitu saja dan langsung berlanjut ke lagu selanjutnya. Jika bisa menebak, kemungkinan Emily akan berkata”oh, wait, your first band name is Xero, right?

Oleh karena itu, menurut Penulis intro ini sangat cocok untuk masuk ke album Meteora.

2. The Emptiness Machine – Ini adalah single pertama yang dirilis Linkin Park untuk memperkenalkan Emily. Ketika pertama kali mendengarkan, Penulis langsung merasa kalau lagu ini “Linkin Park banget” sebelum era album One More Light.

Penulis sudah pernah membahas lagu ini cukup panjang pada artikel “Menatap Era Baru Linkin Park Bersama Emily Armstrong”, sehingga Penulis tidak akan banyak membahas lagu ini di sini.

Sebelumnya, Penulis pernah mengatakan kalau lagu ini cocok untuk masuk ke album The Hunting Party. Namun, setelah didengarkan berkali-kali, rasanya “The Emptiness Machine” lebih cocok untuk masuk ke album Living Things.

3. Cut the Bridge – Begitu mendengar lagu ini, entah mengapa bagian intronya membuat Penulis teringat akan lagu “Arjuna” dari Dewa 19. Namun, sebenarnya ada beberapa beat di bagian intro yang membuat lagu ini terdengar seperti “Bleed It Out”.

Walaupun begitu, lagu ini bisa dibilang menjadi salah satu yang kurang cocok dengan selera Penulis dan gagal masuk ke dalam “Liked Music” di YouTube Music. Jika disuruh memilih, lagu “Cut the Bridge” sangat cocok untuk dimasukkan ke dalam album Minutes to Midnight.

4. Heavy is the Crown – Setelah mendengarkan keseluruhan album, Penulis tetap menganggap kalau lagu “Heavy is the Crown” adalah lagu terbaik dari album From Zero. Apalagi setelah menonton penampilan lagu ini di pembukaan Worlds 2024, beuh, mantap betul.

Lagu ini punya paket komplit dan memiliki nuansa seperti lagu “Faint”, mulai dari rap Mike seperti era awal-awal Linkin Park, bagian reff yang catchy, musik rock yang kental, scream belasan detik dari Emily yang membuat Penulis teringat lagu Given Up dari Minutes to Midnight.

Penulis merasa kalau lagu ini agak sulit untuk dimasukkan ke dalam album Linkin Park mana pun karena walaupun memiliki formula klasik Linkin Park, lagu ini punya warnanya sendiri. Jika harus memilih, Meteora adalah album yang paling cocok untuk album ini.

5. Over Each Other – Ini adalah lagu pertama dan satu-satunya yang hanya menampilkan vokal Emily. Selain itu, lagu ini juga terasa paling pop dibandingkan dengan lagu lainnya yang ada di album ini.

Awal mendengarkan, Penulis merasa agak aneh dengan lagu ini. Mungkin karena memang belum terbiasa saja dengan vokal Emily. Namun, lama kelamaan Penulis bisa menikmati lagu ini walaupun tak sampai memasukkannya ke dalam “Liked Music” untuk saat ini.

Oleh karena itu, Penulis merasa kalau lagu ini sangat cocok dengan tema dari album One More Light yang menjadi album paling pop dari Linkin Park.

6. Casualty – Begitu mendengarkan lagu ini, Penulis langsung merasa kalau album ini harus masuk ke dalam album The Hunting Party karena terdengar sangat rusuh. Penulis langsung teringat lagu “Keys to the Kingdom” ditambah “QWERTY”.

Satu hal yang menarik dari lagu ini adalah vokal Mike, yang biasanya terdengar kalem dan menenangkan, berubah menjadi garang dan keras seolah Mike sedang marah-marah. Namun, hal itu cocok dengan lagunya yang terdengar seperti lagu punk rock old school.

“Casualty” menjadi satu lagu yang nempel di telinga Penulis karena “rusuhnya” dan membuat ingin Penulis terus melakukan headbang. Lagu-lagu rusuh seperti inilah yang sering Penulis rindukan dari Linkin Park, dan hal tersebut akhirnya bisa Penulis dapatkan sekarang.

7. Overflow – Selain “Cut the Bridge”, lagu “Overflow” adalah salah satu lagu lainnya yang kurang nyantol di telinga Penulis. Dibandingkan lagu-lagu lain, lagu ini terasa paling eksperimental dan punya kesan hip-hop yang cukup kental.

Di bagian awal lagu, ada bagian yang membuat Penulis teringat lagu “PPR:KUT” alias “Papercut” versi album Reanimation. Dengan berbagai ulasan tersebut, Penulis menganggap kalau lagu ini cocok untuk dimasukkan ke dalam album A Thousand Suns.

8. Two Faced – Lagu ini merupakan single keempat yang dirilis Linkin Park jelang rilis album penuhnya. Saat mendengarkan pertama kali, lagu ini terdengar seperti lagu-lagu pre-demo Linkin Park sebelum debut.

Selain itu, scream yang dilakukan oleh Emily juga terkesan ngawur dan agak urak-urakan. Namun, setelah didengarkan berkali-kali, Penulis akhirnya bisa menikmati lagu ini. Apalagi, banyak yang berpendapat kalau lagu ini merupakan “One Step Closer 2.0”.

Apa yang Penulis suka dari lagu ini adalah adanya guitar riff yang berat, seperti yang bisa kita dengarkan dari lagu-lagu seperti “QWERTY” dan “Don’t Stay”. Elemen ini adalah salah satu hal yang Penulis sukai dari Linkin Park, dan rasanya sudah lama absen.

Tak hanya itu, salah satu elemen lain yang membuat Penulis menyukai lagu ini adalah kembalinya teknis scratch alias ceket-ceket solo dari Mr. Hahn. Terakhir kali Penulis mendengarkan ini adalah di album A Thousand Suns melalui lagu “Wretches and Kings”.

Oleh karena itu, lagu ini bisa disebut terdengar seperti lagu-lagu klasik Linkin Park, genre yang membuat Linkin Park menjadi begitu populer. Lagu “Two Faced” sangat cocok untuk masuk ke dalam album Hybrid Theory.

9. Stained – Biasanya, Penulis kurang menyukai lagu Linkin Park yang terlalu slow. Namun, “Stained” bisa menjadi pengecualian karena Penulis menyukainya. Penulis merasa kalau lagu ini cocok untuk masuk ke dalam album Living Things atau One More Light.

Selain itu, Penulis entah mengapa merasa kalau lagu ini terasa seperti lagu-lagu dari Avril Lavigne, terutama dari album Avril Lavigne yang rilis tahun 2013 silam. Karena itu juga lagu ini terdengar seperti lagu lama, bukan lagu yang dirilis di tahun 2024.

10. IGYEIH – Sejak daftar lagu From Zero muncul di internet, Penulis sudah penasaran dengan lagu IGYEIH. Penulis sampai harus mencari apa arti dari judul tersebut di Reddit. Ternyata, setelah rilis, judul tersebut merupakan akronim dari I Give You Everything I Have.

Lagu ini juga langsung terdengar asyik ketika pertama kali mendengarkannya. Terkesan rusuh seperti “Casualty” dengan lirik yang related dengan Penulis. Ini juga menjadi lagu keras terakhir di album ini setelah “Heavy is the Crown”, “Casualty”, dan “Two Faced”.

Karena kerusuhannya tersebut, Penulis merasa kalau album ini cocok untuk menemani lagu “Casualty” di album The Hunting Party.

11. Good Things Go – Sebagai lagu penutup album, “Good Things Go” terasa pas sebagai penutup. Apalagi, lagu ini juga nyambung dengan lagu pertama di album ini, sehingga efek looping-nya terasa.

Banyak yang menanggap kalau lagu ini menjadi lagu “terindah” dari album ini, baik dari komposisi musiknya maupun liriknya. Penulis merasa kalau lagu ini akan sangat cocok untuk masuk ke album One More Light.

Tier List Album From Zero

Berdasarkan ulasan di atas dan pengalaman mendengar Penulis selama ini, inilah tier list kesebelas lagu yang ada di album From Zero versi Penulis:

  • S: –
  • A: The Emptiness Machine, Heavy is the Crown
  • B: Casualty, Two-Faced, Stained, IGYHEIH, Good Things Go
  • C: Cut the Bridge, Over Each Other, Overflow
  • D: From Zero (Intro)
  • E: –

Dari tier list tersebut, mari kita hitung berapa skor dari album From Zero dengan hitungan yang sama dengan sebelumnya (Tier S = 5, Tier A = 4, …, Tier E=0). Dengan susunan di atas, maka kita akan mendapatkan skor 30 dengan rata-rata 2,73.

Inilah posisi From Zero jika dibandingkan dengan album Linkin Park lainnya:

  1. Meteora – Bobot Akhir: 42 (Rata-Rata: 3,23)
  2. From Zero – Bobot Akhir: 30 (Rata-Rata: 2,73)
  3. Hybrid Theory – Bobot Akhir: 30 (Rata-Rata: 2,5)
  4. Living Things – Bobot Akhir: 29 (Rata-Rata:2,42)
  5. One More Light – Bobot Akhir: 22 (Rata-Rata: 2,2)
  6. Minutes to Midnight – Bobot Akhir: 26 (Rata-Rata: 2,17)
  7. The Hunting Party – Bobot Akhir: 23 (Rata-Rata: 1,92)
  8. A Thousand Suns – Bobot Akhir: 27 (Rata-Rata: 1,8)

Ya, Penulis sendiri terkejut album ini bisa berada di ata Hybrid Theory dan hanya kalah dari Meteora yang memang menjadi album favorit Penulis sepanjang masa. Namun, memang Penulis bisa menikmati semua lagu yang ada di album ini, sehingga rasanya wajar bisa mendapatkan skor setinggi itu.

Untuk beberapa waktu ke depan, Penulis akan terus mengulang album From Zero, terutama ketika sedang lari pagi dan bekerja. K-Pop, untuk sementara waktu rasanya harus minggir dulu meskipun IVE baru merilis single baru yang sangat catchy hasil kolaborasi dengan David Guetta.


Lawang, 16 November 2024, terinspirasi setelah mendengarkan semua lagu di album From Zero berkali-kali

Foto Featured Image: Apple Music

Continue Reading

Musik

Mari Kita Bicarakan Album Baru Linkin Park, From Zero

Published

on

By

Hari ini adalah hari paling membahagiakan bagi fans Linkin Park. Bagaimana tidak, setelah tujuh tahun, akhirnya Linkin Park merilis album baru berjudul From Zero. Ini adalah album perdana bersama anggota baru, yakni Emily Armstrong dan Colin Brittain.

Sebelum merilis album ini, Linkin Park sudah merilis empat single dalam waktu yang cukup berdekatan, yakni “The Emptiness Machine”, “Heavy is the Crown”, “Over Each Other”, dan “Two Faced”.

Secara keseluruhan, Penulis bisa menikmati keempat single tersebut, terutama dua judul pertama. Oleh karena itu, Penulis tak sabar untuk mendengarkan tujuh lagu lainnya yang ada di dalam lagu From Zero.

First Impression Saya Mendengarkan From Zero

Cover Album From Zero (Apple Music)

Sejak pagi, Penulis sudah dihubungi oleh temannya yang sesama penggemar Linkin Park untuk mendiskusikan album ini. Namun, Penulis baru mulai mendengarkannya siang setelah Sholat Jumat dan terus mengulangnya hingga menulis artikel ini. Berikut adalah daftar lagu di album From Zero:

  1. From Zero (Intro)
  2. The Emptiness Machine
  3. Cut the Bridge
  4. Heavy is the Crown
  5. Over Each Other
  6. Casualty
  7. Overflow
  8. Two Faced
  9. Stained
  10. IGYEIH
  11. Good Things Go

Saat mendengarkannya pertama kali, Penulis merasa kalau album ini terasa “kompilasi” dari ketujuh album Linkin Park sebelumnya bersama Chester. Jika disebar, semua lagu yang ada di album ini bisa dengan mudah masuk ke dalam album-album lama Linkin Park.

Menurut Penulis, album ini merupakan kombinasi antara “The Old LP” dan “The New LP”. Mereka berusaha mempertahankan identitas mereka, tapi tetap menyesuaikan diri dengan zaman. Apalagi, mereka hadir dengan vokalis baru dengan jenis vokal yang berbeda.

Hal kecil lain yang menarik dari album ini adalah kembalinya efek “bersambung” dari tiap lagunya. Efek ini sempat hilang di album One More Light, sehingga Penulis merasa senang ketika mendengar ada beberapa lagu yang saling bersambung, apalagi tiga lagu terakhirnya.

Sebagai tambahan, menurut teman Penulis album ini terasa “not depressing“, berbeda dengan beberapa tema lagu lama Linkin Park. Album ini seolah menjadi katarsis Mike setelah merilis album Post Traumatic beberapa tahun lalu.

Pamer Kemampuan Vokal Emily

Emily Armstrong (Evening Standard)

Sejak rilisnya lagu “The Emptiness Machine”, kita secara bertahap diperkenalkan dengan vokal Emily. Jika lagu tersebut adalah perkenalan, maka “Heavy is the Crown” adalah pertunjukkan kalau Emily adalah seorang rockstar yang mampu melakukan scream panjang.

Selanjutnya di “Over Each Other”, kita diperdengarkan vokal Emily menyanyi lagu pop-rock yang lebih slow . Di “Two Faced”, kita kembali mendengar bagaimana Emily bengak-bengok dengan keras dan aur-auran.

Nah, berbagai perbedaan itu semakin terasa di album From Zero. Linkin Park seolah ingin pamer kemampuan vokal Emily yang bisa bernyanyi di berbagai genre. Mau nyanyi slow, gas. Mau nyanyi agak pop, boleh. Mau teriak-teriak, hajar.

Kalau mau di-oversimplified, lagu-lagu di album ini bisa dibagi tiga kategori: Soft (S), Neutral (N), dan Hard (H). Seperti inilah pembagiannya versi Penulis (dengan mengecualikan track pertama), yang menariknya ternyata cukup seimbang:

S: Over Each Other, Stained, Good Things Go

N: The Emptiness Machine, Cut the Bridge, Overflow

H: Heavy is the Crown, Casualty, Two Faced, IGYEIH

Penulis sejujurnya sudah semakin terbiasa dengan vokal Emily dan menyukainya. Keputusan Mike dan Linkin Park untuk menunjukkan terbukti merupakan keputusan yang benar sekaligus membuktikan para hater Emily salah.

Apalagi setelah melihat penampilan Emily di pembukaan turnamen Worlds 2024, rasanya ia terus berusaha untuk improve dan membuktikan bahwa ia penerus yang layak dari mendiang Chester.

Versi Baru dari Lagu-Lagu Lama Linkin Park

Ketika membaca kolom komentar di kanal YouTube Linkin Park, banyak penggemar yang mengaku menangis ketika mendengarkan album ini. Perasaan sentimental tersebut juga hinggap di diri Penulis, karena bagaimanapun ini adalah penantian yang cukup panjang.

Selain itu, ada banyak penggemar yang merasa kalau lagu-lagu di album ini menjadi versi 2.0 dari lagu lama Linkin Park. Yang paling sering disebut adalah lagu “Two Faced” yang dianggap versi baru dari “One Step Closer” dari album Hybrid Theory.

Ada banyak hal yang mengejutkan dari album ini bagi Penulis. Contohnya, di lagu Casualty, kita bisa mendengarkan rap dari Mike dengan cara yang berbeda. Selain itu, di beberapa lagu ia juga bisa melakukan rap yang lebih cepat dari biasanya, padahal ia sudah berusia 47 tahun.

Menurut teman Penulis, album ini membuktikan bahwa Mike adalah seorang rapper yang decent, apalagi jika dibandingkan rapper-rapper baru yang menurutnya “alay” dengan hit-hit baru yang mungkin tidak cocok untuk telinga milenial.

Contoh lainnya, siapa yang menyangka bisa mendengar scratch alias ceket-ceket ala Mr. Hahn di tahun 2024? Padahal, teknik tersebut sudah dianggap jadul sejak bertahun-tahun lalu. Namun, bagi Penulis yang selalu menyukai permainan Mr. Hahn, hal ini menjadi semacam nostalgia sekaligus obat kangen.

Terakhir, Penulis terkejut karena ternyata hanya “Over Each Other” yang menjadi lagu full Emily di album ini. Selain itu, selalu ada vokal dari Mike, baik nge-rap maupun tidak. Mungkin Linkin Park belum terlalu percaya diri mengeluarkan single full Emily lebih banyak?

Penutup

Secara keseluruhan, Penulis menganggap kalau From Zero merupakan album comeback yang memuaskan. Bisa tetap merasakan Linkin Park yang Penulis kenal sembari mendapatkan sesuatu yang fresh merupakan ha menyenangkan.

Namun, album ini seolah membantah pernyataan Mike dalam satu wawancara kalau mereka start from scratch. Tidak, mereka tidak benar-benar memulai dari nol. Mereka memasukkan apa yang mereka kerjakan selama ini dan memberikan sentuhan baru.

Setelah membahas album ini secara keseluruhan, selanjutnya Penulis akan membahas tiap lagu di dalam album ini satu per satu, lalu membuat tier list-nya. Setelah itu, kira-kira akan ada di posisi mana album From Zero jika dibandingkan album Linkin Park yang lain?


Lawang, 15 November 2024, terinspirasi setelah mendengarkan album From Zero yang baru rilis hari ini

Foto Featured Image: Apple Music

Continue Reading

Musik

Mengapa BTS Lagu “A Light That Never Comes” Begitu Saya Sukai

Published

on

By

Linkin Park baru saja merilis single ketiga mereka minggu kemarin yang berjudul “Over Each Other”. Sesuai prediksi Penulis, kali ini lagunya full suara Emily. Sayangnya, Penulis kurang menyukai lagu ini karena cukup “terbanting” jika dibandingkan dua lagu sebelumnya.

Nah, entah mengapa setelah mendengarkan lagu tersebut, Penulis jadi teringat salah satu behind the scene (BTS) dari salah satu lagu kolaborasi antara Linkin Park dan Steve Aoki, “A Light That Never Comes”.

Video BTS ini telah berulang kali Penulis tonton tanpa pernah merasa bosan. Setelah dipikir-pikir, ternyata memang ada banyak alasan mengapa Penulis begitu menyukai video BTS yang berdurasi sekitar 8 menit ini.

Isi Video BTS ” A Light That Never Comes”

Penulis akan menceritakan secara singkat apa isi video BTS “A Light That Never Come”. Dalam video tersebut, Mike berkata kepada Chester bahwa ia telah menerima dan menggubah musik yang dikirimkan oleh Steve Aoki. Musik tersebut akan digunakan untuk bagian chorus.

Hari itu, jadwalnya adalah pembuatan lirik dan perekaman vokal yang akan dilakukan oleh mereka berdua. Awalnya, mereka hanya melakukan humming karena belum mengetahui lirik seperti apa yang akan cocok untuk mengisi musiknya.

Setelah itu, pada satu titik Mike menemukan ide bahwa beat musiknya pas untuk lirik waiting for nanana that never comes. Ia pun berdiskusi dengan Chester untuk menemukan kata apa yang pas untuk dimasukkan ke dalam lirik tersebut.

Mike juga mengingatkan kalau kalimat waiting for the end tidak boleh dipakai, karena itu adalah judul salah satu lagu mereka dari album A Thousand Suns. Chester sempat berseloroh sebaiknya mereka menggunakan lirik waiting for the other end.

Meskipun belum menemukan lirik yang pas, mereka mulai mencoba untuk melakukan proses perekaman. Saat itulah, Chester secara spontan menggunakan kata the light yang akhirnya digunakan di dalam lagu.

Setelah melengkapi lirik untuk bagian chorus, Mike pun langsung melakukan editing dan menggabungkan musik dengan vokal Chester yang baru saja direkam. Hasilnya, seperti yang bisa kita dengarkan saat lagunya rilis, fenomenal.

Mengapa Penulis Sangat Menyukai BTS “A Light That Never Comes”

Ada banyak hal yang membuat Penulis sangat menyukai BTS lagu “A Light That Never Comes”. Pertama, Penulis sangat menyukai desain interior ruang rekaman Linkin Park, baik dari posisi meja kerja, berbagai hiasan seni yang terpajang di dinding, dan lainnya.

Obsesi Penulis terhadap meja kerjanya sangat terinspirasi dari video ini, bagaimana meja kerja harus dibuat serapi dan senyaman mungkin untuk memicu kreativitas lahir dari kepala. Jika Penulis musisi, pasti sudah membuat setup seperti meja kerja Mike.

Lalu, tentu saja Penulis menyukai BTS ini karena bisa melihat bagaimana proses kreatif yang dilakukan oleh Linkin Park dalam membuat lagu. Pada video ini, kita bisa melihat kejeniusan Mike dalam mengaransemen lagu sekaligus memasukkan lirik yang pas.

Sepanjang proses pembuatan lagu, Mike dan Chester sering bertukar ide dan pikiran dengan akrabnya, mendiskusikan seperti apa lagunya akan dinyanyikan. Kekompakan yang terlihat di video tersebut membuat mereka berdua terlihat seperti saudara.

Terakhir, yang agak menyedihkan, pada BTS ini kita bisa melihat bagaimana humorisnya seorang Chester. Ada saja kelakuannya yang mengundang tawa. Siapa sangka, orang seperti itu memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan gantung diri.

Penutup

Penulis memang selalu menyukai proses kreatif di balik suatu karya, entah itu musik, film, lukisan, dan lain sebagainya. Bahkan, proses pembuatan gawai atau perakitan Gundam pun juga Penulis sukai.

Namun, setidaknya dari sisi musik, BTS “A Light That Never Comes” selalu di hati. Saking sukanya, Penulis pernah mengambil screenshot yang menjadi featured image artikel ini sebagai wallpaper laptopnya.

Linkin Park tetap mempertahankan “tradisinya” untuk mengunggah BTS di kanal YouTube mereka, termasuk persiapan pembuatan album From Zero yang akan datang. Mari kita lihat apa perbedaannya jika dibandingkan dengan BTS era Chester.


Lawang, 30 Oktober 2024, terinspirasi setelah menonton kembali behind the scene lagu “A Light That Never Come” untuk yang ke sekian kalinya

Foto Featured Image: YouTube

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan