Connect with us

Pengembangan Diri

Dikecewakan Ekspektasi

Published

on

Ekspektasi bisa dianggap sebagai harapan yang ingin dicapai. Mungkin banyak yang lebih mengenal lagu ini sebagai sebuah lagu dari Kunto Aji.

Setiap individu memiliki ekspektasinya masing-masing di dalam hidupnya. Ada yang berekspektasi kaya raya, menikah dengan pengusaha, masuk ke universitas favorit, dan lain sebagainya.

Sangat wajar jika manusia memiliki ekspektasi. Hanya saja, tak jarang pada akhirnya kita dikecewakan oleh ekspektasi yang dibuat sendiri.

***

Apakah Penulis pernah dikecewakan oleh ekpektasinya sendiri? Tentu pernah, sering malah. Apalagi, Penulis termasuk orang yang mudah baper.

Ekspektasi tidak selalu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat materiil. Ada banyak kejadian sepele dalam kehidupan sehari-hari yang akan membuat kita berekspektasi.

Contoh, ketika kita berusaha memberikan kejutan kepada pacar. Kita berekspektasi pacar kita terkejut dan senang mendapatkan kejutan dari kita.

Ketika ternyata sang pacar mukanya flat aja dan memaksakan diri tersenyum hanya untuk menghargai upaya kita, perasaan kecewa akan muncul karena kenyataan berbeda dengan ekspektasi kita.

Contoh lain, ketika kita menawarkan bantuan kepada teman. Bukannya disambut, ia malah marah-marah karena merasa diremehkan. Kita akan kecewa karena kita berkekspektasi mendapatkan terima kasih, bukannya cemoohan.

Ada banyak sekali contoh dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi bukti kalau kita bisa mudah dikecewakan oleh ekspektasikan sendiri.

***

Dalam tulisan Peduli dengan Ikhlas Itu Berat, Penulis menyebutkan kalau berbuat baik tanpa mengharapkan apapun itu berat. Penulis sendiri kadang masih merasa pamrih walau hanya berekspektasi mendapatkan respon yang diinginkan.

Demi menghindari munculnya rasa kecewa, kita harus bisa menekan ekspektasi tersebut. Mungkin tidak bisa dihilangkan total, tapi setidaknya kadarnya dikurangi.

Kalau misal ingin membuat kejutan untuk pacar, ya sudah buat aja kejutannya tanpa berharap yang muluk-muluk. Setidaknya, niat untuk membuatnya bahagia telah terlaksana.

Kalau misal ingin menawarkan bantuan untuk teman, ya sudah tawarkan saja tanpa mengharapkan akan mendapatkan respon yang positif. Mungkin dianya memang bukan tipe orang yang suka dibantu.

Secara teori hal ini mudah dilakukan. Secara praktik? Susahnya luar biasa.

***

Bagaimana dengan ekspektasi-ekspektasi lain seperti ingin kuliah di jurusan yang telah didambakan? Pendekatannya berbeda, karena pasti kita akan menanamkan harapan yang besar di sana.

Untuk menghadapi ekspektasi seperti itu, yang bisa kita lakukan (selain tidak berharap berlebihan) adalah meyakini ada sebuah hikmah di balik semua peristiwa. Bahasa Inggrisnya, every cloud has a silver lining.

Yang perlu dicatat adalah setiap ekspektasi harus diiringi dengan usaha (dan doa) yang seimbang. Kalau mau kuliah di kampus favorit, ya berarti harus belajar dengan giat.

Jika kenyatannya harus tersingkir karena kalah dengan orang-orang yang punya privilege, ya pasti kecewa. Tapi kita harus yakin kalau kejadian tersebut adalah yang terbaik untuk kita.

Berekspektasi untuk mendapatkan pasangan pengusaha? Ya ngaca dulu dan pantaskan dirimu terlebih dahulu. Berekspektasi jadi kaya raya? Ya jangan kebanyakan mager.

***

Tulisan ini jadi juga karena Penulis baru saja dikecewakan oleh ekspektasinya sendiri. Bahkan, hal ini telah berulang berkali-kali. Penulis saja yang terlalu tolol untuk mengulangi kesalahan yang sama.

Penulis juga masih mencari-cari cara bagaimana kita bisa menekan ekspektasi diri karena harapan itu sudah menjadi bagian dari hidup manusia.

Tidak ada yang salah dari ekspektasi. Yang salah adalah jika kita berekspektasi terlalu banyak. Semakin banyak kita berkekspektasi, semakin besar peluang kita untuk merasa kecewa jika yang diekspektasikan tidak benar-benar terjadi.

 

 

Kebayoran Lama, 16 Juli 2020, terinspirasi setelah dikecewakan oleh ekspektasi sendiri

Foto: Milada Vigerova on Unsplash

Pengembangan Diri

Memahami Sumber Ketidakbahagiaan untuk Menemukan Kebahagiaan

Published

on

By

Siapa yang tidak ingin bahagia? Penulis rasa sudah fitrahnya manusia untuk merasa bahagia selama dia hidup. Walaupun definisi bahagia orang bisa berbeda-beda, sudah sewajarnya manusia mengejar kebahagiaan.

Jika disuruh mendeskripsikan apa itu bahagia, jujur Penulis sedikit kebingungan mendefinisikan versi Penulis. Mungkin karena tidak memahami apa makna dari kebahagiaan inilah Penulis jadi jarang merasa bahagia.

Karena merasa kesulitan mendefinisikan kebahagiaan, Penulis mencoba untuk berpikir sebaliknya. Bagaimana jika kita mencari apa yang membuat kita tidak bahagia, karena lebih mudah untuk diidentifikasi?

Memahami Apa Penyebab Ketidakbahagiaan

Kita Lebih Mudah Tidak Bahagia daripada Bahagia (Engin Akyurt)

Tentu banyak hal yang bisa membuat kita tidak bahagia. Namun, jika dirumuskan dalam satu kalimat, Penulis meyakini kalau ketidakbahagiaan muncul ketika gambaran ideal yang ada di kepala tidak menjadi kenyataan.

Misalnya begini. Bagi Penulis, secara ideal Penulis harus bisa bangun pagi yang dilanjutkan dengan lari pagi. Setelah itu, mandi pagi, menulis artikel blog, baru mulai bekerja. Jika semua rangkaian tersebut tidak terlaksana, Penulis merasa gagal, dan akhirnya tidak bahagia

Contoh lain, bagi Penulis penghasilan yang ideal adalah 20 juta rupiah per bulan. Namun, hingga saat ini Penulis belum bisa mencapai nominal tersebut. Karena tidak sesuai dengan gambaran idealnya, Penulis pun jadi merasa tidak bahagia.

Sekarang Penulis mengambil contoh gambaran ideal ke orang lain. Misal kita punya gambaran ideal tentang pasangan di kepala: perhatian, peka, pendengar yang baik, loyal. Nah, ketika mendapatkan pasangan yang tidak sesuai dengan gambaran ideal tersebut, kita tidak bahagia.

Dengan kata lain, kita harus pandai-pandai mengelola ekspektasi yang ada di kepala kita, entah itu ekspektasi ke diri sendiri maupun ke orang lain. Tentu bukan berarti kita jadi punya target yang rendah dalam hidup, tapi lebih bisa menerima jika target tersebut belum bisa dicapai.

Sejujurnya karena tulisan ini lama ditunda, Penulis lupa di mana menemukan konsep di atas. Kemungkinan besar dari buku Filsafat Kebahagiaan, tapi Penulis tak bisa memastikan. Jadi, anggap saja benar.

Bersyukur Setiap Kali Mengeluh

Selalu Cari Apa yang Bisa Disyukuri (Kaboompics.com)

Dalam buku Effortless karya Greg McKeown yang sedang dibaca, Penulis menemukan satu konsep yang menarik. Dalam salah satu babnya, kita diajak membiasakan diri untuk mensyukuri sesuatu setiap kali kita mengeluh.

Kalau Penulis tarik, ini bisa Penulis kaitkan dengan bahasan kebahagiaan dan ketidakbahagiaan di tulisan ini. Keluhan identik dengan ketidakbahagiaan, sedangkan rasa syukur identik dengan kebahagiaan.

Misal begini, kita mengeluhkan betapa banyaknya kerjaan yang terasa tidak masuk akal untuk kita kerjakan sendiri. Alhasil kita jadi merasa tidak bahagia, karena menurut gambaran ideal kita, seharusnya kita tidak mengerjakan tugas sebanyak itu.

Nah, begitu terbesit keluhan tersebut, coba kita cari satu hal saja yang bisa disyukuri tentang pekerjaan tersebut. Setidaknya, kita masih punya pekerjaan di tengah badai PHK di banyak tempat dan kondisi ekonomi seperti ini.

Contoh lain, kita merasa sebal karena pasangan kita kurang pengertian dan kurang peka. Dari keluhan tersebut, coba cari hal yang bisa disyukuri darinya. Oh, walau dia gitu, tapi dia setia banget dan selalu mau membantu di kala kita kesusahan.

Kalau mengingat hal-hal yang bisa disyukuri, gambaran ideal di kepala pun akan menyesuaikan diri. Dengan demikian, kita akan mencocokkan realita dengan bayangan ideal kita, sehingga kita bisa merasa bahagia.

Jadi, jika disimpulkan, maka kebahagiaan adalah ketika kita bisa mengelola gambaran ideal yang ada di kepala kita. Kebahagiaan adalah ketika kita bisa mengelola ekspektasi kita dengan baik. Jangan lupa bahagia!


Lawang, 17 September 2025, terinspirasi karena merasa dirinya perlu mendefinisikan ulang mengenai apa itu kebahagiaan

Foto Featured Image: Jorge Fakhouri Filho

Continue Reading

Pengembangan Diri

Jangan Menunggu Sempurna, Mulai Aja Dulu

Published

on

By

Sejak dulu, Penulis merasa dirinya adalah seorang perfeksionis parah. Segala sesuatu harus sesuai dengan standarnya. Bahkan, tak jarang kalau Penulis baru akan memulai sesuatu jika merasa itu sudah sempurna.

Tak hanya itu, Penulis kerap menanti waktu terbaik untuk memulainya agar sempurna seperti yang ada di bayangannya. Alhasil, karena menunggu kesempurnaan itu, Penulis justru tidak memulai-mulainya.

Nah, saat ini Penulis sedang membaca buku Effortless karya Greg McKeown. Salah satu poin yang tertera di buku tersebut adalah Dimulai. Intinya kita harus melakukan satu aksi pertama yang nyata, yang benar-benar kita lakukan. Itulah yang ingin Penulis bahas kali ini.

Menengok Ketidaksempurnaan Mangaka Populer

Dibandingkan menonton anime, Penulis lebih suka membaca komik karena membutuhkan durasi yang lebih singkat. Menariknya, dari sekian banyak komik yang pernah dibaca, Penulis menemukan satu kesamaan: tidak semua mangaka langsung bisa menggambar dengan bagus.

Contoh yang paling terkenal kasus ini adalah Hajime Isayama, mangaka Attack on Titan. Banyak orang yang membandingkan bagaimana “mentahnya” gambar di awal-awal jika dibandingkan dengan chapter-chapter yang paling baru.

Evolusi Gambar Attack on Titan (Reddit)

Tak hanya Isayama, Penulis juga merasa ada evolusi dari gambar Masashi Kishimoto (Naruto), Akira Toriyama (Dragon Ball), Eiichiro Oda (One Piece), dan masih banyak lagi. Biasanya, chapter-chapter awal para mangaka tersebut masih mencari formula terbaik untuk komiknya.

Tentu ada standar minimum agar karya mereka bisa lolos dari editor. Namun, tetap saja jika dibandingkan dengan chapter-chapter terbaru dari komik tersebut, kita bisa melihat perubahan ke arah yang lebih baik.

Tak hanya komik, Webtoon pun memiliki pola yang sama. Dari beberapa judul favorit Penulis seperti Ngopi Yuk!, Kosan 95, Si Ocong, sampai Tahilalat pun juga tak langsung sempurna. Mereka tak menanti sempurna, yang penting mulai dulu aja.

Bahkan blog ini pun bisa dibilang juga memiliki pola yang sama. Ketika Penulis membaca tulisan-tulisan awal yang terbit di tahun 2018, Penulis merasa malu sendiri karena kualitasnya jelek dan banyak kesalahan penulisan yang mendasar.

Mulai Dulu Aja

Mulai Aja Dulu (JÉSHOOTS)

Penulis menyadari bahwa perfeksionisme justru bisa menjadi benalu yang menghambat perkembangan diri. Menanti sesuatu yang tak akan pernah datang, seperti kesempurnaan, hanya akan berakhir dengan buruk.

Dari buku Atomic Habits karya James Clear, Penulis belajar bahwa untuk memulai sesuatu, mulailah dari yang kecil terlebih dahulu. Bangun lima menit lebih awal, menulis satu paragraf, membaca satu halaman, mengubah satu baris CV, adalah beberapa contohnya. Jangan dibuat ribet, buat sesederhana mungkin.

Misal Penulis ingin mengejar lagi cita-citanya untuk bekerja di luar negeri. Tidak perlu muluk-muluk harus apply 10 perusahaan dalam sehari. Penulis bisa memulai dengan memeriksa CV lamanya untuk mengecek apakah sudah layak atau belum.

Contoh lain adalah ketika Penulis ingin memiliki keseharian yang lebih sehat dan teratur. Maklum, bekerja dari rumah (WFH) selama hampir lima tahun membuat Penulis cukup kesulitan untuk mendisiplinkan diri.

Jadi, harus ada langkah-langkah kecil yang nyatan dan harus diambil untuk memperbaiki hal tersebut. Penulis memutuskan untuk merutinkan jalan kaki ke masjid setiap waktu sholat tiba, yang membuat Penulis jadi lebih disiplin waktu dibandingkan sebelumnya.

Kembalinya blog ini juga buah dari mulai aja dulu. Penulis dulu merasa perfeksionis dengan merasa nulis blog itu harus ada time block-nya sendiri, di pagi hari sebelum jam bekerja. Alhasil, blog pun jadi terbengkalai selama berbulan-bulan.

Penulis pun coba mengubah mindset-nya, yang penting nulis hari ini. Tidak sampai tayang pun tidak apa, yang penting mulai nulis dulu aja. Menariknya, setiap memulai menulis, pada akhirnya tulisan tersebut bisa tuntas hingga tayang.

Lantas, gimana kalau ketika kita misalnya ingin membangun rutinitas harian, tapi sering miss-nya? Ya, tidak apa-apa. Jangan mengejar kesempurnaan harus melakukan rutinitas tersebut selama 7 hari dalam seminggu.

Dibandingkan mengejar streak, yang penting ada berusaha agar setiap harinya bisa melakukan rutinitas tersebut. Kalau masih bolong-bolong pun tidak apa-apa. Akan tetapi, kalau bisa memang jangan bolong terlalu panjang, nanti malah berhenti total.

Untuk memudahkan, setiap kepikiran ingin melakukan sesuatu, langsung pikirkan apa yang harus dilakukan pertama kali. Nantinya, langkah-langkah selanjutnya akan mengikuti dengan sendirinya. Sekadar mencatat pun sudah cukup, yang penting ada aksi nyata yang dilakukan.

Hal lain yang tak kalah penting adalah jangan suka menunda-nunda. Ini adalah kebiasaan buruk Penulis yang sering dilakukan. Akibatnya, banyak hal jadi terlupakan begitu saja tanpa pernah direalisasikan. Ide-ide tulisan blog misalnya, yang keburu usang karena sudah lupa apa yang ingin ditulis.

Satu hal lain yang cukup fatal adalah Penulis merupakan tipe yang kalau satu tidak dilakukan, maka semua tidak dilakukan. Ini adalah puncak dari masalah yang ditimbulkan oleh sifat perfeksionisme, yang sering all or nothing.

Padahal, jika ada satu hal yang tidak sesuai rencana, masih ada banyak hal lain yang bisa diperjuangkan untuk diselesaikan. Jangan hanya karena satu hal membuat berantakan semuanya. Lebih baik kita fokus dengan apa yang masih bisa diselesaikan.

Sebagai orang yang sangat perfeksionis, belakangan ini Penulis berusaha berdamai dengan ketidaksempurnaan. Tidak semuanya harus sempurna sesuai dengan keinginan kita. Jika bisa melakukannya, mungkin kita akan bisa melakukan apa yang dulu kita anggap mustahil.


16 September 2025, terinspirasi setelah menyadari bahwa kita tak perlu menunggu sempurna untuk memulai sesuatu

Foto Featured Image: Mikhail Nilov

Continue Reading

Produktivitas

Selama Bangun, Mata Kita Terus Terpapar Layar

Published

on

By

Coba ingat-ingat aktivitas kita dalam sehari-hari mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi di malam hari. Seberapa banyak aktivitas yang melibatkan layar di perangkat elektronik, baik dari ponsel, laptop, hingga televisi?

Penulis sendiri baru-baru ini menyadari bahwa dirinya hampir terpapar layar selama dirinya beraktivitas, mengingat pekerjaan dan hobi menulis Penulis sama-sama menuntut dirinya untuk selalu berada di hadapan layar.

Pada tulisan kali ini, Penulis ini melakukan interopeksi diri mengenai betapa panjangnya durasi dalam satu hari yang dihabiskan untuk menatap layar elektronik yang sejatinya memancarkan blue light.

Bagaimana Penulis Menghabiskan Sebagian Besar Waktunya di Depan Layar

Hari-Hari Lihat Layar (St. Luke’s)

Penulis akan berbagai dari pengalamannya sendiri (di hari kerja) untuk menjelaskan bagaimana kita sangat sering terpapar layar sejak dari bangun tidur. Penulis tidak akan menggunakan contoh “rutinitas yang ideal,” melainkan menggunakan contoh keseharian yang sering dilakukan.

Pagi hari di saat waktu Shubuh, Penulis akan terbangun karena alarm ponsel dan tablet. Setelah menunaikan ibadah sholat, Penulis akan kembali rebahan dan mengecek ponsel. Terkadang Penulis membaca buku dulu, tapi lebih sering mengecek ponsel.

Seringnya, Penulis akan tertidur lagi sekitar 1-2 jam setelah bangun pagi. Penulis baru akan terbangun lagi menjelang morning concall dan brainstorm yang dilakukan setiap pagi jam 9. Kalau lagi malas, Penulis akan rapat di atas kasur, bisa menggunakan tablet maupun laptop.

Biasanya rapat pagi ini berlangsung sekitar 1 jam. Setelah itu, Penulis akan sarapan yang sering dilakukan sambil menonton YouTube. Selesai sarapan (Penulis sarapan cukup siang), Penulis akan kembali bekerja dan berhenti menjelang Dhuhur untuk mandi, rawat diri, dan sholat Dhuhur.

Antara waktu Dhuhur dan Maghrib adalah waktu utama Penulis untuk bekerja di depan PC. Karena memasang larangan untuk mengecek media sosial atau bermain game di jam kerja, Penulis biasanya beristirahat sambil membaca buku, tidur sejenak, atau sekadar bermain dengan kucing.

Masuk jam istirahat di malam hari, biasanya Penulis habiskan dengan cek media sosial ataupun menonton YouTube di televisi ruang keluarga bersama ibu. Makan malam pun seringnya dilakukan sambil menonton televisi.

Jam 9 ke atas, biasanya Penulis kembali masuk ke kamar dan mulai menulis artikel blog di depan laptop. Setelah selesai, Penulis bisa kembali cek media sosial atau bermain game di tablet. Tak jarang juga Penulis menonton YouTube di televisi kamar sebelum akhirnya tidur.

Cara Mengurangi Durasi Melihat Layar

Buku Menjadi “Pelarian” yang Baik (Rahul Shah)

Dari cerita di atas, bisa dilihat kalau hampir seluruh kegiatan Penulis di hari kerja dilakukan dengan melihat layar, entah itu ponsel, tablet, laptop, maupun PC. Mau serius, mau santai, semua berkaitan dengan layar.

Bisa dibilang, hanya ada lima aktivitas yang tidak melibatkan layar sama sekali, yakni ketika sholat, membaca buku, bermain kucing, mandi, dan tidur. Ini menunjukkan bahwa betapa tergantungnya Penulis terhadap perangkat-perangkat elektronik untuk menjalani kesehariannya.

Penulis merasa kalau ini bukan gaya hidup yang sehat. Meskipun pekerjaannya menuntut untuk sering melihat layar, Penulis harusnya bisa mengimbanginya dengan aktivitas-aktivitas lain yang tidak membutuhkan layar.

Membaca buku jelas menjadi opsi yang paling menyenangkan bagi Penulis. Buku bisa menjadi jeda sejenak dari layar sekaligus sebagai penambah wawasan bagi dirinya. Namun, “daya” baca Penulis sudah tidak seperti dulu. Mentok-mentok satu jam sudah lelah, kecuali sedang membaca novel yang seru.

Selain itu, olahraga outdoor seperti lari pagi juga bisa menjadi aktivitas yang sehat. Dulu Penulis cukup rutin melakukannya, bahkan bisa menyebuhkan insomnia yang dideritanya. Namun, belakangan ini entah mengapa rasanya sangat berat untuk melakukannya.

Mencari hobi offline yang tidak membutuhkan layar juga bisa menjadi alternatif. Contoh yang paling gampang tentu saja bermain board game seperti yang sering Penulis lakukan di akhir pekan bersama circle-nya. Tidak hanya bermain, Penulis juga bisa mengobrol dengan teman-temannya.

Hobi offline lain yang bisa menyita waktu kita adalah merakit model kit seperti Gundam, LEGO, dan sejenisnya. Masih ada banyak hobi offline lainnya yang bisa dilakukan, seperti berkebun, futsal, memancing, memasak, menggambar, main musik, dan lainnya.

Penulis juga ingin mengurangi kebiasaan makan sambil nonton YouTube. Walau kesannya multitasking, aktivitas makan sebenarnya bisa menjadi jeda yang baik. Apalagi, sudah seharusnya kita fokus dengan makanan yang ada di hadapan kita dan bersyukur masih bisa menikmatinya.

Kegiatan lain yang perlu dikurangi adalah bermain media sosial. Aktivitas yang satu ini telah terbukti sebagai penyedot waktu terbesar. Walau sudah membatasi diri sekitar 1-2 jam per hari, Penulis merasa itu masih terlalu banyak dan bisa dikurangi lagi agar lebih produktif.

***

Mungkin karena kebetulan saja pekerjaan Penulis menuntut dirinya untuk melihat layar seharian. Apalagi, Penulis masih work from home sampai sekarang. Jadi, tulisan ini bisa jadi tidak related kepada orang-orang yang pekerjaannya tidak selalu mengharuskan mereka untuk melihat layar.

Namun, bagi para Pembaca yang juga menjalani rutinitas seperti Penulis, semoga saja tulisan ini bisa membantu menyadarkan betapa seringnya mata kita terpapar layar elektronik dan mulai mencari alternatif aktivitas lain yang lebih sehat.


Lawang, 1 Oktober 2024, terinspirasi setelah menyadari bahwa dirinya hampir selalu menatap layar monitor dalam banyak bentuk

Sumber Featured Image: Ron Lach

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan