Pengalaman
Salah Jurusan Sampai Lulus

Penulis kerap kali merasa dirinya salah jurusan sewaktu kuliah, bahkan hingga detik ini. Bahkan pekerjaannya sekarang lumayan melenceng dari studi yang telah ditamatkan selama 4.5 tahun.
Kenapa bisa seperti itu? Apa yang membuat Penulis memutuskan untuk mengambil jurusan Informatika? Bagaimana konsekuensinya di kehidupan yang sekarang?
Mumpung adik kandung Penulis dan adik-adik Karang Taruna banyak yang sedang mengikuti ujian masuk universitas, Penulis ingin berbagi pengalamannya.
Kenapa Merasa Salah Jurusan?
Mungkin ada yang penasaran, mengapa Penulis sampai merasa salah jurusan. Jawabannya sederhana, Penulis tidak bisa menguasai apa yang dipelajarinya selama kuliah.
Sebagai sarjana yang menyandang gelar S. Kom, orang akan berekspetasi kalau Penulis akan mahir dalam pemograman alias ngoding. Kenyatannya, tidak.
Sejujurnya ketika ada yang bertanya “kok anak TI enggak bisa ngoding?” atau “lulusan IT kok enggak jadi programmer?”, Penulis akan merasa sedikit terbebani dan semakin menegaskan kalau Penulis salah jurusan.
Akan tetapi dengan seiring berjalannya waktu, Penulis menyadari bahwa itu sudah suratan takdir yang telah dilalui. Tidak mungkin semua itu terjadi begitu saja tanpa ada hikmah yang bisa dipetik.
Bagaimana ceritanya sehingga Penulis bisa memilih dan masuk ke jurusan ini?
Awal Mula Pemilihan

Kampus Tercinta (Twitter)
Sewaktu SMA, Penulis masuk ke kelas IPA. Tidak termasuk anak pintar, biasa-biasa saja. Nilai rata-rata UN-nya hanya 7, walau setidaknya itu murni hasil sendiri.
Bisa dibilang tidak ada pelajaran IPA yang Penulis senangi atau kuasai. Penulis justru lebih tertarik dengan pelajaran IPS seperti sejarah dan geografi.
Oleh karena itu, sama sekali tidak pernah terbesit untuk kuliah di jurusan IPA, baik murni maupun terapan. Hal ini membuat Penulis sempat bingung ingin mengambil jurusan apa.
Penulis justru merasa ingin mengambil jurusan Hubungan Internasional (HI). Selain karena tertarik dengan materinya, orangtua Penulis juga sama-sama lulusan HI.
Kalaupun ada jurusan IPA yang membuat Penulis tertarik, mungkin jurusan Teknik Informatika (TI). Alasannya sederhana, Penulis sejak kecil suka mengutak-atik komputer.
Sempat ragu karena passing grade-nya tinggi, Penulis akhirnya memilih jurusan tersebut setelah mendapatkan dorongan dari ayah. Pada akhirnya, Penulis mengikuti jalur IPC (Campuran) dengan memilih 3 jurusan di Universitas Brawijaya:
- Teknik Informatika
- Hubungan Internasional
- Pariwisata
Harapannya, karena TI passing grade-nya tinggi, Penulis bisa masuk ke jurusan HI yang passing grade-nya lebih rendah. Sayang, takdir berkata lain. Penulis diterima di jurusan TI.
Shock Therapy

Bahasa Java (netbeans.org)
Penulis suka dunia komputer sejak kecil. Komputer Pentium 4-nya dulu kerap dimodifikasi tampilannya dengan berbagai cara. Penulis juga suka melakukan editing gambar ataupun video.
Ekspetasi Penulis seperti itu ketika masuk ke jurusan IT. Kenyataannya, jauh berbeda. Penulis benar-benar merasa masuk ke dunia yang sama sekali asing.
Memang Penulis pernah tahu tentang bahasa pemrograman karena teman SMA pernah ada yang mengikuti olimpiade komputer. Penulis tak pernah membayangkan sebelumnya kalau akan bertemu dengannya secara langsung, setiap hari, tanpa ampun.
Kenapa bisa sampai seperti itu? Mungkin karena waktu melakukan pemilihan, Penulis kurang melakukan riset dan tidak punya orang yang bisa ditanyai seputar dunia perkuliahan.
Maka dari itu, Penulis sekarang berusaha semaksimal mungkin untuk membantu adik-adiknya dalam memilih jurusan kuliah. Kalau bisa, jangan sampai apa yang Penulis alami ini terulang pada mereka.
Dasar dari jurusan TI adalah pemograman. Semester 1, mata kuliah Pemograman Dasar, Penulis berkenalan dengan Java dan mendapatkan nilai C. Padahal, itu mata kuliah dasar yang akan menjadi landasan untuk mata kuliah lainnya.
Pemograman membutuhkan pemahaman yang kuat. Masalahnya, Penulis mengalami kesulitan dalam memahami konsep logika pemograman, termasuk memahami bahasa-bahasanya.
Apalagi di semester-semester berikutnya, Penulis bertemu dengan bahasa pemograman lain yang tak kalah rumit dari Java, seperti PHP dan mySQL.
Alhasil, sempat terbesit di kepala untuk mengundurkan diri dari jurusan TI dan mengikuti SBMPTN tahun berikutnya. Untungnya, Penulis mengurungkan niat tetsebut dan melanjutkan kuliah. Mengapa Penulis bisa bertahan hingga lulus?
Ketua Kelas D dan 11 Pria Tampan

11 Pria Tampan
Pada hari pertama kuliah, Penulis dengan percaya dirinya mengajukan diri sebagai ketua kelas TIF-D. Alasannya jelas, Penulis ingin membuka lembaran hidup baru.
Bahkan sejak kuliah, Penulis meninggalkan nama panggilannya di rumah dan memilih untuk menggunakan nama Fanandi saja.
Dengan menjadi ketua kelas, Penulis bisa berinteraksi dengan semua teman kelas dan dosen, sesuatu yang mungkin akan sulit terwujud jika Penulis hanya menjadi mahasiswa biasa.
(Trivia, zaman dulu kami belum terbiasa menggunakan Google Drive, sehingga jika dosen memberikan materi, teman-teman akan memberikan Flash Disk-nya ke Penulis dan Penulis akan mengopinya satu per satu.)
Setelah satu semester bersama kelas D, semester 2 kelas kami dicampur dengan kelas H. Kami pun berkenalan dengan banyak teman baru.
Penulis masih ingat ketika semester 4, secara iseng Penulis membuat grup bernama 11 Pria Tampan (disingkat 11PT). Siapa yang menyangka kalau grup (atau geng) tersebut masih bertahan hingga sekarang, walau ada anggota yang “menghilang”.
Bisa dibilang, 11PT inilah yang membuat Penulis bisa bertahan di jurusan ini sampai lulus. Selain karena membuat Penulis betah karena rasa persaudaraan yang muncul, mereka juga kerap membantu studi Penulis termasuk ketika menyusun skripsi.
Menyesal?
Penulis merasa salah masuk jurusan hingga lulus, iya. Penulis menyesal karena sudah berkuliah di jurusan Informatika, tidak. Ada banyak hal yang Penulis dapatkan di luar bidang akademis.
Selain mendapatkan kawan-kawan yang suportif hingga sekarang, Penulis juga mendapatkan banyak pengalaman hidup yang dampaknya terasa hingga sekarang.
Dengan menjadi ketua kelas, Penulis yang cenderung introvert ini jadi bisa menjalin hubungan dengan banyak orang. Sebenarnya Penulis melakukan hal yang sama ketika SMA, namun entah mengapa dampaknya lebih terasa ketika kuliah.
Selama kuliah, Penulis mengikuti dua kegiatan kampus, yakni Pers Mahasiswa dan Kelompok Riset Mahasiswa. Dua-duanya tidak berakhir dengan baik karena kesalahan Penulis. Dari sana, Penulis belajar banyak.
Yang jelas, potongan-potongan peristiwa yang terjadi ketika masa kuliah berkontribusi banyak kepada diri Penulis yang sekarang. Karena itu semua, tidak sekalipun Penulis pernah merasa menyesal telah berkuliah di jurusan Informatika.
Penutup
Merasa salah jurusan bukan berarti Penulis tidak mendapatkan ilmu apa-apa dari kampus. Setidaknya, dasar penalaran logikanya sangat membantu Penulis hingga sekarang.
Sebagai contoh, Penulis mampu menganalisa data dari tabel dan membuat kesimpulannya. Materi ini tidak diajarkan di kampus, namus basis pengetahuannya adalah logika.
Penulis berharap adik-adiknya tidak perlu mengalami apa yang sudah dialami oleh Penulis. Semoga mereka berhasil masuk ke jurusan yang sesuai dengan bayangan mereka. Amin.
Kebayoran Lama, 11 Juli 2020, terinspirasi dari adik-adiknya yang sedang mengikuti ujian SBMPTN
Foto: Inside Higher Ed
Pengalaman
Apa yang Perlu Dipersiapkan Sebelum Merantau ke Jakarta

Mungkin jika dibandingkan dengan orang lain, pengalaman merantau Penulis tidak terlalu banyak. Setelah 4 bulan merantau di Kampung Inggris, Kediri, Penulis sempat merantau ke Jakarta selama kurang lebih 2 tahun.
Jakarta memang telah lama menjadi destinasi Penulis yang sejak kecil bercita-cita untuk bekerja di kota besar. Oleh karena itu, Penulis “nekad” untuk merantau ke sana ketika sedang mencari pekerjaan dan alhamdulillah datang.
Walaupun hanya sebentar, tentu ada pengalaman pribadi Penulis yang bisa dibagikan untuk para Pembaca yang mungkin baru akan merantau ke Jakarta. Pada tulisan kali ini, Penulis ingin sedikit berbagai mengenai apa yang perlu dipersiapkan sebelum merantau ke Jakarta.
Mempersiapkan Barang yang akan Dibawa ke Jakarta

Berdasarkan pengalaman Penulis, pastikan hanya membawa barang yang penting-penting saja ketika merantau. Hal ini untuk memudahkan mobilitas kita di Jakarta, terutama jika kita akan berpindah tempat tinggal.
Kalau Penulis sendiri, dulu membawa satu tas ransel untuk laptop dan barang-barang penting lainnya, serta satu koper untuk pakaian-pakaian. Barang yang sekiranya bisa dibeli di Jakarta, sebaiknya ditinggal di rumah.
Barang yang menurut Penulis wajib dibawa adalah pakaian, alat mandi, alat sholat, obat-obatan, ponsel beserta aksesorisnya, dan laptop jika ada. Tentu saja dompet beserta kartu-kartunya juga wajib dibawa.
Sewaktu di Jakarta, Penulis membeli cukup banyak barang seperti rak, hanger, toples, setrika, magic jar, dan lain-lain. Alhasil, sewaktu meninggalkan Jakarta, Penulis harus dijemput menggunakan mobil karena barangnya menjadi sangat banyak.
Menentukan di Mana Kita akan Tinggal di Jakarta

Awal dari Penulis merantau ke Jakarta adalah karena menjadi volunteer Asian Games 2018. Karena ditempatkan di Bekasi, Penulis pun ngekos di sana selama satu bulan. Setelah itu, Penulis tinggal sementara di rumah tante di daerah Grogol, sebelum akhirnya kos sendiri.
Nah, penentuan tempat tinggal ini menjadi salah satu hal yang perlu disiapkan sebelum merantau. Pilih tempat yang dekat dengan tujuan kita merantau untuk menghemat biaya akomodasi selama merantau.
Selain itu, kita juga harus memastikan kalau tempat tersebut dekat dengan berbagai tempat seperti tempat makan, laundry, apotek, sarana transportasi umum, tempat ibadah, dan lain sebagainya.
Sewaktu kos di daerah Kebayoran Lama, Penulis sangat bersyukur karena mendapatkan tempat yang dekat dengan segala macam, bahkan termasuk mal. Jika butuh apa-apa, Penulis tinggal berjalan kaki dan tidak perlu mengeluarkan uang untuk transportasi.
Memahami Alur Transportasi di Jakarta

Sebagai anak rantau, transportasi umum jelas menjadi senjata utama ketika akan berpergian mengelilingi Jakarta. Apalagi, Jakarta juga memiliki banyak pilihan transportasi umum yang relatif terjangkau dan bisa menjangkau hampir semua lokasi strategis.
Masalahnya, alur transportasi Jakarta bisa terlihat “mengerikan” bagi pendatang, baik itu TransJakarta (TJ) maupun Kereta Rel Listrik (KRL). Untuk memahami peta rutenya, kita perlu memahami nama-nama daerah di Jakarta yang ada di peta rutenya.
Sederhananya, satu rute pasti memiliki warna yang sama. Jika tempat tujuan kita tidak dilewati oleh warna tersebut, artinya kita perlu transit dan berpindah rute. Tempat transit biasanya memiliki lambang khusus atau dilewati oleh beberapa warna.
Jangan segan bertanya ke petugas untuk memastikan halte/lajur yang kita ambil benar, mereka pasti dengan senang hati akan membantu kita. Selain itu, pastikan untuk memiliki e-money karena semua transportasi Jakarta menggunakan kartu ini.
Kalau mau cara yang praktis, memang bisa naik ojek atau taksi online. Namun, biaya yang dikeluarkan akan membengkak dan kita pun jadi harus merasakan bagaimana macet dan panasnya Jakarta.
Mengetahui Bagaimana Mengelola Keuangan di Jakarta

Biaya hidup di Jakarta jelas lebih tinggi dibandingkan di daerah. Oleh karena itu, kita harus benar-benar bijak dalam mengelola keuangan kita. Gaji pertama Penulis di Jakarta hanyalah 4 juta, dan itu cukup untuk sebulan, bahkan masih bisa disisihkan.
Salah satu “sumber” utama yang menguras uang adalah makanan. Jangan terlalu sering membeli makanan yang mahal, termasuk ngopi di kafe elit. Penulis merasa tertolong dengan adanya warteg di mana-mana, karena dengan 7 ribu saja sudah bisa kenyang.
Jika punya waktu (dan tidak malas), lebih baik mencuci baju sendiri dibandingkan laundry yang biayanya sekitar 8 ribu per kg. Penulis sendiri selama di Jakarta benar-benar tergantung laundry karena pada dasarnya malas mencuci.
Seperti yang sudah Penulis singgung di atas, murah dan lengkapnya transportasi umum di Jakarta juga sangat memudahkan Penulis untuk menghemat uang. Sebisa mungkin, hindari naik ojek/taksi karena biayanya lebih mahal.
Untuk barang-barang komplementer, sebisa mungkin jangan beli jika tidak kepepet. Jakarta memiliki banyak mal, sehingga godaan untuk belanja jelas sangat tinggi. Untuk itu, kita harus pandai menahan godaan belanja tersebut.
Merencanakan Eksplorasi Jakarta Sejauh Mungkin

Ketika sudah berhemat dan masih ada sisa uang, Penulis sarankan digunakan untuk eksplorasi Jakarta! Ada banyak tempat menarik yang wajib dikunjungi di Jakarta, seperti kawasan Kota Tua, berbagai museum, mal untuk cuci mata, dan lain sebagainya.
Penulis bahkan pernah dengan sengaja naik TJ untuk literally keliling Jakarta. Selama perjalanan, Penulis mengamati apa saja yang terlintas. Melakukan eksplorasi seperti ini juga membantu kita bisa nyambung ketika ngobrol dengan teman-teman Jakarta.
Bahkan setelah 2 tahun di sana, masih ada banyak tempat menarik yang belum sempat Penulis kunjungi. Salah satu cita-citanya yang belum tercapai adalah mengunjungi Sea World untuk melihat ikan-ikan.
Mencari Kawan Baru, Tetap Terkoneksi dengan Kawan Lama

Agar kerasan di Jakarta, tentu kita membutuhkan kawan-kawan baru. Penulis sangat merasa bersyukur karena selama di Jakarta, Penulis menemukan banyak teman yang satu frekuensi di kantor dan masih tetap terhubung hingga sekarang.
Selama masih positif, kita juga perlu untuk ikut segala kegiatan bersama kawan-kawan baru tersebut. Ini juga bisa menjadi kesempatan untuk bisa eksplor Jakarta lebih luas dan jauh lagi. Kita juga jadi bisa belajar culture Jakarta lebih baik lagi.
Selain itu, kita juga harus tetap terkoneksi dengan kawan-kawan lama dan keluarga melalui berbagai aplikasi yang ada di ponsel. Jujur, ini menjadi hal yang sangat membantu Penulis ketika merasa kangen rumah dan kesepian.
EKSTRA: Menjaga Prinsip Selama Hidup di Jakarta

Sebagai orang yang baru merantau, jelas ada banyak culture shock ketika Penulis di Jakarta. Botol anggur merah (amer) dan vodka di meja kerja seolah menjadi hal yang biasa. Jam makan siang digunakan untuk wik-wik di kos pacar juga dianggap lumrah.
Tanpa bermaksud judgemental, hal-hal semacam itu bertentangan dengan prinsip hidup Penulis. Untuk itu, menjaga prinsip hidup selama di Jakarta juga menjadi hal yang sangat penting agar kita bisa bertahan hidup di Jakarta.
Jika tidak bisa menjaga prinsipnya, mungkin Penulis akan dengan mudahnya “terjerumus”. Mong, tempat pijat++ tinggal menyeberang dari tempat kos Penulis. Mong, tempat jualan berbagai minuman keras Penulis lewati setiap pulang kantor.
Penulis juga merasa bersyukur karena tidak dijerumuskan oleh teman-temannya, malah dirinya merasa “dilindungi” karena mereka mampu menghargai prinsip hidup Penulis. Kami saling menghargai keputusan satu sama lain.
***
Kurang lebih seperti itulah yang butuh dipersiapkan sebelum merantau ke Jakarta. Penulis sendiri masih menyimpan harap kalau suatu saat bisa kembali merantau ke ibu kota, walaupun tidak dalam waktu dekat.
Semoga tulisan ini bisa membantu para Pembaca sekalian yang memang berencana atau sudah merantau ke Jakarta. Jika ada yang ingin didiskusikan lebih lanjut, feel free untuk menghubungi Penulis.
Lawang, 22 Agustus 2023, terinspirasi untukmu
Foto Featured Image: Dids
Pengalaman
Saya Berlibur ke Jakarta Selama 5 Hari (Bagian 1)

Semenjak meninggalkan Jakarta pada bulan Oktober 2021, Penulis belum pernah ke Jakarta lagi karena memang tidak ada urgensi yang mewajibkan kembali. Apalagi, pekerjaan Penulis yang sekarang masih Work from Home (WFH).
Banyak teman Penulis di Jakarta yang kerap menanyakan “Kapan ke Jakarta, Fan?”, sehingga muncul keinginan untuk ke Jakarta demi bisa bertemu dengan mereka. Namun, besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat Penulis belum bisa merealisasikannya.
Nah, pada bulan Februari 2023 kemarin, ketika sedang ngobrol di chat dengan salah satu teman bernama Dika, Penulis mendapatkan tawaran untuk tidur di rumahnya karena istrinya sedang ada acara di Bali selama 5 hari.
Karena ada kesempatan tersebut, Penulis pun langsung mengambilnya dan memutuskan untuk liburan ke Jakarta. Tidak hanya bertemu dengan teman-teman lama, akhirnya Penulis juga bertemu dengan teman-teman kantor barunya untuk pertama kalinya.
Hari Pertama, Rabu, 15 Februari 2023
Dengan alasan efisiensi, Penulis memutuskan untuk berangkat (dan pulang ) menggunakan pesawat terbang. Untuk alasan yang sama, Penulis juga menggunakan GoCar dari bandara Soekarno-Hatta ke rumah Dika dibandingkan naik kendaraan umum.
Rumah Dika yang berlantai dua ada di daerah Bintaro, di sebuah kluster mini yang konsepnya baru bagi Penulis. Ketika sampai di rumahnya, Penulis mendapatkan house tour dan waktu untuk istirahat sejenak.
Sorenya, Penulis pergi ke rumah tante yang ada di daerah Grogol, Jakarta Barat. Tidak lama, hanya sekitar dua jam karena malamnya Penulis udah punya janji untuk nonton Ant-Man and the Wasp: Quantumania bersama teman-teman kantornya di Central Park.
Banyak Cerita di Central Park

Nah, pertemuan ini adalah pertemuan perdana Penulis dengan teman-teman kantornya setelah dua tahun. Rasanya sedikit aneh karena selama ini Penulis hanya bersua secara digital, tapi tentu menyenangkan akhirnya bisa bertemu dengan mereka secara langsung.
Seusai nonton, Penulis terpaksa harus skip dari makan malam bersama teman-teman kantor karena teman Penulis bernama Kevin telah menanti di Starbucks Central Park. Setelah membicarakan beberapa hal, Penulis membeli makan di Indomaret sebelum memesan GoJek.
Nah, ada yang menarik dari abang GoJek-nya. Jadi, sebenarnya ia akan menyusul istrinya yang bekerja di Sushi Tei, tapi karena ada order-an masuk, akhirnya tetap ia ambil. Sepanjang perjalanan, ia bercerita tentang pelanggan-pelanggan nakal yang pernah ditemui istrinya.
Beberapa yang Penulis ingat adalah adanya serombongan pelanggan yang tidak membayar dengan modus keluar satu per satu. Selain itu, ada pelanggan yang dengan sengaja menaruh sesuatu di makanannya agar tidak membayar. Penulis hanya bisa geleng-geleng kepala.
Hari Kedua, Kamis, 16 Februari 2023
Awalnya, Penulis hanya ingin mengambil cuti satu hari di Rabu. Namun, setelah dipikir-pikir, rasanya sayang jika menggunakan harinya di Jakarta hanya untuk bekerja. Untuk itu, Penulis pun memilih menambah cutinya keesokan harinya.
Cuti tersebut Penulis manfaatkan sebaik-baiknya untuk berjalan-jalan, yang sayangnya hanya ke mall-mall yang dulu sering Penulis kunjungi: Pondok Indah Mall (PIM), Gandaria City (Gancit), dan Grand Indonesia (GI).
Pondok Indah Mall

Penulis nebeng Dika ketika ia akan berangkat ke kantornya. Karena yang searah adalah PIM, maka Penulis menuju ke sana terlebih dahulu. Apalagi, sekarang ada PIM baru yang dulu belum ada sewaktu Penulis masih berdomisili di Jakarta.
Ketika menjelajahi PIM baru, Penulis berhenti cukup lama di Kidz Station karena ada banyak mainan menarik. Salah satunya adalah model kit dari Batmobile film The Dark Knight. Namun, Penulis mengurungkan niatnya dan hanya membelikan mainan Pokemon utuk adik Penulis.
Penulis juga mampir ke Toys Station dan membeli die-cast Lamborghini. Penulis hampir membeli board game di sini, tapi masih bisa menahan diri. Penulis juga berputar-putar sebentar di Gramedia dan Periplus, di mana Penulis hampir membeli puzzle Sherlock Holmes.
Tujuan utama Penulis ke PIM adalah mengunjungi Multitoys, toko mainan favorit Penulis waktu di Jakarta. Sayangnya, ternyata tokonya sudah pindah. Merasa sedikit kecewa, Penulis pun melanjutkan perjalanan ke Gancit.
Gandaria City

Apa yang Penulis lakukan di Gancit adalah murni ingin bernostalgia, karena dulu Penulis hampir setiap hari ke sana berhubung kantornya memang nempel dengan mall-nya. Penulis juga makan di tempat ramen favoritnya, RamenYa!.
Penulis menyempatkan diri mampir ke Group Play, toko board game di Gancit di mana dulu Penuls sering menemani temannya ke sini. Penulis dilayani dengan baik oleh dua mbak-mbak yang menjaga tempatnya, bahkan hampir membeli board game Unstable Unicorn.
Namun, tiba-tiba seseorang yang tampaknya bos dari Group Play datang dan mengajak rapat pegawainya. Dari yang Penulis dengar, tampaknya mereka akan pindah dari Gancir. Rapat itu cukup lama dan Penulis merasa “dikacangi”, sehingga akhirnya memutuskan untuk pergi.
Grand Indonesia dan Chillax Sudirman

Dari Gancit, Penulis naik GoJek menuju ke Stasiun MRT Blok M karena destinasi selanjutnya adalah GI. Alasan utama mengapa Penulis pergi ke sana adalah karena sudah janjian dengan Sofri, teman kuliahnya dulu yang kini menjadi seorang tentara dan ditempatkan di Jakarta.
Penulis akhirnya membeli board game Unstable Unicorn di GI (kebetulan ada) dengan harga Rp430 ribu. Setelah itu, Penulis menunggu Sofri di Koi, lantas ditraktir makan di food court. Sayangnya pertemuan tersebut hanya sebentar, karena Penulis sudah memiliki janji lainnya.
Setelah dari GI, Penulis menuju Chillax Sudirman untuk bertemu dengan teman-teman lamanya, yang terdiri dari Naufal, Ka Dini, Ka Tania, Agung, dan Eky. Dika pun bergabung karena kantornya juga berada di daerah yang sama. Kami pun mengobrol santai cukup lama.
***
Dua hari pertama Penulis di Jakarta terasa sangat padat karena Penulis memang ingin memaksimalkan waktunya dengan sebaik mungkin. Ada banyak tempat yang ingin dikunjungi, ada banyak teman yang ingin ditemui.
Di tiga hari yang tersisa di Jakarta, Penulis memutuskan untuk agak selow karena merasa harus menjaga fisiknya dengan baik. Namun, bukan berarti tidak ada kejadian menarik. Penulis akan membahasnya di tulisan berikutnya.
Lawang, 1 Juli 2023, terinspirasi karena ingin menyelesaikan artikel mengenai liburannya ke Jakarta yang telah tertunda berbulan-bulan
Foto Featured Image: USINDO
Pengalaman
Tabungan = Kebutuhan – Ego

Penulis suka menonton konten-konten orang yang mengulas suatu isi buku, walaupun “efek sampingnya” adalah Penulis jadi ingin membeli buku tersebut. Beberapa YouTuber yang kerap membuat konten tersebut adalah Fellexandro Ruby dan Maudy Ayunda.
Nah, ketika Maudy Ayunda membuat konten yang mengulas isi buku The Psychology of Money dari Morgan Housel, ada satu rumus yang menarik perhatian Penulis: tabungan = kebutuhan – ego.
Penulis merasa dirinya belakangan ini kerap kesulitan untuk mengendalikan arus pengeluaran keuangannya, terutama setelah meninggalkan Jakarta dan kembali ke Malang. Menemukan rumus tersebut seolah mengingatkan Penulis untuk kembali “ke jalan yang benar”.
Tinggal di Rumah Jadi Lebih Boros?

Dulu Penulis kerap berkelakar kalau dirinya memiliki cita-cita “kerja di Malang, tapi gaji Jakarta”. Penulis tak menyangka kalau hal tersebut benar-benar terjadi karena sampai saat ini Penulis masih bekerja secara WFH, bahkan telah memasuki tahun keduanya.
Teman-teman Penulis pun sering berkata, “Enak dong, tabungannya jadi lebih banyak karena di rumah.” Memang secara logika, hal tersebut ada benarnya. Namun, terkadang dalam hidup hal ini tidak sesuai dengan logika yang ada di kepala kita.
Penulis justru merasa kalau selama di Malang, dirinya menjadi lebih boros dibandingkan waktu masih merantau di Jakarta. Faktor utamanya, menurut analisis Penulis, adalah karena adanya “rasa aman” yang membuat Penulis terlena.
Ketika merantau, Penulis harus pintar-pintar mengatur keuangannya. Jangan sampai gaji habis sebelum tanggal gajian, karena nanti mau makan apa kalau tidak ada uang. Adanya rasa was-was ini pun membuat Penulis berhasil hidup hemat, bahkan masih memiliki tabungan.
Nah, saat di rumah, perasaan was-was tersebut menjadi hilang. Minimal, uang makan dan laundry bisa berkurang. Akibatnya, uang yang biasanya digunakan untuk kebutuhan hidup beralih fungsi menjadi keinginan yang didasarkan oleh ego.
Seperti kalimat yang diucapkan oleh Maudy Ayunda di atas, tabungan Penulis menjadi lebih sedikit karena ego yang dimiliki menjadi semakin tinggi.
Memangnya Egonya Seperti Apa?

Tentu dengan tinggal di rumah, pengeluaran yang Penulis keluarkan tidak untuk dirinya sendiri. Seperti ketika membeli makan, Penulis tidak mungkin hanya beli untuk dirinya sendiri. Ini tentu tidak Penulis permasalahkan dan menganggapnya sebagai kebutuhan.
Sebagaimana pepatah boys always be boys, Penulis pun merasa dirinya seperti itu. Ketika sudah memiliki gaji sendiri, tentu Penulis ingin membeli barang-barang yang dulunya tidak mampu dibeli karena belum punya uang, termasuk mainan.
Oleh karena itu sewaktu di Jakarta, Penulis membeli action figure Dragon Ball dan model kit Gundam. Tidak banyak, Penulis hanya memiliki action figure Goku dan Vegeta, serta dua model kit Gundam dengan tingkat HG yang relatif masih sangat terjangkau.
Nah, sewaktu tinggal di Malang, jumlah mainan tersebut bertambah secara signifikan. Sampai artikel ini ditulis (termasuk yang dibeli di Jakarta), Penulis telah memiliki sekitar 15 action figure dengan berbagai ukuran, 3 Funko Pop, dan 3 model kit. Bagi Penulis, ini cukup banyak.
Apalagi sewaktu di Malang, Penulis mulai punya hobi baru berupa koleksi board game. Diawali dengan membeli Monopoly, hingga kini Penulis sudah memiliki 22 board game hanya dalam waktu dua tahun. Jujur saja, hobi ini cukup menguras dompet.
Bagi Penulis, inilah ego tertinggi dari dirinya yang menyebabkan jumlah uang yang ditabung setiap bulannya jadi berkurang. Meskipun memberikan perasaan bahagia dengan memilikinya, tak jarang penyesalan muncul karena merasa telah buang-buang uang.
Terkadang, Penulis berandai-andai seandainya saja uang yang digunakan untuk membeli semua barang tersebut dialihkan untuk berinvestasi saja, mungkin lebih berfaedah. Namun, nasi sudah menjadi bubur, yang lebih penting adalah bagaimana ke depannya.
Mengurangi Ego, Menambah Tabungan
Memang, setiap bulannya Penulis selalu menyisihkan sebagian untuk ditabung atau diinvestasikan. Hanya saja, Penulis merasa masih bisa mengalokasikan gaji bulanannya lebih banyak lagi dari yang sudah-sudah.
Dengan menyadari konsep tabungan = kebutuhan – ego, tentu apa yang harus Penulis lakukan ke depannya adalah mengurangi egonya. Rasanya selama dua tahun terakhir ini, Penulis terlalu memanjakan egonya dengan berbagai dalih seperti self reward.
Apalagi, kamar Penulis juga telah penuh dengan berbagai barang tersebut, sehingga hampir tidak tersisa ruang kosong. Perlu diingat, semenjak zaman kuliah Penulis gemar membeli buku, sehingga di kamarnya pun ada ratusan buku yang membutuhkan ruang penyimpanan.
Tentu sesekali membeli barang yang diinginkan (alias menuruti ego) tidak ada salahnya, yang salah adalah ketika dilakukan secara berlebihan, seperti yang telah Penulis lakukan. Semoga saja Penulis bisa mengontrol egonya lebih baik lagi, demi tabungan yang lebih gemuk.f
Lawang, 20 Juni 2023, terinspirasi setelah mendengar kalimat tersebut dari Maudy Ayunda
Foto Featured Image: Igal Ness via Unsplash
- Musik4 bulan ago
Maskulinitas pada Musik Dewa
- Buku4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Funiculi Funicula: Kisah-Kisah yang Baru Terungkap
- Anime & Komik4 bulan ago
Alasan Saya Tidak Suka One Piece
- Musik5 bulan ago
9 Personel Twice dan Impresi Saya ke Mereka
- Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #6 King of New York
- Pengembangan Diri5 bulan ago
Pada Akhirnya, Kebaikan yang Kita Lakukan akan Kembali ke Diri Sendiri
- Sosial Budaya4 bulan ago
Hype Konser Coldplay di Indonesia: Beneran Nge-fans atau Sekadar FOMO?
- Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Funiculi Funicula: Before the Coffee Gets Cold (Spoiler Version)
You must be logged in to post a comment Login