Connect with us

Pengalaman

Salah Jurusan Sampai Lulus

Published

on

Penulis kerap kali merasa dirinya salah jurusan sewaktu kuliah, bahkan hingga detik ini. Bahkan pekerjaannya sekarang lumayan melenceng dari studi yang telah ditamatkan selama 4.5 tahun.

Kenapa bisa seperti itu? Apa yang membuat Penulis memutuskan untuk mengambil jurusan Informatika? Bagaimana konsekuensinya di kehidupan yang sekarang?

Mumpung adik kandung Penulis dan adik-adik Karang Taruna banyak yang sedang mengikuti ujian masuk universitas, Penulis ingin berbagi pengalamannya.

Kenapa Merasa Salah Jurusan?

Mungkin ada yang penasaran, mengapa Penulis sampai merasa salah jurusan. Jawabannya sederhana, Penulis tidak bisa menguasai apa yang dipelajarinya selama kuliah.

Sebagai sarjana yang menyandang gelar S. Kom, orang akan berekspetasi kalau Penulis akan mahir dalam pemograman alias ngoding. Kenyatannya, tidak.

Sejujurnya ketika ada yang bertanya “kok anak TI enggak bisa ngoding?” atau “lulusan IT kok enggak jadi programmer?”, Penulis akan merasa sedikit terbebani dan semakin menegaskan kalau Penulis salah jurusan.

Akan tetapi dengan seiring berjalannya waktu, Penulis menyadari bahwa itu sudah suratan takdir yang telah dilalui. Tidak mungkin semua itu terjadi begitu saja tanpa ada hikmah yang bisa dipetik.

Bagaimana ceritanya sehingga Penulis bisa memilih dan masuk ke jurusan ini?  

Awal Mula Pemilihan

Kampus Tercinta (Twitter)

Sewaktu SMA, Penulis masuk ke kelas IPA. Tidak termasuk anak pintar, biasa-biasa saja. Nilai rata-rata UN-nya hanya 7, walau setidaknya itu murni hasil sendiri.

Bisa dibilang tidak ada pelajaran IPA yang Penulis senangi atau kuasai. Penulis justru lebih tertarik dengan pelajaran IPS seperti sejarah dan geografi.

Oleh karena itu, sama sekali tidak pernah terbesit untuk kuliah di jurusan IPA, baik murni maupun terapan. Hal ini membuat Penulis sempat bingung ingin mengambil jurusan apa.

Penulis justru merasa ingin mengambil jurusan Hubungan Internasional (HI). Selain karena tertarik dengan materinya, orangtua Penulis juga sama-sama lulusan HI.

Kalaupun ada jurusan IPA yang membuat Penulis tertarik, mungkin jurusan Teknik Informatika (TI). Alasannya sederhana, Penulis sejak kecil suka mengutak-atik komputer.

Sempat ragu karena passing grade-nya tinggi, Penulis akhirnya memilih jurusan tersebut setelah mendapatkan dorongan dari ayah. Pada akhirnya, Penulis mengikuti jalur IPC (Campuran) dengan memilih 3 jurusan di Universitas Brawijaya:

  1. Teknik Informatika
  2. Hubungan Internasional
  3. Pariwisata

Harapannya, karena TI passing grade-nya tinggi, Penulis bisa masuk ke jurusan HI yang passing grade-nya lebih rendah. Sayang, takdir berkata lain. Penulis diterima di jurusan TI.

Shock Therapy

Bahasa Java (netbeans.org)

Penulis suka dunia komputer sejak kecil. Komputer Pentium 4-nya dulu kerap dimodifikasi tampilannya dengan berbagai cara. Penulis juga suka melakukan editing gambar ataupun video.

Ekspetasi Penulis seperti itu ketika masuk ke jurusan IT. Kenyataannya, jauh berbeda. Penulis benar-benar merasa masuk ke dunia yang sama sekali asing.

Memang Penulis pernah tahu tentang bahasa pemrograman karena teman SMA pernah ada yang mengikuti olimpiade komputer. Penulis tak pernah membayangkan sebelumnya kalau akan bertemu dengannya secara langsung, setiap hari, tanpa ampun.

Kenapa bisa sampai seperti itu? Mungkin karena waktu melakukan pemilihan, Penulis kurang melakukan riset dan tidak punya orang yang bisa ditanyai seputar dunia perkuliahan.

Maka dari itu, Penulis sekarang berusaha semaksimal mungkin untuk membantu adik-adiknya dalam memilih jurusan kuliah. Kalau bisa, jangan sampai apa yang Penulis alami ini terulang pada mereka.

Dasar dari jurusan TI adalah pemograman. Semester 1, mata kuliah Pemograman Dasar, Penulis berkenalan dengan Java dan mendapatkan nilai C. Padahal, itu mata kuliah dasar yang akan menjadi landasan untuk mata kuliah lainnya.

Pemograman membutuhkan pemahaman yang kuat. Masalahnya, Penulis mengalami kesulitan dalam memahami konsep logika pemograman, termasuk memahami bahasa-bahasanya.

Apalagi di semester-semester berikutnya, Penulis bertemu dengan bahasa pemograman lain yang tak kalah rumit dari Java, seperti PHP dan mySQL.

Alhasil, sempat terbesit di kepala untuk mengundurkan diri dari jurusan TI dan mengikuti SBMPTN tahun berikutnya. Untungnya, Penulis mengurungkan niat tetsebut dan melanjutkan kuliah. Mengapa Penulis bisa bertahan hingga lulus?

Ketua Kelas D dan 11 Pria Tampan

11 Pria Tampan

Pada hari pertama kuliah, Penulis dengan percaya dirinya mengajukan diri sebagai ketua kelas TIF-D. Alasannya jelas, Penulis ingin membuka lembaran hidup baru.

Bahkan sejak kuliah, Penulis meninggalkan nama panggilannya di rumah dan memilih untuk menggunakan nama Fanandi saja.

Dengan menjadi ketua kelas, Penulis bisa berinteraksi dengan semua teman kelas dan dosen, sesuatu yang mungkin akan sulit terwujud jika Penulis hanya menjadi mahasiswa biasa.

(Trivia, zaman dulu kami belum terbiasa menggunakan Google Drive, sehingga jika dosen memberikan materi, teman-teman akan memberikan Flash Disk-nya ke Penulis dan Penulis akan mengopinya satu per satu.)

Setelah satu semester bersama kelas D, semester 2 kelas kami dicampur dengan kelas H. Kami pun berkenalan dengan banyak teman baru.

Penulis masih ingat ketika semester 4, secara iseng Penulis membuat grup bernama 11 Pria Tampan (disingkat 11PT). Siapa yang menyangka kalau grup (atau geng) tersebut masih bertahan hingga sekarang, walau ada anggota yang “menghilang”.

Bisa dibilang, 11PT inilah yang membuat Penulis bisa bertahan di jurusan ini sampai lulus. Selain karena membuat Penulis betah karena rasa persaudaraan yang muncul, mereka juga kerap membantu studi Penulis termasuk ketika menyusun skripsi.

Menyesal?

Penulis merasa salah masuk jurusan hingga lulus, iya. Penulis menyesal karena sudah berkuliah di jurusan Informatika, tidak. Ada banyak hal yang Penulis dapatkan di luar bidang akademis.

Selain mendapatkan kawan-kawan yang suportif hingga sekarang, Penulis juga mendapatkan banyak pengalaman hidup yang dampaknya terasa hingga sekarang.

Dengan menjadi ketua kelas, Penulis yang cenderung introvert ini jadi bisa menjalin hubungan dengan banyak orang. Sebenarnya Penulis melakukan hal yang sama ketika SMA, namun entah mengapa dampaknya lebih terasa ketika kuliah.

Selama kuliah, Penulis mengikuti dua kegiatan kampus, yakni Pers Mahasiswa dan Kelompok Riset Mahasiswa. Dua-duanya tidak berakhir dengan baik karena kesalahan Penulis. Dari sana, Penulis belajar banyak.

Yang jelas, potongan-potongan peristiwa yang terjadi ketika masa kuliah berkontribusi banyak kepada diri Penulis yang sekarang. Karena itu semua, tidak sekalipun Penulis pernah merasa menyesal telah berkuliah di jurusan Informatika.

Penutup

Merasa salah jurusan bukan berarti Penulis tidak mendapatkan ilmu apa-apa dari kampus. Setidaknya, dasar penalaran logikanya sangat membantu Penulis hingga sekarang.

Sebagai contoh, Penulis mampu menganalisa data dari tabel dan membuat kesimpulannya. Materi ini tidak diajarkan di kampus, namus basis pengetahuannya adalah logika.

Penulis berharap adik-adiknya tidak perlu mengalami apa yang sudah dialami oleh Penulis. Semoga mereka berhasil masuk ke jurusan yang sesuai dengan bayangan mereka. Amin.

 

 

Kebayoran Lama, 11 Juli 2020, terinspirasi dari adik-adiknya yang sedang mengikuti ujian SBMPTN

Foto: Inside Higher Ed

Pengalaman

Juni 2024 adalah Bulan Pertama Saya Menulis Tiap Hari Tanpa Putus

Published

on

By

Dalam tulisan “Ini adalah Tulisan Whathefan yang ke-1000,” Penulis telah berbagi bagaimana dirinya belakangan ini telah berusaha untuk menjaga konsistensi untuk bisa menulis satu tulisan setiap hari.

Pada tulisan yang tayang di tanggal 13 Juni 2024 tersebut, Penulis mengatakan bahwa dirinya telah menulis setiap hari tanpa putus sebanyak 19 hari. Alhamdulillah, rentetan tersebut bisa bertahan hingga hari dengan total 37 hari tanpa putus.

Lebih menariknya lagi, bulan Juni 2024 adalah pertama kalinya Penuils menulis setiap hari tanpa putus. Bulan Januari 2018 saat blog ini dimulai memang memiliki lebih dari 40 tulisan, tapi itu tak terhitung karena waktu itu Penulis memang punya beberapa stok tulisan.

Apa Saja yang Ditulis Selama Juni 2024?

Bulan Juni memiliki 30 hari, sehingga jumlah tulisan yang diproduksi pun 30 tulisan. Dalam sebulan, ada banyak tulisan yang Penulis buat dari berbagai topik. Yang jelas, biasanya di weekend Penulis akan membuat ulasan tentang buku yang telah dibaca dan melanjutkan seri board game-nya.

Selama bulan Juni, Penulis membuat ulasan lima buku, yakni A Happy Life, The Devotion of Mr. X, Contagious, Ali Sadikin, dan Hoegeng. Judul pertama dan ketiga sebenarnya sudah cukup lama Penulis baca, sehingga isinya sudah agak lupa. Kalau dua buku biografi yang ditamatkan tergolong baru.

Namun, yang paling spesial tentu novel The Devotion of Mr. X karya Keigo Hirashino. Dalam tulisan tersebut, Penulis telah membahas bagaimana novel detektif yang satu ini bisa menggiring pembacanya kepada satu kesimpulan, sebelum akhirnya di balik di akhir cerita. Novel ini sangat rekomendasi kalau suka cerita detektif.

Selain itu, Penulis juga melanjutkan board game-nya dari koleksi ke-16 hingga ke-19, yakni Bahamas, Unstable Unicorns, King of the Dice, dan Kingdomino. Seharusnya hari Minggu (30/6) kemarin giliran Modern Arts, tapi Penulis undur karena adanya kemenangan George Russel di GP Austria yang menarik.

Berbicara topik olahraga, Penulis hanya menulis dua artikel sepak bola dan tidak ada yang membahas Manchester United. Maklum, liga Eropa sedang masa rehat, dan Penulis juga entah mengapa tidak tertarik untuk mengikuti EURO 2024. Hingga hari ini, Penulis belum menonton satu pertandingan pun.

Penulis juga menulis dua artikel untuk rubrik Musik yang membahas dua grup dari genre yang berbeda, yakni Red Velvet dan Linkin Park. Penulis mencoba membuat format tier list melalui Linkin Park dan ternyata cukup menyenangkan. Mungkin, akan ada band atau musisi lain yang akan Penulis buatkan format tier list-nya.

Topik lain yang sering Penulis bahas adalah tentang Dragon Ball. Ada tiga tulisan di bulan Juni yang membahasnya, pertama tentang Future Trunks, Vegeta, dan alasan mengapa Penulis memutuskan untuk mengoleksi seri komik Dragon Ball Super. Sebenarnya, tulisan ketiga adalah alasan mengapa Penulis jadi sering menulis tentang Dragon Ball.

Penulis juga beberapa kali berbagi artikel produktivitas karena bisa menulis artikel setiap hari. Ada tiga artikel yang terkait dengan hal ini, yakni tentang Penulis yang memanfaatkan Notion dan dua artikel tentang membaca buku.

Topik-topik yang sedang panas juga Penulis bahas jika memang ada angle yang menarik, mulai dari isu dinasti politik yang memanas, bagi-bagi kursi di pemerintahan, pemain judi online yang diwacanakan mendapatkan bansos, hingga bocornya Pusat Data Nasional (PDN).

Selain yang sudah Penulis sebutkan di atas, Penulis membahas hal-hal yang sifatnya evergreen, yang biasanya Penulis gunakan sebagai pengingat untuk dirinya sendiri ketika di masa depan nanti sedang iseng-iseng membaca tulisannya sendiri.

Semoga Bukan Bulan Terakhir Bisa Menulis Tanpa Putus

Penulis tentu berharap kalau bulan Juni bukan bulan pertama dan terakhir di mana Penulis bisa menulis setiap hari di blog ini tanpa putus. Penulis berharap bisa menjaga konsistensi ini di bulan-bulan selanjutnya, karena Penulis juga pernah membahas betapa pentingnya untuk menjaga “rantai kebiasaan” jangan sampai putus.

Sejujurnya, Penulis sendiri heran mengapa dirinya yang dulu sangat mager untuk menulis bisa menjadi kembali termotivasi untuk terus menghasilkan tulisan di blog ini. Keberadaan Notion memang membantu, tapi bukan jadi motivasi utama.

Bisa jadi, salah satu yang menjadi motivasi Penulis untuk bisa rajin menulis adalah adanya apresiasi dari banyak pihak. Mungkin jumlahnya bisa dihitung dengan jari, tapi itu sudah cukup bagi Penulis. Penulis benar-benar berterima kasih kepada Pembaca yang sudah mengapresiasi blog ini.


Lawang, 1 Juli 2024, terinspirasi setelah menyadari kalau bulan Juni kemarin dirinya berhasil menulis selama 30 hari tanpa putus

Continue Reading

Pengalaman

Ini adalah Tulisan Whathefan yang ke-1000

Published

on

By

Sejak Whathefan dibuat pada tanggal 2 Januari 2018, akhirnya sampai juga pada tulisan ke-1000. Butuh waktu kurang lebih 6,5 tahun untuk bisa mencapai milestone ini, atau jika dirinci setara dengan 2.354 hari.

Ketika awal membuat blog ini, target Penulis adalah memproduksi setidaknya 5 tulisan setiap minggunya, yang lantas Penulis tingkatkan menjadi 1 tulisan per hari. Namun, pada kenyataannya Penulis banyak bolongnya karena berbagai alasan, tapi yang paling utama tentu saja rasa malas.

Melihat jumlah hari yang telah blog ini lewati, artinya rata-rata Penulis membutuhkan waktu sekitar 2-3 hari sekali untuk membuat artikel baru, atau jika mau dirinci lagi menjadi setiap 56,5 jam sekali. Apakah itu termasuk cukup produktif untuk seorang penulis, Penulis tidak tahu.

Apapun itu, Penulis tetap berusaha bangga dengan dirinya sendiri karena bisa memproduksi hingga 1.000 artikel. Tentu Penulis tidak akan berhenti menulis di sini dan semoga saja tulisan ke-2000 tidak membutuhkan waktu 6,5 tahun.

Jika Penulis bisa konsisten menulis seperti belakangan ini (sampai artikel ini, Penulis sudah streak sepanjang 19 hari), maka artikel ke-2000 akan tercapai pada tanggal 10 Maret 2027. Permasalahan utama Penulis untuk hal tersebut adalah masalah konsistensi.

Berusaha untuk Bisa Menulis Konsisten Setiap Hari

Dalam tabel distribusi per bulan di atas, bisa dilihat kalau jumlahnya naik turun secara signifikan. Bahkan, total dalam tahun pun trennya menurun terus. Membuat 100 artikel dalam satu tahun pun tak sanggup dalam dua tahun terakhir.

Karena hal tersebut, Penulis bisa dibilang sebagai penulis yang kurang konsisten. Ada saat-saat di mana Penulis seolah kehilangan semangat dan gairah untuk menulis terutama beberapa bulan ke belakang ini, yang sejatinya merupakan hobinya.

Bayangkan saja, jumlah artikel yang Penulis produksi dalam 19 hari terakhir lebih banyak dibandingkan periode November 2023 hingga Februari 2024 (empat bulan), di mana di periode tersebut Penulis hanya berhasil membuat 8 tulisan saja.

Pernah ada dalam satu bulan, Penulis hanya bisa menulis 2-3 artikel (seperti di awal tahun ini), bahkan sempat tidak menulis sama sekali (terjadi dua kali pada bulan Oktober 2020 dan Desember 2023).

Ketika direnungkan, tentu ada faktor-faktor lain yang membuat Penulis jadi tidak bersemangat menulis untuk blog ini. Namun, faktor utamanya tetap saja rasa malas dan kalah dari keinginan bermalas-malasan di atas kasur sambil main ponsel.

Menyadari hal ini, Penulis pun berusaha untuk mencari solusi bagaimana agar dirinya bisa tetap konsisten menulis. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan Notion yang telah Penulis bahas secara terpisah sebelumnya, yang terbukti sangat membantu Penulis.

Jika dikatakan terkadang ada buntu saat menulis, memang benar. Namun, ide terkadang memang harus dikejar, bukan ditunggu. Seringnya sepanjang pengalaman Penulis, selama dirinya berada di depan layar dan mulai mengetik, nanti jari-jari ini akan mengalir dengan sendirinya.

Apa Saja yang Telah Ditulis di Whathefan

Sesuai dengan tagline-nya, Penulis benar-benar menulis apapun yang sedang terpikirkan dan diinginkan. Apa yang Penulis suka, akan Penulis tulis. Alhasil, jumlah rubrik dari blog ini pun terus bertambah menyesuaikan dengan apa yang ingin Penulis tulis.

Penulis tak punya catatan pasti tentang “sejarah rubrik” di blog ini, tapi yang jelas dua rubrik terbaru di blog ini adalah Permainan dan Olahraga. Permainan Penulis buat karena sedang menekuni hobi baru di dunia board game, sedangkan olahrga karena Penulis merupakan penggemar sepak bola dan Formula 1.

Beberapa rubrik lain yang bukan rubrik “orisinal” adalah Musik, Produktivitas (yang merupakan sempalan dari Pengembangan Diri), dan Tentang Rasa. Buku pun dulu tidak Penulis pisah antara Fiksi dan Non-Fiksi.

Selama 6,5 tahun, tentu ada rubrik atau kategori yang paling sering Penulis isi. Yang paling banyak adalah kategori Buku (Fiksi dan Non-Fiksi) dengan 94 tulisan, disusul Film & Serial (86), Sosial Budaya (83), dan Pengembangan Diri (82).

Selain itu, Penulis juga berencana untuk menghilangkan kategori Karang Taruna karena sudah tidak pernah diisi lagi, mengingat Penulis sudah pensiun. Kemungkinan, Penulis akan menggabungkannya dengan rubrik Pengalaman saja.

Selain itu, selama beberapa tahun terakhir Penulis tidak pernah membuat karya sastra satu pun, baik itu novel, cerpen, maupun sajak. Entah mengapa Penulis menjadi seperti miskin imajinasi. Mungkin faktor usia membuat Penulis menjadi pribadi yang semakin realistis.

Apakah ke depannya Penulis akan menambah kategori baru? Bisa saja, jika ada hal baru yang ingin Penulis tulis. Mungkin Penulis akan banyak menulis tentang game, walau rasanya topik tersebut bisa dimasukkan ke dalam kategori Permainan.

Whathefan adalah Blog Gado-Gado yang Belum Profit

Banyak yang bilang blog yang baik adalah yang memiliki niche tertentu. Nah, kalau Whathefan kan beda karena gado-gado. Seninnya bisa membahas tentang politik, Selasanya nulis K-Pop, terus Rabunya nulis sepak bola. Benar-benar semau gue.

Sejak awal Penulis memang tidak menjadikan blog ini sebagai sumber pemasukan. Memang Penulis memasang AdSense, tapi tidak pernah dikelola dengan benar sehingga sampai hari ini pun uang AdSense-nya belum bisa dicairkan karena jumlahnya kecil sekali.

Padahal dalam setahun, biaya yang harus Penulis keluarkan untuk blog (biaya domain dan hosting) ini mencapai sekitar Rp900 ribu. Karena blog ini telah berusia 6 tahun, maka kurang lebih Penulis sudah mengeluarkan sekitar Rp5,4 juta.

Namun, Penulis sama sekali tidak pernah merasa rugi karena bagi Penulis hal tersebut merupakan sebuah investasi. Tanpa berniat sombong, salah satu faktor Penulis diterima di dua tempat kerja adalah karena kehadiran blog ini yang menjadi semacam portofolio Penulis.

Oleh karena itu, sebisa mungkin Penulis akan mempertahankan blog ini selama mungkin, bahkan kalau bisa sampai Penulis tidak mampu lagi menulis. Meskipun sering terhalang masalah inkonsistensi, Penulis akan terus berusaha untuk bisa menghasilkan tulisan di blog ini.


Lawang, 13 Juni 2024, terinspirasi setelah mencapai milestone 1.000 artikel di blog ini

Continue Reading

Pengalaman

Bagaimana Rasanya Berpuasa di Tanah Rantau?

Published

on

By

Tahun 2024 ini menjadi tahun keempat di mana Penulis (alhadulillah) bisa berpuasa di rumah. Sebelumnya pada rentang tahun 2019-2020, Penulis mengalami yang namanya berpuasa di tanah rantau, di mana untuk sahur dan buka puasa harus dilakukan sendirian.

Meskipun tergolong sebentar (karena hanya sekitar dua tahun), Penulis merasa kalau berpuasa di tanah rantau memiliki sensasinya sendiri. Yang biasanya kita dibangunkan dan makanan telah disiapkan oleh ibu, kini harus tergantung dengan diri sendiri.

Oleh karena itu, pada tulisan kali ini Penulis ingin berbagi sedikit mengenai bagaimana rasanya berpuasa di tanah rantau. Semoga saja tulisan ini bisa bermanfaat untuk sesama kaum muslimin yang baru merasakan bagaimana puasa di tanah rantau tahun ini.

Sahur di Tanah Rantau

Warteg Andalan (Google Maps)

Di sekitar kos Penulis di Jakarta, bisa dibilang ada berbagai jenis makanan yang dijual, mulai dari warteg hingga masakan padang. Hal ini memudahkan Penulis untuk mencari makan ketika jam sahur.

Yang menjadi andalan Penulis tentu saja warteg dengan lauk tempe orek ditambah sayur singkong. Menu yang murah meriah ini tentu menjadi berkah untuk anak rantau yang harus serba menghemat.

Namun, yang menjadi permasalahan utama ketika sahur sebenarnya bukan menu makanannya, melainkan rasa malas untuk keluar kos. Bangun dini hari untuk keluar kos terkadang terasa berat, walau tempat membeli makanannya sebenarnya sangat dekat.

Jika sudah mager tingkat maksimal, biasanya mi instan menjadi solusi utama, ditemani dengan secangkir teh panas yang dibuat menggunakan Heater. Solusi lainnya adalah memesan makanan secara online, yang secara biaya jelas lebih mahal.

Penulis bukan tipe orang yang bisa memasak dan kurang minat memelajarinya. Penulis baru mulai memasak kecil-kecilan ketika pandemi, di mana Penulis tidak bisa pulang ke Malang. Berbagai peralatan masak pun dibeli, mulai dari Magic Jar, panci, hingga saringan.

Yang dimasak pun hanya makanan instan yang tinggal digoreng, seperti nugget dan sosis. Kalau makanan organik, paling mentok ya tempe dan telur, yang sama-sama tinggal digoreng. Jangan harap ada sayur karena tidak ada satupun menu yang bisa Penulis masak.

Buka Puasa di Tanah Rantau

Dulu Hampir Buka Puasa Setiap Hari di Sini (Google Maps)

Untuk masalah buka puasa, Penulis merasa bersyukur karena mendapatkan “jatah” dari kantor. Ini terjadi di tahun 2019, karena di tahun 2020 pandemi COVID-19 terjadi sehingga Penulis harus buka puasa di kos.

Jatah menu buka puasa dari kantor bisa dibilang cukup bervariasi, karena setiap harinya akan mendapatkan menu yang berbeda. Biaya makan per karyawan pun bisa dipastikan lebih dari 15 ribu per kepala, karena makanan yang dihidangkan berasal dari walaraba populer.

Barulah ketika akhir pekan Penulis harus mencari menu buka puasa sendiri. Namun, Penulis jarang membeli makan sebelum jam buka. Biasanya, Penulis justru baru mencari makan selepas Isya karena biasanya tempat makan sudah mulai sepi pembeli.

Menu buka puasanya pun berkisar di tempat-tempat makan di sekitar kos. Namun, jika sedang senggang, maka Penulis akan berbuka puasa di mal untuk menikmati menu yang lebih lezat atau memesannya melalui layanan online jika sedang mager.

Ketika memesan makanan online, sesekali Penulis akan memesan dua porsi, di mana satunya diperuntukkan untuk abang yang mengantarkannya. Selain berbagi di bulan puasa, biasanya potongan di aplikasi baru bisa dipakai ketika mencapai nominal tertentu.

Selama merantau, Penulis bisa dibilang jarang mengikuti buka bersama (bukber), lha mong tiap hari memang bukber bareng teman-teman kantor. Ketika akhir pekan, tentu mereka lebih memilih berbuka bersama orang-orang rumah.

Penutup

Jika dibandingkan dengan puasa di tanah rantau, memang berpuasa di rumah terkesan lebih “membosankan” karena cukup monoton. Kalau tidak makan masakan ibu atau beli makanan di sekitar rumah. Kalau mau beda, paling menunggu momen bukber.

Namun, tentu Penulis tetap bersyukur bisa berpuasa di rumah bersama keluarga dan orang-orang yang dicintai. Ini bukan tentang apa yang dimakan, melainkan momen berharga yang dihabiskan dengan siapa.

Berpuasa di tanah rantau mengajari Penulis untuk bersyukur karena selama ini mendapatkan privilege sehingga bisa berpuasa dengan “mudah.” Semua sudah tersedia, kita tinggal makan saja tanpa perlu keluar rumah.

Suasana sahur dan buka bersama keluarga juga menjadi hal yang membuat kita baru merasa kehilangan ketika merantau sendirian. Meskipun ada teknologi video call, hal tersebut tidak akan bisa menggantikan pertemuan fisik.

Berada di tanah rantau membuat kita menyadari hal tersebut, yang mungkin selama ini terabaikan. Bisa berpuasa di rumah bersama keluarga rasanya jauh lebih menyenangkan, terutama setelah sempat berpuasa sendiri di tanah rantau.

Untuk para Pembaca yang baru berpuasa sendiri di tanah rantau, semangat! Puasa di tanah rantau itu seru kok, walaupun kita harus bisa melawan rasa malas untuk keluar rumah ataupun memasak sendiri.


Lawang, 12 Maret 2024, terinspirasi karena menyadari dirinya sudah empat tahun mendapatkan kesempatan untuk berpuasa di rumah

Foto Featured Image: Chatelaine

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan