Connect with us

Sosial Budaya

Dunia Gelap di 2023, Kita Harus Apa?

Published

on

Pada akhir bulan September kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat pernyataan yang cukup membuat masyarakat merasa was-was. Bagaimana tidak, di saat situasi tahun ini belum kunjung membaik, beliau mengatakan kalau tahun depan prospek perekonomian secara global akan semakin gelap.

“Dunia sekarang ini dalam posisi yang tidak gampang, posisinya betul-betul pada posisi yang semua negara sulit. Lembaga internasional sampaikan tahun ini, tahun 2022 sangat sulit. Tahun depan (2023) mereka menyampaikan akan lebih gelap,” kata Jokowi dalam acara BUMN Startup Day minggu lalu (27/9/22).

Kata “gelap” yang digunakan Jokowi tersebut digunakan untuk merujuk ke kondisi perekonomian yang berada dalam posisi yang tidak baik-baik saja, bahkan diramalkan akan memburuk. Banyak lembaga internasional yang sudah menyampaikan “dalam posisi yang tidak baik”.

Jokowi menambahkan kalau krisis perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung reda juga menyebabkan krisis pangan dunia benar-benar terjadi. Menurutnya, ada ratusan juta orang yang mengalami masalah kelaparan di seluruh dunia.

“330 juta orang kelaparan dan mungkin 6 bulan lagi bisa 800 juta orang akan kelaparan dan kekurangan makan akut karena tidak ada yang dimakan,” kata Jokowi.

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva juga memberikan pernyataan yang senada dengan Jokowi. Ia menyebutkan kalau 2023 akan “gelap gulita” karena adanya risiko resesi dan ketidakstabilan pasar keuangan. Penyebabnya tentu saja karena pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, serta bencana iklim di semua benua.

Bahkan, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, China, serta negara di Eropa juga mengalami perlambatan ekonomi. Rusia yang mengalami embargo (larangan lalu lintas barang antarnegara) dari berbagai negara membuat banyak negara, terutama di Eropa, mengalami krisis energi di penghujung tahun.

Di Inggris, harga gas dan listrik melonjak gila-gilaan. Krisis yang terjadi di sana diprediksi bisa separah krisis ekonomi di tahun 2008. Regulator energi di Jerman mendesak konsumennya untuk segera menghemat lebih banyak gas menjelang musim dingin ini.

Sebenarnya, apa yang saja yang menyebabkan dunia berada di posisi sulit seperti sekarang?

Mengapa 2023 Dunia akan Semakin Gelap?

Grafik yang Menunjukkan Tingkat Pencetakan Uang di Amerika Serikat (GN Life Assurance)

Ned Davis Research dari Amerika Serikat menyatakan bahwa Model Probablitas Resesi saat ini berada di angka 98.1%. Ini angka yang sangat tinggi semenjak masa-masa awal pandemi Covid-10 dan Great Financial Crisis 2008-2009.

Sejak awal pandemi, kata “resesi” memang sangat sering terdengar. Tersendatnya roda perekonomian di awal masa pandemi Covid-19 jelas memengaruhi banyak sektor, bahkan hingga sekarang.

Bahkan, Amerika Serikat mencetak uang sangat banyak untuk rakyatnya demi membuat roda perekonomiannya tetap berputar. Bayangkan, mereka mencetak sekitar 3,3 triliun dolar! Dengan banyaknya uang yang beredar, inflasi pun menjadi ancaman nyata untuk Amerika Serikat.

Akibatnya, pemerintah Amerika Serikat pun memutuskan untuk menaikkan suku bunga untuk menarik orang menyimpan uangnya di bank. Masalahnya, hal ini menyebabkan banyak investor yang lebih memilih uangnya untuk disimpan di bank saja karena lebih aman dan bunganya tinggi.

Nah, startup yang termasuk investasi dengan risiko tinggi pun seolah kehilangan daya tariknya dan ditinggal oleh para investor. Alhasil, banyak startup yang melakukan PHK. Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa yang terkena imbasnya seperti Shopee Indonesia dan Zenius.

Hal ini diperparah dengan perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan krisis energi dan pangan. Bukti mudahnya seperti yang sudah terlihat di Inggris, bagaimana biaya hidup dan sewa rumah di sana melonjak tinggi sehingga banyak orang yang menjadi homeless.

Housing Bubble akan Pecah di 2023?

Evergrande di China Menjadi Contoh Housing Bubble (Insider)

Salah satu hal yang paling ditakutkan di tahun 2023 adalah pecahnya housing bubble atau real estate bubble yang dampaknya tidak main-main. Penulis akan coba jelaskan secara sederhana mengenai fenomena tersebut.

Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan fenomena ketika harga rumah/properti melonjak karena tingginya permintaan dari masyarakat. Permintaan banyak, pasokan pun menjadi berkurang. Maka developer properti pun akan segera menambah pasokannya.

Masalahnya, pada titik tertentu permintaan pasar akan menurun yang akan berakibat pada anjloknya harga properti. Gelembungnya pecah, industri properti pun babak belur. Contoh yang bisa kita lihat terjadi pada perusahaan properti Evergrande di China, yang meninggalkan banyak bangunan hantu di sana karena kena imbas dari hal ini.

Saat pemerintah AS memberikan uang untuk rakyatnya di masa pandemi, banyak yang menginvestasikannya ke properti. Ini membuat harga properti di sana menjadi naik karena tingginya permintaan.

Nah, rumah itu kan nyicilnya lama, bisa puluhan tahun. Jika resesi semakin parah, kemungkinan akan banyak orang kehilangan pekerjaan, yang membuatnya kehilangan pendapatan. Artinya, mereka tidak akan mampu melunasi kredit rumahnya. Ini bisa membuat harga properti terjun bebas.

Sampai saat ini, belum ada kasus housing bubble di Amerika Serikat yang separah kasus Evergrande di China. Di Indonesia pun belum terdengar banyak beritanya. Namun, kita perlu tetap merasa waspada dan melakukan antisipasi agar tidak terkena dampaknya terlalu berat.

Dunia Makin Gelap, Kita Harus Apa?

Harus Mulai Lebih Rajin Menabung (CNET)

Mungkin banyak masyarakat yang beranggapan kalau pernyataan Presiden Jokowi dan pemberitaan di media massa hanya untuk menakut-nakuti. Padahal, jika mau lapang dada dan menerima informasi ini dengan kepala dingin, kita bisa melakukan antisipasi dan bersiap diri jika sampai hal-hal buruk sampai terjadi.

Banyak yang menyebutkan kalau dalam masa-masa sulit seperti ini, cash is king. Bukan dalam artian kita harus punya uang tunai sebanyak mungkin, tapi kita menaruh uang di aset-aset investasi yang relatif aman dan mudah dicairkan jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Dengan adanya peringatan dini ini, kita jadi bisa lebih bijak dalam mengeluarkan uang. Pengeluaran yang bersifat sekunder bahkan tersier bisa ditunda dulu, kita alihkan untuk menabung terlebih dahulu. Jadi jika dalam kondisi sulit, kita masih punya pegangan hidup.

Mungkin Pembaca pernah tahu kalau dalam kondisi krisis, orang kaya justru makin kaya. Kenapa? Karena mereka bisa membeli aset-aset investasi yang harganya sedang jatuh seperti saham. Istilahnya, mereka akan “menyerok” di kala orang lain melepas saham mereka karena butuh cash.

Cash is King di 2023? (Amartha Blog)

Nah, nanti uang cash yang kita simpan bisa digunakan beberapa untuk membeli aset-aset investasi yang harganya sedang turun. Ini tentu butuh banyak belajar secara mendalam, bukan hanya sekadar ikut kata orang. Jadi, kita harus berhati-hati jika ingin melakukan hal ini.

Selain itu, sebisa mungkin hindari hutang baik ke bank maupun pinjaman online (pinjol). Kalau tidak benar-benar mendesak, benar-benar tahan diri. Ini sebagai antisipasi jika bunga hutang juga ikut naik mengikuti kenaikan suku bunga.

Jika penghasilan bulanan kita dirasa kurang dan ada waktu luang, tidak ada salahnya untuk memiliki tambahan pendapatan dengan mencari kerja sampingan. Untuk itu, selalu belajar hal dan skill baru mutlak dibutuhkan untuk menghadapi era yang serba tidak pasti seperti sekarang ini.

Penulis paham tidak semua orang memiliki privilege untuk melakukan semua hal di atas. Boro-boro untuk nabung, untuk makan besok aja belum tentu ada. Untuk itu, Penulis berdoa agar kita selalu dilindungi oleh Tuhan diberi kecukupan untuk bisa menghadapi masalah-masalah yang ada di depan mata ini.

Penutup

Dari lubuk hati yang paling dalam, tentu Penulis berharap bahwa tahun 2023 dunia tidak akan benar-benar gelap dan kita bisa melewatinya dengan baik. Semoga saja prediksi-prediksi di atas salah dan tidak terjadi.

Namun, tidak ada salahnya juga untuk prepare for the worst untuk berjaga-jaga. Toh, seandainya yang dikhawatirkan tidak terjadi, dana yang sudah kita siapkan pun nantinya bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain. Setidaknya, kita bisa menjadi lebih hemat dalam beberapa bulan ke depan.

Mungkin dampaknya ke Indonesia hingga saat ini belum terlalu terasa. Harga BBM dan beberapa hal lain memang naik, tapi setidaknya krisis yang kita alami tidak seperti negara-negara lain yang terlihat lebih gila lagi.

Sekali lagi, semoga saja dengan adanya peringatan ini, kita bisa jadi lebih siap jika hal-hal buruk benar-benar terjadi.


Lawang, 8 Oktober 2022, terinspirasi setelah membaca dan menonton beberapa informasi mengenai prediksi 2023 yang tampaknya akan gelap

Foto: Pinterest

Sumber Artikel:

Sosial Budaya

Ketika Kebenaran Relatif Dianggap Sebagai Kebenaran Absolut

Published

on

By

Sebagai orang yang bekerja secara remote, salah satu keistimewaan yang Penulis rasakan adalah bisa bekerja di mana saja. Nah, kalau sedang bosan bekerja dari rumah, biasanya Penulis memilih untuk bekerja di kafe, entah itu sendirian ataupun bersama teman.

Nah, salah satu teman Penulis yang sering work from cafe (WFC) bersama adalah Dio, teman sejak semester satu kuliah yang sekarang menjadi dosen Binus Malang. Kami berdua sering bertukar pikiran di sela-sela menyelesaikan pekerjaan masing-masing.

Belum lama ini, kami berdua WFC di salah satu kafe Malang yang sudah menjadi langganan. Pada saat itu, Dio share bahwa dirinya baru menonton video dari Rumah Editor di YouTube tentang seorang matematikawan bernama Kurt Gödel.

Gödel terkenal karena berusaha membuktikan keberadaan Tuhan dengan menggunakan logika dan matematika. Namun, bukan pembahasan mengenai keberadaan Tuhan yang akan menjadi inti tulisan kali ini.

Yang ingin Penulis bahas adalah topik lain tentang Necessary Truth vs. Contingent Truth, yang juga dibahas dalam video tersebut. Jika penasaran, pembaca bisa menonton video selengkapnya melalui tautan berikut ini.

Kebenaran Absolut vs Kebenaran Relatif

Kurt Gödel Berada di Posisi Nomor Dua dari Kanan (Britannica)

Secara sederhana (oversimplified), Necessary Truth adalah kebenaran yang bersifat mutlak dan tidak mungkin salah. Contoh mudahnya adalah perhitungan 1 + 1 pasti 2, mau di multiverse mana pun pasti jawabannya 2.

Contoh lain, semua segitiga pasti memiliki tiga sisi. Tidak mungkin sebuah segitiga memiliki empat sisi, karena namanya akan berubah menjadi segiempat. Nah, keberadaan Tuhan menurut Gödel juga termasuk Neccesarry Truth.

Di sisi lain, Contingent Truth adalah kebenaran yang bisa saja berubah. Contoh, untuk saat ini ibu kota Indonesia masih Jakarta. Akan tetapi, bisa saja tahun 2029 nanti akan diresmikan kalau ibu kota Indonesia adalah IKN. Siapa yang tahu, kan?

Contoh lain, kita menganggap kalau tokoh A adalah orang jahat karena kita mengetahui rekam jejaknya di masa llau. Namun, bisa saja besok dia tobat dan benar-benar berubah menjadi lebih baik.

Nah, di tulisan ini, Penulis akan menerjemahkan secara bebas Necessary Truth menjadi Kebenaran Absolut dan Contingent Truth menjadi Kebenaran Relatif untuk memudahkan penulisan. Penulis hanya meminjam istilah di atas untuk membahas topik yang kemarin Penulis singgung: polarisasi.

Alasan Mengapa Kita Mudah Diadu Domba

Kita Mudah Diadu Domba (Outside Bozeman)

They’ll conquer us if we divide

Mereka akan menaklukkan kita kalau kita terpecah belah

Delusion:All by ONE OKE ROCK

Ketika kita masih di bangku sekolah, tentu kita familier dengan istilah devide at impera atau yang sering disebut juga sebagai politik adu domba. Intinya adalah bagaimana kita sebagai sebuah bangsa dibuat justru saling memusuhi satu sama lain, bukannya bersatu.

Seperti penggalan lirik lagu “Delusion:All” dari ONE OK ROCK di atas, ketika kita terpecah belah, maka “mereka” akan dengan mudah menakhlukkan kita. Musuh tahu, kita akan sulit untuk dikalahkan apabila bersatu.

Meskipun kita sudah merdeka selama 80 tahun, rasanya strategi politik zaman kolonial ini masih terasa hingga sekarang. Bukan oleh bangsa Belanda maupun bangsa lain, tapi oleh bangsa kita sendiri dan membuat kita terpolarisasi dengan mudahnya.

Contoh yang masih hangat tentu saja polemik Brave Pink Green Hero yang diributkan oleh netizen. Bukannya mempersatukan, simbol tersebut justru semakin memperparah polarisasi masyarakat yang semakin parah selama 10 tahun terakhir ini.

Nah, menurut Penuis, salah satu alasan mengapa kita begitu mudah terpolarisasi yang berujung mudah diadu domba adalah karena kita menganggap Kebenaran Relatif sebagai Kebenaran Absolut.

Kita Gunakan Presiden Prabowo Sebagai Contoh (Gerindra)

Contohnya begini. Anggaplah Pihak A menganggap kinerja Presiden Prabowo Subianto sangat buruk dan banyak catatan negatif tentangnya. Ditambah dengan algoritma media sosial yang cenderung hanya menampilkan apa yang kita suka, kita semakin menganggap hal tersebut sebagai Kebenaran Absolut.

Karena menganggap apa yang ia yakini sebagai Kebenaran Absolut, maka ia tidak peduli jika ada data yang membantah kalau kinerja Prabowo 100% buruk. Mau ada data penangkapan para koruptor, mau ada data terbongkarnya kasus oplosan, Prabowo tetap jelek.

Sebaliknya juga begitu, ada Pihak B yang menganggap kalau presiden pilihannya 100% baik, tidak mungkin salah. Mau dikasih bukti beberapa hal buruk tentangnya pun, Prabowo tetap yang terbaik, titik.

Mau Prabowo memilih wakil presiden yang mengacak-acak konstitusi, mau Prabowo mengeluarkan pernyataan yang tone deaf, mau Prabowo mengeluarkan kebijakan yang dirasa banyak ahli kurang tepat, Prabowo tetap baik. Keyakinannya telah berubah menjadi Kebenaran Absolut.

Padahal, Prabowo itu baik maupun Prabowo itu buruk sama-sama merupakan Kebenaran Relatif. Prabowo bisa baik dan buruk secara bersamaan, mong namanya juga manusia, bukan nabi. Kebenaran tentang Prabowo bisa berubah, tergantung konteksnya.

Namun, kebencian dan fanatisme berlebih memang bisa membutakan manusia. Kalau sudah benci, benci sekali. Kalau sudah suka, suka sekali. Alhasil, kita pun jadi mudah terpolarisasi dan sering berdebat tak penting di media sosial tanpa ada yang mau merasa kalah.

***

Kalau kita sudah bersikeras menganggap Kebenaran Relatif sebagai Kebenaran Absolut, ya susah. Semua yang bertentangan dengan apa yang kita yakini sebagai kebenaran dianggap salah. Alhasil, diskusi yang sehat pun mustahil tercipta karena kita jadi menutup persepsi lain.

Manusia memang cenderung hanya ingin melihat apa yang ingin dilihat, mendengar apa yang ingin didengar. Jika terus begini, maka kita akan terus mudah terpolarisasi dan diadu domba. Pertanyaannya, mau sampai kapan seperti ini?


Lawang, 10 September 2025, terinspirasi setelah teringat dengan pembicaraan bersama seorang teman tentang teori yang dikemukakan oleh Kurt Gödel

Sumber Featured Image: Andrea Piacquadio

Continue Reading

Sosial Budaya

Polemik Brave Pink Hero Green: Mengapa Kita Mudah Terpolarisasi

Published

on

By

Salah satu “buah” yang dihasilkan dari panasnya akhir bulan Agustus hingga awal September adalah munculnya gerakan 17+8, yang intinya adalah tuntutan-tuntutan untuk Presiden, DPR, Kepolisian, dan pihak-pihak lainnya.

Sebanyak 17 tuntutan diberi deadline hingga tanggal 5 September kemarin, yang tentu saja pada akhirnya mayoritas yang belum dipenuhi. 8 sisanya diberi deadline satu tahun atau “dikumpulkan” pada bulan September 2026.

Gerakan tersebut diprakarsai oleh banyak tokoh anak muda seperti Jerome Polin, Andovi da Lopez, Fathia Izzati, Andhyta ‘Afu’ Utami, Salsa Erwina, dan Abigail Limuria. Isi tuntutannya pun macam-macam, yang intinya merangkum apa yang selama ini menjadi keresahan masyrakat.

Bersamaan dengan adanya tuntutan tersebut, muncul gerakan Brave Pink Green Hero sebagai bentuk dukungan dan solidaritas atas tuntutan tersebut. Banyak netizen berlomba-lomba untuk ikut mengubah foto profilnya menjadi duo-tone kombinasi kedua warna tersebut, termasuk Penulis.

Munculnya Gerakan Brave Pink Green Hero

Ibu Ana vs Kepolisian (Indopop)

Brave Pink dipilih karena keberanian yang ditunjukkan oleh Ibu Ana, yang sempat terpotret berani menghadapi barisan kepolisian sendirian hanya dengan membawa bendera. Sementara itu, Green Hero dipilih untuk mengenang almarhum Affan Kurniawan.

Masalahnya, pemilihan warna tersebut ternyata justru diributkan oleh netizen. Pasalnya, beredar video Ibu Ana yang berteriak secara kasar “Prabowo Anjing, Prabowo Turun, Ganti Anies,” yang diteriakkan di tengah-tengah aksi.

Gara-gara hal tersebut, banyak yang menolak untuk ikut mengganti foto profilnya. Ada yang karena tidak ingin orang bermulut kasar menjadi simbol, ada yang menilai pemilihan warna tersebut bersifat politis, dan lain sebagainya.

Yang membela Ibu Ana pun tak sedikit. Ada yang bilang pemilihan warna pink tersebut karena keberanian yang ditunjukkan Ibu Ana, bukan mewakili pendapat pribadinya. Ada yang bilang pemilihan warna tersebut melambangkan woman empowerment secara keseluruhan.

Penulis menemukan analogi yang menarik di X, di mana ada yang mengomparasi Brave Pink ini dengan slogan “Just Do It” dari Nike dan V Sign sebagai tanda damai. Inspirasi dari keduanya juga berasal dari hal yang tidak 100% baik, bahkan cenderung kontroversi.

Selain itu, ada yang membuat analisis kalau video yang beredar tersebut sebenarnya buatan AI. Banyak kejanggalan yang ditemukan pada foto tersebut, yang sering menjadi ciri video buatan AI. Penulis tidak akan mendebat hal tersebut, karena tidak punya kapabilitas juga untuk menilai.

Terlepas dari pro kontra pemilihan Brave Pink Green Hero ini, Penulis justru merasa ini menjadi bukti lain betapa kita mudah terpolarisasi, yang ujungnya membuat kita mudah diadu domba dan melupakan hal yang substansial.

Mengapa Kita Mudah Terpolarisasi dan Melupakan Hal yang Substansi?

Sederet Public Figure yang Ikut Brave Pink Green Hero (Mother & Beyond)

Secara umum, orang mengganti foto profilnya dengan duo-tone tersebut adalah bentuk dukungan dan solidaritas terhadap gerakan 17+8, yang bisa dianggap sebagai aksi nyata dari kita sebagai masyarakat kepada para pemangku kekuasaan yang mengatur negara ini.

Akan tetapi, sebenarnya yang mendukung 17+8 tapi menolak mengganti foto profil juga ada. Yang cuma FOMO ikut mengganti foto padahal tidak mendukung 17+8 juga ada. Yang tidak mendukung 17+8 dan tidak FOMO pun juga ada.

Menariknya, Anies Baswedan yang namanya terseret karena disebut Ibu Ana pun tidak ikut-ikutan mengganti foto profilnya. Mantan capres lainnya, Ganjar Pranowo, juga mengambil langkah yang sama. Tampaknya mereka tidak ingin disangkutpautkan dengan isu ini.

Sebenarnya silakan saja mau memilih yang mana, toh itu hak masing-masing individu. Yang membuat Penulis geram adalah ketika ada pihak yang merasa lebih baik dari pihak lain karena pilihannya. Mereka menyalahkan pihak yang berseberangan dengan berbagai alasan.

Kalau memang tidak srek dengan pemilihan Brave Pink karena sosok Ibu Ana, ya enggak perlu ikut ganti foto profil. Masalahnya, ada saja pihak-pihak ini yang menggiring opini kalau orang-orang yang mengganti foto profilnya adalah A B C D blablabla.

Yang memilih untuk mengganti foto profil juga begitu. Jangan mentang-mentang ganti foto profil, terus jadi merasa yang paling nasionalis dan menghakimi yang tidak melakukannya. Jangan-jangan yang ganti foto profil tidak pernah ikut aksi secara langsung, cuma koar-koar di media sosial (seperti Penulis misalnya).

Salah satu alasan utama mengapa kita begitu mudah terpolarisasi adalah karena terkadang kita menganggap Kebenaran Relatif sebagai Kebenaran Absolut. Penulis akan menjabarkan hal ini lebih detail di tulisan besok.

Lebih parahnya lagi, polarisasi yang terjadi ini justru membuat kita melupakan substansinya, yakni tuntutan masyarakat kepada pemerintah. Harusnya kita sebagai sesama rakyat harus bekerja sama untuk memantau agar tuntutan yang telah diajukan telah terlaksana.

Terserah mau pakai warna pink, hijau, biru, cokelat, merah, nggak pakai warna karena buta warna, bebas. Yang penting, di momen-momen penting seperti saat ini kita harus saling jaga agar suara kita didengar oleh mereka.

***

Jujur, Penulis geram karena ada saja yang meributkan Brave Pink Green Hero ini. Kenapa justru menyorot Ibu Ana-nya, bukan inti dari gerakannya. Ibarat meributkan klub sepak bola bukan karena performa atau permainannya, tapi dari logo klubnya.

Selain itu, Penulis juga merasa heran karena ketika pemimpin negara yang berkata kasar, hal tersebut justru berusaha dinormalisasi. Ketika pemimpin negara mengacak-acak konstitusi agar bisa ikut pemilu, eh malah dipilih. Double standard-nya kok agak kebangetan.

Terlepas dari itu semua, Penulis berharap kejadian yang berlangsung sejak akhir Agustus bisa menjadi momentum kita sebagai bangsa menuju ke arah yang lebih baik lagi. Kita lihat saja tahun depan, apakah tuntutan yang ada di dalam 17+8 ada yang berhasil dikerjakan atau tidak.


Lawang, 9 September 2025, terinspirasi dari netizen yang meributkan masalah brave pink hero green

Foto Featured Image: Tribun

Continue Reading

Sosial Budaya

Beda Artis Korea Selatan dan Indonesia Ketika Pemilu

Published

on

By

Beberapa waktu lalu, ada fenomena yang menarik perhatian Penulis dari dunia per-K-Pop-an. Karina, salah satu member dari aespo aespa mengunggah sebuah foto di Instagram di mana dia berpose peace.

Sebagaimana simbol peace pada umumnya, tentu Karina membentuk tanda V dengan kedua jarinya. Masalahnya, banyak yang menganggap kalau pos tersebut merupakan bentuk dukungan Karina terhadap salah satu calon presiden di Korea Selatan, yang memang sedang menjalani masa pemilu setelah presidennya dimakzulkan akhir tahun lalu.

Hal ini makin diperparah karena Karina menggunakan jaket dengan tulisan angka 2 dan berwarna merah, warna yang identik dengan partai pengusung calon kandidat nomor 2. Netizen pun langsung heboh dengan pos tersebut.

Tak lama setelah itu, Karina menghapus pos tersebut dan merilis permintaan maaf. SM Entertainment selaku agensi yang menaungi Karina juga merilis klarifikasi. Sejak itu, banyak sekali public figure di Korea yang berhati-hati dalam menunjukkan gestur angka.

Salah satu yang sempat Penulis lihat adalah Hearts2Hearts, yang merupakan adik dari aespo aespa. Dalam salah satu live-nya, beberapa member-nya tanpa sengaja menunjukkan gestur angka yang langsung menimbulkan kepanikan dan segera meralat gesturnya.

Lantas, apakah memang ada aturan public figure yang memiliki basis penggemar besar dilarang menunjukkan dukungan politiknya? Sebenarnya tidak ada peraturan resmi yang melarang, hanya saja hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Istilahnya, “No Color, No Gesture“.

Kok, yang jelas-jelas mendukung. Yang dianggap “tersirat” seperti Karina saja langsung mendapatkan kecaman dari masyarakat Korea Selatan. Bahkan, sampai ada yang mengatakan “mereka sudah tamat.” Mungkin ini yang komentar memang hater-nya aespo aespa saja.

Membandingkan Fenomena Ini dengan Negara Sendiri

Nah, melihat fenomena seperti ini, tentu Penulis jadi membandingkan dengan negaranya sendiri. Kalau di sini, mengapa para artis justru menjadi daya tarik utama untuk mendulang suara? Para artis bisa dengan bebas menunjukkan dukungannya kepada salah satu calon.

Menariknya, para artis pendukung ini bisa mendapatkan posisi-posisi di pemerintahan apabila calon yang didukung berhasil menang. Bayangkan saja Karina tiba-tiba menjadi staf khusus Presiden Korea Selatan. Sulit dibayangkan, bukan? Itulah bedanya.

Ada dua perspektif berbeda yang bisa dikulik dari sini. Pertama, masyarakat Korea Selatan memiliki standar tinggi dalam hal netralitas dan menghindari polarisasi. Siapa yang tidak memiliki keterkaitan dengan kelompok politik tertentu lebih baik diam.

Seperti yang sudah Penulis singgung di atas, public figure di Korea Selatan (terlebih idol K-Pop) memiliki basis penggemar yang sangat besar. Jika mereka sudah menunjukkan dukungan kepada salah satu calon, besar kemungkinan penggemar akan ikut pilihan mereka.

Jika hal tersebut benar-benar terjadi, akibatnya adalah pemilihan berdasarkan apa kata idola mereka, bukan karena murni pilihan pribadi atau preferensi politik mereka. Yang terpilih pun bisa dibilang karena populer, bukan visi misi yang dimiliki (salah satu penyakit tulen demokrasi).

Dari perspektif lain, masyarakat Korea Selatan saja yang terlalu kaku dan tidak menerapkan demokrasi secara utuh. Toh, di negara yang katanya paling demokrasi (baca: Amerika Serikat), para artisnya juga gencar mengampanyekan jagoannya secara blak-blakan.

Artis atau public figure juga memiliki hak suara dan punya hak untuk ikut mengampanyekan calon yang mereka dukung, apa pun alasannya. Bisa karena satu ideologi, bisa karena dibayar. Yang jelas, mereka siap dicap netizen sebagai buzzer.

Lantas, bagaimana dengan penggemar mereka yang memilih karena pilihan para public figure ini? Ya, salah mereka sendiri, kenapa tidak punya pendirian. Mereka harusnya menyadari bahwa sosok idola dan pilihan politik seharusnya dipisahkan.

Kalau yang ekstrem, mungkin mereka akan berhenti mengidolakan seseorang apabila pilihan politiknya berbeda. Dari yang dulu memuja-muja dan like semua pos di media sosial, berbalik menjadi penghujat nomor satu.

Terlepas dari kedua perspektif di atas, ini adalah kali kedua Penulis secara pribadi membandingkan artis Korea Selatan dan Indonesia. Sebelumnya, Penulis sering membandingkan perbedaan gaya hidup mereka, tapi rasanya itu bisa dibahas di tulisan lain.

***

Pertanyaannya sekarang, mana yang benar? Apakah Korea Selatan yang kaku atau Indonesia yang selow? Menurut Penulis, tidak ada yang salah atau benar. Toh, masing-masing negara memiliki budaya yang berbeda, sehingga masing-masing tahu mana yang terbaik untuknya.

Mungkin artis Korea Selatan memang harus ekstra hati-hati karena masyarakatnya cukup sensitif dengan masalah politik. Bayangkan saja, Rei dari IVE saja sampai takut ketika disuruh melakukan aegyo dengan menunjuk pipinya menggunakan telunjuk. Padahal ia dari Jepang, yang artinya tidak punya hak pilih.

Sebaliknya, masyarakat Indonesia tampaknya cukup selow ketika melihat para artisnya menjadi tim kampanye calon presiden tertentu. Tentu ada saling hujat di sana-sini, tapi rasanya tidak seekstrem masyarakat Korea Selatan. Paling dicap buzzer aja, apalagi yang sampai dapat jabatan di pemerintahan terpilih.


Lawang, 8 Juni 2025, terinspirasi setelah melihat bagaimana takutnya para idol K-Pop menunjukkan gestur angka ketika masa jelang pemilu presiden Korea Selatan

Sumber Artikel:

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan