Sosial Budaya
Corona dan Dampak Sosial Ekonominya

Beberapa hari terakhir ini jika sedang berselancar di media sosial, kita akan disuguhkan banyak sekali berita seputar pandemik Corona yang mulai mengganas di dalam negeri.
Bagaimana tidak, hingga hari Jumat (20/3) rasio kematian akibat virus ini mencapai angka 8%, salah satu yang tertinggi di dunia. Banyak yang meyakini hal ini terjadi karena pemerintah termasuk lambat dalam mendeteksi pasien, sehingga angka penderita seharusnya lebih tinggi dari sekarang.
Kepanikan pun menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan (inevitable). Orang-orang dengan uang berlebih mulai membeli stok makanan untuk jaga-jaga jika lockdown benar-benar diberlakukan.
Penulis yang tinggal dan bekerja di Kebayoran Lama (yang notabene telah memiliki suspect) tentu juga merasa was-was. Seandainya bisa, Penulis akan memilih untuk pulang ke Malang.
Setelah berbagai pertimbangan, Penulis memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta hingga wabah ini mengalami penurunan, atau bahkan hingga benar-benar habis kasusnya.
Kita semua sedang merasa takut karena penyebaran Corona yang amat sangat cepat dan mudah. Ketakutan tersebut memengaruhi banyak sekali aspek kehidupan kita sehari-hari.
Dampak Ekonomi ke Masyarakat Bawah
Menjelang tidur, Penulis mendapatkan notifikasi WhatsApp dari Ayu. Ia bertanya, apakah Penulis masih ingat dengan penjual es krim yang biasanya keliling di daerah perumahan.
Penulis menjawab masih mengingat sosoknya yang telah sepuh. Ayu pun melanjutkan ceritanya dengan berkata bahwa es yang ia jual masih penuh pada hari itu. Padahal, biasanya ketika sore dagangannya sudah akan habis.

Harus Keluar Rumah (Wikipedia)
Bisa jadi, orang-orang merasa takut untuk membeli makanan dari luar, terutama yang tingkat higienisnya patut diragukan. Ayu pun jadi kepikiran, bagaimana kalau sang penjual tidak berhasil mendapatkan beberapa lembar rupiah.
Penulis juga teringat perjalanannya ke kantor menggunakan layanan ojek online. Di dalam perjalanan, Penulis bertanya mengenai dampak Corona terhadap jumlah penumpang.
Sang driver mengatakan jumlah penumpang berkurang sangat drastis. Bahkan layanan antar makanan yang Penulis kira akan meningkat juga mengalami stagnasi.
Ini menjadi salah satu contoh bagaimana Corona sebenarnya sangat memukul ke kalangan menengah ke bawah, yang kalau tidak keluar rumah tidak bisa makan. Mereka lebih takut mati kelaparan daripada mati kena virus.
Seperti yang sudah Penulis singgung sebelumnya, orang-orang berduit tidak akan merasakan penderitaan semacam ini. Mereka memiliki tabungan sehingga bisa membeli persediaan makanan. Ketimpangan sosial yang terjadi ini sangat meresahkan.
Lockdown dan Sumbangan dari Si Kaya
Dari berita yang Penulis baca, tiket pesawat ke Singapura (yang kasus kematian Coronanya 0%) ludes terjual. Bisa jadi, para orang kaya ini kabur ke sana sebelum pemerintah memutuskan lockdown.
Lockdown sendiri merupakan salah satu cara paling ekstrem untuk meredam penyebaran virus Corona (selain tembak mati ala Korea Utara). Masalahnya, siapkah masyarakat kita terisolasi dalam jangka waktu yang belum bisa dipastikan?

Lockdown (The Jakarta Post)
Masyarakat menengah ke bawah jelas menolak ide ini. Jangankan untuk membeli stok makanan, untuk makan hari ini saja belum tentu punya. Yang kaya mah enak bisa makan sambil nonton Netflix.
Oleh karena itu, muncul suara-suara di media sosial yang menuntut orang-orang kaya mengeluarkan sumbangan demi mengatasi Corona ini, terutama mereka yang gemar pamer barang-barang branded mereka.
Mereka meminta korporat dan public figure meniru Korea Selatan yang jor-joran dalam memberikan sumbangan. Beberapa sudah melakukannya, beberapa mungkin diam-diam melakukannya. Berprasangka baik saja.
#dirumahaja
Sebelum lockdown diberlakukan secara resmi, pemerintah pusat maupun daerah sama-sama menghimbau untuk #dirumahaja sebagai bentuk antisipasi. Masyarakat diminta membatasi interaksinya dengan orang lain semaksimal mungkin.
Tapi ya sekali lagi, tidak semua bisa merasakan privilege ini. Ada orang-orang yang tidak bisa bekerja dari rumah. Kemarin ketika naik lift barang, Penulis bertemu dengan beberapa security. Mereka jelas tidak bisa bekerja dari rumah.

#dirumahsaja (Daily Mail)
Tidak hanya di dunia kerja, himbauan ini juga berlaku untuk mahasiswa dan pelajar. Sekolah dan kampus tidak diliburkan, mereka belajar di rumah secara online.
Masalahnya, banyak yang mengeluh kalau mereka mulai bosan di rumah terus. Padahal, sebelumnya mereka selalu mendambakan rebahan sepuasnya. Kontradiksi ini membuktikan ketidakkonsistenan manusia.
Seharusnya, kita merasa bersyukur masih bisa di rumah saja. Merasa bosan itu manusiawi, tapi setidaknya jangan mengeluarkan keluhan tersebut di ruang publik seperti media sosial. Kasihan mereka yang tidak bisa bekerja dari rumah, lebih-lebih tim medis yang menangani pasien Corona.
Bahkan, para ulama dan petinggi agama lainnya telah menyepakati agar aktivitas ibadah dilakukan di rumah untuk sementara waktu. Ini menunjukkan bahwa virus ini bukan sesuatu yang main-main.
Banyak penduduk negara lain yang meremehkan virus ini dan tetap beraktivitas di luar seperti biasa. Hasilnya? Bisa dilihat sendiri jumlah penderita dan korban jiwa dari negara tersebut.
Penutup
Isolasi di rumah mungkin berat untuk kaum ekstrovert, namun ringan bagi kaum introvert yang sudah terbiasa. Penulis menemukan kalimat ini di media sosial, sebuah joke di tengah duka yang tengah melanda.
Virus Corona memang tidak hanya menyerang kesehatan, namun juga berdampak pada kondisi sosial ekonomi. Lakukan apa yang bisa kita lakukan, walaupun itu hanya berdiam diri di rumah.
Beberapa negara yang mulai mencari obat dan vaksinnya. Negara yang telah bangkit dari terjangan Corona juga mulai membantu negara-negara lain yang baru terkena dampaknya.
Semoga tulisan ringan ini bisa menjadi pengingat. Semoga kita semua diberikan perlindungan agar bisa melewati badai ujian ini bersama-sama. Every cloud has a silver lining.
Kebayoran Lama, 21 Maret 2020, terinspirasi dari banyaknya berita seputar virus Corona
Foto: WHO
Sosial Budaya
Ketika Berinvestasi dengan Uang Panas

Beberapa waktu lalu, muncul berita mengejutkan di mana ada seorang mahasiswa dari salah satu universitas negeri ternama melakukan pembunuhan kepada adik tingkatnya. Ketika diusut, penyebabnya adalah karena ia terlilit hutang karena berinvestasi di kripto.
Tak tanggung-tanggung, hutang yang dimiliki mencapai 80 juta rupiah. Setelah membunuh adik tingkatnya, ia berencana untuk menjual barang-barang milik orang yang ia bunuh tersebut untuk membayar hutang yang dimilikinya.
Apalagi, kabar beredar kalau adik tingkat tersebut memiliki portofolio investasi yang lebih berhasil, sehingga mungkin menimbulkan rasa iri pada pelaku. Kasus ini pun mengajari kita, kalau jangan berinvestasi menggunakan uang panas seperti hutang.
Investasi Itu Memang Penting, tapi…

Kita semua tentu mendengar tentang pentingnya berinvestasi, tapi rasanya baru belakangan ini fenomenanya menjadi begitu ramai, terutama sejak adanya pandemi. Apalagi, sekarang ada banyak pilihan investasi yang bisa dipilih.
Jika orang dulu akan memilih investasi dengan membeli tanah, emas, atau properti, maka generasi sekarang cenderung memilih aset seperti saham, reksadana, cryptocurrency, hingga NFT yang sempat heboh beberapa waktu lalu walaupun kini telah meredup.
Penulis sendiri juga masih belajar sedikit-sedikit tentang investasi. Sebagian tabungan Penulis sisihkan untuk ditaruh di berbagai instrumen. Ada saham lokal, saham luar negeri, reksadana, hingga emas digital. Ada yang sudah profit, ada yang merah terus dan terasa hopeless.
Kenapa Penulis tidak berinvestasi di kripto? Ada banyak alasannya, mulai dari faktor boleh tidaknya di keyakinan Penulis, sifatnya yang sangat fluktuatif dan spekulatif, tidak ada bentuk riilnya, dan karena minimnya pengetahuan yang dimiliki.
Pada dasarnya, Penulis adalah orang yang mudah skeptis dan tidak mudah tergiur sesuatu yang sifatnya “kaya dengan mudah”. Meskipun kerap mendengar bagaimana orang mendadak kaya karena kripto, Penulis sama sekali tidak tertarik.
Nah, kasus pembunuhan yang sudah Penulis singgung di atas kemungkinan besar adalah contoh bagaimana manusia bisa tergiur dengan iming-iming “kaya dengan mudah” melalui investasi kripto. Padahal, risikonya sangat besar, apalagi jika menggunakan uang panas.
Mengapa Tidak Boleh Menggunakan Uang Panas untuk Berinvestasi?

Menurut pengertian Penulis pribadi, uang panas adalah sebuah istilah untuk merujuk kepada uang yang jika hilang akan menimbulkan masalah berat. Tentu semua uang yang hilang akan menjadi gawat, tapi uang panas ini sifatnya super duper gawat.
Contohnya adalah uang dari gaji yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika uang tersebut kita gunakan untuk investasi dan raib, maka kita tidak bisa memenuhi kebutuhan kita dan berpotensi membahayakan hidup kita.
Hutang adalah contoh lain dari uang panas. Biasanya, ketika orang berinvestasi dengan uang hutang, mereka berharap akan mendapatkan untung yang bisa ia simpan sekaligus mengembalikan hutang yang ia pinjam.
Sayangnya, kenyataan tidak pernah semanis itu. Boro-boro cuan, yang ada investasinya buntung karena kurangnya edukasi. Tergoda dengan easy money, yang ada ia justru tidak bisa mengembalikan hutang tersebut.
Apalagi, sekarang ada banyak sekali pilihan investasi yang terkesan high risk high value. Kalau mau cuan banyak, ya harus berani ambil risiko tinggi. Bahkan, banyak yang sengaja ngompor-ngomporin agar banyak orang terpikat, seperti yang dilakukan para crazy rich palsu itu.
Tidak hanya kripto, aplikasi trading pun sempat ramai karena banyak yang merasa tertipu. Bahkan yang lebih parah, ada yang menggunakan uang panas untuk judi online atau main slot. Sudah dosa, pakai uang hutang pula.
Kita bisa berkaca pada kasus crash-nya kripto Luna hingga menjadi tidak bernilai sama sekali. Seandainya kita menginvestasikan uang kita di sana dengan uang hutang lalu nilainya drop sedemikian rupa, bagaimana kita bisa mengembalikan hutang tersebut?
Penutup
Penulis sepakat bahwa investasi itu sangat penting untuk kehidupan kita. Daripada uangnya dibuat membeli sesuatu yang tidak terlalu penting (seperti board game, uhuk), lebih baik diinvestasikan agar bisa “beranak-pinak” dan menambah aset kita.
Dengan berinvestasi, kita akan memiliki dana darurat jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Selain itu, investasi juga digunakan sebagai dana pensiun (untuk non-PNS tentunya) agar kita tidak memberatkan anak cucu kita kelak.
Namun, jangan sampai juga memaksakan diri untuk berinvestasi, bahkan sampai berhutang. Jika memang belum ada kemampuan untuk berinvestasi, coba untuk belajar mengelola keuangan lebih baik lagi atau belajar skill baru agar value kita bertambah.
Gunakanlah uang dingin untuk berinvestasi, yakni uang yang tidak berputar dan tidak digunakan untuk berbagai keperluan. Contoh, kita memiliki gaji 15 juta dengan kebutuhan bulanan 10 juta, maka 5 jutanya adalah uang dingin yang bisa digunakan untuk berinvestasi.
Semoga saja kasus pembunuhan karena kripto yang terjadi baru-baru ini bisa memberi kita pelajaran yang penting tentang berinvestasi. Selain jangan menggunakan uang panas, jangan suka pamer portofolio ke orang lain yang bisa bikin mereka iri!
Lawang, 25 Agustus 2023, terinspirasi setelah membaca berita tentang mahasiswa UI yang membunuh adik tingkat karena Crypto
Foto Featured Image: IMDb
Sosial Budaya
Threads: The Right Thing at the Right Time

Hari Kamis (6/23) kemarin menjadi hari rilisnya Threads, sebuah media sosial baru dari Meta (induk perusahaan dari Facebook, Instagram, WhatsApp) yang text-oriented. Dalam sekejap aplikasi ini langsung mendapatkan atensi dan berhasil mendapatkan puluhan juga user.
Banyak yang menyebut kalau aplikasi ini pada dasarnya sama dengan Twitter, yang kini dimiliki oleh Elon Musk. Tak heran jika Musk sampai menuliskan surat untuk Mark Zuckerberg (bos Meta) dan mengancam akan menuntut Threads.
Jika dilihat secara sekilas, memang Threads sangat mirip dengan Twitter, bahkan banyak yang menganggap aplikasi ini mirip dengan Twitter di masa-masa awal. Apalagi, Threads memiliki tampilan yang minimalis dan belum akan ada iklan untuk sementara waktu.
Terlepas dari segala permasalahan yang ada, Penulis ingin membahas mengenai bagaimana Threads muncul sebagai hal yang tepat di waktu yang tepat, tentang bagaimana sebuah aplikasi muncul di saat aplikasi sejenis sedang mengalami berbagai problematika.
Threads Hadir di Kala Twitter Bermasalah

Seperti yang kita ketahui bersama, Twitter jadi banyak masalah (dan drama) semenjak Elon Musk mengakuisisi perusahaan pada bulan Oktober 2022. Contoh yang paling mudah adalah banyaknya karyawan yang ia pecat dengan berbagai alasan.
Kebijakan yang ia buat untuk Twitter pun kerap menjadi polemik, seperti centang biru berbayar hingga adanya pembatasan pos yang bisa dilihat oleh user yang tidak membayar paket subscription tertentu.
Di tengah kekacauan yang membuat sebagian pengguna Twitter merasa jengah, Meta tiba-tiba muncul dengan Threads. Mereka menyediakan sebuah aplikasi alternatif untuk mereka yang merasa makin malas menggunakan Twitter.
Penulis sendiri akhir-akhir ini semakin malas membuka Twitter karena isinya berantem mulu. Meskipun tidak mengikuti akun-akun yang berpotensi menimbulkan kericuhan, ada teman-teman di Twitter yang melakukan repost atau muncul sebagai iklan.
Nah, kemunculan Threads menjadi alternatif yang tepat karena sebagai aplikasi baru, mayoritas isi timeline Penulis merupakan tulisan dari teman-temannya yang juga baru mencoba. Namun, bukan tidak mungkin ke depannya Threads akan ikut rusuh.
Selain itu, mungkin orang juga bisa menjadikan Threads sebagai jeda dari konten yang bersifat visual seperti TikTok, Reels, hingga Shorts. Walau konsep infinity short videos menyenangkan bagi sebagian orang, lama-lama pasti juga akan merasa jenuh.
Berdasarkan pengalaman menggunakan aplikasi ini selama dua hari, Penulis memang merasa kalau Threads digunakan oleh orang-orang untuk berceloteh apapun yang ada di pikiran mereka, mirip dengan konsep Twitter dulu yang seolah telah hilang saat ini.
Apakah Threads akan Menjadi Twitter Killer?

Begitu Threads muncul, Musk langsung mengancam akan menuntut Meta. Alasannya, aplikasi tersebut dianggap sebagai tiruan dari Twitter, terlebih banyak mantan karyawan Twitter direkrut oleh Meta, sehingga “kebocoran informasi internal” sangat mungkin terjadi.
Melalui tweet-nya (tentu saja di Twitter, bukan di Threads), Musk mengatakan bahwa sebuah kompetisi untuk Twitter sah-saja saja. Namun, ia tidak bisa menolerir kecurangan. Nah, apa yang Meta lakukan dengan Threads ia anggap sebagai kecurangan.
Apakah Musk takut dengan kemunculan Threads? Bisa saja, mengingat konsep dari kedua platform memang benar-benar sama. Hingga saat ini, Penulis belum bisa menemukan perbedaan antara keduanya.
Threads memiliki keunggulan karena ia terintegrasi dengan Instagram. Begitu mendaftar, kita bisa login dengan akun Instagram kita untuk mendapatkan profil dan daftar teman atau akun yang ikuti di Instagram, bahkan jika mereka belum join ke Threads.
Dengan meledaknya jumlah pengguna hanya dalam waktu dua hari, wajar jika Musk ketar-ketir kalau pengguna Twitter akan berpindah haluan ke Threads. Namun, jika dipikir-pikir lagi, sebenarnya kemunculan Threads bisa jadi karena ulahnya sendiri.
Sebagaimana yang telah diulas di atas, Musk banyak memecat karyawan Twitter, sehingga mereka bergabung dengan kompetitor. Selain itu, ia juga kerap membuat kebijakan yang membuat user tidak nyaman dengan Twitter, sehingga wajar mereka pindah ke Threads.
Jika Musk tidak berbenah dengan Twitter-nya (terlepas ia telah mengatakan telah menunjuk CEO pengganti dirinya), bukan tidak mungkin kalau Threads benar-benar akan menjadi Twitter-killer di masa depan.
Monopoli Meta di Dunia Media Sosial?

Dari sisi Meta, kita pun harus waspada karena mereka terlihat sedang ingin memonopoli dunia media sosial. Ketika dunia ramai oleh TikTok, mereka membuat fitur Reels untuk Instagram. Kini, mereka seolah ingin mengambil alih pasar yang dimiliki oleh Twitter.
Sama seperti Microsoft yang sedang dikejar oleh Free Trade Commission (FTC) karena berusaha mengakuisisi Activision Blizzard, bisa jadi Meta juga akan diincar karena dianggap melanggar undang-undang antimonopoli.
Apalagi, sebelumnya sudah banyak media sosial lain yang tumbang karena tidak mampu bersaing dengan mereka. Sebut saja Google+, Path, Vine, hingga MySpace. Jika Twitter sampai bernasib seperti aplikasi-aplikasi tersebut, tentu itu akan mempertegas monopoli Meta.
Threads pun mendapatkan tantangan untuk membuktikan kalau mereka berbeda dari Twitter. Jika ternyata ini hanya fenomena sesaat dari orang-orang yang rindu akan Twitter lama, maka Threads pun berpotensi untuk kehilangan pengguna yang merasa bosan.
Saat ini, masih banyak fitur yang belum dimiliki oleh Threads, seperti hashtag, mengirim pesan ke pengguna lain, trending topic, dan sebagainya. Masalahnya, semua fitur tersebut sudah ada di Twitter, sehingga jika ada pun akan membuat Threads semakin mirip Twitter.
Kalau kasus Twitter vs Threads benar-benar dibawa ke persidangan dan terbukti kalau Threads hanya copycat dan sebuah upaya untuk memonopoli dunia media sosial, maka bisa jadi Threads tidak akan berumur panjang.
Penutup
Sejauh ini, Penulis menikmati penggunaan Threads yang terasa segar berkat banyaknya teman-teman Penulis yang menggunakannya untuk berbagi berbagai macam hal dan tampilannya yang minimalis.
Mungkin yang pusing adalah mereka yang kerjanya di bidang media sosial, karena pekerjaan mereka otomatis akan bertambah (yang kemungkinan tidak diiringi dengan bertambahnya gaji). Semangat untuk mereka semua!
Memang ada perasaan pesimis kalau Threads akan menjadi fenomena sesaat saja, terutama jika kalah sidang melawan Twitter. Belajar dari tutupnya Helo yang dimiliki Bytedance, bukan tidak mungkin hal yang sama bisa terjadi terhadap Threads.
Namun, Meta sebagai perusahaan induk pasti telah menyiapkan berbagai strategi untuk membuat Threads bisa survive. Yang jelas, mereka sangat cerdik karena bisa memberikan hal yang tepat di waktu yang tepat, ketika Twitter dilanda banyak permasalahan.
Lawang, 7 Juli 2023, terinspirasi dari kemunculan aplikasi Threads
Foto Featured Image: The Telegraph
Sumber Artikel:
- Zuckerberg claims tens of millions of Threads signups within hours of launch – CBS News
- What is Threads – and can it beat Twitter? – The Telegraph
- Zuckerberg says Threads, Instagram’s new Twitter-like app, has 30 million users; Elon Musk responds – Fox Business
- Elon Musk’s Twitter Threatens to Sue Meta Over Threads, Alleging Meta Hired ‘Dozens’ of Twitter Employees to Launch Copycat App; Meta Disputes Claim – Variety
Sosial Budaya
Mario Savio dan Pidatonya akan Bahaya Mesin (AI)

“Ketika pengoperasian mesin menjadi sangat menjijikkan, membuat Anda sangat sakit hati, sehingga Anda tidak dapat mengambil bagian. Anda bahkan tidak dapat berpartisipasi secara pasif, dan Anda harus meletakkan tubuh Anda di atas persneling dan di atas roda, di tuas, di semua peralatan, dan Anda harus menghentikannya!”
Kutipan di atas merupakan kutipan dari Mario Savio, seorang aktivis yang menjadi bagian dari Berkerley Free Speech Moment. Penulis mengetahuinya karena Linkin Park menggunakan pidato tersebut untuk lagunya yang berjudul “Wretches and Kings” di album A Thousand Suns.
Yang Penulis tangkap dari pidato Savio tersebut adalah kekhawatirannya Savio mengenai keberadaan mesin yang semakin mengkhawatirkan dan bisa menggantikan peran manusia. Menariknya, pidato tersebut dilakukan pada tanggal 2 Desember 1964.
Penulis melihat ini menjadi hal yang sangat menarik, karena bagaimana bisa pidato yang diucapkan 60 tahun lalu masih relevan hingga saat ini, ketika keberadaan Artificial Intelegence (AI) di dunia untuk menggantikan manusia semakin mengerikan dan mengkhawatirkan.
AI yang Semakin Merajarela

Seperti yang kita ketahui, belakangan ini isu AI semakin ramai. Dimulai dari ChatGPT yang bisa membuat tulisan hingga AI yang bisa membuat desain sendiri hanya dengan memasukkan kata-kata, kekhawatiran publik langsung mencuat.
Bahkan, beberapa tokoh terkenal di bidang teknologi pun ikut menyuarakan ketakutannya, seperti Elon Musk (CEO Tesla dan SpaceX), Steve Wozniak (salah satu pendiri Apple), hingga Evan Sharp (pendiri Pinterest).
Bagaimana tidak, pekerjaan-pekerjaan yang dulu dianggap “aman” dan tidak akan digantikan mesin ternyata bisa digantikan. Contoh yang paling nyata dan dekat dengan kehidupan Penulis adalah pekerjaan sebagai penulis dan desainer.
Hampir semua pekerjaan-pekerjaan “di balik meja” bisa digantikan, bahkan pembawa berita acara dan bintang iklan pun bisa dilakukan oleh AI. Rasanya, saat ini hanya pekerjaan fisik seperti pemain sepak bola, supir, hingga kuli bangunan yang benar-benar aman.
Di tengah susahnya bagi sebagian orang untuk menemukan pekerjaan, tentu kabar ini semakin membuat ketar-ketir. Jika dulu hanya bersaing dengan sesama manusia saja sudah sulit, sekarang harus sudah ditambah dengan bersaing melawan AI.
Perang Lawan AI, Kita Harus Apa?

Kalau dari sisi perusahaan atau korporat, tentu penggunaan AI sangat membantu dalam menghemat anggaran. Apalagi, AI terbukti mampu bekerja lebih cepat, walau terkadang hasilnya masih belum benar-benar sempurna.
Hal ini semakin diperparah karena AI disokong oleh perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti Microsoft dan Google. Semua seolah berlomba untuk menghadirkan AI terbaik, dengan dalih ingin membantu pekerjaan manusia menjadi lebih ringan.
Lantas, di tengah “perang” antara manusia dan AI ini, apa yang harus kita lakukan? Menurut Penulis, satu langkah konkrit yang bisa diambil adalah berusaha untuk memiliki skill yang tidak akan bisa digantikan oleh AI.
Tentu tidak mudah untuk menemukannya. Seperti yang sudah Penulis singgung di atas, banyak pekerjaan yang awalnya dianggap aman ternyata bisa-bisa saja digantikan Ai. Beberapa tahun ke depan, Penulis tidak bisa membayangkan akan secanggaih apa AI nanti.
Kondisi ini tentu membuat kita teringat akan film-film bertema sci-fi di mana manusia tak berdaya berkat ciptaannya sendiri. Keberadaan AI yang semakin canggih tentu membuat masa-masa distopia seperti itu sangat mungkin untuk terjadi.
Apakah Pekerjaan Penulis Juga Terancam?

Penulis telah berkarir di bidang media selama kurang lebih 8 tahun, dimulai dari seorang penulis hingga sekarang sebagai editor. Dengan kehadiran AI terutama ChatGPT, apakah pekerjaan di bidang ini akan terancam?
Seperti yang kita ketahui, ChatGPT (dan AI lainnya) belum benar-benar sempurna. Meskipun mampu merangkai kalimat dengan sangat baik, Penulis masih merasakan kalau tulisan tersebut dibuat oleh mesin, bukan tangan manusia.
Tidak percaya? Beberapa waktu lalu, salah satu kontributor di tempat kerja Penulis menyetorkan artikel yang terasa “terlalu sempurna”. Apalagi, dia mampu membuatnya dalam waktu yang begitu cepat. Hal ini ganjil, mengingat yang bersangkutan kurang berpengalaman.
Benar saja, kecurigaan Penulis terbukti benar. Di salah satu artikel yang ia buat, ada informasi yang benar-benar kacau dan ia tidak menyadarinya. Setelah Penulis desak, ternyata terbukti kalau ia menggunakan ChatGPT untuk menyelesaikan artikel.
Belajar dari kasus ini, Penulis menyimpulkan kalau AI belum bisa menggantikan peran penulis betulan, setidaknya untuk saat ini. Manusia jelas masih lebih hebat dalam menyusun kalimat yang menarik. Terasa kok, mana tulisan buatan manusia mana buatan mesin.
Penutup
Siapa yang menyangka kekhawatiran Mario Savio berpuluh-puluh tahun yang lalu masih relevan hingga hari ini, bahkan dalam skala yang lebih mengerikan. Jika dulu mesin yang menggantikan manusia bisa terlihat secara fisik, maka AI seolah tak terlihat.
Mau berharap pengembangan AI dihentikan juga susah, karena para korporat raksasa justru berlomba menciptakan yang terbaik. Tampaknya percuma saja kita mengajukan protes, pengembangan AI tidak menunjukkan tanda-tanda akan melambat.
Namun, daripada memusingkan kemunculan AI, lebih kita fokus dengan apa yang bisa dilakukan. Anggap saja kemunculan AI mendorong dan memaksa kita keluar dari zona nyaman. Kehadiran AI menjadi pengingat, kita harus selalu mengembangkan diri.
Lawang, 2 Juli 2023, terinspirasi setelah ada banyak sekali AI yang semakin mengkhawatirkan
Foto Featured Image: The Nation
Sumber Artikel:
- Musik4 bulan ago
Maskulinitas pada Musik Dewa
- Buku4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Funiculi Funicula: Kisah-Kisah yang Baru Terungkap
- Anime & Komik4 bulan ago
Alasan Saya Tidak Suka One Piece
- Musik5 bulan ago
9 Personel Twice dan Impresi Saya ke Mereka
- Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #6 King of New York
- Pengembangan Diri5 bulan ago
Pada Akhirnya, Kebaikan yang Kita Lakukan akan Kembali ke Diri Sendiri
- Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Funiculi Funicula: Before the Coffee Gets Cold (Spoiler Version)
- Sosial Budaya4 bulan ago
Hype Konser Coldplay di Indonesia: Beneran Nge-fans atau Sekadar FOMO?