Tokoh & Sejarah
Kekepoan yang Hakiki Ala Thomas Alva Edison
Dalam pengamatan penulis, kata KEPO seringkali berkonotasi negatif. Banyak yang menganggap kepo adalah sebuah keingintahuan yang melebih batas. Bahkan, bertanya hal sederhana pun akan disahuti dengan akta kepo.
Penulis tidak mengetahui apakah kata kepo ini sudah masuk secara resmi ke dalam KBBI. Ada yang bilang kepo merupakan akronim dari Knowing Every Particular Object, ada yang menyebut serapan bahasa Cina kay-poh yang berarti ingin tahu, dan lain sebagainya.
Pada tulisan ini, penulis akan menganggap kepo memiliki arti keingintahuan yang tinggi terhadap sesuatu. Jika berlandaskan definisi tersebut, maka sesungguhnya sebuah kekepoan bisa menjadi sesuatu yang berarti bagi kita.
Penulis akan mengambil contoh salah satu inovator terhebat yang pernah ada selama sejarah manusia berlangsung: Thomas Alva Edison.
Edison dan Kekepoan yang Dimilikinya
Pertama kali penulis mengetahui biografinya adalah ketika membaca komik biografinya sewaktu penulis berada di bangku sekolah dasar. Kisah hidupnya pada komik tersebut meninggalkan kesan yang mendalam bagi penulis, hingga sekarang.
Semenjak kecil, Edison sudah memiliki kekepoan yang begitu tinggi. Apa saja yang terlintas di benaknya akan ia tanyakan kepada orang lain, termasuk pertanyaan yang bagi orang lain dianggap sepele.
Hal inilah yang membuat Edison hanya mengenyam pendidikan resmi selama tiga bulan seumur hidupnya. Alasannya, ia dikeluarkan dari sekolah karena terus-menerus melontarkan pertanyaan di luar konteks pelajaran hingga dicap idiot.
(Inilah yang menjadi inspirasi karakter Gisel pada novel penulis)
Lantas bagaimana dirinya bisa mendapatkan pendidikan? Untunglah sang ibu, Nancy, adalah mantan seorang guru dan begitu memahami anaknya, sehingga Edison bisa tetap mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Selain itu, Edison sangat gemar membaca, termasuk buku-buku berat milik kakaknya. Terkadang, ia juga membuat eksperimen di ruang bawah tanah dan mencoba membuat berbagai macam hal.
Kekepoan yang dimiliki oleh Edison sejak kecillah yang menuntun ia menjadi salah satu inovator terbesar sepanjang sejarah. Ada lebih seribu lebih penemuan yang ia temukan, termasuk bola lampu yang fenomenal.
Jika kepo bisa membuat seseorang bisa mengubah dunia, lantas mengapa kita tidak melakukan hal yang sama?
Mengapa Kita Harus Kepo?
Kepo adalah hal yang baik jika dimanfaatkan dengan cara yang benar. Kekepoan akan buruk jika kita gunakan untuk mencari tahu masalah pribadi seseorang. Sebaliknya, jika digunakan untuk mencari ilmu, kepo akan menjadi motor penggerak utama.
Coba seandainya para inovator tidak memiliki kekepoan, bisa-bisa kita masih hidup di era batu. Rasa penasaran mereka demi menemukan solusi yang lebih baik untuk hidup telah berdampak luas hingga kini kita bisa hidup dengan nyaman.
Edison adalah contoh terbaik yang bisa penulis berikan. Rasa keingintahuannnya yang tinggi telah menginspirasi penulis untuk terus mencari tahu ilmu-ilmu yang belum penulis ketahui.
Apalagi, yang namanya ilmu, semakin dipelajari, semakin banyak yang tidak kita ketahui. Itulah mengapa muncul istilah belajar adalah proses seumur hidup.
Kekepoan yang hakiki adalah rasa ingin tahu yang ditujukan untuk meraih ilmu sehingga bisa bermanfaat bagi orang lain, seperti yang telah dilakukan oleh Edison dan penemu lain.
Kebayoran Lama, 29 November 2018, terinspirasi setelah membaca sedikit biografi tentang Thomas Alva Edison
Foto: wikipedia.com
Tokoh & Sejarah
Bagaimana Xbox Beradaptasi Melawan PlayStation dan Nintendo
Kalau berbicara tentang konsol, Penulis pernah memiliki beberapa. Waktu kecil, Penulis memiliki konsol-konsol “murah” yang bisa memainkan banyak game jadul seperti Duck Hunt dan Super Mario Bros.
Saat kelas 5 SD, Penulis tiba-tiba dibelikan PlayStation 1 oleh ayah. Lalu saat lulus dari SD, Penulis membeli PlayStation 2 menggunakan uang sunat. Semenjak itu, Penulis tidak pernah lagi membeli konsol hingga saat ini.
Walau begitu, Penulis tetap mengikuti perkembangan konsol karena memang menyukai sejarah teknologi. Kabar terbaru yang cukup hangat dibicarakan adalah bagaimana menyerahnya Xbox dalam perang konsol dan memutuskan untuk fokus di konten.
Xbox yang Tertinggal Jauh dari PlayStation dan Nintendo
Jika berbicara tentang penguasa pasar konsol di era sekarang, pemain besarnya hanya tinggal tiga perusahaan, yakni Sony melalui PlayStation, Nintendo, dan Microsoft melalui Xbox. Dibandingkan para kompetitornya, umur Xbox memang paling muda.
Karena Nintendo seolah punya “dunianya” sendiri, maka di sini Penulis hanya akan membandingkan Xbox dengan PlayStation. Mari kita bahas dari segi penjualan konsolnya dulu, karena ini berpengaruh pada keputusan yang dibuat Xbox sekarang.
Di pertengahan 90-an, Sony mendobrak pasar yang saat itu diisi oleh Nintendo, Sega, dan beberapa merek lainnya. Melalui PlayStation, Sony dianggap merevolusi industri game modern berkat berbagai terobosannya seperti penggunaan CD, bukan cartridge.
Lantas, di awal 2000-an, Sony merilis penerusnya, PlayStation 2, yang hingga saat ini masih memegang rekor sebagai konsol dengan penjualan tertinggi sepanjang masa. Di saat inilah Microsoft masuk ke industri game dengan merilis Xbox perdana.
Tentu, penjualan Xbox tidak ada apa-apanya dibandingkan PlayStation 2. Seumur hidup, Penulis hanya satu kali melihat Xbox punya teman di Tangerang. Beda dengan konsol PlayStation yang bisa ditemukan di banyak tempat rental.
Nasib Xbox membaik ketika merilis Xbox 360, saat PlayStation meluncurkan PlayStation 3. Jumlah penjualannya hanya selisih tipis. Namun, banyak yang menganggap kalau ini terjadi karena harga PS3 yang terlampau mahal, bukan karena Xbox 360 bagus.
Penulis juga hanya sekali melihat ada orang punya Xbox 360, yakni punya tetangga Penulis yang sesekali membawa konsolnya ke rumah untuk dimainkan bersama. Kalau secara fisik, konsol ini memang memiliki bentuk yang menarik.
Di generasi selanjutnya, Sony meluncurkan PlayStation 4 dan Xbox meluncurkan Xbox One. Pola penamaan Xbox memang sedikit membingungkan, berbeda dengan PlayStation yang berurutan. Sekali lagi, Xbox harus menelan pahitnya kekalahan yang cukup telak.
Seumur-umur, Penulis belum pernah melihat konsol Xbox One. Kalau PS4, teman Penulis ada yang memilikinya, apalagi sudah banyak rental yang menyediakan PS4. Mungkin memang sejarang itu orang memutuskan untuk membeli konsol Xbox, setidaknya di Indonesia.
Untuk konsol generasi terbaru, PlayStation 5 dan Xbox Series X|S, mungkin bisa dibilang menjadi endgame bagi Xbox di perang konsol. Meskipun menggunakan strategi “konsol murah untuk teknologi terbaru” melalui Series S, mereka tetap tak mampu mengalahkan Sony.
Penulis sering main di rental untuk menyewa PS5, teman Penulis ada yang punya Xbox Series S, tapi Penulis belum pernah melihat Xbox Series X secara langsung. Bisa jadi, ini adalah seri Xbox terakhir yang pernah dikeluarkan oleh Microsoft.
Strategi Microsoft Bertahan di Industri Game
Berdasarkan ulasan di atas, bisa dilihat kalau Xbox benar-benar bukan lawan yang sepadan untuk PlayStation. Bahkan, jika dibandingkan dengan Nintendo pun mereka masih kalah, mengingat penjualan Wii dan Switch begitu laris manis di pasaran.
Menyadari kekurangan ini, Xbox pun memfokuskan diri pada konten game. Hal ini bisa dilihat dari betapa agresifnya Microsoft mengakuisisi berbagai developer game, di mana yang paling besar tentu saja ketika mereka mengakusisi Activision Blizzard.
Strategi ini masuk akal, mengingat Sony dan Nintendo juga kerap menggunakan konten yang disajikan untuk menarik minat pemain. Seperti yang kita tahu, ada banyak judul game yang hanya tersedia di platform tertentu.
Contohnya di PlayStation, ada beberapa judul seperti seri Final Fantasy, Spider-Man, God of War, Horizon, hingga The Last of Us. Memang biasanya judul-judul dari seri tersebut akan hadir di PC, tapi biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Nintendo malah lebih unik lagi dengan dunianya sendiri. Sebagai pemilik waralaba Mario, Zelda, hingga Pokemon, mereka secara eksklusif menghadirkan judul-judul tersebut hanya di konsol buatan mereka.
Xbox sendiri sebenarnya dari dulu juga memiliki beberapa waralaba khas mereka, seperti seri Halo dan Forza Horizon. Namun, rasanya mereka merasa kalau itu belum cukup sehingga secara masif mengakuisisi developer game lain.
Selain itu, strategi ini juga dilakukan untuk memperluas perpustakaan konten Xbox Game Pass, layanan subscription yang mereka miliki. Strategi ini juga digunakan oleh PlayStation, tapi tidak dilakukan oleh Nintendo.
Lantas, apakah Xbox jadi akan mengeksklusifkan game-game yang dibuat oleh anak-anak perusahaannya? Rasanya tidak. Contohnya dari seri Call of Duty, pihak Xbox telah menegaskan kalau mereka akan tetap merilis game-game tersebut di PlayStation.
Namun, yang jelas tampaknya laju Microsoft untuk mengakuisisi banyak developer game belum akan berakhir, bahkan akan lebih masif lagi. Jangan heran apabila PlayStation pun berupaya untuk meniru strategi yang diambil oleh Microsoft untuk bertahan di industri game.
Untuk ulasan yang lebih mendalam tentang topik ini, Pembaca bisa membaca tulisan Penulis di tautan yang ada di bawah.
Lawang, 20 September 2024, terinspirasi setelah menonton video ulasan yang membahas tentang strategi Xbox ke depannya
Foto Featured Image: WIRED
Sumber Artikel:
- Xbox Lost the Console War. Now It’s Redefining Gaming. | WSJ The Economics Of – YouTube
- Masa Depan Dunia Game: Perang Konten antar Platform – UP Station
- Kalah Perang Konsol, Xbox Bakal Akuisisi Banyak Perusahaan Game – UP Station
- PlayStation and Xbox: A Report Highlights the Lifetime Global Hardware Sales Data for Both Gaming Consoles – IGN
Tokoh & Sejarah
Mengapa iPhone Tetap Laris Manis Walau Gitu-Gitu Aja?
“Jadi, pada dasarnya Apple mengeluarkan produk yang sama lagi?”
Kurang lebih seperti itulah komentar mayoritas netizen ketika melihat video pengumuman iPhone seri terbaru, yang biasanya diadakan pada bulan September. Tahun ini pun komentar senada masih keluar ketika seri iPhone 16 rilis.
Bisa dibilang, fitur yang benar-benar baru di seri iPhone 16 hanyalah tombol kamera (yang sudah lama ada di seri Sony Xperia) dan Apple Intelligence (yang cukup terlambat jika dibandingkan dengan kompetitornya). Selain letak kameranya yang berubah, selebihnya mirip dengan seri iPhone 15.
Di satu sisi, contoh di atas bisa disebut sebagai kebuntuan inovasi dan membuktikan bahwa perkembangan teknologi seolah sudah mendekati puncaknya. Di sisi lain, bisa jadi ini merupakan cara “bertahan hidup” mereka dengan mempertahankan kualitas yang telah dimiliki.
Mending Gitu-Gitu Aja atau Coba Baru tapi Gagal?
Komentar yang ada di atas artikel ini juga kerap ketika EA Sports meluncurkan game bola baru. Bahkan, ketika namanya berubah dari FIFA menjadi EA Sports FC, bisa dibilang yang berubah hanya menunya saja. Tidak banyak terobosan yang diluncurkan.
Membuat terobosan, terutama di dunia teknologi, butuh keberanian dan insting dalam melihat pasar. Jangan sampai produk yang diluncurkan justru menjadi bulan-bulanan masyarakat karena kualitasnya yang jauh dari ekspektasi.
Penulis akan memberikan contoh melalui game Pro Evolution Soccer (PES), atau yang belakangan berubah nama menjadi eFootball. Zaman Penulis kuliah, PES 2013 merupakan salah satu versi game bola terbaik, bahkan mungkin bisa dibilang sepanjang masa.
Namun, petaka tiba ketika PES 2014 rilis. Ketika memainkannya, Penulis benar-benar merasa bingung karena game ini benar-benar hancur dari segala sisi. Dari sisi visual, benar-benar sakit di mata. Dari sisi gameplay, benar-benar tidak nyaman memainkannya.
Ketika mencari alasannya di Reddit, salah satu alasannya adalah Konami selaku developer PES mencoba untuk menggunakan engine baru. Banyak yang menganggap game tersebut sebenarnya belum siap untuk dirilis ke pasar, tapi deadline sudah tiba.
Di sini kita bisa lihat kalau Konami sebenarnya berusaha untuk membuat inovasi dalam PES 2014. Namun, hasilnya sangat buruk dan berdampak hingga sekarang, di mana PES sudah bukan lagi saingan dari game-game bola keluaran EA Sports.
Mungkin karena belajar dari kesalahan PES, EA Sports pun tak berani untuk mengeluarkan inovasi yang benar-benar baru untuk game bolanya. Alhasil, mereka pun mengeluarkan game yang hampir sama setiap tahunnya demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Apple sendiri sebagai perusahaan teknologi telah berkali-kali mengalami kegagalan inovasi. Mungkin karena itulah, mereka menjadi lebih berhati-hati dalam melakukan inovasi, walau akibatnya mereka harus rela dicap tidak inovatif.
Inovasi Apple Mandek karena Belajar dari Kesalahan?
Jika ditarik mundur ke belakang di zaman-zaman ketika Steve Jobs ditendang dari perusahaan, Macintosh dan Lisa yang merupakan komputer revolusioner pada masanya bisa dibilang kurang berhasil karena harganya yang mahal.
Itu bukan akhir dari kegagalan Apple, karena pada tahun-tahun berikutnya mereka kerap mengalami hasil buruk yang membuat mereka terancam bangkrut. Steve Jobs pun datang untuk menyelamatkan perusahaan dan berhasil membalikkan keadaan.
Inovasi gagal di era modern sempat terjadi pada MacBook, ketika mereka merilis fitur Touch Bar. Fitur ini hadir sebagai pengganti tombol F1-F12 yang intuitif. Meskipun revolusioner, fitur ini banyak tidak disukai hingga akhirnya Apple menghilangkannya.
Kegagalan-kegagalan inovasi yang pernah dialami Apple mungkin menjadi pelajaran yang berharga bagi mereka. Oleh karena itu, rasanya wajar jika mereka terlihat “bermain aman” dengan mengeluarkan produk yang mirip-mirip terus setiap tahunnya.
Mereka beralih fokus dari mengeluarkan inovasi menjadi mempertahankan kualitas. Buat apa membuat sesuatu yang baru, apabila yang lama sudah bagus? Paling yang bisa mereka lakukan adalah terus meningkatkan apa yang sudah ada, bukan menggantikannya secara total.
Mungkin produk yang kerap mengalami perubahan yang cukup signifikan adalah iPod setidaknya dari sisi desain. Itu pun tak bertahan lama sebelum akhirnya produk tersebut digantikan oleh iPhone. MacBook dan iPad pun cukup mirip-mirip, tapi harus diakui kalau prosesor buatan mereka luar biasa.
Sekarang mari kita bicarakan iPhone. Harus diakui kalau iPhone, walaupun bukan pioner sejati, telah mengubah pasar smartphone sejak 17 tahun yang lalu. Semenjak itu, Apple selalu merilis iPhone baru setiap tahunnya dengan berbagai lininya.
Kadang gagal total seperti iPhone 5C dan seri Mini, kadang terlihat sama-sama saja seperti iPhone 14 yang tidak beda jauh dengan iPhone 13, terkadang harus diakui cukup revolusioner seperti iPhone 5. Namun, satu yang pasti, iPhone tetap selalu digandrungi oleh masyarakat.
Laris Manisnya iPhone di Pasaran
Meskipun banyak yang nyinyir setiap iPhone baru dirilis dan selalu dibanding-bandingkan dengan Android, pada kenyataannya peminat iPhone setiap tahunnya selalu banyak. Pembaca bisa melihat data penjualan iPhone dari tahun ke tahun melalui daftar di bawah ini:
Bisa dilihat dari grafik di atas, meskipun mengalami fluktuasi, penjualan iPhone bisa dibilang cukup stabil setiap tahunnya. Sejak tahun 2015, hanya sekali penjualan iPhone di bawah 200 juta unit. Sisanya, jelas berhasil membuat petinggi Apple tersenyum.
Angka tersebut jelas luar biasa, mengingat harga iPhone yang tidak pernah murah. Sejak rilis, iPhone selalu dianggap flagship. Mereka pernah meluncurkan versi “murah” seperti 5C, tapi hasilnya buruk. Ada juga alternatif seperti versi SE, tapi juga tidak terlalu populer.
Selain itu, jangan lupa kalau iPhone tidak memiliki terlalu banyak lini seperti produsen smartphone Android seperti Samsung. Seperti yang kita tahu, Samsung saja memiliki seri A, M, S, Fold, dan Flip. Belum lagi smartphone China yang juga memiliki banyak seri.
Penulis tidak menemukan datanya, tapi Penulis akan berasumsi kalau secara kuantitas penjualan iPhone bukanlah yang tertinggi. Namun, sekali lagi itu adalah hal yang bisa dimaklumi karena iPhone tidak memiliki banyak varian dan dilabeli dengan harga yang cukup tinggi.
Mengapa iPhone Tetap Diminati Walau Gitu-Gitu Saja?
Data penjualan di atas membuktikan kalau iPhone memang tetap diminati oleh masyarakat, meskipun dianggap begitu-begitu saja. Ada banyak alasannya, seperti bagaimana iPhone telah dianggap sebagai penanda status sosial.
Penulis telah menyinggung hal ini di tulisan “Ketika Pengakuan Sosial Menjadi Kebutuhan Pokok.” Melalui sekitarnya saja, Penulis telah mendapat gambaran bagaimana iPhone bisa memengaruhi lingkar pertemanan. Dikucilkan karena tidak memiliki iPhone benar-benar terjadi.
Jika tak kuat mental, tentu kita akan berusaha bagaimana caranya untuk bisa memiliki iPhone, bahkan hingga melakukan hal buruk seperti menyewa iPhone untuk berbohong atau yang lebih parah menjual diri agar ada orang berduit yang mau membelikan dirinya iPhone.
Namun, menurut Penulis bukan hanya karena semata-mata itu saja. Selama bertahun-tahun, Apple berhasil membangun brand-nya dengan baik. Mungkin di dunia smartphone, iPhone sudah selevel dengan Louis Vuitton atau Channel di dunia fashion.
Brand yang baik tentu diiringi dengan kualitas produk yang baik, dan itu telah dilakukan oleh Apple selama bertahun-tahun. Mau dinyinyirin seperti apapun, kualitas iPhone baik secara hardware maupun software harus diacungi jempol.
Memang, secara layar versi base dari iPhone masih 60Hz. Memang, secara baterai iPhone termasuk yang terburuk. Namun, ada banyak sisi plus dari iPhone, mulai dari dukungan software yang panjang, kamera yang juara, build quality yang premium, keamanan yang bikin tenang, dan lain sebagainya.
Penutup
Jadi, kalau menurut Penulis, sebenarnya iPhone sama-sama saja seperti merek smartphone lainnya yang memiliki plus-minusnya sendiri. Mungkin, banyak pengguna Android yang sensitif kepada iPhone karena memang pengguna iPhone banyak yang nyebelin dan harganya yang dianggap overprice.
Walaupun terkesan begitu-begitu saja, sebenarnya kalau Penulis bisa memaklumi hal tersebut karena memang sudah tidak banyak inovasi yang bisa dikeluarkan di lini smartphone. Nanti kalau Apple buat ponsel lipat, dinyinyirin meniru Samsung.
Rasanya apapun yang dilakukan oleh Apple, entah mengeluarkan inovasi atau mengeluarkan produk yang mirip, tetap saja selalu salah di mata para netizen yang maha benar.
Lawang, 10 September 2024, terinspirasi setelah seri iPhone 16 dirilis tanpa banyak hal baru yang dijual
Foto Featured Image: Gizmodo
Tokoh & Sejarah
Bagaimana Amerika Serikat Mendapatkan Wilayahnya (Bagian 1)
Amerika Serikat/AS (atau United States of America/USA) adalah negara adidaya yang kuasanya di dunia tak perlu dipungkiri lagi. Sejak Perang Dunia II dan runtuhnya Uni Soviet, AS seolah menobatkan dirinya sebagai raja dunia, sang adikuasa.
Hal ini terlihat dari bagaimana di era modern, ada banyak sekali intervensi yang dilakukan oleh AS ke negara lain, terutama ketika ada kepentingan mereka. Entah ada berapa konflik yang telah mereka timbulkan, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Merdeka pada tanggal 4 Juli 1776, AS tidak langsung sebesar sekarang. Luas wilayahnya ketika merdeka hanya terdiri dari pantai timur Amerika yang merupakan gabungan 13 koloni Inggris yang memberontak. Lantas, bagaimana mereka bisa jadi seluas (dan sekuat) sekarang?
Cara Pertama Amerika Serikat Mendapatkan Wilayah: Membeli
Seperti yang sudah Penulis singgung di atas, AS memperoleh kemerdekaannya setelah 13 koloni memutuskan untuk berpisah dengan Inggris. Ketigabelas koloni tersebut terletak di sisi pantai timur, yang terdiri dari:
- Virginia – Didirikan tahun 1607
- New York – Didirikan tahun 1626
- Massachusetts Bay – Didirikan tahun 1630
- Maryland – Didirikan tahun 1633
- Rhode Island – Didirikan tahun 1636
- Connecticut – Didirikan tahun 1636
- New Hampshire – Didirikan tahun 1638
- Delaware – Didirikan tahun 1638
- North Carolina – Didirikan tahun 1653
- South Carolina – Didirikan tahun 1663
- New Jersey – Didirikan tahun 1664
- Pennsylvania – Didirikan tahun 1682
- Georgia – Didirikan tahun 1732
Setelah Amerika Serikat merdeka, ada beberapa negara bagian yang bergabung secara sukarela (seperti Yogyakarta yang memutuskan bergabung dengan Republik Indonesia) seperti Vermont pada tahun 1791. Sebelumnya, Vermount merupakan sebuah republik yang merdeka. Namun, kali ini Penulis akan fokus ke negara bagian yang didapatkan dengan cara membeli.
Pembelian wilayah pertama yang dilakukan AS adalah wilayah Louisiana dari Prancis pada tahun 1803. Pada saat itu, Napoleon Bonaparte sedang membutuhkan tambahan anggaran untuk membiayai penakhlukan Eropanya.
Harga yang dibayarkan oleh AS saat itu adalah $15 juta, atau setara dengan $350 juta (Rp5,6 triliun) setelah dihitung dengan inflasi. Tentu itu jumlah yang relatif murah, mengingat wilayah AS menjadi bertambah dua kali lipat waktu itu. Namun, ada yang mengatakan AS juga mengeluarkan biaya lain-lain sehingga total cost-nya menjadi $2,6 miliar (Rp42 triliun).
Setelah mendapatkan wilayah Louisiana, wilayah selanjutnya yang dibeli oleh AS adalah wilayah Florida, yang saat itu berada di kekuasaan Spanyol. Pembelian dilakukan dengan Perjanjian Adams-Onís pada tahun 1819, di mana AS membayar seharga $5 juta ($104 juta/Rp1,6 triliun) kepada Spanyol.
Setelah perang melawan Meksiko (Penulis akan jelaskan di bawah), AS juga membeli wilayah Gadsden pada tahun 1854 seharga $10 juta ($314 juta/Rp5,1 triliun) dari Meksiko. Pembelian ini semakin memperluas wilayah AS di wilayah pantai barat.
Pembelian lain yang tak kalah besar adalah pembelian wilayah Alaska dari Rusia pada tahun 1867, yang saat itu dibeli dengan harga yang sangat murah, yakni $7,2 juta. Rusia merasa wilayah tersebut terlalu jauh dari ibukota dan sangat rentan diserang, sehingga memutuskan untuk menjualnya saja ke AS.
Masalahnya, Rusia tak sadar kalau di Alaska penuh dengan sumber daya alam. Melalui komik Paman Gober, Penulis mengetahui kalau di daerah ini sempat ada demam emas. Bahkan, Gober sendiri mendapatkan emas pertamanya di daerah Klondike. Alaska juga memiliki minyak mentah yang cukup banyak, empat terbesar di AS.
Selain pembelian-pembelian besar yang dilakukan AS di atas, masih ada banyak pembelian lain yang skalanya lebih kecil. Contohnya adalah pembelian wilayah Guntanamo pada tahun 1898 untuk penjara dan wilayah di Panama untuk pembuatan Panama Canal pada tahun 1904.
Jangan lupakan juga kalau AS sering membeli wilayah dari penduduk asli benua Amerika, yang sering kita sebut sebagai suku Indian. Namun, perlu diingat kalau proses transaksi mereka tidak berlangsung damai. Penulis akan bahas lebih detail di bagian selanjutnya.
Serang Dulu, Beli Kemudian
Tidak semua pembelian wilayah yang dilakukan oleh AS berlangsung dengan damai. Ada beberapa yang harus melalui perang terlebih dahulu. Oleh karena itu, harganya pun bisa menjadi jauh lebih murah seolah cuma menjadi formalitas semata.
Wilayah yang didapatkan dengan cara ini adalah sisi pantai barat Amerika (termasuk wilayah California), yang sebenarnya dimiliki oleh Meksiko setelah memperoleh kemerdekaan dari Spanyol. Perang pun terjadi antara AS dan Meksiko pada tahun 1848.
Perang tersebut dimenangkan oleh AS, dan mereka pun membeli wilayah tersebut dengan harga yang sangat murah, yakni $15 juta ($500 juta/Rp8,1 triliun). Jumlah tersebut hanya selisih sedikit dengan wilayah Gadsden yang jauh lebih kecil.
Wilayah lain yang didapatkan dengan cara serupa adalah Filipina, kali ini lawannya dalam perang adalah Spanyol. Perang terjadi pada tahun 1898, di mana Filipina sebenarnya telah lama menjadi jajahan Spanyol. Namun, mereka kalah dalam perang.
Setelah menang, AS menggelontorkan dana sebesar $20 juta ($636 juta/Rp10 triliun), meskipun pada akhirnya Filipina bisa memerdekakan diri. AS juga mendapatkan Guam dan Puerto Rico secara gratis dari Spanyol, dan tetap menjadi wilayah mereka hingga saat ini.
Penutup
Kalau ditotal, uang yang dikeluarkan oleh AS untuk membeli wilayahnya adalah $2,8 miliar (kurs sekarang) atau setara Rp45 triliun. Jelas itu jumlah yang sangat kecil, mengingat wilayah yang mereka dapatkan dengan cara ini setara dengan 54% luas wilayah mereka saat ini.
Sebenarnya pembelian wilayah yang dilakukan oleh AS agak menggelikan, karena mereka seolah hanya membeli hak menjajah dari bangsa lain. Ketika membeli Louisiana misalnya, wilayah tersebut merupakan jajahan Prancis dari penduduk asli Amerika.
Analoginya, ada dua orang maling masuk ke rumah orang kaya. Setelah menyekap pemilik rumah, kedua maling tersebut memilih kamar. Ternyata, kamar salah satu maling terasa sempit, sehingga ia memutuskan untuk membeli kamar milik maling satunya. Lucu.
Sejak merdeka pertama kali dari Inggris pun sebenarnya sudah konyol, karena mereka mendirikan koloni di tanah orang dan mengklaim itu miliknya. Perang kemerdekaan atas Inggris seolah hanya dilakukan agar mereka bisa lebih bebas tanpa terikat “tuan tanah.”
Namun, ada cara lain yang AS gunakan untuk memperoleh wilayahnya. Cara ini mereka gunakan ke beberapa wilayah untuk memperluas wilayah mereka sendiri atau mendapatkan sumber daya yang ada di sana. Cara tersebut adalah aneksasi dan pengusiran.
Lawang, 5 Juni 2024, terinspirasi setelah menonton banyak video tentang bagaimana Amerika Serikat mendapatkan wilayahnya
Foto Featured Image: NOAA
Sumber Artikel:
- Historical regions of the United States – Wikipedia
- American Acquisition and Migration | Colonization | Articles and Essays | Meeting of Frontiers | Digital Collections | Library of Congress (loc.gov)
- How the United States of America Expanded (1776-1900)
- How The U.S. Bought Most Of Its Territory (youtube.com)
How the USA Colonized the USA, Mapped (youtube.com)
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Anime & Komik5 bulan ago
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang
-
Film & Serial4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Menonton Deadpool & Wolverine
-
Film & Serial3 bulan ago
Gara-Gara Black Myth: Wukong, Saya Jadi Rewatch Kera Sakti
-
Permainan3 bulan ago
Koleksi Board Game #22: Chinatown
-
Olahraga5 bulan ago
Dua Drama di Dua Pertandingan Euro 2024 yang Membosankan
-
Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Teruslah Bodoh Jangan Pintar
You must be logged in to post a comment Login