Connect with us

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan

Published

on

Filsafat selalu menjadi topik yang menarik bagi Penulis, meskipun harus diakui kalau dirinya tidak selalu paham. Walau begitu, hal tersebut tak menghalangi Penulis untuk membaca buku-buku filsafat, apalagi jika disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami.

Oleh karena itu, tentu buku karangan Fahruddin Faiz menjadi sesuatu yang menarik, karena beliau dalam video-videonya mampunya menjabarkan filsafat secara sederhana. Penulis sudah pernah membaca satu bukunya, sehingga ketika tahu ada buku baru, Penulis membelinya.

Berjudul Filsafat Kebahagiaan, buku ini langsung mencuri perhatian Penulis karena konsepnya yang terfokus pada satu topik: kebahagiaan. Ini adalah topik menarik untuk didalami, karena kita sebagai manusia kerap bingung mendefinisikan apa itu kebahagiaan.

Detail Buku Filsafat Kebahagiaan

  • Judul: Filsafat Kebahagiaan
  • Penulis: Fahruddin Faiz
  • Penerbit: Mizan Pustaka
  • Cetakan: Ketiga
  • Tanggal Terbit: Maret 2024
  • Tebal: 288 halaman
  • ISBN: 9786024413323
  • Harga: Rp89.000

Sinopsis Buku Filsafat Kebahagiaan

Orang boleh berbeda dalam banyak hal, tapi bakal bersepakat dalam satu hal: ingin bahagia. Sayangnya, makna bahagia itu tidak tunggal dan sama bagi semua orang. Bahagia bagi yang satu, boleh jadi bukan bahagia bagi yang lain. Bahagia itu ternyata macam-macam dan bisa saling bertentangan. Maka, layak sekali kalau orang bertanya: apa, sih, bahagia itu sebenarnya?

Empat orang bijak—Plato, al-Farabi, al-Ghazali, dan Ki Ageng Suryomentaram—menawarkan konsep kebahagiaan, berikut cara-cara mencapainya. Meski masing-masing mengambil pendekatan berbeda, ada beberapa kesamaan yang mencolok: bahwa orang mesti mengenal diri sendiri sebagai titik berangkat, dan orang menemukan diri sendiri sebagai titik tujuan. Mustahil orang mencapai kebahagiaan kalau tidak tahu siapa dirinya dan apa makna bahagia bagi dirinya.

Buku ini bakal memberi pencerahan bagi Anda yang mencari kebahagiaan sejati.

Isi Buku Filsafat Kebahagiaan

Sesuai dengan judulnya, buku ini akan mengulas filsafat kebahagiaan dari sudut pandang empat tokoh: Plato, al-Farabi, al-Ghazali, dan Ki Ageng Suryomentaram. Masing-masing memiliki pendekatan yang berbeda untuk mendefiniskan kebahagiaan.

Plato sebagai salah satu filsuf dari Yunani kuno tentu meletakkan fondasi untuk memahami kebahagiaan. Lalu, pemikiran tersebut dijabarkan lagi melalui pendekatan Islam melalui al-Farabi dan al-Ghazali yang lebih sufi.

Penulis secara pribadi tertarik dengan keputusan Faiz untuk memasukkan Ki Ageng Suryomentaram, yang tentu saja menyelipkan filsafat-filsafat Jawa. Dengan demikian, buku ini berisi filsafat Barat, Islam, dan Jawa.

Filsafat Kebahagiaan Versi Plato

Kalau menurut Plato, hakikat manusia adalah jiwanya, badan hanya manifestasi dari jiwa. Secara singkat, menurut Plato jiwa itu mengandung tiga unsur (di mana ketiga unsur ini dipengaruhi ole Eros atau cinta), yaitu:

  • Epithumia: Lambang nafsu manusia yang rendah, seperti makan, minum, seks
  • Thumos: Lambang hasrat, ambisi, atau harga diri, seperti afektivitas, rasa semangat, agresivitas
  • Logistikon: Lambang akal, rasio,

Ketiga unsur inilah yang akan memengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang menurut Plato. Apabila kita bisa mengendalikan ketiganya dan mampu menetapkan batasan, maka kita akan bisa menemukan kebahagiaan.

Filsafat Kebahagiaan Versi al-Farabi

Nah, konsep kebahagiaan yang diungkap oleh Plato bersifat indidualis. Menurut al-Farabi, kebahagiaan itu juga butuh hubungan sosial. Selain itu, kenikmatan yang punya nilai ibadah akan punya kualitas kebahagiaan yang lebih awet.

Ada satu quote yang cukup menohok di bagian al-Farabi,”Tuhan menciptakan kita untuk bahagia. Kalau mudah galau, Anda melecehkan Tuhan.” Tentu ini akan membuat kita jadi termenung dan berusaha bersyukur atas apapun yang sudah kita dapatkan hingga saat ini.

Bahagia menurut al-Farabi akan tercapai ketika jiwa terimplementasikan secara optimal. Caranya adalah dengan mengoptimalkan daya gerak, daya mengetahi, dan daya berpikir yang sudah menjadi fitrah manusia.

Jangan lupa, kebahagiaan juga harus didapatkan dari kebahagiaan sosial. Bukan hanya dari lingkup keluarga atau pertemanan, tapi juga dari negara. Bayangkan saja jika kita memiliki kehidupan yang baik, tiba-tiba negara merusaknya, maka kebahagiaan itu bisa hilang.

Oleh karena itu, menurut al-Farabi kunci kebahagiaan itu dipegang oleh filsuf, ulama, dan pemimpin negara. Kalau dari sendiri, kita harus bisa menakhlukkan jiwa untuk tercapai jiwa yang tenang dan terus melakukan perilaku utama atau kebajikan.

Filsafat Kebahagiaan Versi al-Ghazali

Kalau menurut al-Ghazali, kunci kebahagiaan itu adalah dengan mengenali diri sendiri. Dengan mengenal diri sendiri, kita juga akan bisa menemukan citra Tuhan dan mengenal Tuhan lebih dekat lagi.

Mirip dengan Plato, al-Ghazali menyebut manusia memiliki tiga unsur, yakni unsur hewan, setan, dan malaikat. Untuk bisa bahagia, manusia harus bisa mewaspadai syahwat dan amarah, serta terus mencari ilmu.

Filsafat Kebahagiaan Versi Ki Ageng Suryomentaram

Beda lagi dengan pendapatnya Ki Ageng Suryomentaram. Menurut beliau, rumus kebahagiaan itu bisa disingkat sebagai 6S yang intinya mengajak kita untuk hidup sederhana, yakni:

  1. Sakbutuhe (sekadar kebutuhan)
  2. Sakperlune (sekadar keperluan)
  3. Sakcukupe (sekadar kecukupan)
  4. Sakbenere (sekadar kebenaran)
  5. Sakmesthine (sekadar kepantasan/keharusan)
  6. Sakpenake (sekadar kenyamanan/kenikmatan)

Mirip dengan al-Ghazali, syarat bahagia versi Ki Ageng adalah mengerti diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar. Untuk bisa melakukannya, kita harus bisa hidup saat ini (saiki), di sini (ing kene), dan seperti ini (ngene).

Ki Ageng juga menekankan kalau kebahagiaan itu harus tergantung oleh kondisi internal tanpa tergantung dengan kondisi eksternal. Kita juga harus bisa mengendalikan keinginan diri, entah kesenangan fisik, reputasi, maupun status sosial.

Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan

Selama hampir tujuh tahun menulis artikel ulasan buku di blog ini, rasanya baru kali ini bagian “Isi Buku” sepanjang sekarang. Salah satu alasannya adalah agar Penulis bisa mengingat apa saja isi dari buku ini, yang menurut Penulis sangat penting untuk kehidupannya.

Walau sudah menulis sepanjang itu, percayalah bahwa masih ada banyak bagian yang tidak Penulis banyak. Buku ini memang tergolong tipis, tapi isinya sangat padat dan daging semua. Karena begitu menarik, Penulis bisa menyelesaikan buku ini dengan cukup cepat.

Seperti yang sudah Penulis singgung di awal, buku ini benar-benar menggambarkan ciri khas Fahruddin Faiz yang bisa menyampaikan hal berat menjadi ringan sehingga bisa dipahami oleh semua orang, bahkan yang asing dengan dunia filsafat sekalipun.

Kata filsafat yang selama ini terkesan mengerikan berhasil diubah menjadi menyenangkan dan terkesan santai untuk dipelajari. Sama sekali tidak ada penjelasan yang njelimet yang membuat kita harus membaca ulang lagi.

Lantas, apakah buku ini akan membuat kita langsung paham apa itu kebahagiaan? Tentu tidak semudah itu. Pada akhirnya, kebahagiaan itu tanggung jawab kita sendiri. Buku ini hanya hadir untuk membantu kita menemukan kebahagiaan itu.

Bahagia adalah bagian dari diri manusia, dan sudah sewajarnya manusia mengejar kebahagiaan dengan cara-cara yang benar. Manusia sudah sewajarnya merasa bahagia, karena itu adalah fitrah kita sebagai manusia.

Semoga saja makin banyak topik-topik filsafat lain yang akan diulas oleh Fahruddin Faiz, dengan mempertahankan gaya bahasanya yang mudah dicerna. Saat ini Penulis sedang membaca buku Filsafat Moral, yang juga akan tandas dalam waktu dekat.

Skor: 9/10


Lawang, 4 Desember 2024, terinspirasi setelah membaca Filosofi Kebahagiaan karya Fahruddin Faiz

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca The Book of Everyday Things

Published

on

By

Penulis sudah memiliki tiga buku tulisan Desi Anwar, yakni Hidup Sederhana, Going Offline, dan Apa yang Kita Pikirkan Ketika Kita Sendirian. Penulis merasa cocok dengan gaya penulisannya, sederhana tapi bermakna.

Oleh karena itu, tak heran jika Penulis sampai menambah satu buku lagi tulisan Desi Anwar. Kali ini, sudut pandang yang diambil cukup menarik, dengan judul The Book of Everyday Things.

Saat membaca sekilas isinya, Penulis merasa sedikit terkejut karena buku ini membahas literally hal-hal remeh yang sering kita abaikan begitu saja karena telah menjadi bagian dari hidup kita sejak lama. Ternyata, ada banyak sudut menarik dari benda-benda tersebut.

Detail Buku The Book of Everyday Things

  • Judul: The Book of Everyday Things
  • Penulis: Desi Anwar
  • Penerbit: Penerbit Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan: Pertama
  • Tanggal Terbit: Februari 2024
  • Tebal: 300 halaman
  • ISBN: 9786020675923
  • Harga: Rp149.000

Sinopsis Buku The Book of Everyday Things

Buku, bantal, sepatu, bolpoin, jam tangan, mainan, uang, dan sikat gigi… Ini adalah berbagai benda yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya begitu biasa sehingga kita menerimanya begitu saja, seolah-olah semua benda itu sudah menjadi bagian hidup kita. Pada kenyataannya, kemampuan untuk membuat benda mungkin adalah cara kita mendefinisikan spesies kita dan membuat kita berbeda dari makhluk hidup lainnya.

Coba tengok keadaan di sekitar kita perhatikan jumlah benda yang ada di sekeliling yang terus bertimbun sepanjang hidup kita. Seorang manusia mungkin mengawali hidupnya hanya dengan tarikan napas pertama, kemudian tidak membawa apa-apa ke dalam kuburnya selain yang dihiaskan orang lain pada jasadnya yang sudah tak bernyawa. Padahal, selama hidupnya, dia bergantung pada berbagai benda, bukan hanya untuk memungkinkannya berfungsi, melainkan juga agar memiliki identitas dan tujuan: Berbagai benda dan barang yang diciptakan dan diproduksi oleh sesama manusia yang dapat digunakan untuk mengendalikan serta memanipulasi lingkungannya dan menentukan takdirnya. Berbagai barang yang mengisi tidak hanya ruang yang ditempatinya, tetapi juga yang pada akhirnya mengacaukan dan menyesakkan seluruh Bumi, yang sekaligus menyisakan semakin sedikit ruang bagi makhluk hidup lainnya untuk berkembang.

The Book of Everyday Things adalah pengingat bahwa terlepas dari kemampuan spesies kita untuk menaklukkan alam dan menciptakan aneka benda menakjubkan untuk membuat hidup kita lebih nyaman, obsesi kita untuk memproduksi dan mengonsumsi beragam benda mungkin justru membuat kita makin tidak memahami tujuan sebenarnya keberadaan kita. Bahwa mungkin kebahagiaan sejati tidak hanya terletak pada berbagai benda buatan manusia, tetapi juga menghargai apa yang diberikan alam kepada kita.

Isi Buku The Book of Everyday Things

Sesuai dengan judulnya, buku ini dibagi menjadi beberapa bab dengan judul benda atau sesuatu yang menemani keseharian kita. Total, ada 30 bab yang awalnya bagi Penulis tak akan menarik untuk dibahas, yakni:

  1. Buku
  2. Bantal
  3. Roti
  4. Surat
  5. Pernak-pernik
  6. Teh
  7. Uang
  8. Kucing
  9. Keluarga
  10. Sepatu
  11. Jam Tangan
  12. Foto
  13. Televisi
  14. Sabun
  15. Mainan
  16. Alat Tulis
  17. Mimpi
  18. Sekolah
  19. Ingatan
  20. Seni
  21. Bendera
  22. Kematian
  23. Topeng
  24. Sikat Gigi
  25. Rumah
  26. Kekuatan Adikodrati
  27. Gula
  28. Cahaya
  29. Informasi
  30. Limbah

Setiap babnya memiliki ketebalan yang bervariasi, tapi tidak ada yang terlalu memonopoli karena cukup seimbang. Dengan ketebalan hingga 300 halaman, setiap bab kurang lebih memiliki 10 halaman.

Mungkin banyak yang kebingungan, apa menariknya membahas bantal? Penulis juga sempat berpikir seperti itu. Namun, setelah membaca, ternyata ada banyak sekali hal menarik yang bisa dibahas dari sebuah bantal.

Di setiap babnya, Desi Anwar menggunakan dua pendekatan, yakni bagaimana pengalaman pribadinya terhadap benda tersebut dan menyisipkan sejarah penggunaan benda tersebut dalam peradaban manusia.

Mengingat Penulis merupakan penggemar sejarah, tentu mengetahui bagaimana sebuah benda yang kerap diabaikan begitu saja memiliki sejarah yang panjang menjadi hal yang sangat menarik.

Kita kadang meremehkan benda-benda ini karena sudah terlalu biasa dengan keberadaannya tanpa pernah bertanya bagaimana benda ini bisa hadir di dunia dan memudahkan kehidupan kita. Ujungnya, hal ini akan membantu kita merasa bersyukur dengan keberadaannya.

Tiga puluh benda (atau hal) yang ada di dalam buku ini tidak terkait satu sama lain, sehingga Pembaca bisa membacanya lompat-lompat tergantung benda mana yang paling membuat penasaran.

Setelah Membaca The Book of Everyday Things

The Book of Everyday Things menjadi bukti bahwa ide itu bisa datang dari mana saja. Siapa yang bisa menyangka kalau bantal bisa menjadi sepuluh halaman tulisan? Jelas buku ini menjadi inspirasi Penulis dalam mengisi blognya, terutama ketika sedang buntu ide.

Untuk gaya kepenulisan, rasanya tak perlu meragukan kemampuan Desi Anwar. Dijamin, walau benda yang dibahas terkesan remeh, pembahasan yang disajikan tetap menarik dan tidak membuat bosan. Buktinya, Penulis bisa menyelesaikan buku ini dengan cepat.

Selain itu, buku ini juga dipenuhi dengan berbagai ilustrasi yang menarik dengan nuansa oranye. Hal ini memang menambah daya tarik buku ini, tapi sekaligus membuat harganya menjadi lebih mahal, yakni Rp149.000.

Ada satu hal yang kurang sreg buat Penulis. Buku ini berjudul The Book of Everyday Things, di mana things diterjemahkan sebagai “benda.” Namun, beberapa bab di buku ini justru membahas hal yang tidak bisa dianggap sebagai benda.

Kucing dan keluarga jelas kurang cocok untuk dianggap sebagai benda, karena mereka makhluk hidup. Mimpi dan kematian lebih cocok dianggap sebagai peristiwa. Bahkan cahaya dan informasi pun bukan sesuatu yang tangible.

Mungkin Desi Anwar memiliki alasan dan penerjemahan sendiri mengapa memasukkan hal-hal tersebut ke dalam buku ini, sehingga Penulis juga tidak terlalu mempermasalahkannya. Hanya saja, Penulis merasa masih ada benda-benda lain yang layak untuk dibahas olehnya.

Secara keseluruhan, Penulis merasa buku ini adalah bacaan santai yang membuat kita mendapatkan banyak insight menarik sekaligus mengajak kita merenungi keberadaan benda-benda yang ada di keseharian kita.

Penulis merekomendasikan buku ini untuk siapa saja yang mudah merasa penasaran dengan hal-hal yang mungkin tidak terpikirkan orang lain. Buku ini akan sangat cocok untuk menjadi teman perjalanan yang menyenangkan.

Skor: 8/10


Lawang, 27 November 2024, terinspirasi setelah membaca The Book of Everyday Things karya Desi Anwar

Continue Reading

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Ngomongin Uang

Published

on

By

Dalam beberapa tahun terakhir, keuangan menjadi salah satu topik yang sedang banyak dipelajari mengingat usia Penulis sekarang sudah berkepala tiga. Meskipun bisa dibilang terlambat, rasanya tidak ada salahnya untuk tetap mempelajarinya.

Sumber-sumber belajar keuangan pun tentu dari banyak medium, mulai dari YouTube, media sosial, hingga buku. Salah satu buku yang pernah Penulis baca adalah The Psychology of Money karya Morgan Housel. Sayangnya, Penulis merasa buku ini kurang praktis untuk diterapkan dalam keseharian.

Nah, waktu tahu akun Instagram Ngomongin Uang akan menerbitkan sebuah buku tentang keuangan, Penulis langsung merasa tertarik karena telah mengikuti akun tersebut cukup lama dan senang dengan ulasan-ulasan yang mereka buat.

Hasilnya, timbul perasaan menyesal karena harusnya Penulis membaca buku seperti ini bertahun-tahun yang lalu.

Detail Buku Ngomongin Uang

  • Judul: Ngomongin Uang: Menjadi ‘Kaya” Versi Kamu Sendiri
  • Penulis: Glenn Ardi
  • Penerbit: Penerbit Buku Kompas
  • Cetakan:
  • Tanggal Terbit:
  • Tebal: 244 halaman
  • ISBN: 9786231606204
  • Harga: Rp125.000

Sinopsis Buku Ngomongin Uang

Kekayaan sering kali bukan hanya soal uang atau status sosial. Kekayaan yang sesungguhnya bersifat sangat personal, karena setiap orang mendefinisikan kesuksesan dan kebahagiaannya dengan cara yang berbeda.

Namun, apa pun definisi kekayaan bagi kamu, UANG adalah alat ukur dan kendaraan yang bisa membawamu mencapai tujuan. Karena itulah, memahami keuangan adalah hal yang fundamental dalam membangun kehidupan terbaik versi kamu. Buku ini hadir untuk kamu yang merasa keuangannya mandek, kamu yang overthinking dan terus membandingkan dirimu dengan kesuksesan orang lain, dan kamu yang merasa masa depan keuangan kamu suram—Yuk, kita Ngomongin Uang!

Karena ngomongin uang telah mengubah hidup saya! Membuat hidup saya lebih terencana, memberi rasa aman, kedamaian, kebebasan, sekaligus rasa kecukupan. Buku ini bukan soal motivasi sukses atau cara cepat kaya, tetapi buku ini akan membuat kamu menjadi ‘KAYA’ versi kamu sendiri.

Isi Buku Ngomongin Uang

Sesuai dengan judulnya, buku Ngomongin Uang akan membahas tentang uang dari banyak sudut pandang. Buku ini membahas banyak hal yang sebenarnya cukup generik, mulai dari sejarah uang, cara-cara mendapatkan uang, penjelasan tentang investasi, dan lain sebagainya.

Buku ini terdiri dari 13 bab yang menarik dan dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi menarik yang digambar oleh Ariawan. Masing-masing bab memiliki kedalaman yang bervariasi, tergantung seberapa panjang topik yang dibahas. Ketigabelas bab tersebut adalah:

  • Bab 1: Cerita Terbentuknya Uang
  • Bab 2: Nilai Uang yang Selalu Berubah
  • Bab 3: Tahap Prioritas Keuangan
  • Bab 4: Ciri Khas Calon Orang Kaya
  • Bab 5: Perhatikan Pengeluaran Kamu
  • Bab 6: Jalan Menuju Kekayaan
  • Bab 7: Memaknai Arti Kekayaan
  • Bab 8: Kaya Menurut Versi Kamu Sendiri
  • Bab 9: Investasi Itu untuk Apa?
  • Bab 10: Gimana Caranya Beli Rumah?
  • Bab 11: Perlukah Membeli Mobil?
  • Bab 12: Fenomena Sandwich Generation
  • Bab 13: Hidup Tanpa Bekerja Lagi
  • Penutup: Apakah Saat Ini Saya Sudah Kaya?

Secara singkat, dua bab pertama membantu kita memahami apa itu uang dan mengapa benda tersebut bisa menjadi sesuatu yang sangat penting, bahkan “dituhankan” oleh sebagian manusia. Sebagai orang yang suka sejarah, bab-bab awal ini sangat menarik.

Bab 3 hingga 9 membahas tentang kekayaan dan pengelolaan uang yang kita miliki. Kaya tidak selalu berarti punya harta yang melimpah dan tak akan habis. Masing-masing dari kita bisa memiliki definisi kayanya sendiri.

Bab 9 hingga 11 membahas mengenai topik investasi dan pertimbangan-pertimbangan apakah kita perlu membeli aset seperti rumah dan mobil. Seperti yang kita tahu, kondisi saat ini membuat banyak orang kesulitan untuk membeli aset-aset tersebut, sehingga investasi menjadi penting.

Dua bab terakhir merupakan tambahan insight menarik seputar dunia keuangan terutama pembahasan sandwich generation, sebuah fenomena yang kerap terjadi saat ini di mana seseorang harus menghidupi orang lain dan keluarganya sendiri.

Setelah Membaca Ngomongin Uang

Begitu selesai menyelesaikan buku ini (dengan waktu yang relatif singkat), Penulis merasa termenung. Seharusnya, ilmu-ilmu keuangan yang ada di buku ini sudah dibahas di sekolah, agar ketika siswa beranjak dewasa, mereka telah memiliki bekal ilmu keuangan yang cukup.

Buku Ngomongin Uang, sejujurnya memang hanya mengajarkan hal-hal fundamental tentang keuangan. Namun, dasar-dasar tersebut tidak pernah diajarkan ke kita saat masih sekolah, bahkan ketika kuliah pun tidak ilmunya kecuali kita kuliah jurusan yang berhubungan dengan keuangan.

Apalagi, bahasa yang digunakan dalam buku ini benar-benar mudah dipahami. Itu juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Penulis mampu menyelesaikan buku ini dengan cepat. Walau begitu, ilmu yang bisa kita dapatkan tidak main-main.

Buku ini tidak mengajak kita untuk mati-matian mengejar uang selama hidup di dunia ini. Sebaliknya, kita diajak untuk bisa bijaksana dalam menyikapi uang. Posisikan uang sebagai sebuah alat, bukan sebagai sebuah tujuan.

Topik-topik yang diangkat di buku ini juga related dengan kehidupan sehari-hari kita, sehingga buku ini pun terasa dekat. Isu-isu seperti harga rumah yang makin mahal dan fenomena sandwich generation dibahas di sini dengan menarik.

Selain itu, ilustrasi-ilustrasi yang terdapat pada buku ini juga mempertahankan ciri khas yang dimiliki oleh akun Instagram Ngomongin Uang. Ilustrasi yang terdapat dalam buku ini tidak hanya menjadi pemanis, karena terkadang membantu kita memahami poin yang ingin disampaikan.

Penulis berharap kalau buku ini akan memiliki sekuel yang akan lebih detail dan membahas topik-topik keuangan yang lebih berat. Seandainya ada, Penulis tanpa ragu akan langsung membelinya untuk menambah ilmu keuangannya. Mungkin itu juga yang menjadi kekurangan buku ini: isinya kurang banyak.

Intinya, buku ini sangat Penulis rekomendasikan untuk siapa saja. Keuangan adalah topik yang jarang dibahas secara umum di ruang publik. Memahami ilmu-ilmu dasarnya bisa membantu kita untuk memiliki dan mengelola keuangan kita lebih baik lagi di masa depan.

Skor: 9/10


Lawang, 28 September 2024, terinspirasi setelah membaca buku Ngomongin Uang karya Glenn Ardi

Continue Reading

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Buku Seni Menyederhanakan Hidup

Published

on

By

Sebagai orang yang mudah overthinking, wajar jika Penulis gemar membaca buku-buku yang bisa membantu dirinya mengatasi hal tersebut. Salah satu pola pikir adalah bagaimana dirinya bisa menyederhanakan pikirannya sendiri agar tidak menjadi terlalu rumit.

Dengan alasan tersebut, ketika Penulis menemukan buku berjudul Seni Menyederhanakan Hidup karya Shunmyo Masuno, Penulis langsung tertarik membelinya. Padahal, waktu itu di toko buku tidak ada sample buku yang terbuka untuk mengetahui seperti apa isinya.

Walau begitu, Penulis pada akhirnya tetap memutuskan untuk membeli buku tersebut walau kesannya seperti membeli kucing dalam karung. Alasannya, buku ini cukup tipis dan murah sehingga rasanya nothing to lose saja. Sayang, ternyata Penulis salah.

Detail Buku Seni Menyederhanakan Hidup

  • Judul: Seni Menyederhanakan Hidup
  • Penulis: Shunmyo Masuno
  • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan: Cetakan Keempat
  • Tanggal Terbit: Maret 2024
  • Tebal: 224 halaman
  • ISBN: 9786020631950
  • Harga: Rp69.000

Sinopsi Buku Seni Menyederhanakan Hidup

DENGAN PELAJARAN YANG JELAS, PRAKTIS, DAN MUDAH DITERAPKAN, SHUNMYO MASUNO MEMANFAATKAN KEBIJAKAN YANG TELAH BERUSIA BERABAD-ABAD UNTUK MENGAJARI KITA MENYEDERHANAKAN HIDUP DAN MENEMUKAN KEBAHAGIAAN DI TENGAH PUSARAN DUNIA MODERN.

Cari Tahu mengapa….

Bangun lima belas menit lebih awal di pagi hari dapat membuat kita merasa tidak terlalu sibuk

Menjejerkan sepatu dengan rapi setelah melepasnya dapat menjadikan pikiran kita teratur

Mengatupkan kedua tangan dapat meredakan rasa tersakiti dan konflik

Meletakkan sendok garpu setelah menelan makanan dapat membantu kita merasa lebih bersyukur atas apa yang kita miliki

Menanam bunga dan menyaksikannya tumbuh dapat mengajari kita untuk menerima perubahan

Menyaksikan matahari terbenam bisa membuat setiap hari terasa seperti perayaan

Dengan melakukannya setiap hari, kita akan belajar menemukan kebahagiaan bukan dengan mencari pengalaman luar biasa, tetapi dengan membuat perubahan kecil dalam hidup serta membuka diri pada perasaan damai dan ketenangan batin yang baru

Isi Buku Seni Menyederhanakan Hidup

Setelah membuka buku ini, Penulis baru menyadari bahwa penulis buku ini, Shunmyo Masuno, adalah seorang pendeta Buddhis Zen, sehingga poin-poin kebiasaan yang disampaikan pun berkaitan dengan kepercayaan yang ia anut.

Secara total, buku ini memiliki 100 kebiasaan yang disarankan untuk kita terapkan dalam keseharian. 100 kebiasaan tersebut dibagi ke dalam empat bab utama, yakni:

  1. Bagian Satu: 30 Cara untuk Membugarkan “Diri-Saat-Ini”
  2. Bagian Dua: 30 Cara untuk Mengilhami Kepercayaan-Diri dan Keberanian untuk Hidup
  3. Bagian Tiga: 20 Cara untuk Meredakan Kebingungan dan Kecemasan
  4. Bagian Empat: 20 Cara untuk Menjadikan Setiap Hari adalah Hari yang Baik

Di setiap poin kebiasaan, ada satu ilustrasi minimalis dan penjabaran poin yang sebenarnya sudah cukup jelas di bagian judul. Satu poin biasanya hanya berisi satu halaman paragraf, sehingga terlihat ada banyak bagian yang kosong.

Setelah Membaca Buku Seni Menyederhanakan Hidup

Ada sedikit kekecewaan ketika membaca buku ini. Pasalnya, tips-tips yang diberikan bisa dibilang tidak istimewa dan kerap kita temukan di media sosial. Apalagi, elaborasi setiap poinnya juga terasa kurang mendalam.

Penulis tidak mempermasalahkan ajaran Buddhis Zen yang ia gunakan, mengingat banyak ajaran-ajarannya yang sebenarnya juga diajarkan dalam Islam. Namun, isinya memang terlalu umum sehingga kurang membekas bagi Penulis

Tentu semua petuah-petuah yang dituangkan dalam buku ini bijaksana dan mudah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang kerap bermasalah dengan diri dan pikirannya sendiri. Bahasanya pun ringan dan mudah dipahami.

Namun, rasanya buku ini terasa kurang padat dan akan mudah terlupakan begitu saja. Apalagi, ilustrasinya cukup memakan ruang pada halaman buku. Jika disuruh menyebutkan kembali isi poin buku tersebut, Penulis hanya akan mengingat poin-poin yang ada di bagian sinopsis saja.

Waktu membeli buku ini, ekspektasi Penulis adalah tips-tips mengenai aktivitas sederhana apa saja yang harus kita lakukan dalam keseharian. Pada bagian sinopsis, kita bisa melihat contohnya seperti bangun lebih awal dan menanam bunga.

Sayangnya, dalam buku ini mayoritas rekomendasi kebiasaan yang diberikan justru tentang pikiran atau hati kita. Bukan bermaksud mengecilkan, tapi yang seperti itu sudah sering Penulis baca di buku-buku self-improvement lainnya.

Mungkin ini bisa menjadi pelajaran untuk Penulis agar tidak membeli buku jika tidak mengetahui seperti apa isinya. Kalau seperti ini, memang jadinya seperti membeli kucing di dalam karung. Rasa kecewa pun muncul karena isinya tidak sesuai dengan ekspektasi.

Skor: 5/10


Lawang, 14 September 2024, terinspirasi setelah membaca buku Seni Menyederhanakan Hidup karya Shunmyo Masuno

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan