Connect with us

Leon dan Kenji (Buku 1)

Chapter 13 Mesin Waktu

Published

on

“Ayah ayah! Leon rangking satu!” teriakku dengan girang ketika pulang dari acara penerimaan rapot catur wulan pertama kelas satu berakhir. Aku berlari-lari kecil, karena ingin segera menunjukkannya kepada ayahku.

“Itu biasa. Terus tingkatkan, dan awas kalau sampai turun.”

Hanya ancaman yang keluar dari bibirnya. Tidak ada ucapan selamat ataupun pujian yang terlontar. Ini sangat berbeda dengan temanku yang lain. Bahkan yang rangking sepuluh pun bercerita bahwa sebagai hadiah dia diajak jalan-jalan.

“Wah, enak sekali ya.” kataku tertegun mendengar cerita temanku.

“Kalau Leon dapat hadiah apa? Kan Leon rangking satu, pasti hadiahnya lebih bagus lagi.” tanya Sinta, teman perempuan di kelasku yang lebih sering berkumpul dengan teman laki-laki dibanding teman perempuan.

“Tidak dapat apa-apa.” jawabku dengan mengandung unsur kasihan.

“Kenapa?”

“Kata ayahku itu biasa.”

“Padahal rangking satu itu hebat lo. Aku aja cuma bisa rangking tiga.” bela temanku yang berambut botak, Udin.

“Menurutnya itu biasa.”

“Ya mungkin karena ayahmu biasa rangking satu sewaktu sekolah dulu.”

“Iya mungkin, aku enggak tahu.”

“Oh iya, habis ini Sinta ulang tahun. Kalian datang ya ke acaraku.” ajak Sinta ke kami semua.

“Ok Sinta! Aku akan datang!” seru Ahmad, temanku yang sepertinya menyukai Sinta.

Hampir semua mengiyakan ajakan ini. Hanya aku yang terdiam. Aku tidak bisa memberikan jawaban yang pasti.

“Aku belum tahu, aku belum dapat ijin.”

“Ayolah Leon, usahakan dulu.”kata Udin sambil menggoyang-goyangkan tubuhku.

“Tapi . . . “

“Kalau begitu, biar Sinta sendiri yang akan bicara sama ayah Leon.”

“Semua saja yang mengijinkan supaya ayah Leon percaya.”

Aku hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Aku sangat ingin datang ke acara ulang tahun Sinta. Aku merasa senang memiliki teman seperti mereka. Karena mereka begitu baik kepadaku, aku akan juga berusaha menjadi teman yang baik untuk mereka.

“Om, Sinta sebentar lagi ulang tahun. Karena itu Sinta mau mengajak Leon datang, boleh ya Om?” Sinta memulai membujuk ayahku agat mengijinkan aku. Aku tak berani memandang ayahku, jadi kuputuskan untuk menatap lantai rumahku saja untuk menghindari tatapannya.

“Tidak boleh.”

“Tapi om . . .”

“TIDAK BOLEH!!”

Semua temanku, termasuk aku, tercekat mendapat bentakan seperti ini. Sinta sudah setengah menangis, sedangkan para lelaki hanya menunduk menatap lantai persis seperti yang sudah kulakukan dari tadi.

“Kalian ini hanya memikirkan bermain, bermain dan bermain. Tidak bisakah kalian semua memikirkan masa depan kalian? Sana belajar, kalau mau main, main saja sana sendiri!”

Sejak hari itu, aku dijauhi teman-temanku di kelas. Disinilah untuk pertama kali, aku merasa kesepian.

***

“Hei Leon, ayo kita main!” ajak teman satu kampungku, Rudi. Dia mengajak bermain kelereng di lapangan.

“Tidak, terima kasih.”

“Kenapa? Kamu enggak mau?” kata Ucup, teman sekampungku yang tinggal di depan rumah.

“Bukan, sudahlah, kalian bermain saja sendiri. Aku mau bantu ibu.”

Sebenarnya aku sangat ingin ikut bermain dengan mereka. Tapi apa daya, ayah melarangku untuk bermain di luar. Toh aku juga tidak memiliki kelereng. Ayah juga tak akan mungkin mau membelikan aku walau hanya sebutir kelereng.

Suatu hari, aku memberanikan diri untuk memintanya. Ketika itu aku berpikir bahwa aku juga memiliki hak untuk bermain dengan teman sebayaku.

“Ayah, aku ingin kelerang.” mohonku kepada ayahku dengan wajah sangat memelas.

“Tidak boleh.” kata ayahku tanpa meminggirkan koran yang dibacanya.

“Tapi, teman-teman yang lain punya kelereng semua yah, aku juga ingin bermain dengan mereka.”

“Kalau ayah bilang tidak, ya tidak!” kini koran telah dipinggirkannya dan matanya dengan tajam menatap kedua mataku. Aku berusaha tetap tegar dan tetap memohon.

“Leon tidak pernah bermain dengan teman-teman Leon, setiap hari Leon hanya belajar terus. Leon bosan yah.”

“Dasar anak bandel! Sini ikut ayah.”

Tanganku ditarik paksa. Apa daya, aku hanyalah bocah berusia delapan tahun dan ayahku adalah orang dewasa. Sekeras apapun memberontak, kekuatanku tidak sebanding dengan kekuatan ayahku.

Ternyata aku dibawa ke kamar mandi. Dan tanpa berbicara sedikitpun, terasalah dinginnya air bak mengguyur diriku. Terus menerus seolah bak kamar mandi kami adalah sebuah danau. Aku terus menjerit minta ampun, memohon belas kasihan. Namun permohonanku tak dikabulkan oleh ayah. Terus saja guyuran air berjatuhan di tubuhku.

“Ayah! Hentikan! Kasihan Leon!” ibuku datang dan berusaha menahan tangan ayahku dengan tangannya.

“Diam! Kau tak perlu ikut campur! Anak bandel seperti dia harus diberi pelajaran!”

“Tapi tak perlu sampai seperti ini. Tadi ibu juga mendengar pembicaraan kalian, biarkanlah Leon bermain dengan teman-temannya. Toh Leon juga selalu rangking satu di kelasnya.” kini Ibuku ikut memelas, memohon belas kasihan kepada orang yang tidak meiliki belas kasihan.

“Kalau dibiarkan bermain, nanti bisa keterusan, dan berhenti belajar! Ayah tidak mau adia tidak menjadi nomer satu! Pokoknya tugas Leon hanya belajar! Tidak ada kata bermain di rumah!”

“Memang kalau pintar saja cukup? Ayah buktinya! Percuma IP-nya coum loude tapi sampai sekarang tidak dapat pekerjaan!”

Praak! Sebuah tamparan mendarat di pipi ibuku. Tampak dengan jelas olehku bekas merah di pipinya.

“Kamu itu jadi istri jangan kurang ajar sama suami! Toh meskipun aku tidak kerja, kita masih bisa hidup dari pemberian Anton!” bentak ayahku tepat di depan wajah ibu.

Anton adalah nama adik ayah. Dialah yang menjadi sumber penghasilan keluarga kami karena dia adalah pengusaha yang sukses dan memiliki rasa empati yang tinggi, sehingga beliau tidak pernah menghitung berapapun biaya yang dibutuhkan kami. Tapi, selalu hanya ayah yang meminta dan memegang uangnya. Tidak pernah sekalipun ibu memegang uang tersebut. Ibu hanya mendapat uang belanja yang jumlahnya sedikit. Aku yakin, sebagian besar uang disimpan sendiri oleh ayah.

“Mau sampai kapan mau jadi pengemis? Aku malu punya suami pemalas seperti kamu!”

“Diam!!!”

Pertengkaran ini terpotong oleh tangisan Gisel. Walaupun masih kecil, Gisel seolah-olah sudah bisa merasakan kesedihan, sama seperti yang kualami. Ibu menatap ayah lekat-lekat, menggandeng tanganku, dan meninggalkan ayah yang masih melotot kepada kami semua.

“Ibu, kenapa ayah seperti itu?”

Ibu hanya diam saja. Tidak merespon pertanyaanku. Tapi aku paham akan beban yang ditanggungnya. Maka aku memutuskan untuk berdiam diri.

“Nanti kalau sudah waktunya, ibu akan cerita semua ke Leon, tapi Leon sekarang sabar ya. Ibu akan berusaha melindungimu dari ayahmu, Ibu akan berusaha melindungimu sampai kamu bisa menjaga dirimu sendiri.” kata Ibuku dengan memberikan senyuman yang membuat hati tenang.

Aku meneteskan air mata, lalu memeluk ibuku seerat mungkin. Mungkin aku tidak mendapatkan kasih sayang dari ayah, tapi setidaknya aku mendapatkan kasih sayang dari Ibu.

***

Meskipun aku tidak punya teman, aku tetap bisa berprestasi di kelas. Karena itu, aku sering menjadi murid kesayangan guru, dan itu membuatku senang karena mendapatkan perhatian dari orang lain, sesuatu yang tidak aku dapatkan dari ayahku sendiri. Kedekatanku dengan guru membuatku semakin dijauhi dengan teman-teman, mungkin mereka menganggap aku penjilat. Aku sedih menerima kenyataan ini, namun tidak bisa berbuat apa-apa.

Setiap aku berusaha berbicara dengan mereka, hanya jawaban yang singkat aku terima, lalu mereka buru-buru meninggalkan aku. Mungkin salah satu diantara Sinta, Udin, atau Ahmad telah menyebarkan kabar tentang betapa mengerikannya ayahku. Semenjak kejadian itu, aku tidak berani menegur mereka bertiga, dan mereka pun tampaknya enggan mendekatiku. Aku hanya bisa menghibur diri dengan belajar, karena itu adalah satu-satunya yang bisa kulakukan. Sempat aku beberapa kali melihat ibuku membaca buku dan ingin ikut membacanya, namun ia bilang bahwa belum saatnya aku membaca buku-buku tersebut.

Selain itu, anak-anak di kampungku yang dulu sering berusaha mengajakku ikut bermain pun akhirnya tidak pernah lagi ke rumah. Mungkin pernah ketika mereka mengajakku, ayahku menyemprot mereka dan mengusir mereka dari rumah. Anak kecil mana yang tidak takut dibentak oleh orang tua? Sama seperti di sekolah, tampaknya kabar itu pun menyebar di kampung dengan cepatnya, sehingga bisa dibilang aku tidak kenal dengan teman-teman sebayaku yang tinggal berdekatan denganku.

Hingga akhirnya aku lulus dari SD, tidak ada satu temanku yang memberi ucapan kepadaku yang berhasil meraih nilai tertinggi sekabupaten.

***

Aku sudah masuk SMP tahun 2006 dengan mudah karena aku selalu rangking satu, mulai sistem pendidikan berbentuk catur wulan hingga berubah menjadi sistem semester. Ketika di kelas, pikiranku sering melayang ke rumah. Kini ayah sudah jarang pulang. Uang yang diberikan ke Ibu semakin sedikit. Gisel yang berusia enam tahun pun harusnya sudah masuk ke sekolah tingkat SD. Namun sayang, sudah dua kali ia dikeluarkan dengan alasan yang sama, tidak bisa menangkap pelajarang yang diberikan.

Aku jadi sering kepikiran Ibu yang kini semakin kurus. Meskipun ia selalu berusaha terlihat tegar di hadapan kami, aku tahu ia sedang menyimpan luka yang begitu dalam. Aku selalu menantikan kapan ia akan menceritakan alasan mengapa ayah begitu kejam kepada kami. Aku sebagai anak kecil tidak bisa membantu apa-apa, hanya bisa ikut prihatin.

Hari ini, seperti biasa aku pulang sekolah sendirian. Tidak ada yang mau berjalan denganku karena mereka tahu betapa mengerikannya ayahku. Mereka mengucilkan aku karena ayahku, hal yang menurutku tidak seharusnya terjadi.

Ketika aku sampai di depan rumah, perasaanku menjadi tidak enak dan gelisah. Kenapa jantungku berdegub dengan kencang? Ragu hinggap di benakku, mungkin sebaiknya aku tidak masuk rumah dulu. Namun semakin aku mengulurnya, maka perasaan ini akan semakin menjadi-jadi. Maka kuputuskan untuk masuk, apapun yang terjadi didalam.

Begitu aku masuk rumah, terlihat olehku Gisel sedang tidur di ruang tamu yang berantakan. Kaca yang menutupi meja pecah. Di lantai tergeletak sebuah surat, nampaknya Gisel kembali ditolak masuk ke Sekolah Dasar. Penasaran, aku segera mencari ibu. Ke kamar, ke ruang keluarga tidak ada. Ke mana ibu?

Akhirnya aku menemukan Ibu di dapur. Bukannya sedang memasak, melainkan dalam keadaan tergantung. Secara pribadi aku belum bisa menerima keadaan ini. Aku harus melakukan sesuatu, mungkin Ibu masih hidup.

“Ibu, ibu! Bangun Ibu, jangan tergantung seperti itu! Ibu bisa mati!” kataku bercampur dengan tangis yang mulai mengalir. Aku masih belum percaya Ibu akan meninggal dengan cara seperti ini. Aku berusaha mengangkat tubuh Ibuku agar terlepas dari ikatan tali. Namun percuma, tenagaku terlalu lemah untuk mengangkat tubuh Ibu.

“Ibu, bangun, Ibu sudah janji akan melindungi Leon, tapi mengapa Ibu memilih bunuh diri dan meninggalkan . .” aku sudah tidak bisa meneruskan kata-kataku. Aku sudah menangis sekencang mungkin. Dalam keadaan menangis, mataku menangkap sesuatu. Ada secarik kertas. Dalam keadaan mata berlinang air mata, kubaca isi kertas tersebut. Ini tulisan Ibu.

Anakku tersayang, Leon,

Maafkan keegoisan Ibu nak. Ibu sudah tidak kuat menjalani hidup, Ibu ingin meninggalkan dunia ini secepatnya. Sebenarnya ibu sudah lama merencanakan ini, namun karena ada kamu dan Gisel, Ibu bisa menahan keinginan itu. Tapi sekarang perlakuan Ayah semakin brutal. Kamu lihatkan ruang tamu sangat berantakan? Tadi Ayah mengamuk karena Gisel untuk yang ketiga kalinya Gisel dikeluarkan dari sekolah. Ibu dipukuli dan ditendang, bahkan diludahi. Ayah juga bilang, kalau Ayah akan pergi dari sini untuk selamanya dan akan menikah dengan orang lain.

Maafkan Ibu nak, Ibu tidak bisa melaksanakan janji Ibu untuk melindungi kamu. Tolong jaga Gisella baikbaik ya. Ibu sudah mengirimkan surat untuk Om Anton, supaya beliau mau menampung kalian berdua. Maafkan Ibu nak harus pergi meninggalkan kamu. Ibu sayang kamu.

Sejak saat itu, aku membenci kedua orang tuaku.

***

Aku terus menerus menangis setelah pemakaman ibuku. Om Anton yang datang berusaha untuk menghibur kami. Dialah satu-satunya kelurga yang kami miliki, dan aku berharap ia mau merawat kami. Sayangnya, om hanya memberikan kata-kata penghiburan, dan berkata ia tidak bisa membawa kami ke Solo karena beberapa alasan. Aku yakin alasannya adalah permintaan anaknya, si cebol Bondan. Kami adalah sepupu, tapi tidak pernah sekalipun kami akur. Ia yang merupakan anak orang kaya memandang rendah kami yang tidak memiliki harta. Lebih-lebih ia membenci Gisel, yang dicapnya tak berotak karena tidak bisa masuk ke sekolah. Om Anton orang baik, sayangnya ia sangat memanjakan anak semata wayangnya itu karena ibunya telah tiada.

Sejak itu, kami hidup sendiri ditemani oleh seorang pembantu. Uang kiriman paman setiap bulannya aku yang memegang, dan beberapa kuberikan kepada pembantuku tersebut. Semula aku masih bisa bersikap normal, hingga ketika teman-teman di sekolah mulai melakukan perundungan atau bullying kepadaku. Mereka menganggap aku anak buangan, anak yang tidak diinginkan oleh orangtuaku, dan lain sebagainya. Aku tidak tahu persis alasan mereka membenciku, mungkin karena beberapa dari mereka yang satu SD denganku merasa iri karena aku selalu rangking satu dan jadi anak kesayangan guru.

Aku hanya bisa diam mendapat perlakuan seperti ini, bahkan tidak ada teman-teman lain yang berupaya membantuku. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk melawan, bukan hanya pasrah menerima penghinaan ini. Aku lawan mereka dengan kekerasan, karena anak-anak macam mereka tidak akan paham dengan ucapan. Aku tunjukkan kepada mereka bahwa aku tidak takut kepada mereka, dan aku punya kekuatan untuk menghajar mereka. Kekuatan tekad memberikanku kekuatan, meskipun aku juga sering berlatih dengan peralatan olahraga yang ada di rumah.

Akhirnya, satu persatu mereka berhenti mem-bully­-ku, namun itu tidak mengubah apapun. Semua temanku di SMP menjauhi diriku, takut dengan segala reputasi burukku. Itu membuatku membenci semua orang, membuatku memutuskan bahwa aku tidak butuh teman. Aku tetap bisa berprestasi tanpa teman, akan kubuktikan kepada mereka semua bahwa aku lebih baik dari mereka semua. Aku bertekad ketika masuk SMA nanti, aku akan masuk kelas akselerasi agar bisa cepat-cepat meninggalkan sekolah. Meskipun dalam hati kecilku, aku merasakan kesepian yang sangat nyata, tidak berdarah namun perih.

Rentetan peristiwa ini membuatku menyalahkan Gisel sebagai penyebab semua yang terjadi. Aku mulai berlaku kasar kepadanya, tidak segan main tangan. Pembantuku beberapa kali berusaha untuk menghentikannku ketika akan menyakiti Gisel, tapi karena ia perempuan, tentu saja tenaganya kalah. Mungkin karena tidak kuat menghadapi tabiat burukku, secara tiba-tiba ia menghilang begitu saja. Ketika memikirkan berbagai perbuatan burukku ke Gisel, aku merasa bersalah sekali, dan menyesal sedalam-dalamnya. Ia tidak salah apa-apa, orangtua kamilah yang salah. Kami adalah korban, kami tidak salah apa-apa. Tidak salah apa-apa…

***

“Kakak, kenapa Kakak menangis?” suara Gisel tiba-tiba terdengar di telingaku. Rupanya tanpa sadar aku menitikan air mata sewaktu sedang mengingat ingat masa laluku dulu. Segera kuhapus air mataku dengan kedua tanganku.

“Kamu kenapa Le?” tanya Kenji dengan penuh kecemasan.

“Tidak, tidak apa-apa. Aku baru saja pulang dari masa lalu.”

“Bagaimana caranya kak?”

“Mesin waktu.” jawabku dengan tersenyum kepada adikku tersayang.

Leon dan Kenji (Buku 1)

Tentang Para Karakter Lain (Terakhir)

Published

on

By

Tulisan ini adalah bagian terakhir dari episode ektra novel Leon dan Keji. Di sini, penulis akan bercerita tentang karakter lain yang belum dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya.

Malik

Namanya penulis ambil dari musuh Yugi dari komik Yugioh (Marik jika dilihat dari animenya). Ia adalah kakak kelas Leon sekaligus mantan tetangganya. Ia juga bersekolah yang sama dengan Leon sejak SMP.

Malik adalah murid kesayangan guru dan idola banyak murid. Kemampuan otaknya yang cerdas, perilakunya yang santun, ditopang dengan paras yang rupawan membuatnya sering menjadi pusat perhatian.

Akan tetapi, Leon (dan Kenji) beranggapan bahwa semua itu hanyanya kamuflase semata. Di balik topeng ramahnya, Leon berasumsi bahwa Malik adalah orang yang licik dan egosentris. Mungkin Leon menganggap Malik seperti karakter Joker pada serial Batman.

Apakah dugaan Leon benar? Ataukah ternyata Malik memang benar-benar lain? Temukan jawabannya pada buku kedua Leon dan Kenji!

Para Kakak Pembimbing OSIS

Semua anggota OSIS yang penulis munculkan di novel ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Bahkan hingga namanya, walaupun tidak semua penulis ingat.

Dari semua anggota, yang paling menonjol adalah Aan yang pernah mengirim anggota gengnya untuk menghajar Leon karena sikapnya yang ngelamak. Ia juga tipikal orang pendendam dan suka tertawa di atas penderitaan orang-orang yang dibencinya.

Rudi dan Sinta

Keduanya adalah teman masa kecil Leon, yang satu teman SD dan yang satu lagi adalah teman bermain di masa kecilnya. Pertemuan tanpa sengaja mereka terjadi ketika Leon mengikuti kelas ektrakulikuler, di mana ia bertemu dengan Rudi, lantas bertemu dengan Sinta di kantin.

Keduanya memiliki peran besar bagi Leon untuk mengetahui bahwa dirinya secara perlahan bisa berdamai dengan masa lalu dan mencoba memperbaiki hubungan dengan teman-temannya di masa lalu, sesuatu yang dulu terhalang karena kekangan ayahnya.

Paman Anton

Dia adalah adik dari ayah Leon yang sukses bekerja sebagai pengusaha. Meskipun bersaudara, ia memiliki kepribadian yang berbeda 180 derajat. Paman Anton merupakan pribadi yang begitu hangat dan sangat menyayangi keluarga.

Istrinya telah meninggal karena kecelakaan, membuatnya menjadi single parent. Berstatus duda kaya tidak lantas membuatnya menikah lagi. Ia begitu mencintai istrinya sehingga mengurungkan niat untuk menikah lagi.

Sisi buruknya, ia jadi begitu memanjakan anaknya, Bondan, yang belum pernah penulis tampilkan di buku pertama. Pada akhirnya, Bondan menjadi begitu sombong dan gemar memandang rendah orang lain, termasuk kedua sepupunya, Leon dan Gisel.

Namanya sendiri dapat begitu saja, mungkin terinspirasi dari nama tetangga penulis.

Penutup

Bagaimakah kelanjutan kehidupan sekolah Leon? Apakah semuanya berjalan lancar tanpa masalah? Apakah Leon berhasil memecahkan surat misterius yang ia temukan beserta sebuah kotak yang terkunci dengan kombinasi lima angka?

Semua akan terjawab pada novel Leon dan Kenji Buku 2 yang akan rilis pada tanggal 3 Desember 2018. Stay tuned!

 

 

Kebayoran Lama, 19 November 2018

Continue Reading

Leon dan Kenji (Buku 1)

Tentang Para Perempuan Kelas Akselerasi

Published

on

By

Setelah para laki-laki, kini tiba saatnya bagi penulis untuk mendeskripsikan para perempuan lain penghuni kelas akselerasi selain Sica, Sarah, dan Rika. Seperti biasa, penulis akan menjelaskan darimana inspirasi nama mereka beserta karakteristik yang melekat pada mereka.

Andrea Putri Sudarwono

Sama seperti Rika, Andrea atau Dea merupakan karakter baru yang tidak ada di konsep awalnya. Dulu, penulis membuat seorang karakter wanita tomboy yang sama sekali tidak betah berada di kelas akselerasi karena paksaan orangtuanya.

Setelah menghilangkan David, pada akhirnya penulis memutuskan untuk mengubahnya menjadi saudara kembar Andra yang bernama Andrea (dulu bernama Arin). Sifat-sifat pada penokohan yang dulu penulis hilangkan, kecuali sifat tomboynya yang dipertahankan.

Karakternya kurang lebih sama seperti saudaranya. Ia lebih sering bermain bersama teman laki-laki berkat pengaruh Andra, sehingga tidak memiliki teman wanita yang dekat. Dea jago bermain basket dan memainkan drum.

Aqilla Sagita Danastri

Selanjutnya adalah Gita, yang namanya penulis ambil dari penyanyi favorit penulis ketika masa sekolah, Gita Gutawa. Akan tetapi, Gita yang satu ini tidak pandai menyanyi. Ia memiliki bakat menggambar yang luar biasa, mulai sketsa bangunan hingga sketsa wajah.

Tanpa disengaja, karakter ini mirip dengan karakter Gita yang bermain pada serial Cinta dan Rahasia yang diperankan oleh Taskya Namya, Kurang lebih, penulis membayangkan fisik Gita seperti dirinya.

Taskya Namya (media.iyaa.com)

Padahal, penulis menciptakan karakter Gita jauh sebelum serial tersebut tayang. Sungguh sebuah kebetulan yang menakjubkan sekaligus mengerikan.

Gita adalah seorang perempuan hitam manis yang memiliki alis tebal dan cenderung mudah emosi, seperti yang ditunjukkan di awal cerita ketika ia melempar air ke wajah Leon. Akan tetapi, Gita adalah seseorang yang begitu peka terhadap sekitarnya.

Kepekaannya terbukti dengan beberapa kali bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Leon. Contohnya, ia tahu bahwa Leon menyukai Sica atau tahu kapan dirinya lebih baik diam ketika melihat suasana hati Leon sedang buruk.

Elvina Yurina Zefina

Yuri, mungkin dari namanya bisa ditebak, terinspirasi dari salah satu karakter Girls’ Generation yang bernama sama. Penulis ambil nama tersebut karena masih terdengar Indonesia.

Kwon Yuri (kpop.asiachan.com)

Ia adalah seorang perempuan yang memiliki masalah krisis kepercayaan diri. Ekonominya pas-pasan karena ibunya adalah seorang single parent yang memiliki usaha katering. Yuri kewalahan menghadapi ritme pelajaran di kelas akselerasi.

Untungnya, Kenji berinisiatif untuk mengadakan kelas tambahan sepulang sekolah, sehingga Yuri mampu mengejar ketertinggalannya. Terlebih lagi, semenjak itu ia menjadi lebih percaya diri, setidaknya di hadapan teman-teman kelas akselerasi.

Maroon Malvinanita

Karakter ini penulis bentuk sebagai wadah akan kesukaan penulis terhadap bahasa. Nita, yang namanya muncul begitu saja, adalah perempuan yang memiliki kelebihan dalam dunia bahasa.

Bahasa yang disukai oleh Nita bukanlah bahasa sastra seperti yang disukai oleh Rika, melainkan bahasa yang digunakan sehari-hari. Ketika masuk kelas akselerasi, ia sudah menguasai bahasa Inggris, Jepang, dan Prancis. Ia mulai mempelajari bahasa lainnya seperti Mandarin dan Belanda.

Pada buku pertama, belum terlalu terlihat bagaimana karakter seorang Nita, selain keingintahuannya yang besar akan bahasa.

Verena Nur Izora

Nama Verena penulis dapatkan sewaktu pesiapan ujian nasional SMA, ketika seorang gadis menjadi sampul buku latihan menghadapi Unas. Karena suka namanya, penulis memutuskan untuk menggunakan namanya untuk novel penulis.

Verena, atau Rena, adalah satu-satunya wanita yang berkerudung di kelas akselerasi. Ia adalah satu-satunya teman yang satu SMP dengan Leon di kelas.

Ia adalah seorang perempuan yang baik, hanya saja terkadang tidak pandai membaca situasi. Rena juga bisa berubah menjadi galak apabila melihat sesuatu yang salah, seperti yang digambarkan pada chapter 40.

Virginia Vanya Valora

Namanya yang berinisial VVV bukan terinspirasi dari klub bola asal Belanda, VVV Venlo, melainkan dari teman kuliah penulis yang memiliki inisial yang sama.

VVV Venlo (youtube.com)

Vanya atau kerap dipanggil Ve (penulis juga punya teman SMA yang panggilannya Ve) adalah seorang wanita yang paling gemuk di antara wanita-wanita lain yang cenderung bertubuh mungil.

Meskipun begitu, Ve merupakan anak yang berhati emas. Ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain dan tidak pernah menyimpan dendam. Baginya, berbuat baik adalah fokus hidupnya, sehingga cita-citanya adalah menjadi seorang guru di daerah terpencil.

 

 

Kebayoran Lama, 10 November 2018

Continue Reading

Leon dan Kenji (Buku 1)

Tentang Para Laki-Laki Kelas Akselerasi

Published

on

By

Selain Leon dan Kenji, terdapat empat laki-laki yang menghuni kelas akselerasi: Andra, Bejo, Juna, dan Pierre. Mereka berempat lebih sering berperan sebagai figuran, namun di beberapa bagian penulis tunjukkan karakteristik mereka.

Andra Putra Sudarwono

Dulu, pada konsep awalnya, si kembar Sudarwono bersaudara sama-sama laki-laki, Andra dan David. Tapi, sewaktu penulis meninjau ulang, ternyata komposisi laki-laki di kelas akselerasi ini terlalu banyak, sehingga penulis memutuskan untuk mengganti salah satunya dengan perempuan.

Inspirasi karakter ini datang dari Fred dan George Weasley dari novel Harry Potter. Penulis menyukai karakter mereka yang ceria, jahil, sering berbicara secara bergantian dengan saudaranya, dan selalu berpikiran positif.

via bookstr.com

Kurang lebih seperti itulah Andra (dan kini bersama Dea). Andra adalah laki-laki yang selalu nampak bersemangat. Ia selalu berusaha memberikan energi positifnya kepada semua orang.

Nama Andra sendiri (mungkin) penulis dapatkan dari band Andra and the Backbone. Penulis tidak terlalu ingat, namun untuk nama keluarganya, penulis pelesetkan dari nama stiker timnas Indonesia, Budi Sudarsono.

via indosport.com

Andra juga tidak segan berkonfrontasi dengan orang-orang yang ia anggap merusak suasana kelas. Hal ini ia tunjukkan pada bagian-bagian awal, ketika ia menantang Leon untuk berkelahi karena dianggap mengacau.

Ia juga tipe orang yang supel. Bahkan hanya dalam hitungan hari, ia sudah bisa menjalin hubungan dengan kakak kelasnya. Tidak muncul rasa canggung ketika ia berbicara dengan orang lain karena kepercayaan dirinya yang tinggi.

Akan tetapi, ia juga seorang pendendam. Pengeroyokan yang terjadi pada Leon ketika MOS adalah rencananya. Untungnya, sifat pendendamnya diimbangi dengan sifat pemaafnya. Memang kontradiktif, namun begitulah Andra.

Andra memiliki kecerdasan yang lumayan. Sayang, kecerdasan yang dimilikinya tidak ia gunakan di kelas. Hal ini menyebabkan ia harus turun ke kelas reguler bersama saudarinya.

Achmad Khrisna Subejo

Kalau yang satu ini, penulis lupa darimana inspirasinya. Mungkin, karena nama Bejo bernuansa pedesaan. Untuk nama tengahnya, terinspirasi dari salah satu tokoh pewayangan.

Sang ketua kelas akselerasi yang sangat bertanggungjawab dan melaksanakan tugasnya dengan agak terlalu berlebihan. Mungkin mirip dengan karakter Tenya Iida pada anime Boku No Hero Academia, meskipun penulis membuat karakter ini sebelum menonton anime tersebut.

via http://bokunoheroacademia.wikia.com

Bejo adalah tipikal anak yang ingin membuktikan bahwa dirinya, meskipun anak desa, bisa sama dengan anak-anak yang tinggal di kota (meskipun tempat ia sekolah tidak termasuk kota).

Ia memiliki harga diri yang tinggi, Pembangkangan Leon di awal masa sekolah merupakan buktinya. Bejo merasa harga dirinya terluka karena tidak dihargai oleh teman satu kelasnya. Hal ini membuat ia menyimpan dendam, dan Bejo bukan tipe pemaaf seperti Andra.

Meskipun begitu, Bejo adalah laki-laki yang gentle dan pemberani. Ia tak segan mengakui kesalahannya ketika ia telah sadar, seperti ketika ia bertengkar dengan Leon sewaktu lomba futsal antar kelas.

Arjuna Wahyunara

Namanya terinspirasi dari chef Juna. Akan tetapi, karakternya yang lambat merespon penulis dapatkan dari Goo Ji-soo, salah satu peserta acara reality show Girls’ Generation and the Dangerous Boys.

via snsdkorean.com

Juna adalah anak yang cerdas, namun susah berkomunikasi karena otaknya butuh waktu sekitar 5 detik untuk menangkap informasi yang disampaikan secara lisan. Akan tetapi, ia memiliki daya ingat yang kuat ketika berhadapan dengan hal visual.

Apalagi, Juna adalah tipe orang yang pemalu dan minder, sehingga ia sangat jarang memulai percakapan dengan orang lain. Ia merasa dirinya akan membebani orang lain ketika ia berkomunikasi dengan mereka.

Untunglah Leon secara tidak sengaja berhasil menemukan metode untuk berinteraksi dengan Juna, sehingga mulai saat itu ia mulai bisa dekat dengan teman-teman yang lain, terutama Pierre.

Jean Xavier Pierre

Namanya memang norak, karena penulis masih duduk di bangku SMA ketika membuat nama ini. Namun penulis memutuskan untuk tidak mengubah namanya karena nama tersebut memiliki maknanya sendiri.

Pierre penulis dapatkan dari nama vokalis Simple Plan, Pierre Bouvier, yang penulis ketahui dari video klip When I’m Gone. Ternyata, setelah penulis tonton ulang video tersebut, terdapat nama Sarah. Mungkin justru dari inilah penulis mendapatkan ide nama Sarah.

Pierre merupakan tipe anak yang lebih senang berkutat dengan gawainya daripada dengan manusia. Dengan kacamatanya yang tebal, ia tak akan pernah merasa jemu mengutak-atik komputer maupun handphonenya.

Interaksinya dengan karakter utama hanya terjadi sekali ketika Leon membutuhkan saran untuk membeli handphone, sehingga karakteristik lainnya belum terlihat.

 

 

 

Kebayoran Lama, 5 November 2018

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan