Connect with us

Renungan

Bagaimana Jika Perang Nuklir Benar-Benar Terjadi?

Published

on

Meskipun tidak ditampilkan di dalam film Oppenheimer, Penulis bisa membayangkan betapa dahsyatnya ledakan bom atom yang dijatuhkan di dua kota Jepang, Hiroshima dan Nagasaki. Selain hancurnya kota, banyaknya korban jiwa juga menjadi bukti nyata.

Penulis pun jadi berpikir, ledakan sedahsyat tersebut terjadi hampir 80 tahun yang lalu. Pasca-Perang Dunia 2, banyak negara yang tetap mengembangkan bom mereka yang jauh lebih dahsyat. Beberapa yang pernah terdengar adalah Hydrogen Bomb dan Tsar Bomba.

Itu yang ketahuan dan diketahui oleh publik. Bagaimana dengan senjata-senjata rahasia yang lebih mematikan? Bagaimana dengan bom yang daya ledaknya jauh lebih eksplosif? Bagaimana dengan penggunaan senjata nuklir dan biologis?

Sama seperti kekhawatiran banyak pihak, Penulis pun jadi merasa was-was seandainya dunia kembali saling melempar senjata nuklir ke lawan mereka. Jika hal buruk tersebut benar-benar terjadi, akan seperti apa dampaknya ke kita?

Linkin Park dan Peringatannya akan Perang Nuklir

Peringatan akan potensi terjadinya perang nuklir (ataupun jenis perang lainnya yang juga destruktif) bukan Penulis temukan pertama kali setelah menonton Oppenheimer. Jauh sebelumnya, Penulis telah mengetahuinya dari album-album Linkin Park.

Sebagai informasi, nama album Minutes to Midnight yang dirilis pada tahun 2007 tersebut diambil dari sebuah istilah metafora, yang merujuk kepada betapa dekatnya kita akan kehancuran gara-gara apa yang kita buat sendiri.

Beberapa track yang ada di dalamnya pun penuh dengan pesan perdamaian sekaligus pengingat betapa besar kerusakan yang telah kita buat. Tengok saja video klip dari lagu “What I’ve Done” yang terkenal.

Selang tiga tahun kemudian, Linkin Park merilis album A Thousand Suns. Nama album ini diambil dari kutipan Bhagavad Gita yang diucapkan oleh J. Robert Oppenheimer, yang menggambarkan ledakan nuklir akan seterang seribu matahari.

Linkin Park juga menyisipkan pidato Oppenheimer yang paling terkenal, di mana ia sekali lagi mengutip Bhagavad Gita dan mengatakan, “Now I am death, destroyer of the world.” Banyak yang mengintepretasikan kalau ini menjadi penyesalannya karena telah membuat bom atom.

Perang Dunia Berakhir, Pengembangan Senjata Terus Berlangsung

Bom atom yang dibuat melalui Manhattan Project awalnya ditujukan ke Jerman. Namun, berhubung Jerman sudah menyerah duluan, alhasil bom atom tersebut dialihkan ke Jepang dengan tujuan membuat mereka menyerah dan mengakhiri perang.

Beberapa ilmuwan yang terlibat dalam Manhattan Project mengajukan petisi agar bom atom tidak perlu dijatuhkan. Namun, pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Harry Truman bersikeras dengan alasan Jepang tidak menghiraukan ultimatum mereka.

Alhasil, dengan dalih agar jumlah korban yang jatuh tidak lebih banyak lagi, bom atom pun dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Perang Dunia 2 pun resmi berakhir. Namun, pengembangan senjata nuklir tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti.

Oppenheimer selaku kepala Manhattan Project mendesak agar pemerintah AS berhenti mengembangkan senjata nuklir, yang kini hendak membuat Hydrogen Bomb dengan daya hancur yang berkali-kali lipat. Sayang, pendapatnya tidak digubris dan ia pun “dikucilkan”.

Pada masa-masa Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, banyak kekhawatiran kalau perang nuklir akan benar-benar terjadi, mengingat kedua kubu memang sama-sama gencar dalam mengembangkan arsenal tempur mereka.

Untungnya hingga Uni Soviet bubar, hal tersebut tidak pernah terjadi. Memang masih ada banyak perang di mana-mana, termasuk akibat perang ideologi antara kapitalisme melawan komunisme. Setidaknya, tidak ada kejadian seperti Hiroshima dan Nagasaki lagi.

Senjata Tak akan Pernah Menghentikan Perang

Perlombaan Senjata Tak Pernah Usai (SIPRI)

Terus berlangsungnya perang di berbagai belahan dunia seolah mematahkan harapan Oppenheimer dan ilmuwan lainnya. Mereka sebenarnya berharap kalau senjata yang mereka buat akan menghentikan perang, karena lawan terlalu takut untuk menyerang.

Kenyataannya, justru lawan jadi terdorong untuk menciptakan senjata yang jauh lebih hebat. Alhasil, masing-masing negara justru saling berlomba untuk membuat senjata terhebat yang akan membuat mereka ditakuti oleh lawan.

Contoh nyata bisa kita lihat di era Perang Dingin. Jika Amerika Serikat ditanya mengapa mereka membuat senjata nuklir, mereka akan menjawab karena Uni Soviet. Sebaliknya pun begitu, Uni Soviet membuat senjata nuklir karena Amerika Serikat.

Ketegangan dunia pun seolah berada di titik yang konstan. Seolah-olah ada bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Ketika Rusia tiba-tiba menginvasi Ukraina, siapa yang menyangka? Mungkin segelintir orang, tapi orang pada umumnya tidak akan mengira.

Kekhawatiran akan diluncurkannya senjata nuklir pun kembali mencuat. Sama seperti ketika Amerika Serikat menjatuhkan Fat Man dan Little Boy, bukan tidak mungkin ada negara lain yang ingin show off kepada dunia kalau mereka memiliki senjata yang pantas untuk ditakuti.

Pada akhirnya, pembuatan senjata tidak akan pernah menghentikan perang. Yang ada, justru akan melanggengkan perang. Saling curiga antarnegara akan terus terjadi, karena selalu ada kemungkinan kalau negara lain menyimpan senjata yang sangat berbahaya.

Bagaimana Jika Perang Nuklir Benar-Benar Terjadi?

Ilustrasi Ledakan Bom Nuklir (University of Colorado Boulder)

Lantas, bagaimana jika (amit-amit) perang nuklir benar-benar terjadi? Bagaimana jika para negara adidaya memutuskan untuk meluncurkan senjata pemusnah massal yang sama sekali tidak berperikemanusiaan tersebut?

Ya sudah, terima takdir apa adanya. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan orang biasa seperti kita. Tidak mungkin juga kita tiba-tiba terjun ke medan perang dan menghentikan semua aktivitas perang atau membatalkan peluncuran senjata nuklir.

Jika perang nuklir benar-benar terjadi, maka artinya tengah malam (midnight) telah tiba. Apa yang diperingatkan oleh Linkin Park melalui albumnya benar-benar terjadi, dan kita harus menerima kenyataan kalau tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menghentikannya.

Paling banter, yang bisa kita lakukan adalah menjadi aktivis dan kerap menyerukan perdamaian. Namun, seberapa lantang suara kita hingga akan didengar oleh para pemangku kekuasaan di dunia? Memang ada peluangnya, tapi sangat kecil.

Untuk sekarang, yang bisa kita lakukan hanyalah berharap perang nuklir tidak pernah terjadi. Sampai detik ini, terhitung baru Amerika Serikat saja yang pernah menjatuhkan senjata nuklir berupa bom atom ke negara lain. Semoga saja itu juga menjadi yang terakhir kalinya.

Kita hanya bisa berharap (dan berdoa) negara-negara besar yang membuat senjata-senjata berbahaya tersebut punya kesadaran untuk tidak memusnahkan kehidupan manusia sebelum hari kiamat tiba.


Lawang, 25 Juli 2023, terinspirasi setelah menonton film Oppenheimer

Foto Featured Image: NJ.com

Sumber Artikel:

Renungan

Jika Kita Ada di Kursi Mereka, Apakah Kita akan Tetap Berisik?

Published

on

By

Ini adalah tulisan keempat secara beruntun yang membahas tentang isu masyarakat vs pemerintah yang memanas dalam beberapa minggu terakhir. Mungkin ini akan jadi penutup, sehingga akan Penulis gunakan sebagai bahan renungan bersama.

Meskipun masih terpolarisasi karena hal yang remeh, Penulis melihat kita sebagai rakyat cukup bersatu dalam aksi sepanjang akhir Agustus hingga awal September kemarin. Pasti ada yang masih pro pemerintah, tapi rasanya kali ini mereka minoritas, atau memang enggak kelihatan aja.

Kita bisa bersatu seperti itu karena kita merasa punya “musuh” yang sama, di mana di sini adalah pemerintah terutama DPR yang jadi sasaran utama, maupun pihak pengamanan yang dinilai terlalu brutal hingga ada yang tewas.

Bisa dibilang, saat ini kita sama-sama sedang “menggonggong” untuk menuntut keadilan, apalagi setelah melihat angka fantastis yang diterima oleh para pejabat di saat kehidupan masyarakat sedang sulit, di saat PHK di mana-mana dan ekonomi terasa berat.

Namun, di satu sisi, Penulis jadi merenungkan satu pertanyaan: jika kita berada di dalam menjadi bagian dari pemerintah, apakah kita akan tetap berisik seperti sekarang atau justru diam-diam saja sembari menikmati segala fasilitas dan tunjangan yang diberikan?

Katanya, Pemerintah Itu Cerminan Rakyatnya

Pemerintah adalah Cerminan Rakyat (Detik)

Ada yang bilang, pemerintah itu cerminan rakyatnya. Pemerintah itu rata-rata masyarakatnya. Jadi, jangan-jangan alasan kita mendapatkan kualitas pemerintah yang seperti itu, ya karena kita seperti itu, hanya saja belum mendapatkan kesempatan seperti mereka saja.

Hal ini langsung dicontohkan dari kasus penjarahan yang terjadi pada rumah beberapa anggota DPR, yang dijadikan sebagai sasaran karena pernyataan kontroversial yang keluar dari mulut mereka.

Di satu sisi, Penulis menganggap kejadian tersebut adalah konsekuensi dari apa yang sudah dikatakan atau dilakukan. Namun, di sisi lain, aktivitas penjarahan juga tidak bisa dibenarkan karena mengambil apa yang bukan hak kita.

Ada yang membalas bahwa pemerintah selama ini juga menjarah rakyat, bahkan alam Indonesia pun ikut dijarah. Namun, membandingkan dua hal yang buruk tidak membuat salah satunya menjadi baik. Membandingkan dua hal haram, tidak membuat salah satunya menjadi halal.

Banyak orang di pemerintahan yang korupsi, mungkin di keseharian kita pun masih melakukan korupsi kecil-kecilan, baik disadari maupun tidak. Anggota dewan tidur ketika kerja, mungkin kita di kantor pun terkadang curi-curi waktu untuk tidur siang.

Intinya, kita boleh dan bahkan harus bersuara apabila melihat ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak pemerintah. Kita harus tetap “menggonggong” dan mengawasi kerja pemerintah, yang gaji dan tunjangannya berasal dari pajak yang kita bayarkan.

Kalau kita diam saja dan memilih apatis, maka pemerintah bisa makin “sesuka hati” dalam membuat kebijakan. Tentu kita tidak lupa, bagaimana ada beberapa kebijakan yang dibuat dalam waktu kilat jika itu menguntungkan pihak tertentu.

Namun, jangan lupa untuk menengok ke dalam juga, tanyakan kepada diri sendiri apakah kita sudah benar-benar “bersih” dan tidak melakukan hal buruk yang dilakukan oleh pemerintah. Tanyakan kepada diri sendiri, jika kita di dalam, apakah kita akan tetap berisik seperti ketika di luar?

Meskipun kita memiliki banyak kekecewaan atau kekesalan terhadap pemerintah, jangan sampai membuat diri kita merasa paling suci atau lebih baik dari mereka. Daripada seperti itu, alangkah lebih baik kalau kita melihat ke dalam diri sendiri.

Memosisikan Diri Sebagai Kontrol Pemerintah

Jika di Dalam, Apakah Kita akan Tetap Berisik Seperti Ketika di Luar? (Tribun)

Ketika membaca kolom komentar untuk konten yang bermuatan politik, Penulis sering menemukan komentar senada yang berbunyi, “jangan ngomong doang, coba buktiin kalau lu lebih bagus dari yang lu kritik!”

Menurut Penulis, komentar seperti ini cukup sesat. Kita mengkritik sebagai rakyat, mengkritik pemerintah (entah eksekutif maupun legislatif) yang memang pekerjaannya adalah menyelesaikan berbagai masalah yang ada di negara ini.

Nah, mereka kan udah dibayar nih buat jadi pejabat, masa iya kita juga yang menyediakan solusinya? Kita ini memang berfungsi sebagai pengawas agar pemerintah bisa terkontrol dan tidak seenaknya sendiri, lha kok malah ditambahi kerjaan sebagai penyedia solusi.

Mungkin akan ada komentar juga yang intinya menyuruh kita masuk ke dalam pemerintahan dan ubah dari dalam. Ini ada benarnya, tapi kalau sistemnya sudah rusak, bisa-bisa kita yang akhirnya malah terbawa arus. Mau seidealis seperti apa pun, pasti sulit.

Bahkan, komika Pandji Pragiwaksono dalam sebuah acara di Metro TV sempat berujar yang intinya “kalau semua yang berisik masuk, ntar nggak ada yang mengonggong dari luar, dong?” Buktinya banyak aktivis ’98 yang sekarang di kursi pemerintahan, eh ya udah berubah tuh.

Jadi, mungkin bukan pilihan yang salah jika kita memilih untuk tetap di luar tanpa berniat masuk ke dalam. Jika di luar, kita akan lebih bebas bersuara untuk diri sendiri dan masyarakat, bukan bersuara untuk partai yang telah mengusung kita.


Lawang, 11 September 2025, terinspirasi setelah Penulis merasa selama ini lebih banyak melihat sisi buruk pemerintahan Prabowo Subiyanto dan jarang mengulik “prestasinya”

Foto Featured Image: Detik

Continue Reading

Renungan

Merenungi Manusia Primitif yang Masih Hidup di Era Modern

Published

on

By

Dalam tulisan “Manusia adalah Makhluk Paling Berbahaya di Dunia Ini”, Penulis sudah menjabarkan tentang bagaimana kita ini adalah ancaman paling nyata, baik bagi makhluk hidup lain maupun sesama manusia.

Pada salah satu poin, Penulis juga menjelaskan bagaimana manusia tanpa segan menghabisi manusia lain dengan berbagai alasan, walau ketamakan jelas jadi salah satu faktor utamanya. Alhasil, bangsa-bangsa yang kalah harus menepi demi keselamatannya.

Menariknya, mereka ini terus bisa mempertahankan peradabannya walau terisolasi dari dunia lain. Melalui kacamata kita, mereka terlihat sebagai bangsa primitif yang hidup di era modern yang serba canggih. Keberadaan mereka ini membuat Penulis jadi merenung.

Bagaimana Kehidupan “Manusia Primitif” Terputus dari Kehidupan Modern

Man in Hole (USA Today)

Melalui video dokumenter yang sama dari artikel “Manusia adalah Makhluk Paling Berbahaya di Dunia Ini”, Penulis jadi menyadari bahwa di dalam hutan Amazon, masih ada banyak native tribe yang seolah mencerminkan kehidupan beribu-ribu tahun yang lalu.

Penulis juga menemukan fakta tentang Man in Hole. Singkat cerita, ia adalah orang terakhir dari salah satu suku yang menghuni hutan Amazon, setelah anggota sukunya yang lain telah tewas terbunuh akibat konflik agraria yang terjadi di Brazil.

Hidupnya yang nomaden seumur hidupnya terpaksa ia lakukan demi bertahan hidup. Ketika mengetahui fakta ini, Penulis jadi berempati dengannya dan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi “orang terakhir” dari sukunya sebelum akhirnya ia juga meninggal.

Keberadaan mereka, yang pernah (dan mungkin masih) terancam karena peradaban manusia yang lebih modern, terlihat seolah timeline mereka tidak pernah maju dan memutus kehidupan mereka dengan dunia luar. Teknologi yang mengubah peradaban manusia tak pernah menyentuh mereka.

Sebenarnya tak perlu jauh-jauh ke Brazil yang berada di belahan bumi lain. Di Indonesia pun, yang terdiri dari banyak sekali suku, masih banyak yang menjalani kehidupan primitif dan tinggal di dalam hutan, jauh dari peradaban modern.

Secara manusiawi, kita pasti merasa “kasihan” dengan kehidupan yang seperti itu. Namun, pantaskan mereka dikasihani? Atau justru sebenarnya kita yang patut dikasihani?

Apakah Kita Lebih Bahagia dari Manusia Primitif?

Mungkin Mereka Lebih Bahagia dari Kita (Scientific American)

Belum lama ini, Penulis juga membuat artikel berjudul “Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri”. Teknologi dan berbagai ciptaan kita memang sangat membantu memajukan peradaban, tapi di sisi lain memiliki efek negatif karena mengakibatkan ketergantungan.

Kita akan kesulitan hidup tanpa smartphone, internet, listrik, dan lain sebagainya. Mati listrik beberapa jam saja sudah menderita setengah mati, seolah tidak ada aktivitas offline yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu sembari menunggu listrik kembali nyala.

Nah, tentu “penderitaan” seperti ini tidak pernah dialami oleh manusia primitif. Mereka telah terbiasa hidup berpijak tanah dan beratapkan langit. Mereka tak pernah berjumpa dengan listrik, apalagi internet, dan hidup mereka bisa baik-baik saja dari generasi ke generasi.

Kita dalam peradaban modern kerap dibuat stres dengan berbagai tekanan, yang bisa berupa tuntutan pekerjaan, kewajiban mencari uang untuk melanjutkan hidup, tarikan pajak yang tak masuk akal dari pemerintah, dan lain sebagainya.

Sekali lagi, tekanan seperti ini rasanya tidak dialami oleh manusia primitif. Mereka tidak mengenal adanya KPI, kalau lapar ya langsung berburu atau berkebun. Mereka tidak dibingungkan dengan tatanan dunia yang makin ke sini makin uangsentris.

Para manusia primitif tampaknya juga tak pernah memikirkan gengsi seperti manusia modern, yang kerap ditampilkan melalui gaya hidup mereka. Tanpa pakai baju pun, mereka tetap sehat-sehat saja, walau manusia terutama di barat juga semakin jarang menggunakan baju.

Dengan beberapa contoh tersebut, apakah kita masih bisa berpikir kalau kehidupan kita lebih baik dari kehidupan mereka?

Penutup

Lantas, apakah renungan di atas membuat Penulis ingin hidup seperti manusia primitif? Tentu tidak. Penulis besar dengan kehidupan modern, sehingga penyesuaian untuk hidup seperti mereka akan menjadi penderitaan yang luar biasa.

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan insight bahwa di kehidupan modern yang serba digital ini, masih ada kehidupan terbelakang di sudut-sudut dunia ini. Walaupun begitu, belum tentu kita lebih bahagia dibandingkan mereka. Bisa jadi, mereka jauh lebih bahagia dengan kehidupannya.

Penulis merasa bersyukur dengan kehidupan yang telah diberikan Tuhan kepada dirinya, walau terkadang masih ada perasaan iri kepada manusia primitif yang tampaknya bisa hidup lebih tenang dibandingkan kebanyakan manusia modern.


Lawang, 1 Desember 2024, terinspirasi setelah menonton video dokumenter tentang hutan Amazon yang menjadi rumah bagi penduduk asli Amerika

Foto Featured Image: AP News

Sumber Artikel:

Continue Reading

Renungan

Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri

Published

on

By

Saat ini, Penulis sedang membaca buku Filsafat Moral karya Fahruddin Faiz, setelah sebelumnya menyelesaikan buku Filsafat Kebahagiaan (ulasan menyusul). Nah, ketika membaca bagian Hans Jonas, Penulis menemukan sesuatu yang menarik.

Dalam salah satu subbabnya, Faiz menjabarkan “Situasi Apokaliptik Teknologi” yang pernah disinggung oleh Jonas. Intinya, teknologi-teknologi yang diciptakan oleh manusia berpotensi mengakibatkan kiamat bagi peradaban manusia.

Menurut Jonas, semakin manusia mengembangkan teknologi, mereka semakin tidak mampu menguasai teknologi yang mereka ciptakan (hal. 79). Tanda-tandanya makin ke sini makin terlihat, di mana manusia semakin diperbudak oleh teknologi buatannya sendiri.

Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri

Diperbudak oleh Ciptaan Sendiri (cottonbro studio)

Ketika menuliskan opening di atas, teknologi apa yang pertama kali terlintas di pikiran? Mungkin mayoritas jawabannya adalah smartphone, internet, hingga media sosial. Jawaban itu benar, tapi yang memperbudak kita jauh lebih banyak dari itu.

Ketiga hal yang Penulis sebut di atas jelas telah menjadi keseharian kita. Pernah terbayang satu hari tanpa ketiganya? Rasanya kita sudah begitu tergantung kepadanya sehingga rasanya tak mungkin hidup tanpa ketiganya.

Sekarang bayangkan seandainya dunia tiba-tiba mengalami Internet Apocalypse, di mana tiba-tiba tidak ada lagi internet di dunia. Selain smarpthone kita menjadi nottoosmartphone, media sosial pun tak bakal bisa akses.

Lebih gawatnya lagi, kalau yang bekerja remote seperti Penulis, jelas kehilangan pekerjaan akan terjadi. Semua harus kembali manual seperti puluhan tahun yang lalu, dunia di mana belum ada internet.

Namun, sebenarnya ciptaan kita yang memperbudak tak hanya sebatas itu. Internet hanyalah sebagian kecil saja. Contoh lain yang tak kalah menyusahkan seandainya tiba-tiba lenyap adalah listrik. Seandainya internet tak hilang pun, akan percuma jika tidak ada listrik.

Bayangkan, tak ada tempat untuk menyimpan makan seperti kulkas, tak ada lampu untuk penerangan di malam hari, tak ada mesin cuci untuk membersihkan pakaian, tak ada komputer untuk bekerja, dan masih banyak lagi hal yang tak akan bisa kita lakukan.

Contoh lain, bayangkan dunia tanpa bensin. Kendaraan semewah Ferrari atau Lamborghini pun akan menjadi mesin yang tidak bisa melakukan apa-apa. Manusia diberi pilihan mau mengendarai kuda atau sepeda untuk bisa mencapai tujuan dengan cepat.

Jangan lupa, uang yang merupakan alat ciptaan manusia untuk mempermudah transaksi pun juga telah memperbudak kita sejak lama. Tentu Pembaca sudah bosan mendengar berita tentang bagaimana serakahnya manusia demi mendapatkan uang.

Manusia rela melakukan banyak hal tercela untuk bisa mendapatkan uang, yang ia gunakan untuk memenuhi hawa nafsunya yang tak berbatas. Kalau perlu menyengsarakan manusia satu negara, mereka akan melakukannya tanpa peduli sama sekali.

Contoh-contoh di atas rasanya sudah cukup memberikan gambaran bagaimana kita manusia sudah diperbudak dan dibuat ketergantungan dengan ciptaan kita sendiri. Apalagi, kita baru akan memasuki era AI yang tampaknya akan dengan mudah membuat kita ketergantungan.

Lantas, Apa yang Harus Kita Lakukan?

Apa Kita Siap Hidup Tanpa Internet? (YouTube)

Kita sekarang mengetahui bahwa manusia diperbudak oleh ciptaannya sendiri? Lantas, apa yang harus kita lakukan sebagai manusia agar tidak diperbudak oleh ciptaannya sendiri? Apakah kita harus kembali hidup ala zaman batu ketika kita belum menemukan apa-apa?

Kalau Penulis, rasanya sekarang kita berada di situasi yang hampir tidak memungkinkan untuk lepas seutuhnya segala hal yang telah kita ciptakan. Tak mungkin juga kita mengambil langkah ekstrem dan meninggalkan semua teknologi yang ada.

Menurut Penulis, apa yang dimaksud dari peringatan Hans adalah bagaimana kita sebagai manusia harus selalu ingat kalau teknologi yang kita buat adalah alat yang harus kita kendalikan, bukan kita yang justru oleh dikendalikan.

Sesederhana contoh media sosial, jangan mau kita terus diperbudak dengan terus melakukan scrolling tanpa batas dan membuat diri kita menjadi komoditas platform untuk dijual ke pengiklan. Kita harus bisa mengontrol durasi penggunaan media sosial kita.

Penggunaan listrik pun ada baiknya kita kontrol dengan bijaksana. Jangan di siang hari kita menyalakan semua lampu padahal ruangan cukup terang. Jangan mentang-mentang kita bisa bayar, lantas membuang-buang energi seperti itu.

Para ilmuwan atau siapapun itu yang telah menciptakan berbagai hal memang membuatnya untuk mempermudah kehidupan kita sebagai manusia. Kita harus berterima kasih kepada mereka karena hidup kita menjadi lebih mudah karena ciptaan-ciptaan mereka.

Selain itu, jangan sampai kita sebagai manusia justru akan dimusnahkan oleh ciptaan kita sendiri. Kepandaian manusia justru digunakan untuk membuat senjata pemusnah massal. Namun, itulah realita yang sedang terjadi saat ini.

Kutipan yang diucapkan oleh Jonas juga bisa diartikan bahwa ada masanya manusia akan membuat senjata yang ternyata tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Contoh mudahnya, lihat saja Ultron yang dihadapi oleh para Avengers.

Semoga saja hal tersebut tidak pernah terjadi, baik di masa kini maupun di masa depan. Semoga manusia cukup bijak untuk memanfaatkan ciptaan-ciptaannya. Jangan sampai kehidupan di bumi ini rusak hanya karena kita tidak mampu mengendalikan apa yang kita ciptakan.

***

Lawang, 29 November 2024, terinspirasi ketika membaca buku Filsafat Moral karya Fahruddin Faiz

Continue Reading

Facebook

Tag

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan