Connect with us

Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Twenty-Four Eyes: Dua Belas Pasang Mata

Published

on

Pada tulisan ulasan novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya, Penulis sudah menyebutkan kalau dirinya membeli buku tersebut karena tertarik membaca novel-novel karya penulis Jepang setelah membaca seri Funiculi Funicula.

Sebenarnya sebelum membaca buku tersebut, Penulis sudah membaca novel Jepang lain berjudul Twenty-Four Eyes: Dua Belas Pasang Mata karya Sakae Tsuboi. Hanya saja, novel tersebut kurang berkesan, sehingga Penulis jadi malas membuat ulasannya.

Namun, karena sesuai jadwal harusnya novel ini dibuat ulasannya dan kemalasan menuliskannya membuat tulisan yang lain jadi ikut tertunda, Penulis pun meniatkan diri untuk menyelesaikan artikel ini.

Detail Buku

  • Judul: Twenty-Four Eyes: Dua Belas Pasang Mata
  • Penulis: Sakae Tsuboi
  • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan: Keduabelas
  • Tanggal Terbit: Maret 2023
  • Tebal: 248 halaman
  • ISBN: 9786020651729
  • Harga: Rp70.000

Sinopsis Buku Twenty-Four Eyes: Dua Belas Pasang Mata

Sebagai guru baru, Bu Guru Oishi ditugaskan mengajar di sebuah desa nelayan yang miskin. Di sana dia belajar memahami kehidupan sederhana dan kasih sayang yang ditunjukkan murid-muridnya. Sementara waktu berlalu, tahun-tahun yang bagai impian itu disapu oleh kenyataan hidup yang sangat memilukan. Perang memorak-porandakan semuanya, dan anak-anak ini beserta guru mereka mesti belajar menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

Isi Buku Twenty-Four Eyes: Dua Belas Pasang Mata

Berhubung novelnya tipis (hanya sekitar 200 halaman), sebenarnya cerita yang disajikan sederhana saja. Apa yang tertuang di bagian sinopsis sudah menjelaskan garis besar cerita novel ini, sehingga rasanya Penulis tidak perlu menceritakan lagi apa isi buku ini.

Setelah Membaca Buku Twenty-Four Eyes: Dua Belas Pasang Mata

Ketika melihat novel ini di toko buku, Penulis tertarik dengan latar pendidikan yang diangkat di antara dua era Perang Dunia ini. Dengan jumlah murid yang sedikit di tempat terpencil, Penulis juga jadi berharap kalau isinya akan mirip dengan Laskar Pelangi.

Sayangnya, harapan tersebut pupus begitu saja ketika Penulis sudah mulai membaca novel yang tergolong klasik ini. Penulis sama sekali kesulitan untuk bisa menikmati gaya bahasanya dan alur ceritanya.

Bahkan, Penulis tidak bisa banyak ingat apa saja kisah yang ada di dalamnya. Ceritanya berkutat di antara bagaimana bu guru yang bergaya modern harus beradaptasi dengan lingkungan desa judgemental dan berbagai konflik yang dihadapi oleh para muridnya.

Selain itu, berbeda dengan Laskar Pelangi, Penulis sangat kesulitan untuk membedakan murid-muridnya. Apalagi, novel ini juga tidak memiliki satu figur tokoh utama yang bisa membantu kita menavigasi arah cerita.

Sudah namanya sulit-sulit, masing-masing pun rasanya tidak terlalu memiliki ciri khas yang menonjol untuk diingat. Alhasil, sepanjang cerita, Penulis kesulitan untuk membayang tiap adegan yang terpampang karena merasa kesulitan untuk mengasosiasikan ini siapa itu siapa.

Saat mengecek di Goodreads, sebenarnya ada banyak pembaca novel ini yang jatuh cinta dan menganggap ceritanya yang bittersweet menyentuh hati. Sayangnya, Penulis bukan salah satunya karena sungguh tidak bisa menikmatinya.

Bahkan ketika habis membacanya, sama sekali tidak muncul perasaan haru. Yang ada justru rasa syukur karena akhirnya bisa menyelesaikan novel ini yang walaupun pendek, rasanya sangat berat untuk menamatkannya.

Tidak hanya itu, Penulis juga bersyukur karena akhirnya bisa mengurangi “tanggungannya” dengan menuliskan ulasan singkat tentang novel ini. Setidaknya satu beban tulisan telah selesai.

Rating: 3/10


Lawang, 12 Mei 2024, terinspirasi setelah membaca buku Dua Belas Pasang Mata karya Sakae Tsuboi

Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca A Midsummer’s Equation

Published

on

By

Penulis memiliki kebiasaan jika sudah menyukai sebuah karya seorang penulis, maka Penulis akan berusaha untuk membaca karya lainnya. Itulah yang terjadi pada Agatha Christie, Dee Lestari, Andrea Hirata, Leila S. Chudori, Seno Gumira Ajidarma, dan masih banyak lainnya.

Nah, itu juga yang ada di pikiran Penulis setelah membaca Keajaiban Toko Kelontong Namiya dan The Devotion of Mr. X karya Keigo Higashino, wajar jika Penulis membeli novelnya yang lain. Pilihan Penulis jatuh ke buku A Midsummer’s Equation atau Rumus Kebenaran Musim Panas.

Salah satu alasan Penulis membeli novel ini adalah karena masih termasuk ke dalam Seri Detektif Galileo. Selain itu, adanya tema kelestarian alam juga menjadi alasan lainnya. Sayangnya, Penulis tidak mendapatkan kepuasan seperti dua novel Keigo sebelumnya.

[SPOILER ALERT!!!]

Detail Buku A Midsummer’s Equation

  • Judul: A Midsummer’s Equation (Rumus Kebenaran Musim Panas
  • Penulis: Keigo Higashino
  • Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan: Ke-2
  • Tanggal Terbit: Januari 2023
  • Tebal: 440 halaman
  • ISBN: 9786020674858
  • Harga: Rp119.000

Sinopsis Buku A Midsummer’s Equation

Dalam kunjungannya ke Harigaura untuk menghadiri diskusi rencana proyek penggalian sumber daya bawah laut, Profesor Yukawa Manabu menyaksikan panasnya perdebatan di antara warga lokal. Sementara sebagian pihak mendukung rencana itu demi menghidupkan kembali perekonomian, pihak lain mati-matian menentang karena ingin menjaga kelestarian alam.

Namun, bukan hanya proyek tersebut yang meresahkan kota itu. Keesokan paginya, salah satu tamu penginapan yang ditempati Yukawa ditemukan tewas di pantai berbatu-batu. Saat diketahui sang korban merupakan mantan polisi Tokyo dan tewas keracunan karbon monoksida, timbul kecurigaan bahwa ia dibunuh.

Apa yang dilakukan mantan polisi itu di Harigaura? Apakah ada yang ingin membungkamnya? Kenapa? Sekali lagi, Yukawa mendapati dirinya berada di tengah misteri yang harus dipecahkan.

Isi Buku A Midsummer’s Equation

Kita kembali mengikuti perjalanan Profesor Yukawa Manabu, yang kali ini pergi ke Harigaura karena di sana sedang ada konflik yang dipicu oleh proyek penggalian sumber daya bawah laut. Mirip dengan situasi di negara kita sendiri, walau di cerita ini tidak ada kekerasan dari aparat (oops).

Namun, kita memulai kisah novel ini dari sudut pandang Esaki Kyohei, seorang anak kelas 5 SD yang sedang menuju Harigaura untuk menginap di penginapan milik om dan tantenya. Secara kebetulan, ia satu kereta dengan Yukawa.

Secara kebetulan lagi, Yukawa ternyata juga menginap di penginapan milik keluarga Kyohei. Penginapan tersebut terkesan mau bangkrut, karena pariwisata di Harigaura juga mengalami penurunan.

Hanya ada satu orang lain yang menginap di sana selain Yukawa, yakni Tsukahara Masatsugu, seorang mantan polisi. Naas, ia ditemukan tewas di pantai berbatu-batu. Namun, hasil otopsi mengatakan ia juga keracunan karbon monoksida, sehingga ada kemungkinan ia dibunuh.

Pihak kepolisian pun berusaha memecahkan kasus tersebut, sedangkan Yukawa justru menjalin hubungan yang unik dengan Kyohei sembari tetap mengumpulkan fakta-fakta yang ada. Belum lagi masalah penambangan yang jadi alasan Yukawa pergi ke Harigaura.

Lantas, siapa ternyata yang menjadi pelaku pembunuhan tersebut? Tentu tidak akan Penulis ungkap di sini karena di sanalah letak keseruan novel detektif.

Setelah Membaca A Midsummer’s Equation

Pada ulasan novel The Devotion of Suspect X, Penulis sudah mengeluhkan betapa bertele-telenya jalan cerita karena proses penyelidikan kepolisian yang kelewat lengkap dan panjang sekali. Rasanya seperti semua orang yang muncu di benak polisi harus dimintai keterangan.

Nah, “formula” tersebut diulang lagi di novel ini dengan lebih panjang lagi. Hal tersebut sempat membuat Penulis berhenti membaca novel ini cukup lama, padahal dua novel sebelumnya bisa Penulis tandaskan dengan cepat.

Penulis bahkan tak ingat siapa saja nama karakter yang ada di novel ini karena ada banyak banget, pakai nama Jepang pula.Dari pihak kepolisian saja (yang melibatkan banyak sekali instansi), mungkin ada sekitar 10 nama, belum nama-nama warga Harigaura.

Menariknya, banyaknya karakter yang ada di novel ini somehow pada akhirnya memiliki benang merahnya masing-masing. Jadi, karakter A ternyata memiliki hubungan dengan karakter B, karena itulah karakter A melakukan hal tersebut. Kurang lebih begitu.

Nah, salah satu momen yang menyenangkan untuk dibaca adalah bromance antara Yukawa dan Kyohei. Yukawa merupakan seorang dosen berotak cerdas, dan ia sering mengajak Kyohei melakukan eksperimen-eksperimen kecil yang menarik.

Satu nama yang menonjol di sini adalah Kawahata Narumi, yang merupakan anak dari pemilik penginapan yang ditinggali oleh Yukawa. Jadi, Narumi masih terhitung saudara sepupu dari Kyohei. Perannya di novel ini cukup menonjol, jadi Penulis menyarankan untuk selalu memperhatikannya.

Tema eksploitasi alam yang dihadirkan sebagai premis cerita pun jadi terasa tidak memiliki dampak apa-apa. Awalnya, Penulis mengira kalau kasus pembunuhan yang terjadi memiliki keterkaitan dengan konflik tersebut. Ternyata, motifnya benar-benar jauh dari sana.

Selain itu, plot twist yang dihadirkan di akhir cerita pun bukan yang benar-benar membuat tercengang. Memang masih mengejutkan, tapi efeknya tidak sedahsyat The Devotion of Suspect X. Kayak cuma “oh gitu” setelah mengetahui pelakunya, walau motifnya sendiri cukup mengejutkan.

Ending yang seolah “melindungi” pelaku karena alasan tertentu juga sedikit mengganjal bagi Penulis. Mungkin Yukawa melakukannya karena merasa memiliki ikatan khusus dengannya, berbeda dengan Hercule Poirot yang pernah secara tidak langsung menyuruh pembunuhnya membunuh dirinya sendiri.

Walau terbilang lambat (bahkan sangat lambat) di paruh pertama novel, tentu saja semakin ke belakang ceritanya semakin membuat penasaran sebagaimana novel misteri pada umumnya. Karena itulah Penulis pada akhirnya bisa menamatkan novel ini.

Apakah novel ini akan membuat Penulis kapok untuk membeli novel Keigo Higashino yang lain? Entahlah, yang jelas untuk sekarang Penulis memilih untuk membaca novel-novel yang telah dibeli, seperti Teka-Teki Rumah Aneh dari Uketsu misalnya.

Skor: 6/10


Lawang, 12 September 2025, terinspirasi setelah membaca buku A Midsummer’s Equation karya Keigo Higashino

Continue Reading

Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Sang Alkemis

Published

on

By

Pada suatu saat, ada seorang teman yang bertanya apakah Penulis pernah membaca novel The Alchemist (atau Sang Alkemis dalam bahasa Indonesia) karya Paolo Coelho. Meskipun sering melihat buku tersebut di toko buku, Penulis tidak pernah kepikiran untuk membelinya.

Nah, di awal bulan Februari kemarin ketika Penulis ke Jakarta, Penulis jalan-jalan ke Pondok Indah Mall (PIM) selepas kerja, karena tempat tersebut memang sering Penulis kunjungi untuk sekadar “cuci mata”. Tentu, salah satu destinasinya adalah Gramedia PIM.

Entah ada dorongan apa, Penulis akhirnya memutuskan untuk membeli novel Sang Alkemis saat itu bersama dengan komik Spy X Family vol. 13. Siapa sangka, novel tipis ini langsung menjadi salah satu favorit Penulis dan tandas dalam waktu singkat!

Sebelum lanjut, spoiler alert!

Detail Buku Sang Alkemis

  • Judul: Sang Alkemis (The Alchemist)
  • Penulis: Paolo Coelho
  • Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan: Ke-48
  • Tanggal Terbit: Januari 2025
  • Tebal: 224 halaman
  • ISBN: 9786020656069
  • Harga: Rp69.000

Sinopsis Buku Sang Alkemis

Setiap beberapa puluh tahun, muncul sebuah buku yang mengubah hidup para pembacanya selamanya. Novel Paulo Coelho yang memikat ini telah memberikan inspirasi bagi jutaan orang di seluruh dunia. Kisah yang sangat sederhana, namun menyimpan kebijaksanaan penuh makna, tentang anak gembala bernama Santiago yang berkelana dari rumahnya di Spanyol ke padang pasir Mesir untuk mencari harta karun terpendam di Piramida-Piramida. Di perjalanan dia bertemu seorang perempuan Gipsi, seorang lelaki yang mengaku dirinya Raja, dan seorang alkemis––semuanya menunjukkan jalan kepada Santiago untuk menuju harta karunnya.

Tak ada yang tahu isi harta karun itu, atau apakah Santiago akan berhasil mengatasi rintangan-rintangan sepanjang jalan. Namun perjalanan yang semula bertujuan untuk menemukan harta duniawi berubah menjadi penemuan harta di dalam diri.

Kaya, menggugah, dan sangat manusiawi, kisah Santiago menunjukkan kekuatan mimpi-mimpi dan pentingnya mendengarkan suara hati kita.

Isi Buku Sang Alkemis

Sesuai dengan sinopsisnya, novel ini berfokus ke petualangan yang dialami oleh seorang gembala bernama Santiago, yang berasal dari Spanyol. Berdasarkan petunjuk dari seorang perempuan Gipsi, ia dituntun untuk mencari harta karun di Piramida Mesir.

Awalnya, ia tak menggubris omongan perempuan Gipsi tersebut. Namun, kemudian ia bertemu dengan seseorang yang mengaku sebagai “raja Salem”. Santiago pun akhirnya merasa yakin untuk mencoba berburu harta karun tersebut.

Santiago memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya, lantas menjual semua dombanya agar mendapatkan uang untuk modal berburu harta karun. Ia pun menyeberangi lautan yang memisahkan benua Eropa dan Afrika.

Naas, ia justru langsung ditipu dan harus kehilangan semua uangnya. Untuk bisa menyambung hidup, ia pun bekerja dengan penjual kristal dengan niat mengumpulkan uang agar bisa kembali ke Spanyol dan kembali menjadi seorang gembala.

Setelah beberapa bulan, uangnya mulai terkumpul. Apalagi, ia adalah anak muda yang memiliki banyak ide cemerlang. Pada satu titik, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mencari harta karunnya dan mengurungkan niat untuk kembali ke Spanyol.

Lantas, ia pun menjadi rombongan yang melintasi gurun pasir, di mana ia bertemu dengan seorang Inggris yang sedang mencari “Sang Alkemis” karena ingin memiliki ilmu mengubah apa pun menjadi emas.

Mereka singgah di sebuah oasis, berlindung dari perang antarsuku yang sedang terjadi. Di oasis tersebut, hidup sekelompok orang yang hidup dengan damai. Menariknya, di sini Santiago bertemu dengan wanita yang menarik perhatiannya, Fatima.

Tanpa disangka, justru Santiago yang bertemu dengan Sang Alkemis, yang memandunya untuk menemukan harta karun tersebut. Ketika akhirnya berhasil mencapai Piramida, ia sadar bahwa apa yang ia cari selama ini berada di tempat ketika ia memulai semuanya.

Setelah Membaca Sang Alkemis

Penulis membaca novel ini tanpa ekspektasi apa pun, toh novel ini juga tipis sehingga fine-fine saja untuk dibaca di kala senggang. Namun, pada akhirnya Penulis justru tertarik masuk ke dalam ceritanya seolah Penulis ikut bertualang bersama Santiago.

Secara cerita, premis yang ditawarkan oleh Sang Alkemis sederhana saja dengan gaya bahasa yang terkadang puitis, tapi masih mudah dicerna. Namun, kisahnya penuh dengan makna dan banyak sekali kalimat yang quotable. Ada beberapa yang Penulis sukai, seperti:

  • Kalau kau menaruh perhatian pada saat sekarang, kau bisa memperbaikinya. Dan kalau kau memperbaiki saat sekarang ini, apa yang akan datang juga akan lebih baik.
  • Orang-orang takut mengejar impian-impian mereka yang paling berharga, sebab mereka merasa tidak layak mendapatkannya, atau tidak tidak akan pernah bisa mewujudkannya.
  • Bahwa pada saat-saat paling gelap di malam hari adalah saat-saat menjelang fajar.
  • Hanya ada satu hal yang membuat orang tak bisa meraih impiannya: takut gagal.
  • Itulah yang dilakukan oleh para alkemis. Mereka menunjukkan bahwa kalau kita berusaha menjadi lebih baik, segala sesuatu di sekitar kita akan ikut menjadi lebih baik.

Inti cerita dari novel ini adalah perjalanan sama penting dengan tujuan. Hal ini digambarkan dengan baik dengan loop yang harus dialami oleh Santiago, di mana apa yang ia kejar selama ini ternyata berada tepat di bawah kakinya.

Bahkan, menurut Penulis sebenarnya ini adalah buku pengembangan diri berkedok novel. Beberapa contoh di quote di atas bahkan seolah datang yang tepat di saat Penulis membutuhkannya, sehingga begitu memorable di kepala.

Memang, rasanya novel ini kurang related di keseharian kita karena Santiago sering sekali bertemu dengan keberuntungan, walau ada beberapa momen dia juga tertimpa sial. Setidaknya, mindset positif yang ia miliki untuk bertahan hidup bisa coba kita terapkan dalam hidup ini.

Terlepas dari itu, satu hal menarik lainnya adalah bagaimana Santiago bertemu dengan banyak umat muslim sepanjang perjalanannya. Sangat jarang Penulis menemukan ini di novel terjemahan, tapi masuk akal karena Santiago melakukan perjalanan ke Piramida di Mesir.

Tak hanya itu, ia juga menemukan tambatan hatinya di kampung muslim. Namun, ini sedikit menimbulkan pertanyaan karena di awal cerita, ia memiliki perasaan kepada anak pemilik toko roti. Ini menimulkan kesan kalau si anak pemilik toko roti sama sekali tak memiliki peran signifikan dalam cerita.

Buku ini memang memiliki unsur supernatural, yang biasanya tidak Penulis sukai kecuali di novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya dan seri Funiculi Funicula. Namun, karena unsur tersebut hanya hadir sebagai bumbu pelengkap (seperti bahasa universal), Penulis tak terlalu mempermasalahkannya.

Secara keseluruhan, Sang Alkemis merupakan salah satu novel terbaik yang pernah Penulis baca. Gara-gara novel ini, Penulis jadi penasaran dengan novel Paolo Coelho yang lain. Apakah Pembaca ada rekomendasi?

Skor: 9/10


Lawang, 9 April 2025, terinspirasi setelah membaca buku Sang Alkemis karya Paolo Coelho

Continue Reading

Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Anak-Anak Semar

Published

on

By

Cerita pewayangan selalu menarik bagi Penulis. Walau bukan tipe orang yang hafal semua lore dalam pewayangan, setidaknya kalau diajak ngobrol tentang topik ini bisa nyambung. Oleh karena itu, Penulis punya beberapa judul novel yang bertemakan pewayangan.

Beberapa contoh novel pewayangan yang pernah Penulis ulas di blog ini adalah Kitab Omong Kosong dari Seno Gumira Ajidarma dan Anak Bajang Menggiring Angin dari Sindhunata. Dua-duanya menarik, sehingga jika salah satu merilis novel wayang baru, Penulis akan membelinya.

Nah, oleh karena itu, Penulis memutuskan untuk membeli novel berjudul Anak-Anak Semar yang ditulis oleh Sindhunata. Apalagi, mayoritas cerita wayang yang Penulis baca selama ini jarang mengulas tentang salah satu anggota Punakawan tersebut.

Detail Buku Ngomongin Uang

  • Judul: Anak-Anak Semar
  • Penulis: Sindhunata
  • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan: Pertama
  • Tanggal Terbit: Juni 2022
  • Tebal: 204 halaman
  • ISBN: 9786020662084
  • Harga: Rp128.000

Sinopsis Buku Ngomongin Uang

Maka kau adalah samar, ya, Semar. Janganlah kau samar terhadap kegelapan, jangan pula kau samar terhadap terang. Hanya dengan hatimu yang samar, kau dapat melihat terang dalam kegelapan, kebaikan dalam kejahatan. Hanya dengan hatimu yang samar pula, kau dapat melihat kegelapan dan terang, kejahatan dalam kebaikan.


Anak-anak Semar karya Sindhunata berkisah tentang Semar sebagai pembawa harapan dan pengingat akan nilai-nilai serta akar budaya di tengah zaman yang bergerak begitu cepat. Dalam buku dengan ilustrasi lukisan karya Nasirun ini, wajah Semar kerap berubah-ubah. Kadang ia disebut Sang Pamomong, sosok yang selalu melindungi rakyat kecil dan tertindas. Lain waktu, ia juga seperti pohon rindang yang dengan samar bayangannya bisa memberikan keteduhan bagi siapa pun yang ada di dekatnya.

Isi Buku Anak-Anak Semar

Tidak seperti judulnya, Anak-Anak Semar tidak bercerita tentang Bagong, Petruk, dan Gareng. Jujur, Penulis tidak benar-benar paham apa maksud dari judul tersebut karena novel ini justru bercerita tentang perjalanan dan perenungan Semar.

Yang Penulis tangkap, “anak-anak” di sini sebenarnya ditujukan kepada masyarakat yang ada di dalam novel ini sekaligus kita sebagai pembaca novel ini. Kita ini anak-anak yang masih membutuhkan keberadaan Semar, yang diceritakan sempat menghilang tanpa sebab.

Novel ini terdiri dari enam bab utama, yakni:

  1. Semar Mencari Raga
  2. Semar Hilang
  3. Semar Mati
  4. Semar Mbangun Khayangan
  5. Semar Boyong
  6. Semar Minggat

Dari keenam judul tersebut, kita sudah mendapatkan gambaran kasar mengenai perjalanan yang akan dihadapi oleh Semar di novel ini: bagaimana ia “melepaskan” rohnya dari jasadnya, lalu bagaimana hilangnya Semar menimbulkan kegemparan, hingga anggapan bahwa Semar telah mati.

Setelah itu, setelah melalui perenungan dalam di alam khayangan (karena sejatinya Semar adalah dewa), ia berkeinginan untuk membuat “khayangannya” sendiri di dunia, lalu kembali ke bumi. Lantas, mengapa di akhir justru ia “minggat”? Temukan jawabannya di novel ini.

Setelah Membaca Anak-Anak Semar

Sejujurnya, jika dibandingkan dengan novel Anak Bajang Menggiring Angin, Anak-Anak Semar lebih berat untuk dicerna. Alasannya, novel ini lebih banyak berisikan kalimat-kalimat monolog untuk menggambarkan situasi yang terjadi, baik ketika ada Semar maupun tidak.

Dialog yang ada lebih sering digunakan untuk mendukung situasi yang sedang terjadi. Misal, kegemparan ketika Semar menghilang, banyak dialog dari masyarakat yang menunjukkan keresahan. Selain itu, dialog juga terjadi ketika dalang sedang menceritakan kisah wayang.

Oleh karena itu, meskipun novelnya tipis, Penulis cukup lama menamatkannya. Ada banyak sekali bagian yang membuat Penulis harus berpikir keras untuk bisa memahaminya. Terkadang, sudah pelan-pelan membacanya pun Penulis masih kesulitan.

Tipisnya novel ini (hanya sekitar 200 halaman) juga menjadi kekurangan buku ini, karena harganya cukup mahal! Penulis tidak memahami apa alasan novel ini dilabeli harga Rp128 ribu, ketika buku lain yang memiliki ketebalan mirip biasanya dilabeli sekitar 70-80 ribu.

Namun, masih banyak hal positif dari novel ini. Keindahan pemilihan kata oleh Sindhunata jelas tak perlu diragukan lagi. Meskipun memang tak mudah dipahami, setidaknya kita akan dibuai dengan keindahan bahasa yang beliau tuliskan.

Sama seperti novel Anak Bajang Menggiring Angin, ada banyak filsafat jawa yang disisipkan dalam novel setipis ini. Salah satu yang paling sering dibahas adalah bagaimana pentingnya untuk merenungi diri sendiri, seperti yang sering Semar lakukan pada novel ini.

Selain itu, ada banyak ilustrasi menarik yang dibuat oleh Nasirun. Ilustrasi tersebut menggambarkan Semar dalam berbagai wujud. Cukup banyak ilustrasi yang terdapat di novel ini, setidaknya satu di setiap babnya.

Dengan berbagai penilaian tersebut, Penulis kurang merekomendasikan novel ini untuk orang yang masih awam dengan dunia perwayangan karena pasti akan terasa berat. Namun, jika memang sudah mengetahui banyak tentang dunia wayang, buku ini akan menjadi bacaan yang menarik.

Skor: 6/10


Lawang, 19 Juli 2024, terinspirasi setelah membaca buku Anak-Anak Semar karya Sindhunata

Continue Reading

Facebook

Tag

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan