Connect with us

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan

Published

on

Mungkin sudah banyak yang mengetahui kalau polisi yang tak bisa disuap di Indonesia, menurut Gus Dur, hanya ada tiga: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng. Karena muncul dari mulut mantan presiden Republik Indonesia, tentu nama Hoegeng berhasil menarik perhatian banyak orang, termasuk Penulis.

Oleh karena itu, Penulis pun akhirnya ingin mengetahui lebih dalam tentang sosok Hoegeng dan membeli buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan yang ditulis oleh Suhartono. Buku ini disusun berdasarkan dari kisah yang diceritakan mantan sekretaris Hoegeng, yaitu Soedharto.

Mengingat bukunya yang cukup tipis, Penulis tidak terlalu berharap kalau isinya akan menceritakan kisah hidup Hoegeng secara rinci dan lengkap. Namun, mengingat buku ini diterbitkan oleh Kompas yang terkenal akan kualitasnya, Penulis pun memutuskan untuk membacanya.

Detail Buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan

  • Judul: Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan
  • Penulis: Suhartono
  • Penerbit: Penerbit Buku Kompas
  • Cetakan: Ketujuh (Edisi Revisi)
  • Tanggal Terbit: September 2022
  • Tebal: 182 halaman
  • ISBN: 9789797097691
  • Harga: Rp75.000

Sinopsis Buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan

“Di Indonesia hanya ada tiga polisi yang tak bisa disuap: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng” — KH Abdurrahman Wahid

Generasi muda kini mungkin tak lagi tahu, Hoegeng yang dimaksud Presiden Abdurrahman Wahid dalam kata katanya di atas adalah almarhum Jenderal (Pol.) Hoegeng Iman Santoso, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) di zaman transisi Orde Lama menuju Orde Baru. Sebagai polisi, Hoegeng dikenal jujur, sederhana, dan tak kenal kompromi. Karenanya, seperti polisi tidur, ia tak bisa disuap.

Namun, bagaimana kiprah Hoegeng ketika ia dipercaya Presiden Soekarno menjadi Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet dan Menteri Iuran Negara, serta Kepala Jawatan Imigrasi Indonesia pada periode tahun 1961-1966?

Buku ini tak hanya menuturkan keteladanan Hoegeng sebagai polisi dan birokrat. Juga ada kisah hubungan Hoegeng dan Soedharto Martopoespito yang berakhir tragis. Cengkeraman kekuasaan Orde Baru memutuskan hubungan akrab di antara keduanya. Setelah Hoegeng bergabung dengan kelompok Petisi 50, sebagai PNS di kantor Menko Polkam, Dharto tak pernah berani lagi berhubungan secara pribadi dengan mantan atasannya itu.

Ditulis oleh Suhartono, wartawan harian Kompas berdasarkan kisah Soedharto Martopoespito, mantan sekretaris Hoegeng.

Isi Buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan

Berbeda dengan kebanyakan buku biografi pada umumnya yang menjelaskan kisah biografi secara kronologis, buku ini tidak menceritakan kisah hidup Hoegeng seperti itu. Bisa dibilang, format yang digunakan mirip dengan Seri Tokoh Tempo.

Edisi revisi ini menambahkan tiga bab yang diletakkan di depan lima bab sebelumnya. Ketiga bab tersebut berfungsi sebagai pelengkap, karena lima bab asli buku ini benar-benar murni dari hasil wawancara dengan mantan sekretaris Hoegeng.

Tiga bab tambahan tersebut berjudul 1) Antara Hoegeng dan Bung Karno 2) Legenda versus Realitas 3) Diusulkan Pahlawan Nasional. Sedangkan lima bab aslinya sendiri berjudul 4) Mengenal Hoegeng 5) Kesederhanaan Tanpa Pamrih 6) Kenangan Tugas Masa Lalu 7) Pegangan Hidup 8) Hari-Hari Bersama Keluarga 9) Silahturami yang Terputus.

Bisa dilihat dari judul bab-bab tersebut jika format buku ini bukan kronologis seperti kebanyakan buku biografi. Sebagian besar buku ini menyorot sepak terjang Hoegeng ketika memiliki sekretaris Soedarto. Di luar itu, tidak banyak hal yang dibahas.

Tentu ada bagian-bagian yang menjelaskan bagaimana Hoegeng sebagai polisi, menteri, bahkan anggota Petisi 50 bersama Ali Sadikin dan lainnya. Namun, sekali lagi, buku ini lebih banyak menyorot hubungan personal antara Hoegeng dan Soedharto.

Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan

Setelah membaca buku ini, jujur saja Penulis merasa kecewa karena isinya yang kurang mendalam dan justru terlalu fokus dengan hubungan Hoegeng dan mantan sekretarisnya. Memang hal tersebut disebutkan dalam sinopsis, tapi Penulis tidak menyangka itu justru mendominasi isi buku ini.

Kalau boleh jujur, buku ini lebih cocok berjudul Hoegeng di Mata Mantan Anak Buahnya. Judul tersebut terasa lebih menggambarkan isi buku ini, seperti buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya. Pembaca jadi mendapatkan gambaran kalau isi bukunya ya memang menurut perspektif orang lain.

Kalau buku ini, dari judulnya tentu pembaca akan berekspektasi kalau isinya akan banyak mengulas kiprah Hoegeng sebagai polisi dan menteri. Memang dibahas, tapi sangat basic seperti informasi yang bisa ditemukan di Wikipedia.

Fakta-fakta menarik yang menunjukkan kesederhanaan Hoegeng pun rasanya sudah banyak dibahas entah di situs web maupun media sosial. Tidak ada yang spesial dengan isi buku ini, kecuali jika pembacanya mungkin belum pernah mendengar nama Hoegeng sama sekali.

Di sisi lain, mungkin hal tersebut membuat buku ini mudah dipahami karena isinya ya memang sederhana. Kalau untuk sekadar sebagai penambah insight tentang sosok Hoegeng yang luar biasa, buku ini bisa melakukannya.

Setidaknya, setelah membaca buku Hoegeng ini, kita bisa mendapatkan gambaran bagaimana sosok polisi jujur yang satu ini seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi kita semua. Hoegeng sudah seharusnya menjadi standar bagi para pejabat publik di Indonesia.

Untuk kisah hidup Hoegeng, Penulis jelas akan memberikan skor 10/10 untuk beliau. Akan tetapi, untuk kualitas bukunya sendiri, Penulis akan memberikan skor yang cukup rendah untuk ukuran buku terbitan Kompas.

Skor: 4/10


Lawang, 29 Juni 2024, terinspirasi setelah membaca buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan karya Suhartono

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Talking to My Daughter about the Economy

Published

on

By

Waktu kelas 10 SMA, Ekonomi adalah salah satu mata pelajaran yang kurang Penulis sukai karena menganggapnya mbulet. Namun, ketika dewasa, Penulis menyadari bahwa memahami ilmu ekonomi (setidaknya dasarnya) ternyata sangat penting.

Oleh karena itu, Penulis memutuskan untuk membaca atau menonton topik-topik ekonomi dan keuangan. Beberapa buku yang sudah Penulis baca adalah Ngomongin Uang, Why the Rich are Getting Richer, dan The Pschology of Money.

Nah, bisa dibilang judul-judul di atas lebih membicarakan tentang keuangan, bukan tentang ekonomi secara fundamental. Itulah alasan utama Penulis membeli buku Talking to My Daughter about the Economy karya Yanis Varoufakis.

Detail Buku Talking to My Daughter about the Economy

  • Judul: Talking to My Daughter about the Economy
  • Penulis: Yanis Varoufakis
  • Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
  • Cetakan: Ke-2
  • Tanggal Terbit: Januari 2025
  • Tebal: 144 halaman
  • ISBN: 9786024818111
  • Harga: Rp80.000

Sinopsis Talking to My Daughter about the Economy

Kenapa ada begitu banyak ketimpangan? Dalam buku ringkas ini, Yanis Varoufakis menjawab pertanyaan anak perempuannya yang begitu sederhana tapi juga begitu menggusarkan itu. Dengan menggunakan analogi dari cerita-cerita klasik maupun populer—dari Oidipus, Frankenstein, hingga The Matrix, ia menjelaskan apa itu ekonomi dan kenapa ekonomi punya daya yang dahsyat dalam membentuk hidup kita. Ia juga mengajak kita untuk merebut kembali ekonomi dari tangan para ekonom yang menurutnya hampir selalu keliru. Sebab, ia yakin, semakin ilmiah model ekonomi kita, semakin lemah relasinya dengan ekonomi nyata.

Isi Buku Talking to My Daughter about the Economy

Meskipun judulnya “about the economy“, sebenarnya buku ini berfokus pada memaparkan sejarah singkat kapitalisme. Jadi, kita tidak akan menemukan bentuk ideologi ekonomi lainnya, seperti sosialisme misalnya.

Buku ini sendiri memiliki 8 bab utama yang saling terkait, di mana setiap akhir bab biasanya akan memberi tease terkait apa yang akan dibahas di bab selanjutnya (mirip dengan formula di buku The Psychology of Money). Delapan bab yang ada dibuku ini adalah:

  1. Mengapa Begitu Banyak Ketimpangan
  2. Lahirnya Masyarakat Pasar
  3. Perkawinan antara Uang dan Laba
  4. Ilmu Hitam Perbankan
  5. Dua Pasar dengan Kompleks Oidipus
  6. Hantu Mesin
  7. Fantasi Berbahaya Uang Apolitis
  8. Virus Bodoh?

Kita akan diberi sejarah singkat bagaimana ekonomi dunia saat ini bisa seperti sekarang yang kita kenal, di mana kapitalisme bisa begitu dominan. Semua dijabarkan secara runtun, bahkan ditarik hingga masa Revolusi Pertanian sekitar 10 ribu tahun lalu.

Siapa yang menyangka kalau Revolusi Pertanian menciptakan sesuatu yang disebut sebagai “Pasar” alias konsumen karena menimbulkan surplus pangan. Ini berbeda ketika manusia masih berburu, di mana kita tidak menyimpan stok makanan karena daging cepat membusuk.

Perubahan sistem ekonomi di sejarah peradaban manusia juga terjadi akibat adanya invasi yang dilakukan oleh bangsa Eropa. Mengapa bangsa Eropa yang menjajah Australia atau wilayah lain, bukan sebaliknya? Hal tersebut juga dibahas di buku ini secara singkat.

Nah, invasi yang dilakukan bangsa Eropa juga terjadi karena mereka ingin menjual produk yang mereka hasilkan, apalagi setelah terjadi Revolusi Industri yang membuat produksi barang meningkat berkali-kali lipat.

Dalam Revolusi Industri, pengusaha tentu butuh modal. Nah, maka muncullah pemodal yang bisa meminjamkan uang, yang pada akhirnya menjadi cikal bakal sistem perbankan. Setelah produksi, tentu pengusaha membutuhkan pembeli agar bisa balik modal dan bayar hutang ke bank.

Semakin cepat proses produksi gara-gara Revolusi Industri, maka barang yang dihasilkan semakin banyak. Namun, pasar atau konsumen di negara sendiri tentu terbatas. Itulah kenapa bangsa Eropa berdagang dengan bangsa lain, terkadang dengan memaksa.

Nah, pembahasan sejarah kapitalisme di buku ini pun sampai ke era modern, bagaimana seiring berjalannya waktu sistem perekonomian yang kita miliki semakin rumit. Buku ini bahkan sempat menyinggung Bitcoin juga.

Dengan tebal tidak sampai 150 halaman, buku ini mampu memberikan sudut pandang yang menarik tentang ekonomi dan membuat kita sadar bahwa sistem yang kita gunakan saat ini ternyata berakar dari kemajuan kita sendiri, terkadang secara mengerikan.

Setelah Membaca Talking to My Daughter about the Economy

Memiliki tema ekonomi yang kerap terasa intimidatif dan mengerikan, buku ini justru memiliki gaya bahasa yang menarik. Pasalnya, penulis buku ini memosisikan diri sedang bercerita atau mengobrol dengan anak perempuannya, sehingga terasa dekat dan ringan.

Ekonomi terkenal karena memiliki banyak sekali istilah yang membingungkan orang awam. Nah, di buku ini, sangat jarang ditemukan istilah-istilah yang membuat kita berpikir keras. Benar-benar penjelasannya dibuat sesederhana mungkin.

Tak hanya itu, hal menarik lainnya tentang gaya penyampaian buku ini adalah bagaimana setiap bab selalu dikaitkan dengan hal-hal berbau pop culture atau mitologi sebagai analogi, sehingga kita sebagai pembaca bisa lebih membayangkan apa yang sedang dibahas.

Selain itu, dengan pendekatan sejarah, tentu buku ini berhasil menarik minat Penulis yang kebetulan juga penggemar sejarah. Apalagi, banyak analogi di buku ini yang menggunakan peristiwa asli, seperti ketika menceritakan tentang pasar rokok di camp tawanan.

Ada juga kritik yang bisa ditemukan di buku ini, seperti bagaimana kemajuan teknologi justru bisa berujung diperbudaknya manusia oleh ciptaannya sendiri. Dalam konteks ekonomi, kita bisa melihat sendiri bagaimana banyak manusia yang kini diperbudak oleh uang.

Dengan demikian, buku ini bisa dikatakan berhasil “membumikan” penjelasan ekonomi sehingga mudah dipahami. Menurut Penulis, buku ini cocok untuk pembaca muda yang ingin memahami mengapa sistem ekonomi berjalan seperti yang kita ketahui.

Namun, kelebihan tersebut juga bisa menjadi faktor kekurangan dari buku ini, alias isi buku ini tidak terlalu dalam. Buat orang yang sudah memahami dunia ekonomi, buku ini mungkin akan terasa seperti “remah-remah” saja.

Buku ini memang lebih cocok untuk dijadikan sekadar pengantar ke dunia ekonomi, bukan sebagai referensi ekonomi. Hanya sedikit pembahasan yang menawarkan solusi konkrit untuk sebuah permasalahan, padahal ia pernah menjadi Menteri Keuangan Yunani walau sebentar.

Terlepas dari itu semua, buku ini berhasil menjelaskan ekonomi, setidaknya sejarah kapitalisme, dengan mudah dan menyenangkan. Bahkan, menurut Penulis menjadi bacaan wajib anak-anak SMA agar memahami bagaimana dunia yang mereka huni bekerja.

Skor: 8/10


Lawang, 13 September 2025, terinpsirasi setelah membaca buku Talking to My Daughter about the Economy karya Yanis Varoufakis

Continue Reading

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan

Published

on

By

Filsafat selalu menjadi topik yang menarik bagi Penulis, meskipun harus diakui kalau dirinya tidak selalu paham. Walau begitu, hal tersebut tak menghalangi Penulis untuk membaca buku-buku filsafat, apalagi jika disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami.

Oleh karena itu, tentu buku karangan Fahruddin Faiz menjadi sesuatu yang menarik, karena beliau dalam video-videonya mampunya menjabarkan filsafat secara sederhana. Penulis sudah pernah membaca satu bukunya, sehingga ketika tahu ada buku baru, Penulis membelinya.

Berjudul Filsafat Kebahagiaan, buku ini langsung mencuri perhatian Penulis karena konsepnya yang terfokus pada satu topik: kebahagiaan. Ini adalah topik menarik untuk didalami, karena kita sebagai manusia kerap bingung mendefinisikan apa itu kebahagiaan.

Detail Buku Filsafat Kebahagiaan

  • Judul: Filsafat Kebahagiaan
  • Penulis: Fahruddin Faiz
  • Penerbit: Mizan Pustaka
  • Cetakan: Ketiga
  • Tanggal Terbit: Maret 2024
  • Tebal: 288 halaman
  • ISBN: 9786024413323
  • Harga: Rp89.000

Sinopsis Buku Filsafat Kebahagiaan

Orang boleh berbeda dalam banyak hal, tapi bakal bersepakat dalam satu hal: ingin bahagia. Sayangnya, makna bahagia itu tidak tunggal dan sama bagi semua orang. Bahagia bagi yang satu, boleh jadi bukan bahagia bagi yang lain. Bahagia itu ternyata macam-macam dan bisa saling bertentangan. Maka, layak sekali kalau orang bertanya: apa, sih, bahagia itu sebenarnya?

Empat orang bijak—Plato, al-Farabi, al-Ghazali, dan Ki Ageng Suryomentaram—menawarkan konsep kebahagiaan, berikut cara-cara mencapainya. Meski masing-masing mengambil pendekatan berbeda, ada beberapa kesamaan yang mencolok: bahwa orang mesti mengenal diri sendiri sebagai titik berangkat, dan orang menemukan diri sendiri sebagai titik tujuan. Mustahil orang mencapai kebahagiaan kalau tidak tahu siapa dirinya dan apa makna bahagia bagi dirinya.

Buku ini bakal memberi pencerahan bagi Anda yang mencari kebahagiaan sejati.

Isi Buku Filsafat Kebahagiaan

Sesuai dengan judulnya, buku ini akan mengulas filsafat kebahagiaan dari sudut pandang empat tokoh: Plato, al-Farabi, al-Ghazali, dan Ki Ageng Suryomentaram. Masing-masing memiliki pendekatan yang berbeda untuk mendefiniskan kebahagiaan.

Plato sebagai salah satu filsuf dari Yunani kuno tentu meletakkan fondasi untuk memahami kebahagiaan. Lalu, pemikiran tersebut dijabarkan lagi melalui pendekatan Islam melalui al-Farabi dan al-Ghazali yang lebih sufi.

Penulis secara pribadi tertarik dengan keputusan Faiz untuk memasukkan Ki Ageng Suryomentaram, yang tentu saja menyelipkan filsafat-filsafat Jawa. Dengan demikian, buku ini berisi filsafat Barat, Islam, dan Jawa.

Filsafat Kebahagiaan Versi Plato

Kalau menurut Plato, hakikat manusia adalah jiwanya, badan hanya manifestasi dari jiwa. Secara singkat, menurut Plato jiwa itu mengandung tiga unsur (di mana ketiga unsur ini dipengaruhi ole Eros atau cinta), yaitu:

  • Epithumia: Lambang nafsu manusia yang rendah, seperti makan, minum, seks
  • Thumos: Lambang hasrat, ambisi, atau harga diri, seperti afektivitas, rasa semangat, agresivitas
  • Logistikon: Lambang akal, rasio,

Ketiga unsur inilah yang akan memengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang menurut Plato. Apabila kita bisa mengendalikan ketiganya dan mampu menetapkan batasan, maka kita akan bisa menemukan kebahagiaan.

Filsafat Kebahagiaan Versi al-Farabi

Nah, konsep kebahagiaan yang diungkap oleh Plato bersifat indidualis. Menurut al-Farabi, kebahagiaan itu juga butuh hubungan sosial. Selain itu, kenikmatan yang punya nilai ibadah akan punya kualitas kebahagiaan yang lebih awet.

Ada satu quote yang cukup menohok di bagian al-Farabi,”Tuhan menciptakan kita untuk bahagia. Kalau mudah galau, Anda melecehkan Tuhan.” Tentu ini akan membuat kita jadi termenung dan berusaha bersyukur atas apapun yang sudah kita dapatkan hingga saat ini.

Bahagia menurut al-Farabi akan tercapai ketika jiwa terimplementasikan secara optimal. Caranya adalah dengan mengoptimalkan daya gerak, daya mengetahi, dan daya berpikir yang sudah menjadi fitrah manusia.

Jangan lupa, kebahagiaan juga harus didapatkan dari kebahagiaan sosial. Bukan hanya dari lingkup keluarga atau pertemanan, tapi juga dari negara. Bayangkan saja jika kita memiliki kehidupan yang baik, tiba-tiba negara merusaknya, maka kebahagiaan itu bisa hilang.

Oleh karena itu, menurut al-Farabi kunci kebahagiaan itu dipegang oleh filsuf, ulama, dan pemimpin negara. Kalau dari sendiri, kita harus bisa menakhlukkan jiwa untuk tercapai jiwa yang tenang dan terus melakukan perilaku utama atau kebajikan.

Filsafat Kebahagiaan Versi al-Ghazali

Kalau menurut al-Ghazali, kunci kebahagiaan itu adalah dengan mengenali diri sendiri. Dengan mengenal diri sendiri, kita juga akan bisa menemukan citra Tuhan dan mengenal Tuhan lebih dekat lagi.

Mirip dengan Plato, al-Ghazali menyebut manusia memiliki tiga unsur, yakni unsur hewan, setan, dan malaikat. Untuk bisa bahagia, manusia harus bisa mewaspadai syahwat dan amarah, serta terus mencari ilmu.

Filsafat Kebahagiaan Versi Ki Ageng Suryomentaram

Beda lagi dengan pendapatnya Ki Ageng Suryomentaram. Menurut beliau, rumus kebahagiaan itu bisa disingkat sebagai 6S yang intinya mengajak kita untuk hidup sederhana, yakni:

  1. Sakbutuhe (sekadar kebutuhan)
  2. Sakperlune (sekadar keperluan)
  3. Sakcukupe (sekadar kecukupan)
  4. Sakbenere (sekadar kebenaran)
  5. Sakmesthine (sekadar kepantasan/keharusan)
  6. Sakpenake (sekadar kenyamanan/kenikmatan)

Mirip dengan al-Ghazali, syarat bahagia versi Ki Ageng adalah mengerti diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar. Untuk bisa melakukannya, kita harus bisa hidup saat ini (saiki), di sini (ing kene), dan seperti ini (ngene).

Ki Ageng juga menekankan kalau kebahagiaan itu harus tergantung oleh kondisi internal tanpa tergantung dengan kondisi eksternal. Kita juga harus bisa mengendalikan keinginan diri, entah kesenangan fisik, reputasi, maupun status sosial.

Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan

Selama hampir tujuh tahun menulis artikel ulasan buku di blog ini, rasanya baru kali ini bagian “Isi Buku” sepanjang sekarang. Salah satu alasannya adalah agar Penulis bisa mengingat apa saja isi dari buku ini, yang menurut Penulis sangat penting untuk kehidupannya.

Walau sudah menulis sepanjang itu, percayalah bahwa masih ada banyak bagian yang tidak Penulis banyak. Buku ini memang tergolong tipis, tapi isinya sangat padat dan daging semua. Karena begitu menarik, Penulis bisa menyelesaikan buku ini dengan cukup cepat.

Seperti yang sudah Penulis singgung di awal, buku ini benar-benar menggambarkan ciri khas Fahruddin Faiz yang bisa menyampaikan hal berat menjadi ringan sehingga bisa dipahami oleh semua orang, bahkan yang asing dengan dunia filsafat sekalipun.

Kata filsafat yang selama ini terkesan mengerikan berhasil diubah menjadi menyenangkan dan terkesan santai untuk dipelajari. Sama sekali tidak ada penjelasan yang njelimet yang membuat kita harus membaca ulang lagi.

Lantas, apakah buku ini akan membuat kita langsung paham apa itu kebahagiaan? Tentu tidak semudah itu. Pada akhirnya, kebahagiaan itu tanggung jawab kita sendiri. Buku ini hanya hadir untuk membantu kita menemukan kebahagiaan itu.

Bahagia adalah bagian dari diri manusia, dan sudah sewajarnya manusia mengejar kebahagiaan dengan cara-cara yang benar. Manusia sudah sewajarnya merasa bahagia, karena itu adalah fitrah kita sebagai manusia.

Semoga saja makin banyak topik-topik filsafat lain yang akan diulas oleh Fahruddin Faiz, dengan mempertahankan gaya bahasanya yang mudah dicerna. Saat ini Penulis sedang membaca buku Filsafat Moral, yang juga akan tandas dalam waktu dekat.

Skor: 9/10


Lawang, 4 Desember 2024, terinspirasi setelah membaca Filosofi Kebahagiaan karya Fahruddin Faiz

Continue Reading

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca The Book of Everyday Things

Published

on

By

Penulis sudah memiliki tiga buku tulisan Desi Anwar, yakni Hidup Sederhana, Going Offline, dan Apa yang Kita Pikirkan Ketika Kita Sendirian. Penulis merasa cocok dengan gaya penulisannya, sederhana tapi bermakna.

Oleh karena itu, tak heran jika Penulis sampai menambah satu buku lagi tulisan Desi Anwar. Kali ini, sudut pandang yang diambil cukup menarik, dengan judul The Book of Everyday Things.

Saat membaca sekilas isinya, Penulis merasa sedikit terkejut karena buku ini membahas literally hal-hal remeh yang sering kita abaikan begitu saja karena telah menjadi bagian dari hidup kita sejak lama. Ternyata, ada banyak sudut menarik dari benda-benda tersebut.

Detail Buku The Book of Everyday Things

  • Judul: The Book of Everyday Things
  • Penulis: Desi Anwar
  • Penerbit: Penerbit Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan: Pertama
  • Tanggal Terbit: Februari 2024
  • Tebal: 300 halaman
  • ISBN: 9786020675923
  • Harga: Rp149.000

Sinopsis Buku The Book of Everyday Things

Buku, bantal, sepatu, bolpoin, jam tangan, mainan, uang, dan sikat gigi… Ini adalah berbagai benda yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya begitu biasa sehingga kita menerimanya begitu saja, seolah-olah semua benda itu sudah menjadi bagian hidup kita. Pada kenyataannya, kemampuan untuk membuat benda mungkin adalah cara kita mendefinisikan spesies kita dan membuat kita berbeda dari makhluk hidup lainnya.

Coba tengok keadaan di sekitar kita perhatikan jumlah benda yang ada di sekeliling yang terus bertimbun sepanjang hidup kita. Seorang manusia mungkin mengawali hidupnya hanya dengan tarikan napas pertama, kemudian tidak membawa apa-apa ke dalam kuburnya selain yang dihiaskan orang lain pada jasadnya yang sudah tak bernyawa. Padahal, selama hidupnya, dia bergantung pada berbagai benda, bukan hanya untuk memungkinkannya berfungsi, melainkan juga agar memiliki identitas dan tujuan: Berbagai benda dan barang yang diciptakan dan diproduksi oleh sesama manusia yang dapat digunakan untuk mengendalikan serta memanipulasi lingkungannya dan menentukan takdirnya. Berbagai barang yang mengisi tidak hanya ruang yang ditempatinya, tetapi juga yang pada akhirnya mengacaukan dan menyesakkan seluruh Bumi, yang sekaligus menyisakan semakin sedikit ruang bagi makhluk hidup lainnya untuk berkembang.

The Book of Everyday Things adalah pengingat bahwa terlepas dari kemampuan spesies kita untuk menaklukkan alam dan menciptakan aneka benda menakjubkan untuk membuat hidup kita lebih nyaman, obsesi kita untuk memproduksi dan mengonsumsi beragam benda mungkin justru membuat kita makin tidak memahami tujuan sebenarnya keberadaan kita. Bahwa mungkin kebahagiaan sejati tidak hanya terletak pada berbagai benda buatan manusia, tetapi juga menghargai apa yang diberikan alam kepada kita.

Isi Buku The Book of Everyday Things

Sesuai dengan judulnya, buku ini dibagi menjadi beberapa bab dengan judul benda atau sesuatu yang menemani keseharian kita. Total, ada 30 bab yang awalnya bagi Penulis tak akan menarik untuk dibahas, yakni:

  1. Buku
  2. Bantal
  3. Roti
  4. Surat
  5. Pernak-pernik
  6. Teh
  7. Uang
  8. Kucing
  9. Keluarga
  10. Sepatu
  11. Jam Tangan
  12. Foto
  13. Televisi
  14. Sabun
  15. Mainan
  16. Alat Tulis
  17. Mimpi
  18. Sekolah
  19. Ingatan
  20. Seni
  21. Bendera
  22. Kematian
  23. Topeng
  24. Sikat Gigi
  25. Rumah
  26. Kekuatan Adikodrati
  27. Gula
  28. Cahaya
  29. Informasi
  30. Limbah

Setiap babnya memiliki ketebalan yang bervariasi, tapi tidak ada yang terlalu memonopoli karena cukup seimbang. Dengan ketebalan hingga 300 halaman, setiap bab kurang lebih memiliki 10 halaman.

Mungkin banyak yang kebingungan, apa menariknya membahas bantal? Penulis juga sempat berpikir seperti itu. Namun, setelah membaca, ternyata ada banyak sekali hal menarik yang bisa dibahas dari sebuah bantal.

Di setiap babnya, Desi Anwar menggunakan dua pendekatan, yakni bagaimana pengalaman pribadinya terhadap benda tersebut dan menyisipkan sejarah penggunaan benda tersebut dalam peradaban manusia.

Mengingat Penulis merupakan penggemar sejarah, tentu mengetahui bagaimana sebuah benda yang kerap diabaikan begitu saja memiliki sejarah yang panjang menjadi hal yang sangat menarik.

Kita kadang meremehkan benda-benda ini karena sudah terlalu biasa dengan keberadaannya tanpa pernah bertanya bagaimana benda ini bisa hadir di dunia dan memudahkan kehidupan kita. Ujungnya, hal ini akan membantu kita merasa bersyukur dengan keberadaannya.

Tiga puluh benda (atau hal) yang ada di dalam buku ini tidak terkait satu sama lain, sehingga Pembaca bisa membacanya lompat-lompat tergantung benda mana yang paling membuat penasaran.

Setelah Membaca The Book of Everyday Things

The Book of Everyday Things menjadi bukti bahwa ide itu bisa datang dari mana saja. Siapa yang bisa menyangka kalau bantal bisa menjadi sepuluh halaman tulisan? Jelas buku ini menjadi inspirasi Penulis dalam mengisi blognya, terutama ketika sedang buntu ide.

Untuk gaya kepenulisan, rasanya tak perlu meragukan kemampuan Desi Anwar. Dijamin, walau benda yang dibahas terkesan remeh, pembahasan yang disajikan tetap menarik dan tidak membuat bosan. Buktinya, Penulis bisa menyelesaikan buku ini dengan cepat.

Selain itu, buku ini juga dipenuhi dengan berbagai ilustrasi yang menarik dengan nuansa oranye. Hal ini memang menambah daya tarik buku ini, tapi sekaligus membuat harganya menjadi lebih mahal, yakni Rp149.000.

Ada satu hal yang kurang sreg buat Penulis. Buku ini berjudul The Book of Everyday Things, di mana things diterjemahkan sebagai “benda.” Namun, beberapa bab di buku ini justru membahas hal yang tidak bisa dianggap sebagai benda.

Kucing dan keluarga jelas kurang cocok untuk dianggap sebagai benda, karena mereka makhluk hidup. Mimpi dan kematian lebih cocok dianggap sebagai peristiwa. Bahkan cahaya dan informasi pun bukan sesuatu yang tangible.

Mungkin Desi Anwar memiliki alasan dan penerjemahan sendiri mengapa memasukkan hal-hal tersebut ke dalam buku ini, sehingga Penulis juga tidak terlalu mempermasalahkannya. Hanya saja, Penulis merasa masih ada benda-benda lain yang layak untuk dibahas olehnya.

Secara keseluruhan, Penulis merasa buku ini adalah bacaan santai yang membuat kita mendapatkan banyak insight menarik sekaligus mengajak kita merenungi keberadaan benda-benda yang ada di keseharian kita.

Penulis merekomendasikan buku ini untuk siapa saja yang mudah merasa penasaran dengan hal-hal yang mungkin tidak terpikirkan orang lain. Buku ini akan sangat cocok untuk menjadi teman perjalanan yang menyenangkan.

Skor: 8/10


Lawang, 27 November 2024, terinspirasi setelah membaca The Book of Everyday Things karya Desi Anwar

Continue Reading

Facebook

Tag

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan