Connect with us

Olahraga

Hiperinflasi Pada Sepak Bola

Published

on

Transfer pemain sepakbola selalu menjadi topik yang sering dibicarakan oleh penggemar sepakbola. Berbagai rumor selalu menjadi headline tatkala memasuki pergantian ataupun pertengahan musim. Yang paling hangat tentu pertukaran striker antara Arsenal-Chelsea-Dortmund ketika transfer musim dingin 2018. Yang ingin saya tulis tentang transfer pemain ini adalah terkait dengan harga pemain sepakbola telah mengalami hiperinflasi.

Untuk memudahkan, saya akan menggunakan contoh transfer-transfer superstar dulu dan sekarang. Pada tahun 2003, Barcelona membeli Ronaldinho seharga 28 juta pounds atau setara dengan 550 miliar rupiah. Dengan jumlah yang sama, di tahun 2018 klub asal Spanyol Atletico Bilbao membeli Inigo Martinez dari Real Sociedad.

Inigo Martinez, Pemain Bilbao Seharga Ronaldinho (via goal.com)

Contoh lain, mantan pemain termahal di dunia yang kini menukangi Real Madrid, Zinadine Zidane, dibanderol seharga 53 juta pounds atau sama dengan 1,2 triliun rupiah. Lebih mahal sedikit, Liverpool mendapatkan seorang bek, Virgil Van Dijk, dari Southampton.

Pada tahun 2001, Zidane menjadi pemain termahal di dunia ketika Real Madrid membelinya dari Juventus. Rekor ini cukup bertahan lama hingga tahun 2009, ketika Real Madrid membeli Ricardo Kaka dari AC Milan dengan selisih harga yang tidak terlalu beda, 56 juta pounds. Rekor ini hanya bertahan sebentar karena di tahun yang sama Christiano Ronaldo juga diangkut dari Manchester United dengan harga 80 juta pounds.

Selang empat tahun, Gareth Bale mejadi pemain termahal di dunia dengan harga 85,3 juta pounds. Setelah didominasi Real Madrid, Manchester United membeli kembali Paul Pogba dari Juventus dengan harga 89 juta pounds pada tahun 2016. Sayang, pada tahun berikutnya, rekor tersebut langsung dipecahkan oleh Neymar yang dipinang PSG dari Barcelona seharga 200,6 juta pounds.

Jika digambarkan dalam bentuk grafis, seperti inilah rekor pemain termahal di dunia sejak 2001:

Grafik Rekor Transfer Pemain Sepakbola (Foto Istimewa)

Apa yang menyebabkan hiperinflasi ini bisa terjadi? Jelas banyak parameter yang bisa memengaruhi kondisi ini, namun yang jelas terlihat adalah masuknya investor-investor -terutama dari Timur Tengah- yang menggelontorkan dana yang hampir tak terhingga. Tengok saja Manchester City dan Paris Saint-Germain. Sebelumnya, ada Chelsea yang dibeli milyader asal Rusia, Roman Abramovich, walaupun dana yang disuntikkan tidak terlalu jor-joran seperti City dan PSG.

Sebelum dibeli pengusaha minyak, mereka bukanlah tim dengan prestasi yang mentereng jika dibandingkan dengan Real Madrid dan Barcelona. Setelah fulus masuk ke kantong mereka, datanglah para pemain-pemain bintang yang membuat mereka bisa menyaingi klub-klub yang telah memiliki tradisi panjang.

Skuad Manchester City Tahun 1999 (via http://www.citytilidie.com)

Pengaruh dari sisi positifnya, mereka membuat pertandingan semakin seru, terutama di Liga Champion. Dampak negatifnya, mereka membuat sepakbola terlihat sebagai olahraga yang mata duitan. Ujung-ujungnya, terjadinya kenaikan harga pemain yang ugal-ugalan.

Meskipun FIFA sudah berusaha menyeimbangkan kekuatan tim di masing-masing liga dengan FIFA Financial Fair, toh tetap saja klub-klub berduit masih bisa membeli pemain-pemain yang mereka inginkan. Teknik yang sedang populer adalah pinjan no jutsu, seperti yang dilakukan PSG terhadap Kylian Mbappe.

Sebagai penonton, yang bisa saya lakukan adalah menikmati pertandingan dan berharap banyak perpindahan pemain yang mengejutkan terjadi ketika bursa transfer dibuka, meskipun dalam hati kecil berandai-andai berapa banyak orang miskin yang terselamatkan dengan dana yang digunakan untuk membeli seorang Neymar.

 

 

Lawang, 1 Februari 2018, setelah bermain game Tropico 4

Sumber Foto: Sumberbola.com

Olahraga

Badai Cedera Manchester United yang Tak Kunjung Berlalu

Published

on

By

Merasa frustasi karena melihat Manchester United (MU) sudah menjadi hal yang biasa bagi para penggemarnya. Namun, melihat MU begitu kesulitan melawan sebuah klub dari EFL Championship merupakan another level of pain.

Dalam laga semifinal FA Cup yang berlangsung kemarin malam (21/4), sebenarnya MU cukup diuntungkan karena tidak langsung berhadapan dengan Chelsea ataupun Manchester City. Lawan MU cukup mudah, yakni Coventry City.

Walaupun sebenarnya tidak terlalu kaget jika MU melawak, Penulis tidak menyangka kalau mereka benar-benar terlihat memalukan ketika berhadapan dengan tim yang berada di peringkat 8 EFL Championship.

Meskipun lolos ke final, Penulis merasa malu sebagai penggemar. Namun, di sisi lain, Penulis berusaha mewajarkan hal tersebut mengingat MU sedang diterpa badai cedera yang begitu mengerikan.

Jalan Pertandingan Manchester United vs Coventry City

Sejak awal pertandingan, MU sebenarnya terlihat cukup mendominasi lawannya. Di babak pertama, MU telah unggul 2-0 lewat gol Scott McTominay dan Harry Maguire. Di menit 58, MU memperlebar jarak melalui sontekan Bruno Fernandes.

Sampai menit ke-70, Penulis mengira kalau posisi MU sudah cukup aman untuk mengunci tempat di babak final. Masa iya melawan tim sekelas Coventry City bisa di-comeback dalam waktu 20 menit. Penulis lupa, yang sedang Penulis lihat adalah MU.

Seperti yang sudah pernah Penulis bahas dalam tulisan “Biasakan Nonton MU Sampai Habis, LOL,” Penulis sudah mengutarakan kalau sekarang injury time adalah momen yang mengerikan bagi penggemar MU, berbeda dengan era Fergie ketika injury time menjadi hal yang menakutkan bagi lawan MU.

Hanya dalam rentang waktu 8 menit, Coventry City berhasil mengejar ketertinggalan lewat gol Ellis Simms dan Callum O’Hare, nama-nama yang jelas belum pernah Penulis dengar sebelumnya. Sejak itu, Penulis benar-benar cemas hingga rasanya ingin berhenti menonton pertandingan.

Benar saja, pada injury time, Coventry berhasil mendapatkan penalti setelah Aaron Wan-Bissaka melakukan handball di kotak terlarang. Haji Wright berhasil mengeksekusinya dengan baik dan memaksa MU bermain di babak tambahan waktu.

Mental Penulis terasa benar-benar hancur ketika Victor Torp mencetak gol pada menit 120+3 memanfaatkan counter attack. Untungnya, gol tersebut dianulir melalui VAR karena berbau offside. Pertandingan pun dilanjutkan ke babak adu penalti.

Sekali lagi, mental Penulis dibuat anjlok karena Casemiro sebagai penendang pertama MU gagal mencetak gol. Bau-bau kekalahan pun semakin tercium. Untungnya, Andre Onana juga berhasil menepis tendangan Callum O’Hare dengan sangat baik.

Penulis mulai bisa bernapas lega ketika tendangan Ben Sheaf tidak menemui titik sasaran. Rasmun Hojlund sebagai penentu berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik dan membawa MU berhasil lolos ke final FA Cup untuk yang kedua kalinya secara berturut-turut.

Di babak final, MU akan menghadapi Manchester City yang sebelumnya berhasil mengalahkan Chelsea juga melalui babak adu penalti. Ini akan menjadi ulangan final musim 2022/2023, di mana City berhasil keluar menjadi juara dan mengunci treble winners di musim tersebut.

Tentu Penulis merasa was-was karena mau tidak mau harus diakui kalau klub tetangga tersebut lebih superior dibandingkan MU. Melawan City yang Coventry saja kesulitan, apalagi yang Manchester? Apalagi, MU seolah sedang “dikutuk” karena banyaknya pemain yang cedera.

Manchester United Seolah Dikutuk dengan Badai Cedera

Rashford Alami Cedera pada Pertandingan Kemarin (Manchester Evening News)

Alasan selalu bisa dicari-cari, termasuk mengapa MU bisa terlihat kewalahan ketika menghadapi tim sekelas Coventry City. Seperti sebelumnya, alasan yang paling mudah adalah banyaknya pemain MU yang cedera dan tidak bisa dimainkan.

Hal ini bisa dilihat dari line up kemarin, di mana Casemiro sampai dipasang menjadi bek karena setidaknya ada 5 bek MU yang cedera, yakni Lisandro Martinez, Victor Lindelof, Raphael Varane, Jonny Evans, hingga bek muda Willy Kambwala.

Jangan lupa, dua bek kiri MU yakni Luke Shaw dan Tyrell Malacia (yang tak pernah kelihatan hingga penggemar mencurigai kalau ia telah “meninggal”) juga sudah lama cedera, hingga MU harus menggunakan Wan-Bissaka untuk mengisi posisi tersebut.

Di posisi gelandang ada Mason Mount dan Sofyan Amrabat yang juga cedera. Di posisi striker, Anthony Martial juga tak terlihat fit untuk dimainkan, walaupun para penggemar pun tak terlalu mengharapkan keberadaannya.

Entah mengapa klub ini seperti dikutuk dengan jumlah cedera yang begitu banyak di musim ini dengan lebih dari 60 kasus cedera yang berbeda. Praktis, hanya tersisa Antony, Christian Eriksen, Amad Dialo, dan kiper Altay Bayindir di bangku cadangan yang berasal dari skuad senior.

Apalagi, di pertandingan kemarin Marcus Rashford dan Scott McTominay juga terlihat harus meninggalkan lapangan karena mengalami cedera. Seumur hidup menjadi penggemar MU, baru kali ini Penulis melihat tim ini dihantam badai cedera yang begitu masif.

Jika tidak ada pemain yang sembuh, maka di pertandingan selanjutnya kemungkinan besar MU akan menggunakan susunan pemain: Onana; Dalot, Casemiro, Maguire, Wan-Bissaka; Eriksen, Mainoo; Antony, Fernandes, Garnacho; Hojlund.

Bisa dilihat, pemain MU benar-benar habis! Jika prediksi formasi tersebut benar, maka bisa dipastikan kalau di pertandingan selanjutnya pemain cadangan MU akan diambil dari pemain akademi seperti yang sudah terjadi pada pertandingan kemarin.

Tim medis yang dimiliki MU pun sampai dipertanyakan oleh penggemar. Mengapa bisa para pemain begitu mudah cedera? Apalagi, tak jarang cedera tersebut berlangsung untuk jangka waktu yang sangat panjang. Lihat saja kasus Malacia yang tak terlihat rimbanya.

Di tengah badai cedera ini, Penulis masih bisa sedikit bersimpati kepada Erik ten Hag selaku pelatih. Rasanya siapapun pelatihnya, kalau dihadapkan situasi sulit seperti sekarang, tentu saja akan sulit untuk meraih hasil yang maksimal.

Namun, keputusan-keputusan ten Hag di lapangan sendiri kadang menimbulkan pertanyaan. Keputusannya untuk menarik Garnacho dan Mainoo di pertandingan kemarin dianggap blunder, apalagi ternyata Rashford dan McTominay alami cedera.

Entah sampai kapan badai cedera ini akan berlalu. Meskipun kembalinya semua pemain tidak menjamin akan membuat permainan MU membaik, setidaknya ten Hag jadi memiliki lebih banyak opsi dalam menjalankan strateginya.


Lawang, 22 April 2024, terinspirasi setelah merasa malu dengan pertandingan yang dijalani MU ketika berhadapan dengan Coventry City di semifinal FA Cup

Foto Featured Image: Detik

Continue Reading

Olahraga

Asa Leverkusen untuk Mengejar Status Invincibles Sempurna

Published

on

By

Bayer Leverkusen sukses mencuri perhatian penggemar sepak bola di musim ini, setelah untuk pertama kalinya mereka berhasil meraih gelar Bundesliga sejak berdirinya klub pada tahun 1904.

Bagi para penggemar klub ini, tentu prestasi ini begitu menggembirakan. Namun, Penulis jujur merasa terkejut karena baru menyadari bahwa tim sebesar Leverkusen ternyata belum pernah menjuarai Bundesliga. Padahal, klub ini beberapa kali menjadi finalis Liga Champion.

Tidak hanya raihan juara liga yang membuat Leverkusen dianggap begitu luar biasa. Klub yang diasuh oleh Xabi Alonso ini juga belum terkalahkan di semua kompetisi yang mereka ikuti. Tidak hanya Bundesliga, mereka juga belum kalah di DFB Pokal dan Europe League.

Rekor Mengesankan Leverkusen yang Tak Terkalahkan

Hingga artikel ini ditulis, total Leverkusen sudah tak terkalahkan dalam 45 pertandingan di semua ajang yang mereka ikuti. Jumlah tersebut saja sudah sangat impresif karena mengalahkan rekor Juventus (43 laga tak terkalahkan) pada tahun 2011-2012.

Terbaru, mereka berhasil mempertahankan rekor tak terkalahkan setelah berhasil menahan imbang West Ham 1-1 di Europe League dan Borussia Dortmund di Bundesliga. Pertandingan yang terakhir bahkan berlangsung secara dramatis, di mana Leverkusen baru bisa mencetak gol di menit 90+7.

Sampai hari ini, belum pernah ada satu pun tim di liga-liga top Eropa yang mencatatkan diri tak terkalahkan di semua kompetisi. Mengingat pertandingan musim ini tinggal menghitung jari, apakah Leverkusen akan berhasil meraih status Invincibles yang sempurna?

Target tersebut tentu akan menjadi beban yang sangat berat bagi tim. Apalagi, mereka juga masih menargetkan meraih treble winners musim ini. Di Bundesliga, mereka masih akan berhadapan dengan Stuttgart, Frankfurt, Bochum, dan Augsburg. Jelas mereka bukan lawan yang mudah.

Di DFB Pokal, mereka sudah mengunci tempat di final dan akan berhadapan dengan Kaiserslautern pada tanggal 26 Mei 2024. Jalan yang paling terjal menurut Penulis adalah mereka harus berhadapan dengan AS Roma di semifinal Europa League.

Seandainya mereka bisa mengatasi Roma tanpa kalah, peluang untuk meraih Invincibles semakin terbuka lebar. Di babak final, Leverkusan akan berhadapan dengan Marseille atau Atalanta. Europe League tahun ini memang terasa seperti Champion League.

Asa untuk menjadi Invincibles, apalagi di semua kompetisi (tidak seperti Arsenal yang hanya Invincibles di Premier League), jelas masih ada. Leverkusen bisa sampai di titik ini tentu saja karena kehadiran Xabi Alonso sebagai pelatih.

Xabi Alonso the Savior

Saat Alonso direkrut dari Real Sociedad B untuk menjadi pelatih, posisi Leverkusen cukup mengenaskan dengan bertengger di posisi 17 pada musim 2022/2023. Secara ajaib, Alonso berhasil mengeluarkan Leverkusen dari zona degradasi dan finis di posisi 6.

“Keajaiban” Alonso ternyata berlanjut pada musim 2023/2024, bahkan dengan lebih luar biasa. Racikan strateginya ditambah dengan komposisi pemain yang dimiliki benar-benar sukses luar biasa.

Alonso kerap menerapkan strategi dengan formasi 3-4-2-1. Penulis sempat mencoba menggunakan Leverkusen di EA Sports FC 24 menggunakan tim ini dengan formasi tersebut, dan ternyata memang tim ini lumayan enak untuk digunakan.

Berkat penampilan impresif Leverkusen di semua ajang, Overall Rating dari para pemainnya pun mengalami kenaikan yang signifikan, terutama Florian Wirtz yang terakhir kali Penulis menggunakannya telah mencapai 90.

Alonso sebelumnya memang sudah diprediksi akan menjadi pelatih top oleh Jose Mourinho. Alasannya, ia bermain di tiga klub top (Liverpool, Real Madrid, Bayern Munich) dan dilatih oleh para pelatih top pula, mulai dari Rafael Benítez, Jose Mourinho, Carlo Ancelotti, hingga Pep Guardiola.

Selain itu, Penulis pernah menonton sebuah konten pendek di media sosial yang menyebutkan kalau pemain dengan posisi gelandang lebih berpeluang menjadi pelatih top dibandingkan dengan pemain yang berada di posisi lainnya.

Tidak percaya? Pep Guardiola , Zinedine Zidane, Diego Simeone, Antonio Conte, hingga Mikel Arteta merupakan gelandang top pada masanya. Namun, tentu tetap ada yang kurang berhasil seperti Frank Lampard dan Xavi Hernandez.

Tentu menarik apakah Xabi Alonso akan berhasil membawa Bayer Leverkusen meraih treble winner musim ini dengan status Invincibles di semua kompetisi. Jika ia dan timnya berhasil meraih rekor impresif tersebut, bisa dibilang ini akan menjadi Cinderella Story paling spektakuler di sepanjang sejarah sepak bola.


Lawang, 21 April 2024, terinspirasi setelah terkesima dengan pencapaian Bayer Leverkusen musim ini

Foto Featured Image: Goal

Continue Reading

Olahraga

Biasakan Nonton MU Sampai Habis, LOL

Published

on

By

Puasa hari ini (5/4) terasa sangat pahit bagi Penulis. Pasalnya, Penulis harus sahur dengan sesuatu yang sangat menyakitkan: Manchester United (MU) kalah secara menjijikkan ketika “Derby Badut” melawan Chelsea di Stanford Bridge, London.

Bagaimana tidak, MU yang awalnya tertinggal 0-2 berhasil membalikkan keadaan sejak menit 66 menjadi 3-2. Keunggulan tersebut berhasil dipertahankan hanya hingga menit ke-99, ketika Cole Palmer berhasil mencetak gol lewat penalti setelah pelanggaran yang dilakukan Diogo Dalot.

Penulis pun mengira hasil akhir akan menjadi imbang 3-3, sebelum di ujung laga Palmer lagi-lagi mencetak gol lewat tendangannya yang mengenai Scott McTominay. Dibobol menit 90+9 dan 90+11, bagi fans bola manapun, pasti rasanya menyakitkan.

Padahal Dulu Terkenal dengan Fergie Time

Fergie Time (Caught Offside)

Di masa jayanya, injury time atau tambahan waktu ketika berhadapan dengan MU menjadi momok yang menakutkan bagi lawan. Pasalnya, MU kerap berhasil mengonversi waktu yang tinggal sedikit menjadi gol penentu kemenangan.

Contoh paling fenomenal tentu saja kemenangan 2-1 atas Bayern Munich di final Liga Champion tahun 1999, di mana hingga babak tambahan waktu MU masih tertinggal 0-1, sebelum Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solkjaer berhasil mencetak gol.

Karena hal ini, istilah “Fergie Time” pun muncul untuk memberi psywar ke lawan. Apalagi, Sir Alex Ferguson kerap menampilkan gestur menunjuk ke arah jam tangannya untuk memberi lawan tekanan. Bayangkan, gestur sederhana seperti itu bisa membuat lawan ketakutan.

Hal yang berbeda terjadi di era sekarang, karena babak tambahan waktu justru menjadi momok yang menakutkan bagi penggemar MU. Bagaimana tidak, MU sudah beberapa kali terpeleset dan mengakibatkan hasil yang fatal untuk tim.

Selain pertandingan melawan Chelsea semalam, kekalahan paling menyesakkan di babak tambahan waktu adalah ketika berhadapan dengan Copenhagen di Liga Champion musim ini. Kekalahan tersebut menjadi salah satu faktor MU menjadi juru kunci di grup D.

Biasakan Nonton MU Sampai Selesai

Biasa Nonton MU Kalah di Akhir Pertandingan (CNN)

Seperti yang pernah Penulis bahas pada artikel sebelumnya, penggemar MU itu sombong-sombong. Salah satu paramternya adalah terkenalnya satu kalimat “biasakan nonton MU sampai selesai” yang menandakan adanya optimisme di akhir pertandingan.

Mungkin, hal tersebut masih terbawa dari era Sir Alex Ferguson dengan Fergie Time-nya yang “sakti.” Sayangnya, kesombongan tersebut terbawa hingga sekarang, meskipun kesaktiannya sudah berubah dan malah menguntungkan lawan.

Alhasil, semua penggemar MU, termasuk Penulis, yang tidak koar-koar kalimat tersebut pun menjadi terkena getahnya. Kalimat “biasakan nonton MU sampai selesai” berubah menjadi olok-olok yang membuat penggemar MU jadi merasa malu dan ingin masuk ke dalam gua.

Tentu saja, seperti pola-pola yang sudah sering terjadi, kalimat tersebut akan kembali disombongkan ketika MU berhasil menang di babak tambahan waktu. Padahal sudah jarang, sekalinya menang di tambahan waktu sombongnya kumat.

Maka dari itu, jangan heran jika kekalahan yang diderita oleh MU, apalagi dengan kekalahan yang menyakitkan seperti yang terjadi ketika melawan Chelsea semalam, akan ditertawakan oleh banyak penggemar klub sepak bola lainnya.

Penutup

Musim ini bisa dibilang menjadi salah satu musim di mana MU sangat tidak konsisten. Dalam satu pertandingan bisa bermain sangat heroik seperti ketika melawan Liverpool di FA Cup, dalam pertandingan lainnya bisa berantakan seperti ketika ditahan imbang Brentford.

Alhasil, kursi kepelatihan Erik ten Hag pun banyak digoyang oleh para penggemar yang tidak puas dengan performa tim. Ia menjadi target empuk atas amburadulnya penampilan MU yang musim ini benar-benar inkonsisten.

Namun, menurut Penulis pribadi, tentu ini bukan kesalahan ten Hag semata. Ada banyak sekali faktor yang menyebabkan hal ini, termasuk mengapa sekarang babak tambahan waktu justru menjadi sesuatu yang menakutkan bagi penggemar MU.

Semoga saja akan tiba masanya di mana babak tambahan waktu kembali berpihak ke MU, sehingga para penggemarnya yang sombong bisa dengan lepas mengatakan “biasakan nonton MU sampai habis.”


Lawang, 5 April 2024, terinspirasi setelah menonton pertandingan Manchester United vs Chelsea

Foto Featured Image: Man Utd News

Continue Reading

Facebook

Tag

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan