Olahraga
Benarkah Arab Saudi Merusak Sepak Bola?

Musim transfer kali ini benar-benar terasa aneh dan janggal. Alasannya apalagi kalau bukan karena banyaknya kepindahan pemain bintang ke Saudi Pro League atau Liga Arab Saudi yang tengah menjadi banyak sorotan masyarakat.
Karim Benzema dan N’Golo Kante (Al Ittihad), Edouard Mendy (Al Ahli), hingga Kalidou Koulibaly dan Ruben Navas (Al Hilal) telah dipastikan pindah ke sana. Sebenarnya Hakim Ziyech telah pindah ke An Nassr, tetapi batal karena gagal di tes medis.
Apakah hanya itu saja? Tentu saja tidak. Nama-nama tenar seperti Roberto Firminho, Bernardo Silva, Marcelo Brozovic, hingga Saul juga rasanya sebentar lagi akan segera ikut merapat. Penulis tak akan kaget kalau Neymar juga ikut pindah ke sana.
Mungkin penggemar sepak bola di Arab Saudi merasa bahagia dengan kepindahan ini karena mereka bisa melihat bintang sepak bola bermain di negara mereka. Namun, bagi penggemar sepak bola di berbagai belahan dunia lain, bisa jadi ini merupakan sebuah bencana.
Sepak Bola, Kunci Arab Saudi untuk Lepas Ketergantungan dari Minyak

Uang jelas menjadi salah satu daya tarik utama yang dimiliki oleh klub-klub di Arab Saudi. Apalagi, tim-tim besar di sana mendapatkan suntikan investor dari pemerintah langsung, sehingga mereka memang memiliki budget untuk mendatangkan pemain bintang.
Setelah membaca dan menonton dari berbagai sumber, ternyata salah satu alasannya adalah keinginan Arab Saudi untuk bisa lepas ketergantungan dari minyak pada tahun 2030. Nah, tourism menjadi salah satu alternatifnya.
Dengan mendatangkan banyak pemain bintang, maka Liga Arab Saudi akan lebih sering disorot oleh media. Dengan begitu, secara tidak langsung Arab Saudi “memanfaatkan” sepak bola untuk mengiklankan negaranya kepada dunia dan menarik perhatian turis.
Alasan yang sama juga berlaku untuk industri olahraga lainnya, termasuk Formula 1. Seperti yang kita ketahui, banyak sekali tuan rumah GP yang berasal dari Timur Tengah. Tidak hanya Arab Saudi, Qatar, Bahrain, hingga Uni Emirate Arab juga menjadi tuan rumah.
Olahraga memiliki pangsa pasar yang begitu besar, apalagi sepak bola yang universal. Bila berkaca pada Piala Dunia 2022 di Qatar, sepak bola memang bisa mendatangkan keuntungan besar bagi si penyelenggara. Bahkan, banyak sekali turis berdatangan dari seluruh dunia.
Oleh karena itu, wajar jika mereka berusaha untuk membuat liga mereka menjadi tenar, dan salah satu caranya adalah dengan mendatangkan pemain bintang. Diawali dengan Cristiano Ronaldo di awal tahun, pemain-pemain bintang lainnya pun mulai berdatangan.
Seberapa Sustain Liga Arab Saudi?

Fenomena seperti ini bukan kali pertama. Sebelumnya, beberapa tahun yang lalu, Liga Sepak Bola China juga membuat gempar dengan mendatangkan banyak pemain dunia ke negaranya. Beberapa yang Penulis ingat adalah Oscar dan Carloz Tevez.
Namun, Liga China tidak mampu bertahan lama dan fenomena tersebut hanya terdengar selama beberapa tahun. Hari ini, Penulis hampir tidak pernah mendengar kabari dari sana. Bahkan, teman Penulis menyatakan kalau liga di sana sudah hampir bangkrut.
Lantas, apakah Arab Saudi akan mengalami nasib yang serupa dengan Liga China? Bisa jadi, jika mereka gagal menghadirkan liga yang kompetitif dan menarik bagi penonton di dunia. Teman Penulis memprediksi kalau fenomena ini hanya akan bertahan sekitar 3 tahun.
Dengan mendatangkan pemain bintang, tentu budget gaji untuk mereka akan membengkak. Klub pun harus memutar otak bagaimana caranya agar bisa balik modal. Apakah yakin kalau hanya dari penjualan tiket dan merchandise saja sudah bisa nutup?
Meskipun memiliki investor langsung dari pemerintah, Penulis sendiri merasa skeptis kalau itu bisa bertahan untuk jangka panjang. Di mana-mana yang namanya investor, tentu tidak ingin terus merugi, kecuali kalau investornya benar-benar sabar.
Ketika klub-klub Arab Saudi sudah tidak mampu lagi membayar gaji selangit para pemainnya, tentu Liga Arab Saudi tidak akan lagi menarik. Pada akhirnya, keadaan pun akan kembali seperti semua, di mana mata dunia berfokus pada liga-liga di Eropa.
Lantas, Apakah Arab Saudi Merusak Sepak Bola?

Banyak penggemar bola yang menganggap Arab Saudi telah merusak sepak bola karena kebijakan transfernya di musim ini. Penawaran gaji yang bisa dibilang tidak masuk akal berhasil memikat banyak bintang dunia untuk “hijrah” ke sana.
Penggemar khawatir, nantinya akan makin banyak pemain bolah yang hebat pindah ke Liga Arab Saudi yang secara kompetitif sebenarnya tidak terlalu menarik. Tentu lebih enak melihat permainan Real Madrid daripada Al Nassr.
Pemain senior seperti Gary Neville pun berada di kubu yang sama, walau banyak yang menuding ia hipokrit karena diam saja ketika negara Arab membeli klub-klub Liga Inggris seperti Newcastle United dan Manchester City.
Bagi Penulis pribadi, rasanya Arab Saudi tidak akan merusak sepak bola. Lihat saja, pemain-pemain yang pindah ke Arab Saudi adalah pemain veteran yang masa keemasannya akan atau telah habis. Mereka tinggal menunggu waktu untuk pensiun saja.
Justru, menurut teman Penulis, pindahnya pemain veteran ke Arab Saudi justru akan membukakan pintu untuk para pemain muda menunjukkan kebolehannya dan mengisi “kekosongan” yang telah ditinggal seniornya.
Kecuali kalau tim-tim Arab Saudi berani bayar mahal demi mendatangkan pemain muda seperti Erling Haaland, Kylian Mbappe, hingga Vinicius Junior, barulah Penulis merasa ketar-ketir melihat masa depan sepak bola.
Penutup
Mendatangkan pemain bintang adalah salah satu strategi Arab Saudi untuk bisa bertahan jika nanti cadangan minyaknya telah habis. Oleh karena itu, Penulis sama sekali tidak menyalahkan mereka, bahkan merasa salut dengan strategi tersebut.
Mendatangkan pemain bintang mungkin perkara mudah bagi tim-tim Arab Saudi, tetapi mampu menghadirkan kompetisi yang seru dan menarik secara konsisten adalah pekerjaan berat. Kehadiran satu-dua pemain, mungkin tidak akan terlalu berpengaruh secara signifikan.
Satu hal yang Penulis khawatirkan adalah sustainability dari liga Arab Saudi itu sendiri, jangan sampai berakhir seperti Liga China. Namun, bisa jadi memang Arab Saudi menggunakan strategi ini untuk beberapa tahun saja, bukan untuk seterusnya.
Apapun itu, Penulis hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi para pemain bintang yang memutuskan untuk pindah ke Liga Arab Saudi. Hanya saja, mau sebanyak apapun pemain bintang yang datang, rasanya Penulis akan tetap tidak menonton Liga Arab Saudi.
Lawang, 3 Juli 2023, terinspirasi dari banyaknya bintang sepak bola yang pindah ke Liga Arab Saudi
Foto Featured Image: Eurosport
Olahraga
Manchester United Tidak Sedang Baik-Baik Saja

Minggu kemarin jelas bukan minggu yang menyenangkan bagi penggemar klub sepak bola Manchester United (MU). Pasalnya, ada begitu banyak masalah yang datang bertubi-tubi di awal musim 2023/2024 ini.
Selain banyak pemain inti yang cedera, MU juga dipusingkan dengan perseteruan yang terjadi antara pelatih Erik ten Hag dan Jadon Sancho. Tidak hanya itu, Anthony pun terlibat kasus kekerasan terhadap perempuan yang mirip dengan kasus Mason Greenwood.
Puncaknya adalah MU harus mengalami kekalahan yang memalukan atas Brighton & Hove Albion dengan skor 1-3 di kandang pada hari Sabtu (16/9). Ini menjadi kekalahan ketiga secara berturut-turut MU di Liga Inggris dalam lima pertandingan.
Tidak Ada Lagi Kambing Hitam di Skuad

Dulu ketika MU menderita hasil yang kurang baik, publik (terutama penggemar) akan dengan mudah mengambinghitamkan dua nama pemain, yakni Harry Maguire dan David De Gea. Alasannya sederhana, keduanya kerap melakukan blunder yang fatal.
Namun, musim ini berbeda karena De Gea tidak mendapatkan perpanjangan kontrak, sedangkan Maguire sudah resmi menjadi penghangat bangku cadangan. Alhasil, kini yang menjadi sasaran, berdasarkan media sosial, adalah sang pelatih Erik ten Hag.
Musim yang lalu, ten Hag dianggap sebagai sosok yang tepat untuk menukangi MU. Filosofi bermain sepak bolanya banyak dipuji, apalagi jika dibandingkan dengan era Ole Gunnar Solkjaer yang dianggap tidak punya filosofi.
Bahkan, banyak fans yang mendukung keputusannya yang membuang Cristiano Ronaldo karena dianggap tidak cocok dengan gaya bermainnya. Sang mega bintang pun ngambek dan akhirnya memutuskan untuk cabut ke Liga Arab Saudi.
Namun, hal yang berbeda terlihat di musim ini, di mana publik justru berbalik menghujat ten Hag. Ketidakmampuannya menangani Sancho dianggap sebagai bukti kalau ia memiliki people management yang buruk. Padahal, MU sedang krisis pemain terutama di lini depan.
Dengan keterbatasan pilihan pemain yang dapat dimainkan, ten Hag juga terlihat kurang solutif. Apalagi, penyakit lama para pemain yakni mental juga terlihat kambuh. Dalam beberapa pertandingan, Penulis sama sekali tidak melihat daya juang dari para pemainnya.
Pemain Baru Justru Menjadi Masalah?

Padahal, MU lumayan aktif di bursa transfer kemarin. Sayangnya, tampaknya belum semua nyetel dengan pola permainan MU. Andre Onana, kiper baru MU yang jago build up serangan, nyatanya sudah kebobolan 10 gol dari 5 pertandingan.
Penulis menemukan komentar yang menyebutkan bahwa baru sekarang lah terlihat betapa vital peran De Gea di bawah mistar gawang. Meskipun tidak mampu melakukan build up dan kadang melakukan blunder, harus diakui kemampuannya menghalau bola memang luar biasa.
Rasmus Højlund yang diharapkan menjadi ujung tombak baru juga belum terlihat tajinya, meskipun memang ia baru satu kali dimainkan secara penuh saat berhadapan dengan Brighton. Ia sempat membuat gol, walau akhirnya dianulir.
Namun, untuk kasus Højlund banyak yang justru menyalahkan Marcus Rashford yang dianggap terlalu egois. Dalam beberapa pertandingan, terlihat ia terlalu bernafsu untuk mencatatkan namanya di papan skor, sehingga Højlund tidak mendapatkan suplai bola.
Pemain baru MU lainnya justru harus menepi karena cedera, seperti Mason Mount dan Sofyan Amrabat. Untuk Sergio Reguilón sendiri, menurut Penulis setidaknya ia mampu mem-back up posisi bek kiri yang ditinggal Luke Shaw dan Tyrell Malacia.
Oleh karena itu, tak heran jika ten Hag mau tidak mau jadi harus mengandalkan para pemain muda seperti Alejandro Garnacho, Facundo Pellistri, hingga Hanibal Mejbri yang baru mencatatkan gol perdananya untuk MU pada pertandingan melawan Brighton kemarin.
Penutup
Melihat tren permainan MU dalam beberapa match terakhir, jujur Penulis benar-benar merasa pesimis ata perjalanan klub setan merah ini di musim ini. Permainan mereka benar-benar tidak enak dipandang dan memang layak untuk menderita kekalahan.
Banyaknya pemain yang cedera memang berpengaruh besar, tetapi seharusnya klub sebesar MU mampu memiliki solusi untuk mengatasinya. Mau dilihat dari kacamata mana pun, skuad yang dimiliki oleh MU jelas lebih bagus dari klub sekelas Brighton.
Erik ten Hag sebagai pelatih pun patut dievaluasi atas rentetan buruk yang terjadi baik di dalam maupun luar lapangan. Apalagi, ten Hag beberapa kali terekam justru menyalahkan ini itu, bukannya interopeksi diri mengapa klub yang ia latih bisa seberantakan ini.
Jika permasalahan MU adalah mental dan ego dari pemainnya, maka sudah menjadi tugas ten Hag untuk mencari solusinya. Sebagai pelatih klub yang memiliki nama besar, ia harus bisa melakukannya dalam waktu yang singkat.
Tampaknya, Penulis sebagai fans MU harus menerima kenyataan kalau dirinya akan (kembali) menjadi bulan-bulanan karena klub yang didukung sedang ambyar. Entah sampai kapan MU yang sedang tidak baik-baik saja ini akan berubah menjadi lebih baik.
Sumber Featured Image: The People Person
Olahraga
(Bapak) Lu Punya Tim F1, Lu Punya Kuasa

Musim Formula 1 (F1) di musim 2023 memang terkesan membosankan karena dominasi Max Verstappen dan Red Bull yang luar biasa. Mau tidak mau publik pun teringat era Lewis Hamilton bersama Mercedes maupun Michael Schumacher dengan Ferrari.
Selain Verstappen yang baru meraih rekor fantastis dengan mencatatkan 10 kemenangan beruntun, Red Bull pun masih menyapu bersih semua kemenangan di musim ini sebelum akhirnya terputus di GP Singapura, di mana Verstappen hanya berhasil finish di posisi 5.
Oleh karena itu, tak heran jika penggemar F1 lebih memilih untuk mengalihkan fokusnya kepada siapa yang juara ketiga di klasemen pembalap (karena tampaknya Sergio Perez sudah pasti akan juara dua) dan tim mana yang akan juara dua di klasemen konstruktor.
BACA JUGA: Siapa Bisa Hentikan Verstappen dan Red Bull? – Whathefan!
Klasemen Sementara Pembalap dan Konstruktor F1

Untuk klasemen pembalap, saat ini posisi ketiga sedang dipegang oleh Lewis Hamilton dengan 180 poin. Ia menyalip Fernando Alonso (170 poin) dari Aston Martin yang mengalami nasib kurang beruntung pada GP Singapura dengan finish di posisi terakhir.
Carlos Sainz Jr. dari Ferrari pun semakin mendekati posisi Alonso setelah berhasil memenangkan GP Singapura dengan penampilannya yang luar biasa. Pembalap asal Spanyol tersebut telah mengumpulkan 142 poin.
Untuk klasemen konstruktor, di bawah Red Bull ada Mercedes (289 poin), Ferrari (265 poin), dan Aston Martin (217 poin). Menariknya, Aston Martin baru saja lengser dari peringkat tiga karena duo Ferrari berhasil mengumpulkan poin lebih banyak di GP Italia kemarin.
Selain itu, Aston Martin juga tampil buruk di GP Singapura setelah Alonso dan rekan setimnya, Lance Stroll, gagal mendulang satu poin pun. Bahkan, Stroll tidak ikut balapan setelah mengalami kecelakaan yang lumayan hebat saat kualifikasi.
Padahal, di awal musim Aston Martin bisa tampil begitu trengginas berkat performa epic Alonso yang berkali-kali berhasil meraih podium. Sayangnya, memasuki pertengahan musim mobil Aston Martin mengalami penurunan yang cukup terlihat.
Performa Pembalap Aston Martin yang Cukup Jomplang

Mobil Aston Martin memang terlihat garang di awal musim, di mana Alonso kerap meraih podium di belakang mobil Red Bull. Namun, performa tersebut seolah memudar. Untuk sekadar bersaing di papan tengah pun Aston Martin tampak kesulitan.
Oleh karena itu, tak heran jika Aston Martin yang sempat berada di posisi kedua klasemen konstruktor harus turun hingga ke peringkat 4. Namun, sebenarnya permasalahan utama Aston Martin adalah jomplang-nya performa Alonso dengan pembalap satunya, Lance Stroll.
Bagaimana tidak, sampai di GP Singapura kemarin, Stroll baru mengumpulkan 47 poin atau selisih 123 poin dari Alonso. Jumlah tersebut adalah yang jarak poin rekan satu tim terlebar setelah Red Bull, yang bisa dimaklumi karena Verstappen terus meraih kemenangan.
Stroll di awal musim sebenarnya tampil cukup baik, mengingat dirinya mengalami cedera di beberapa balapan. Namun, justru setelah cederanya sembuh, penampilannya terjun bebas dan sangat kebanting dengan performa Alonso.
Jika ada pembalap yang penampilannya buruk, biasanya akan diganti dengan pembalap lain yang lebih menjanjikan. Contoh paling dengan adalah Nick De Vries dari tim Alpha Tauri yang digantikan oleh Daniel Ricciardo di tengah musim.
Masalahnya, tampaknya hal tersebut akan sulit terjadi di Aston Martin, mengingat pemilik tim tersebut, Lawrence Stroll, merupakan ayah kandung dari Lance Stroll. Apakah seorang ayah akan tega menendang anaknya sendiri demi kebaikan tim?
Akankah Lance Stroll akan Terus Aman?

Aston Martin memiliki sejarah yang sebenarnya belum terlalu panjang di F1. Selain pernah berkompetisi sebentar di akhir tahun 50-an, mereka juga pernah menjadi sponsor untuk tim Red Bull di tahun 2016 hingga 2020 sebelum akhirnya menjadi tim sendiri.
Semenjak dimiliki oleh Lawrence Stroll, Aston Martin memang terlihat begitu ambisius untuk bisa menjadi tim F1 yang top. Gelontoran dana yang dikeluarkan selama ini mulai menampakkan hasilnya dengan banyaknya raihan podium musim ini.
Pada musim 2026 yang akan datang, Aston Martin telah menandatangani kontrak dengan Honda, mesin di balik kesuksesan Red Bull menjadi begitu tangguh selama beberapa tahun terakhir. Tentu kita jadi menaruh asa yang besar terhadap tim yang satu ini.
Untuk membantu pengembangan tim, Aston Martin juga merekrut pembalap-pembalap veteran yang mampu memberikan masukan. Setelah merekrut Sebastian Vettel di tahun 2020, tim ini pun merekrut Alonso setelah Vettel memutuskan untuk pensiun dari F1.
Dengan ambisinya yang begitu besar, banyak penggemar yang berharap kalau Lawrence Stroll bisa bersikap tegas dengan menendang Lance Stroll yang kurang perform. Bahkan, ada yang berharap kalau Vettel mau comeback untuk menggantikan Stroll.
Lance Stroll memang bukan pembalap yang buruk. Ia telah meraih podium dan dalam beberapa kali kesempatan mampu menunjukkan skill balapannya yang luar biasa. Stroll juga kerap memberikan masukan yang tidak kalah berbobot dari pembalap senior.
Namun, memang harus diakui kalau musim ini bukan musim yang baik untuknya. Kecelakaan yang ia alami di GP Singapura hingga membuatnya absen seolah menjadi penegas hal tersebut. Entah kapan Stroll bisa bangkit dan bisa menyumbang poin lebih banyak untuk tim.
Untuk informasi, durasi kontrak yang dimiliki Stroll tidak diketahui, sehingga bisa saja ia mendapatkan kontrak seumur hidup. Selama bapaknya masih menjadi pemilik tim, tampaknya Stroll akan masih punya “kuasa” untuk tetap bertahan di F1.
Sumber Featured Image: Wide World of Sports – Nine
Olahraga
Ketika Messi Memporak-porandakan Amerika Serikat

Ketika Lionel Messi memutuskan untuk bermain di Major League Soccer (MLS) bersama Inter Miami, Penulis menyayangkan keputusan tersebut karena merasa sang mega bintang tersebut masih memiliki kemampuan bersaing di Eropa.
Hanya saja, jika dipikir-pikir lagi, Messi bisa dibilang sudah meraih segalanya, baik di level tim maupun tim nasional. Mungkin, Messi hanya ingin menikmati akhir masanya dan menikmati bagaimana nyamannya tinggal di Amerika Serikat.
Namun, Penulis tak menyangka kalau Messi akan menjadi terlalu overpowered di sana. Baru beberapa bulan, ia telah berhasil membawa Inter Miami, yang babak belur di liga, menjuarai Leagues Cup.
Torehan Mentereng Messi di Debutnya Bersama Inter Miami

Messi langsung “menendang” sejak pertandingan debutnya saat Inter Miami berhadapan dengan Cruz Azul di Round 1 Leagues Cup. Masuk sebagai pemain pengganti, Messi langsung mencetak gol kemenangan pada saat injury time, tepatnya pada menit ke-94.
Di Round 2, Messi kembali tampil garang dengan mencatatkan 2 gol dan 1 assist yang membawa timnya menang dengan skor telak 4-0 atas Atlanta United. Saat melawan Orlando City di babak 32 besar, ia kembali berhasil mencetak 2 gol dan membawa timnya menang 3-1.
Pertandingan heroik Messi terjadi di babak selanjutnya saat Inter Miami berhadapan dengan FC Dallas. Sempat tertinggal 4-2, Messi menjadi penyama kedudukan di menit 85 melalui tendangan bebasnya yang cantik. Inter Miami pun menang setelah drama adu penalti.
Inter Miami menang mudah 4-0 saat berhadapan dengan Charlotte FC. Kali ini, Messi hanya menyumbangkan 1 gol. Begitu pula saat di babak semifinal saat melawan Philadelphia Union, yang diakhir kemenangan 4-1 dan Messi menyumbangkan 1 gol.
Pada babak final melawan Nashville SC, Messi mencetak gol pembuka sebelum akhirnya disamakan oleh gol bunuh diri. Pertandingan berlanjut hingga adu penalti yang akhirnya dimenangkan oleh Inter Miami dengan skor 11-10.
Artinya, sepanjang Leagues Cup atau dalam 7 pertandingan, Messi berhasil mencetak 9 gol dan 1 assist. Ia pun berhasil menjadi top score dengan torehan golnya tersebut. Debut Messi di Amerika Serikat pun dimulai dengan manis.
Untuk rekor pribadi, Messi juga sah menjadi pemain dengan raihan trofi terbanyak dengan 44 trofi. Ia berhasil mengalahkan mantan rekannya di Barcelona, Daniel Alves, yang memiliki 43 trofi. Benar-benar luar biasa.
Kita Sedang Berada di Penghujung Sebuah Era

Kesuksesan Messi mengantarkan Inter Miami menjadi juara Leagues Cup membuat banyak pihak berpikir kalau Messi terlalu overpowered untuk bermain di Amerika Serikat. Melihat kemampuannya di atas lapangan, rasanya ia masih layak untuk bermain di Eropa.
Namun, kita harus ingat kalau sekarang kita memang sedang di penghujung sebuah era, di mana para pemain bintang akan memasuki masa-masa pensiunnya. Selain Messi yang ke Amerika Serikat, Ronaldo pun pergi ke Arab Saudi yang diikuti oleh pemain “uzur” lainnya.
Eropa, yang menjadi kiblat sepak bola dunia, musim ini memang banyak ditinggalkan oleh pemain senior yang pada masanya memiliki permainan yang sangat bisa dinikmati. Hanya tinggal segelintir yang masih bisa bertahan di kerasnya sepak bola Eropa.
Namun, jangan lupa kalau masih ada banyak talenta muda yang akan siap menggantikan peran para pemain senior. Kylian Mbappe dan Erling Haaland disebut akan menjadi Messi vs Ronaldo selanjut, apalagi setelah Mbappe menolak untuk pindah ke Arab.
Untuk saat ini, marilah kita mengheningkan cipta atas berakhirnya sebuah era emas sepak bola di mana kita bisa melihat pemain sekaliber Messi dan Ronaldo bersaing di level teratas sepak bola. Mari kita bersyukur telah diberi kesempatan untuk melihat mereka.
Lawang, 21 Agustus 2023, terinspirasi setelah melihat bagaimana OP-nya Messi di MLS
Foto Featured Image: MLS
- Musik4 bulan ago
Maskulinitas pada Musik Dewa
- Buku4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Funiculi Funicula: Kisah-Kisah yang Baru Terungkap
- Anime & Komik4 bulan ago
Alasan Saya Tidak Suka One Piece
- Musik5 bulan ago
9 Personel Twice dan Impresi Saya ke Mereka
- Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #6 King of New York
- Pengembangan Diri5 bulan ago
Pada Akhirnya, Kebaikan yang Kita Lakukan akan Kembali ke Diri Sendiri
- Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Funiculi Funicula: Before the Coffee Gets Cold (Spoiler Version)
- Sosial Budaya4 bulan ago
Hype Konser Coldplay di Indonesia: Beneran Nge-fans atau Sekadar FOMO?
You must be logged in to post a comment Login