Connect with us

Pengembangan Diri

Apakah Saya Manipulatif?

Published

on

ma·nip·u·la·tive/məˈnipyəˌlādiv/

adjective: characterized by unscrupulous control of a situation or person.

Dari seorang kawan, Penulis baru menyadari kalau dirinya (bisa jadi) memiliki beberapa ciri-ciri sifat manipulatif. Ketika melakukan kontemplasi, memang rasanya ada dan Penulis bertekad untuk mengubah sifat buruk itu.

Sama seperti artikel Apakah Saya Toxic?, tulisan ini mengajak Penulis (dan Pembaca) untuk melihat ke dalam, apakah benar kita memiliki sifat manipulatif dengan mempelajari pengertian dan apa saja ciri-cirinya.

Harapannya dengan membuat tulisan seperti ini, Penulis jadi bisa mengubah sifat-sifat buruknya yang memiliki keterkaitan dengan sifat manipulatif dan tidak merugikan orang lain lagi.

Apa Itu Sifat Manipulatif?

Ingin Mengendalikan Orang Lain (Money)

Sesuai dengan namanya, manipulatif memiliki makna bagaimana kita memanipulasi orang lain agar ia atau mereka bertindak sesuai keinginan kita. Ini menjadi salah satu teknik psikologis yang sering digunakan oleh orang untuk berbagai kepentingan.

Orang dengan sifat manipulatif akan menyerang sisi emosional dan mental orang yang ingin mereka manipulasi. Membuat orang lain merasa bersalah, merasa takut, membuat orang lain tidak bisa membedakan benar salah, hanyalah beberapa caranya.

Seringnya, sifat ini digunakan untuk mendapatkan keuntungan tertentu atau minimal sesuatu yang ia inginkan. Ini bisa dimulai dari yang sepele seperti mendapatkan perhatian hingga meraup keuntungan berupa harta.

Bisa jadi, kita tak sadar kalau pernah bersikap manipulatif kepada orang lain. Banyak yang mengira (termasuk Penulis) menganggap itu adalah hal yang biasa dalam sebuah hubungan. Untuk itu, penting untuk mengetahui apa saja ciri-ciri dari sifat manipulatif.

Apa Ciri-Ciri Sifat Manipulatif?

Gemar Menanamkan Rasa Bersalah ke Orang Lain (The Second Angle)

Penulis membaca beberapa sumber (bisa dibaca di bawah) untuk mengetahui apa saja ciri yang dimiliki oleh seseorang dengan sifat manipulatif. Berikut adalah beberapa rangkumannya:

  • Membuat orang lain merasa bersalah, dengan berbagai cara. Bisa dibilang ini adalah ciri yang paling sering dilakukan oleh seorang manipiulator untuk menghindari tanggung jawab. Mengacak-acak perasaan kita akan dilakukan oleh mereka. Bahkan, tak jarang mereka menuntut maaf.
  • Berbuat baik (secara tidak ikhlas) dan sering mengungkitnya, di mana kita akan dibuat untuk terus mengingat-ingat kebaikannya. Akibatnya, kita dilanda perasaan bersalah karena tidak mampu menghargai kebaikan yang telah mereka lakukan kepada kita.
  • Membuat kita merasa bingung, karena dengan begitu kita akan menjadi sulit untuk membuat keputusan. Situasi ini akan disukai oleh para manipulator, karena dengan begitu urusan mengendalikan kita akan menjadi lebih mudah.
  • Dramatis, di mana ciri ini terlihat dari perkataan yang ia lontarkan terdengar berlebihan. Hal ini bisa menimbulkan perasaan bersalah bagi korban, apalagi jika menggunakan senjata berupa tangisan.
  • Membuat kita bergantung pada mereka, karena dengan mereka bergantung pada mereka, mereka seolah memiliki kontrol kepada kita. Untuk tingkat yang parah, si manipulatif akan membuat suasana yang menekan si korban agar bergantung padanya.
  • Membuat kita merasa tidak berguna, sekali lagi agar kita menjadi bergantung pada mereka. Mereka seolah-olah dengan sengaja ingin kita percaya kalau kita ini lemah dan butuh mereka. Ada penanaman doktrin kalau kita tidak bisa apa-apa tanpa mereka.
  • Menuntut pembuktian rasa sayang, di mana ini bisa menimbulkan perasaan bersalah jika tidak bisa membuktikannya dengan cara yang mereka inginkan.
  • Mengontrol keputusan, seolah-olah kita tidak boleh mandiri menentukan hal-hal yang sebenarnya bisa diputuskan sendiri. Bahkan, tak jarang kita dibuat merasa tidak enak jika keputusan yang diambil tidak sesuai dengan yang mereka inginkan.
  • Memanfaatkan kelemahan kita, sehingga orang terdekat kita pun bisa jadi seorang manipulator yang handal. Misal mereka tahu kita mudah merasa bersalah, mereka akan semakin gencar untuk membuat kita merasa bersalah.
  • Pandai memutarbalikkan fakta, bahkan tak ragu untuk menggunakan kebohongan asal tujuan mereka tercapai. Cara untuk membalikkan keadaan dan membuat kita merasa bersalah adalah hal yang mudah untuk mereka.

Apakah Saya Memiliki Sifat Manipulatif?

Bertanya Kepada Diri Sendiri, Apakah Saya Manipulatif? (The Economic Times)

Penulis tidak pernah merasa kalau dirinya memiliki sifat manipulatif dalam dirinya. Hanya saja, setelah membaca beberapa sumber, Penulis jadi menyadari ada beberapa ciri seorang manipulatif yang dimilikinya.

Bahkan, mungkin hampir semuanya.

Setidaknya yang Penulis tahu pasti, ada orang-orang dekat Penulis yang merasa kalau dirinya sering merasa bersalah dan itu diakibatkan dari tindakan yang Penulis lakukan kepada mereka. Penulis tidak menyadari telah melakukan hal ini dan benar-benar merasa menyesal.

Terkadang jika sedang emosi, Penulis akan mengungkit kebaikan yang sudah dilakukan. Walau menyesal setelah emosi mereda, tetap saja Penulis telah melakukannya. Penulis juga terkadang bereaksi berlebihan dan dramatis jika sedang bertengkar dengan seseorang.

Penulis suka jika ada orang yang meminta bantuan ke Penulis, tapi bukan berarti Penulis berharap mereka akan selalu bergantung kepada Penulis. Kadang Penulis juga terlalu ikut campur jika ada orang lain yang ingin membuat keputusan, tapi tidak pernah memaksanya.

Untuk masalah menuntut pembuktian perasaan sayang, mungkin Penulis tidak pernah memintanya secara gamblang. Hanya saja, Penulis merasa selama ini dirinya kerap meminta untuk mendapatkan perhatian, kepedulian, ada ketika butuh, dan lain sebagainya.

Selain itu, ciri-ciri lain sepertinya tidak Penulis miliki. Penulis tidak pernah berniat jahat ingin membuat orang merasa dirinya tidak berguna atau memanfaatkan kelemahan mereka.

Penulis bisa berkata kalau dirinya tidak melakukan semua hal di atas secara sengaja. Penulis hanya tidak menyadari kalau sikapnya (terutama ke orang-orang dekat) begitu buruk, sehingga wajar jika ada yang berpendapat kalau Penulis memiliki sifat manipulatif.

Penulis jadi banyak belajar dari hal ini, dan berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak melakukannya lagi.

Penutup

Cara menghadapi seorang manipulator adalah dengan menyadari berbagai teknik manipulasinya. Kita harus bisa memosisikan diri secara objektif tanpa terpengaruh mereka agar bisa berpikir secara jernih.

Jika kita merasa ada manipulator di sekitar kita dan merasa tidak mampu mengalahkan mereka, ada baiknya kita menghindari orang tersebut. Rasanya, tidak ada yang mau dekat-dekat dengan seorang manipulator.

Dengan mengetahui ciri-cirinya di atas, kita pun bisa menghindari jebakan-jebakan yang mereka buat. Lantas, kita pun dapat menjalani hidup dengan lebih tenang tanpa terbebani rasa bersalah yang mereka ciptakan.

Kalau Pembaca merasa memiliki beberapa ciri seorang manipulator di atas, coba lakukan refleksi diri seperti yang Penulis lakukan. Rasanya tidak ada orang yang suka dirinya dimanipulasi, bahkan orang terdekat sekalipun.


Lawang, 15 April 2022, terinspirasi setelah mendapatkan masukan dari seorang kawan

Foto: VOI.id

Sumber Artikel:

Pengembangan Diri

People “Come”, People “Go”

Published

on

By

Pembaca pasti merasa familiar dengan frase bahasa Inggris people come and go. Secara sederhana, frase ini bermakna kalau orang-orang dalam kehidupan kita akan datang dan pergi secara bergiliran. Tidak ada yang akan benar-benar stay.

Maka dari itu, menahan orang-orang yang ingin pergi dari kehidupan kita akan terasa percuma, karena pada dasarnya mereka berada di luar kendali kita. Yang bisa kita kendalikan adalah respons kita terhadap kepergian mereka.

Namun, pada suatu saat, Penulis menangkap ada makna lain dari frase people come and go. Untuk membedakan, Penulis akan menuliskannya dengan people come, people go. Datang ketika butuh kita, tetapi pergi ketika kita yang butuh.

Datang Ketika Butuh Kita

Di media sosial akhir-akhir ini sedang viral tentang “pinjam dulu seratus” yang biasanya dibalut dalam bentuk pantun. Ini adalah sebuah kalimat horor ketika ada orang datang ke kita untuk meminjam uang, yang biasanya sulit untuk kembali.

Seringkali, orang-orang yang seperti ini adalah orang yang hanya datang ke kita ketika mereka merasa butuh. Tidak melulu tentang pinjan uang, tapi bisa juga butuh bantuan untuk hal lain. Ketika sedang tidak butuh, mereka seolah-olah tidak kenal dengan kita.

Dalam hidup, rasanya hampir semua manusia pernah bertemu dengan tipe orang yang seperti ini. Lantas, bagaimana menghadapi mereka? Kembali lagi ke diri kita masing-masing, apakah mau dimanfaatkan orang lain begitu saja atau memberi batasan yang jelas.

Jika niat hati ingin menolong dan bermanfaat tanpa peduli pikiran orang lain, bagus. Tidak semua orang punya ketulusan hati seperti ini. Toh seperti kata Tanjiro Kamado dari anime Demon Slayer, kebaikan yang kita lakukan pada akhirnya akan kembali ke diri sendiri.

Namun, jika belum bisa mencapai level tersebut, menolak untuk dimanfaatkan juga tidak salah. Apalagi, jika tenaga, waktu, bahkan uang kita benar-benar terkuras untuk mereka. Mengetahui batasan diri juga dibutuhkan untuk kebaikan diri kita.

Pergi Ketika Kita yang Butuh

Datang ketika butuh saja sudah cukup problematik, apalagi jika mereka justru pergi ketika kita yang membutuhkan bantuan. Dengan beribu alasan, mereka akan menolak untuk mengulurkan tangan mereka.

Manusia sebagai makhluk sosial jelas harus saling membantu. Mau semandiri apapun, kita pasti tetap membutuhkan bantuan orang lain. Oleh karena itu, sejak kecil kita diajari untuk saling tolong-menolong karena memang seterikat itu kita dengan manusia lain.

Masalahnya, tidak semua orang memiliki kesadaran untuk membantu orang lain. Ada oknum-oknum yang berpikir kalau dirinya adalah pusat semesta, sehingga merasa acuh ketika melihat ada orang yang sedang membutuhkan bantuan dirinya.

Ketika menghadapi tipe orang yang seperti ini, rasanya lebih bijak jika kita menjaga jarak dengan mereka. Berbuat baik sih berbuat baik, tapi kalau hanya kita yang dimanfaatkan ya buat apa? Toh, masih banyak orang lain yang bisa kita tolong daripada parasit seperti mereka.

Datang ketika kita butuh, tetapi pergi ketika kita yang butuh. Semoga saja kita selalu dihindarkan untuk bertemu dengan orang-orang yang seperti ini. Semoga kita selalu dikelilingi oleh orang-orang baik yang mau saling tolong-menolong.


Lawang, 25 Oktober 2023, terinspirasi setelah menyadari kalau frase people come and go bisa dimaknai lain

Foto Featured Image: Mike Chai

Continue Reading

Pengembangan Diri

Belajar Melepas Perasaan Bersalah dari Kosan 95

Published

on

By

Hari ini (24/8), Penulis kembali membuka aplikasi Webtoon setelah sudah cukup lama tidak menggunakannya. Salah satu komik yang ingin Penulis baca adalah kelanjutan dari Kosan 95 yang sedang memasuki babak akhirnya.

Terakhir kali membaca, ceritanya sedang berfokus pada karakter Budi yang merupakan salah satu anggota kos. Waktu kecil, ia berteman baik dengan Faisal dan Fani (saudara kembar, anggota Kosan 95 juga), yang dijauhi teman-teman sebayanya karena dianggap anak haram.

Budi menjadi kawan pertama mereka yang benar-benar terlihat baik, peduli, dan tulus. Namun, tiba-tiba Budi menghilang begitu saja dari kehidupan Faisal dan Fani, yang pada akhirnya menimbulkan perasaan bersalah pada Budi untuk waktu yang sangat lama.

SPOILER AHEAD!!!

Ringkasan Cerita hingga Budi Merasa Bersalah

Dari Kiri: Faisal, Budi, Fani (Twitter)

Alasan awal Budi berteman dengan Faisal dan Fani adalah untuk membantu ayahnya, yang bekerja untuk keluarga Jaya. Ayahnya memiliki misi untuk memata-matai Faisal dan Fani, di mana mereka adalah bagian dari keluarga Sundari yang merupakan saingan keluarga Jaya.

Setelah misi tersebut selesai, Budi pun meninggalkan Faisal dan Fani, meskipun ia sebenarnya sangat menyayangi mereka. Nasib pun mempertemukan mereka kembali, di mana Budi langsung kabur karena ada perasaan bersalah setelah apa yang ia lakukan di masa lalu.

Budi berpikir kalau dirinya tidak bisa bertemu dan berhubungan lagi dengan Faisal dan Fani karena ia telah menyakiti mereka. Meskipun ia kerap sedih karena perasaan bersalah tersebut, ia merasa takut ketika akhirnya dipertemukan dengan mereka berdua.

Namun, akhirnya Budi memutuskan untuk menerima tawaran keluarga Jaya untuk bergabung dengan Kosan 95, agar ia memiliki kesempatan untuk menebus dosanya kepada Faisal dan Fani.

Sayangnya, yang ada perasaan bersalah tersebut justru terus tumbuh karena ia belum menemukan jawaban mengenai bagaimana cara menebus kesalahannya. Apalagi, ternyata hubungan Faisal dan Fani pun memburuk karena suatu hal.

Saat bertemu dengan Fani pertama kali di Kosan 95, Fani langsung meminta tolong untuk membantunya berbaikan dengan Faisal. Hubungan buruk mereka langsung terbukti ketika Faisal langsung mengusir Fani begitu melihatnya.

Hal tersebut membuat Budi semakin merasa bersalah. Masa-masa awal Budi di Kosan 95 pun penuh dengan konflik batin. Ia menyesal karena di masa lalu dirinya lebih banyak diam, ketika ada banyak hal yang sebenarnya bisa ia lakukan untuk Faisal dan Fani.

Bagaimana Budi (dan Fani) Berusaha Menghilangkan Perasaan Bersalahnya

Dua Karakter yang Sama-sama Terjebak Rasa Bersalah (Instagram)

Selama bertahun-tahun, perasaan bersalah itu terus menghinggapi Budi seolah tak bisa disingkirkan. Ia merasa tidak bisa menebus kesalahan tersebut dan layak untuk mendapatkan maaf.

Budi pun mendapatkan nasehat dari Pak Agus, penjaga Kosan 95, yang mengatakan kalau Budi harus bisa menjadi penengah antara Faisal dan Fani layaknya teman yang bersikap adil. Pak Agus juga mengatakan kalau konflik yang terjadi antara mereka bukan salah Budi.

Pak Agus juga mengingatkan kalau Budi harus merelakan apa yang telah terjadi di masa lalu dan jangan berlarut-larut di dalam penyesalan tanpa akhir. Daripada seperti itu, lebih baik fokus dengan melakukan apa yang bisa diperbaiki sekarang dan terus maju.

Akhirnya seiring berjalannya waktu, Budi merasa bahwa penebusan dosa yang mungkin bisa ia lakukan adalah membuat Faisal dan Fani berdamai seperti dulu lagi. Mereka bertiga pernah akrab dan saling berbagi tawa, dan ia ingin hal tersebut bisa terjadi lagi saat ini.

Sebenarnya bukan cuma Budi yang memiliki perasaan bersalah, karena Fani pun juga merasa bersalah ke Faisal. Alasan mereka menjadi renggang adalah karena Fani justru tidak percaya kepada Faisal di saat saudara kembarnya tersebut sedang membelanya.

Merasa dirinya begitu egois, Fani pun menyesal dan terus berusaha untuk memperbaiki hubungannya dengan Faisal. Berbagai hal ia berusaha lakukan dan berikan untuk menyenangkan Faisal, meskipun kerap mendapatkan respons yang kurang mengenakkan.

Belajar Melepas Perasaan Bersalah dari Kosan 95

Ini Budi (Instagram)

Dari kisah hubungan antara Budi, Faisal, dan Fani di atas, kita bisa belajar beberapa hal mengenai cara melepas perasaan bersalah yang membelenggu kita. Penulis yakin, kebanyakan dari kita pernah mengalami perasaan yang dialami oleh karakter-karakter Kosan 95.

Sebagai manusia, tentu kita pernah berbuat salah, baik ke diri sendiri maupun orang lain. Bagi sebagian orang, berbuat salah ke orang lain bisa menimbulkan perasaan bersalah yang begitu dalam, seolah tidak ada hal yang bisa dilakukan untuk menghilangkannya.

Penulis sendiri pernah merasa seperti itu dan mencoba berbagai cara, mulai dari minta maaf, berusaha memperbaiki keadaan, mengubah diri menjadi lebih baik, dan lain sebagainya. Kurang lebih sama seperti yang sedang dilakukan oleh Budi dan Fani.

Namun, sama seperti yang dirasakan Budi, perasaan bersalah itu masih saja hinggap. Pada akhirnya Penulis menyadari kalau pada akhirnya kitalah yang harus bisa memaafkan dan berdamai dengan diri sendiri atas kesalahan yang sudah diperbuat.

Seperti yang dikatakan oleh Pak Agus, pada akhirnya kita harus merelakan apa yang sudah terjadi dan fokus dengan hari ini. Terbelenggu dengan perasaan bersalah yang kita buat sendiri hanya akan menghambat kita untuk melangkah maju.

Jika kita sudah bisa melakukan hal tersebut, proses memaafkan dan berdamai dengan diri sendiri pun akan lebih mudah kita lakukan. Nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terlanjur. Mari kita sama-sama belajar untuk melepaskan perasaan bersalah yang ada di dalam diri kita.


Lawang, 24 Agustus 2023, terinspirasi setelah membaca Webtoon Kosan 95

Continue Reading

Pengembangan Diri

Hasil Itu Ada di Luar Kendali Kita

Published

on

By

Berapa kali dalam kehidupan kita mengalami kegagalan? Berapa kali apa yang kita harapkan tidak menjadi kenyataan? Tak peduli sekeras apapun berusaha, tak peduli selantang apapun berdoa, ternyata hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan yang diinginkan.

Penulis juga termasuk orang yang pernah mengalami kegagalan. Gagal diterima bekerja di NET TV, gagal mendapatkan beasiswa hingga empat kali, hingga gagal dalam menjaga hubungan baik dengan orang lain.

Ujung-ujungnya, Penulis jadi menyalahkan diri sendiri karena merasa usahanya masih kurang maksimal. Seolah selalu ada kekurangan di dalam diri Penulis yang membuatnya gagal. Perasaan menyesal dan bersalah pun muncul, yang memicu negative self-talk.

Namun, seiring dengan bertambahnya usia, Penulis semakin memahami bahwa sebenarnya ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa kita kendalikan. Hasil dari sesuatu yang kita kejar adalah salah satunya.

Usaha (dan Doa) Bisa Kita Kendalikan

Dalam beberapa tahun terakhir, Penulis berusaha mendalami sebuah filsafat bernama stoisme atau stoik. Alasannya sederhana, karena Penulis merasa kalau penerapan dari filsafat ini sangat cocok untuk orang yang mudah overthinking seperti Penulis.

Diawali dari membaca buku Filsafat Teras, Penulis pun berusaha mencari referensi lain baik dari buku, posting di media sosial, maupun video. Salah satu hal yang benar-benar Penulis pelajari adalah mengenai dikotomi kendali.

Penulis baru menyelesaikan membaca novel grafis Dunia Sophie, di mana Penulis menemukan satu kutipan yang dapat menggambarkan tentang apa itu dikotomi kendali. Berikut adalah kutipan tersebut:

“Berilah aku keberanian untuk mengubah apa yang bisa kuubah, ketenangan untuk menerima yang tak bisa diubah, dan kebijaksanaan untuk membedakan keduanya.”

Secara sederhana, stoisme mengajak kita untuk membedakan mana yang bisa kita kendalikan (yang sejatinya hanya diri kita sendiri) dan mana yang tidak bisa kita kendalikan (apapun yang ada di luar kita).

Nah, dalam menyikapi sebuah kegagalan dalam hidup, kita harus memahami yang bisa kita kendalikan adalah usaha dan doa yang kita lakukan. Kita bisa mengendalikan diri mau berusaha dan berdoa sekeras apa. Apapun hasilnya nanti, itu sudah di luar kendali kita.

Hasil Tidak Bisa Kita Kendalikan

Kadang kita merasa, padahal sudah berusaha keras, padahal sudah berdoa hingga bangun di tengah malam, tapi kok masih gagal. Terkadang kita lupa, kalau hasil itu tidak bergantung pada apa yang telah kita lakukan. Banyak faktor lain yang memengaruhi sebuah hasil.

Katakanlah sebagai contoh upaya untuk mendapatkan beasiswa. Ketika mendapatkan pengumuman kalau kita gagal, muncul perasaan tidak percaya karena kita merasa sudah berusaha semaksimal mungkin.

Namun, kita lupa bahwa hasil ujian itu jauh di luar kendali kita. Bisa jadi ada peserta beasiswa lain yang berusaha lebih keras dari kita, lebih punya persiapan yang lebih panjang, punya privilege yang tidak kita miliki, atau bahkan murni karena keberuntungan.

Hasil yang tidak seusai dengan harapan, tidak sepenuhnya gara-gara kita. Sekali lagi, ada banyak faktor eksternal yang mungkin tidak akan pernah kita tahu. Itu yang membuat hasil tidak akan pernah bisa kita kendalikan.

Selain itu, terkadang ketika akan mencoba sesuatu, kita sudah khawatir duluan dengan bagaimana hasilnya nanti. Sudah, yang penting usaha dulu, gimana hasilnya urusan nanti. Mong itu enggak bisa kita kendalikan, buat apa terlalu dipusingkan.

Oleh karena itu, ada baiknya kita memfokuskan perhatian kita terhadap apa yang bisa kita kendalikan. Cukup fokus berusaha dan berdoa sebaik mungkin. Setelah itu, kita hanya bisa mempasrahkan diri kepada Tuhan tentang hasilnya.

Penutup

Salah satu alasan mengapa Penulis begitu tertarik dengan stoisme adalah karena Penulis merasa penerapannya sesuai dengan agama Penulis. Di dalam agama, kita diminta untuk berusaha dan berdoa, lantas berpasrah diri kepada Tuhan.

Hidup yang tidak sesuai dengan ekspektasi memang menyebalkan. Seperti kata orang, mau sebagus apapun manusia merencanakan, tetap Tuhan yang menentukan. Maka, buat apa kita terlalu memusingkan jika hasil yang kita terima tidak sesuai dengan keinginan?

Tentu manusiawi jika ada perasaan kecewa dan sedih jika hal tersebut terjadi. Namun, jangan terlalu berlarut-larut. Lebih baik kita mempersiapkan diri, sesuatu yang bisa kita kendalikan, untuk melanjutkan hidup. Usaha itu bisa kita kendalikan, hasil tidak.


Lawang, 4 Juli 2023, terinspirasi setelah menyadari kalau hasil, dalam apa pun, berada di luar kendali kita

Foto Featured Image: Andrew Neel

Continue Reading

Facebook

Tag

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan